Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SIB II

PERLAWANAN MINANGKABAU TERHADAP KOLONIALISME

OLEH KELOMPOK 5 :

Dinda Putri Amalia 20046048

Lili Sulita Putri 20046068

Refany Amelia Putri 20046081

Wira Lindung Prtama

DOSEN PENGAMPU :

Drs. Zul Asri, M.Pd

Ridho Bayu Yefterson, M.Pd

PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahuwata‟ala, yang telah


memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Model dan Strategi
Pembelajaran Geografi. Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah,
Bapak Drs. Khairani, M.Pd yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini
serta kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tak
langsung sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan, sekecil
apapun akan penulis perhatikan dan pertimbangkan guna penyempurnaan dalam
membuat makalah yang akandatang.
Semoga makalah ini mampu memberikan nilai tambah bagi pembacanya dan Juga
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuanbagi kita semua.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………..
C. Tujuan …………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………

A. Latar Belakang Perlawanan Minangkabau ……………………………………


B. Proses perlawanan Minangkabau ………………………………………………
C. Akhir Perlawanan ……………………………………………………………….

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………..

A. Kesimpulan ………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada permulaan abad ke-20, Minangkabau merupakan kawasan utama di luar pulau Jawa
sebagai tempat tumbuhnya pergerakan antikolonial di Hindia Belanda. Pada tahun 1908,
bersamaan dengan lahir organisasi Boedi Oetomo (BO) sebagai wadah pergerakan nasional
di pulau Jawa, masyarakat Minangkabau terlibat dalam perlawanan untuk menentang
kebijakan kolonial. Perlawanan itu terkait dengan kebijakan pembayaran pajak langsung yang
diterapkan oleh pemerintah kolonial pasca merosotnya harga kopi dan pengganti sistem
tanaman paksa yang mulai dihapuskan di daerah ini sejak tahun 1908. Perlawanan yang
eskalasinya lebih menguat di daerah Kamang dan Manggopoh itu dipandang oleh Audrey
Kahin sebagai refleksi munculnya pergerakan nasionalisme dan anti-kolonialpertama di
Minangkabau. Tokoh yang berperan besar dalam perlawanan itu adalah para ulama,terutama
mereka yang tergabung dalam asosiasitarekat Syattariyah (Kahin, 2008:12).
Pasca perlawanan terhadap pembayaran pajak langsung, pergerakan anti-kolonial semakin
menemukan bentuknya dan berkembang dengan corak yang beragam di Minangkabau.
Medium penyaluranya pun semakin hari semakin bervariasi, seperti rapat-rapat umum, media
massa, institusi pendidikan,organisasi sosial keagamaan dan partai politik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang perlawanan yang dilakukan di Minangkabau ?
2. Bagaimana proses perlawanan ?
3. Bagaimana akhir perlawanan yang dilakukan di Minangkabau ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahu latar belakang perlawanan Minangkabau
2. Untuk mengetahui proses perlawanan Minangkabau
3. Untuk mengetahui akhir dari perlawanan Minangkabau
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Perlawanan Minangkabau


Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau
pulang dari Makkah usai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal dengan nama
Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tulisan Azyumardi Azra dalam The Origins of
Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
"Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (2004), menyebutkan, ketiga haji ini
awalnya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya
dijalankan. Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk ikut andil dan
mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan
Renceh bergabung dan mengajak orang-orang lain untuk turut serta. Mereka tergabung dalam
kelompok bernama Harimau nan Salapan. Harimau nan Salapan meminta pemimpin
Kesultanan Pagaruyuang (Pagaruyung), Sultan Arifin Muningsyah, dan kerabat kerajaan
bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak
sesuai dengan syariat Islam.

Yang Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat. Sultan Arifin Muningsyah masih
tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu
di Minangkabau. Dikutip dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat,
ada beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi,
serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk
agama islam. Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum
Adat yang beragama Islam Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa
menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus dengan misi
melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun yang menjadi latar belakang perang paderi :
 Adanya gerakan Wahabi di Sumatera Barat yang dilakukan kaum Padri. Tujuan dari
gerakan ini untuk mengajarkan syariah di Sumatera sesuai ajaran Islam.
 Ajaran agama ini ditentang oleh kelompok penghulu yang menganggap dirinya
keturunan raja Minangkabau. Kelompok penentang ini adalah Kaum Adat.
 Kebiasaan dan tradisi kaum adat bertentangan dengan hukum Islam. Sehingga para
ulama ingin menerapkan cara-cara Islam di masyarakat.
 Adanya campur tangan Belanda yang mengawali terjadinya perang Padri. Kolonial
Belanda ketika itu berpihak pada kaum Adat
 Mereka berjanji antara Residen de Puy dan Tuanku Suruaso bersama 14. penghulu
adat lain. Perjanjian ini diadakan 10 Februari 1821 yang berisi pasukan Belanda
menduduki Sumatera Barat. Perjanjian dengan Belanda ini ditandatangani di Padang.
Belanda mendapat keuntungan atas wilayah penguasaan pedalaman Minangkabau.
B. Proses Perlawanan
1. Gerakan Padri
Gerakan Paderi adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam kehidupan tatanan beragama dan
kemasyarakatan di minangkabau yang dimulai pada tahun 1803 hingga tahun 1821, gerakan
ini di semangati oleh gerakan wahabi yang diajarkan oleh muhammbad ibnu „Abd al-wahhab
(1703-1792) yang tidak saja menyerukan kembali ke ajaran dan firman Allah, tetapi
juga menyerukan untuk kembali ke ajaran Rasulullah dan ajaran-ajaran sahabatnya.
Gerakan paderi sebagaimana gerakan-gerakan lokal di berbagai belahan bumi Nusantara
pada periode perang kemerdekaan melawan penjajahan Belanda disamping penjajahan
portugis dan Inggris masuk ke pulauan Nusantara merupaka tonggak yang penting dalam
Sejarah Indonesia.
Pada abad ke 16 Islam sudah masuk ke Minangkabau, setelah kejatuhan Malaka,
terjadilah proses sinkretisme yang berjalan cukup lama. Terdapat dua cara hidup
berdampingan yang damai : adat lama dengan syara‟ lama sama -sama dihormati. Hal
ini antara lain digambarkan dengan pepatah, Adat basandi syara‟, syara‟ basandi
kitabullah.Dengan beginilah mula-mula Islam mengadakan penyesuaian dengan struktur
dan landasan masyarakat Minangkabau yang matrilineal, mengikuti garis keturuan ibu
dalam system kekerabatan dan hak waris. Bagi masyarakat Minangkabau atau Minang,
Islam merupakan keyakinan keagamaan yang merembes masuk ke dalam pengetahuan,
perilaku, dan makna budaya.
Di akhir abad ke-18 situasi dikotomi dalam masyarakat itu antara lain ialah adanya
kecenderungan yang makin menjadi-jadi pada kaum adat, seperti perjudian, sabung ayam,
minum-minuman keras dan adat. Kebiasaan seperti ini bahkan mendapat dukungan dari
golongan raja, para bangsawan, dan para penghulu. Dengan demikian adat sudah
meninggalkan syara', sehingga terjadi keprihatinan para ulama. Di Minangkabau corak islam
menjadi sumber konflik yang serius pada awal abad kesembilan belas serta menjadi basis
perdebatan pada abad kedua puluh, perdebatan mengenai hakikat Islam juga melibatkan
pendefinisian ulang atas tradisi (adat). Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang sangat
dihormati, mulai meletakkan dasar pemurnian islam dengan mengajak masyarakat kembali
kepada ajaran Al-qur'an dan sunnah. Namun pendekatan damai yang dilakukannya tidak bisa
diterima oleh muridnya yang lebih radikal Tuanku Nan Rentjeh, seorang yang amat
berpengaruh dan mempunyai banyak murid di wilayah Agam. Tuanku Tambusai dan lain-lain
dalam konteks gerakan pembaharuan (puritanisme) keagamaan maupun gerakan rakyat di
tanah Minang itu memang memiliki watak yang puritan. Syafnir Aboe Nain mempertegas
watak purinitasme gerakan Padri yang berwatak Wahhabi itu sebagai berikut:
"Misi mereka adalah membersihkan bebagai pengaruh adat yang belawanan dengan ajaran
islam. ide ini timbul ketika mereka berkenalan dengan ajaran kaum wahabi Makkah saat
mereka menunaikan ibadah haji. Target yang mereka tuju ialah puritanisme. agama Islam
secara menyeluruh, yakni ketaatan mutlak terhadap agama, shalat lima waktu, tidak merokok,
dan berjudi serta menyabung ayam."
Perpecahan guru dan murid ini adalah awal sesungguhnya dari "Gerakan Paderi". Kelompok
radikal ini mendapat kekuatan baru pada tahun 1803 M. Ketika tiga ulama : Haji Miskin
(Pandai Sikat), Haji Sumanik (dari VIII Kota) dan Haji Piobang (dari Lima Puluh Kota)
pulang dari Mekah. Mereka pulang dengan membawa semangat Islam yang diilhami oleh
Gerakan Wahabi yang puritan, gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan geraka
wahabisme paderi. Menurut B.J.O. Schrieke (1973) dan juga Snouck Hurgronje (1887), kaum
Paderi bukanlah kaum Wahabi, dalam pengertian bahwa yang terakhir ini (wahabi)
menurutnya bukanlah penganut agama islam yang ketat. Lagi pula terdapat sejumlah
perbedaan lainnya. Kaum Wahabi, misalnya, menentang keras pemujaan terhadap Nabi, dan
kuburan keramat (orang suci). sesuatu yang tidak terlalu di perdiarkan oleh kaum paderi.
Lebih penting lagi, ide-ide pembaharuan social keagamaan di Minangkabau sebetulnyasudah
berlangsung jauhsebelu kepulangan beberapa orang tokoh Minangkabau dari perjalanan haji
mereka ke Mekkah.
Diantara kedudukan kaum paderi yang paling kuat adalah Bonjol. Disini didirikan benteng
yang cukup besar, didalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan tiga gubuk kecil. Ketika
Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun, ia digantikan oleh Muhammad Syahab atau
Pelo ( Pendeto) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir pada
tahun 1774, adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung Padang Bubus, Tanjung
Bungo. daerah Lembah Alahan Panjang. Perang saudara ini terus meluas dan kemudian
mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Pada waktu itu
di pantai Sumatera Barat yang berkuasa Inggris. kemudian menyerahkan kekuasaan itu
kepada kolonial Belanda disebabkan perjanjian London. Lalu kaum adat ini beralih minta
bantuan kepada Belanda untuk melawan kaum Paderi.
2. Perang Paderi
Perang Padri adalah peperangan yang jadi di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838¹ Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya kemudian suatu peristiwa pertentangan dalam masalah agama
sebelum berganti menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan
munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum
Hukum budaya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Norma budaya yang
dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, sirih, dan juga bidang hukum hukum budaya matriarkat mengenai warisan, serta
longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam 121 Tak telah tersedianya
kesepakatan dari Kaum Hukum budaya yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan norma budaya tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dituturkan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Hukum budaya dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung
saat itu Sultan Arifin Sultan Arifin Muningsyah Kaum Hukum budaya yang mulai terdesak,
menginginkan bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 Namun keterlibatan Belanda ini
justru memperumit mempunyainya, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Hukum budaya
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada
kesudahannya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang Paderi ada 3 periode yaitu
sebagai berikut :
A. Periode I 1821-1825
1. Belanda di bawah Letkol Raaf (bekas opsir tentara Napoleon) dapat menduduki
Batusangkar (didirikan Fort Van der Capellen)
2. Belanda yang terdesak berhasil mengadakan “Perjanjian Masang” 22 Januari 1824.
mengakui defacto daerah kekuasaan masing-masing, tetapi Belanda terus mengadakan
serangan kecil-kecilan. 3. Karena Belanda terdesak menghadapi perang Diponegoro
dikirimlah “Sayid Salimul-Jafrid “ (Arab) untuk dekati paderi. Hasilnya Perjanjian Padang
(1825) diadakan yang intinya menyatakan gencatan senjata.
B. Periode II 1825-1830
1. Kedua belah pihak berusaha menjaga statusquo, tetapi tetap stand by menjaga
kemungkinan serangan (suasana perang dingin).
2. Bentrokan kecil sering terjadi tetapi dapt diselesaikan karena Belanda bersikap lunak (?).
C. Periode III 1830-1833
1. Setelah Perang Diponegoro selesai, pepranganpun berkobar kembali.
2. Belanda mengirim Letkol Elout, Mayor Michiels (1831) dan kemudian 1832 Ali Basah
(Sentot).
3. April 1832 Bonjol menyerah, diikuti Luhak 50 kota bulan Desember 1832. Perang Paderi
pun berakhir, Namun perang dengan Belanda masih terus berlangsung.

3. Perang Minagkabau (1833-1837)


Kaum adat akhirnya menyadari arti kehadiran Belanda di daerahnya. Belanda membuat hal-
hal yang menyinggung perasaan. Mereka memunngut cukai pasar, kerja paksa untuk
kepentingan Belanda dan kekayaan lainnya. Hal itu menyebabkan golongan adat bersatu
dengan golongan paderi. Pertemuan rahasia diadakan di “Gunung Tandikat” Padang Panjang.
Diputuskan untuk mengusir Belanda dengan serangan serentak 11 Januari 1833. Serangan
serantak tidak terlaksanakan secara keseluruhan karena di Agam, Tanah Datar, rahasianya
bocor. Tahun 1833 Bosch (Kom. Jend) atang sendiri ke Minang, mengadakan observasi
penyiapan sistem Tanam Paksa di daerah ini. Ia memberi petunjuk tentang cara mengalahkan
Minangkabau yaitu dengan menduduki Bonjol. Tahun 1833 Belanda mengeluarkan maklumat
di Padang yang kemudian dikenal dengan “Plakat Panjang” (semacam surat selebaran).
Maka Belanda mendekati Kaum Paderi tetapi tidak berhasil. Tahun 1834, Bonjol diserang
kembali oleh Belanda, tetapi tidak berhasil merebutnya. Bonjol baru jatuh 25 Oktober 1837,
dan Imam Bonjol menyingkir. Belanda yang ingin menyelesaikan peperangan Imam Bonjol
diperkenankan hidup sebagai orang partikelir di Alahan Panjang. Iamam Bonjol kembali 28
Oktober, tetapi ditangkap dan dibawa ke Batavia kemudian Cianjur, Ambon dan terakhir
Minahasa. Perlawanan diteruskan oleh Tuanku Tambuse, kemudian keadaan selanjutnya dari
Tuanku Tambuse ini kurang jelas, ada dua kemungkinan:  Waktu menyingkir menyeberangi
sungai perahunya ditembak Belanda dan akhirnya karam. Tuanku Tambusai karena luka-luka
meninggal di hutan.  Tuanku Tambusai terus mengembara dengan anak buahnya di hutan,
dan akhirnya tanpa berita.
C. Akhir Perlawanan

Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit
saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang
untuk mengajak berunding Kemudian Tuanku Imam Bonjol mencetuskan kesediaannya
melakukan perundingan. Perundingan itu dituturkan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya.
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berjalan. Tuanku Imam Bonjol
diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata Tapi hal itu
cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan
Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke
Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang untuk kemudian diasingkan. Namun pada
tanggal 23 Januari 1838, dia dialihkan ke Cianjur, dan pada kesudahan tahun 1838, dia
kembali dialihkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol
kembali dialihkan ke Menado, dan di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan
selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol
menghembuskan nafas terakhirnya

Kesudahan peperangan

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam
Bonjol sukses ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai
kesudahannya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang saat itu telah
dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 18380) Jatuhnya benteng tersebut
memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya, dan kesudahannya peperangan ini dianggap selesai
kemudian Kerajaan Pagaruyung dikuatkan menjadi ronde dari Pax Neerlandica dan wilayah
Padangse Bovenlanden telah telah tersedia di bawah pengawasan Pemerintah Hindia
Belanda. Hingga tahun 1833, perang ini dapat dituturkan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin
oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Hukum budaya dipimpinan oleh Yang
Dipertuan Pagaruyung saat itu Sultan Arifin Sultan Arifin Muningsyah Kaum Hukum budaya
yang mulai terdesak, menginginkan bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 Namun
keterlibatan Belanda ini justru memperumit mempunyainya, sehingga sejak tahun 1833
Kaum Hukum budaya berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri,
walaupun pada kesudahannya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakat yang disebut Kaum Hukum budaya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan
sekitarnya. Norma budaya yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan
madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga bidang hukum hukum budaya matriarkat
mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dituturkan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Hukum budaya dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung
saat itu Sultan Arifin Sultan Arifin Muningsyah Kaum Hukum budaya yang mulai terdesak,
menginginkan bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 Namun keterlibatan Belanda ini
justru memperumit mempunyainya, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Hukum budaya
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada
kesudahannya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA

Erman. (2015). Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan Kolonialisme di Bidang


Pendidikan. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Vol. 3 No.1, 1-21.

Lionar, U., Mulyana, A., & Yulifar, L. (2020). Plakat Pajang Hingga Perang Kamang : Geerakan Rakyat
Minangkabau Menentang Pajak Kolonial Belanda. Jurnal Kajian, Peneltian, dan
pengembangan Pendidikan Sejarah Vol. 5 No. 2, 113-122.

Sanusi, I. (2018). Kolonialisme Dalam Pusaran Konflik Pembaharuan Islam . Majalah Ilmiah Tabuah
Vol.22 No. 1 , 1-16.

Anda mungkin juga menyukai