Anda di halaman 1dari 7

Nama : Riannaldi Eriza Permana

NIM : 18046173

Mata Kuliah : Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau

Tugas 4

Minangkabau Dari Zaman Pra Sejarah Hingga Periode Hindu Budha

1. Pra Sejarah Minangkabau


1.    Zaman Batu Tua (Paleoliticum)
     Pada 300.000 tahun yang lalu Sumatera masih kosong.
2.    Zaman Batu Tengah (Mesoliticum)
Pada 5000 – 100.000 tahun yang lalu ada bukit-bukit kerang di pantai
pulau Sumatera, pertanda sudah ada penghuni (penduduk). Pusat
kebudayaannya di Torikui (Madelaini Colani, ahli sejarah Prancis).
3.    Zaman Batu Baru (Neoliticum)
Campuran manusia masa ini dengan rasa melayu, sisanya orang kubu,
orang sakai, talang mamak, dan orang rupit. Di utara Minangkabau pada masa
dahulunya pernah berdiam suatu kaum pengelana di hutan, dikaitkan dengan
kalimat dalam tambo, “urang nan bajawikan ruso, baatokan sikai,
badindiangkan baniak kayu”.
Gelombang kedatangan pertama yang memasuki wilayah Minangkabau
sekarang adalah 2500 sebelum Masehi. Gelombang kedua sekitar 500 sebelum
masehi, mereka berlayar dengan perahu bercadik masuk melalui kuala sungai
di pantai timur Sumatera Tengah. Gelombang ketiga adalah pasca kekuasaan
Iskandar Zulkarnain tahun 356 – 323 sebelum masehi. Anak raja Philip ini
ingin menguasai India, Mesir, dan Babilonia.
Salah seorang pegawai Iskandar Zulkarnain telah melihat kapal orang
Sumatera berlalu lintas di antara Sumatera dan bandar perdagangan di India.
Catatan lain mengungkapkan bahwa seorang utusan yang diterima menghadap
Claudius pada pertengahan abad pertama masehi adalah orang Minangkabau.
Kalau hal ini dikaitkan dengan Tambo, maka jelaslah yang datang ke
Pariangan yaitu Maharajo Dirgo, Indojati, Cati, Anjiang Mualim, Kambing
Hutan, merupakan kiasan terhadap unsur penguasa, pedagang dan masyarakat.
Kedatangan itu bertahap sejak 323 sebelum masehi sampai berdirinya kerajaan
Sriwijaya.
Bukti-bukti zaman prasejarah adalah kaba-kaba yang secara tersirat
menggambarkan kekuasaan Minangkabau (Swarnabhumi) pada masa lampau.
Secara fisik dijumpainya menhir diluhak Limopuluah Koto sebagai indikasi
daerah Minangkabau dulunya yang pernah di pengaruhi oleh kebudayaan yang
datang dari Indocina. Seperti Kerajaan Funan, misalnya, yang sangat
memungkinkan mempengaruhi kebudayaan suku Minangkabau.

2. Minangkabau Periode Hindu Budha


Digolongkan kepada masa setelah adanya tulisan pada benda-benda
peninggalan sejarah seperti patung, candi, dan sebagainya. Akhir zaman pra
sejarah adalah dimulainya zaman tulisan. Menurut catatan sejarah (Abdul
Kiram dan Yeyen Kiram: Raja-Raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah.
2003) menyatakan bahwa rombongan panglima Iskandar Zulkarnain yang
datang ke Minangkabau itu adalah rombongan Antagonos, rombongan ini
bertemu dengan rombongan dari Mongolia yang telah datang lebih awal di
kawasan tersebut (diduga suku-suku Jambak, Pitopang, Melayu, dan
Bendang). Rombongan Antagonos ini masuk melalui selat Malaka terus ke
Kampar Sungai Siak, yang ke Sungai Kampar bertahan di hulunya (kemudian
disebut pintu rajo India) dan melanjutkan ke Batang Mahek (Mahat, diambil
dari nama negeri yang mereka tinggalkan di India Selatan).
Sebahagian rombongan menduduki batang Indragiri hilir sampai ke
Baserah (nama negeri di Irak), maka diyakini rombongan inilah yang
membawa peninggalan neolitik yang banyak dijumpai di kabupaten
Limapuluh Kota. Zaman sejarah di Minangkabau sudah dimulai sebelum
tahun 400 masehi, hal itu dibuktikan dengan beberapa situs-situs seperti yang
terdapat di daerah Guguk, Balubuih, Koto Tinggi di Mahek. Pengaruh India,
Cina, dan Parsi ikut mempengaruhi kedatangan nenek moyang orang
Minangkabau.
Pada zaman sejarah dalam era 400 – 683 diperkirakan munculnya
kedatukan Pariangan yang dipimpin oleh Dt. Sori Dirajo sebagai penggagas.
Dilanjutkan dengan Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Marajo Basa (Pariangan
Padang Panjang).
Antara awal abad ke 6 tahun 500 M dan abad 14, terdapat fase-fase
perkembangan agama, yaitu:
 Agama Budha (Hinayana) 500 - 600 M
 Agama Islam (Suriah) 670 - 730 M
 Agama Budha (Mahayana) 780 - 1000 M
 Agama Islam Syiah 1150 - 1350 M
Itsing, seorang pendeta Budha dari Cina yang menulis dalam buku berita
perjalanannya ke India tahun 674 M, singgah di Minangkabau bahagian timur,
dan menceritakan tentang hari yang sama panjanganya antara siang dan
malam, serta tanahnya yang subur, lalu masyarakatnya yang telah beradat.
Islam Suriah pada abad ke 7 dan 8 masuk ke daerah bandar Sriwijaya
Muaro Sabak/Jambi dan mengislamkan Maharaja Indrawarman. Dua kekuatan
dagang yang berpengaruh saat itu adalah Khalifah Umayya di Arab dan
Dinasti Tang di Cina. Dinasti Tang adalah penyebar agama Budha Mahayana,
akibat kuatnya kekuasaan Dinasti Tang dan Sriwijaya, maka armada Islam
yang dikembangkan Umayyah di Minangkabau timur lumpuh.
Setelah Sriwijaya lumpuh, maka Islam Syiah bangkit kembali di daerah
Kuntu, buktinya banyak kuburan-kuburan hilang dijumpai di Kuntu dan
bertahun 1008 – 1350 M.
Di Minangkabau pada saat tahun 683-1008 M telah terjadi pengembangan
Pariangan ke lima kaum dan ke sungai tarab, sudah terbentuk tiga sistem
keselarasan yaitu lareh nan panjang (pimpinan Dt. Bandaro Kayo), lareh nan
gadang (Koto piliang) pimpinan Dt. Bandaro Putiah di sungai tarab, dan lareh
nan bunta disusun limo kaum pimpinan Dt. Bandaro Putiah.
Sumber-Sumber Sejarah Tertua Tentang Kerajaan di Minangkabau
Sumber-sumber sejarah Minangkabau periode pra kolonial amat
terbatas, sehingga rekonstruksi sejarah dalam periode itu agak sukar untuk
dilakukan. Sampai saat ini sumber-sumber tertua tersebut kebanyakan
adalah dalam bentuk lisan (kaba), sumber tertulis dalam bentuk tambo,
dan peninggalan-peninggalan arkeologis (kepurbakalaan).
Kaba adalah bentuk tradisi lisan masyarakat Minangkabau
yang diwariskan secara turun termurun dari satu generasi pada
generasi yang lain. Sesuai dengan sifat lisannya maka kaba amat mudah
untuk berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain.
Kaba banyak bercerita tentang asal usul orang Minangkabau, serta
perkembangan kehidupan orang Minangkabau kemudian, paling tidak
sampai tertancapnya kekuasaan kolonialis Belanda di Minangkabau (abad
19). Kaba juga penuh dengan unsur mitos dan legenda, sehingga sukar
untuk mengolahnya sebagai data sejarah.
Bangunan bangunan megalhitikum sebagai peninggalan pra sejarah
Minangkabau terutama di temukan di daerah Lima Puluh Kota, yakni Situs
Megalhit Bawah Parit, Situs Megalhit Ampang Gadang, Situs Megalhit
Sungai Talang, Situs Megalhit Bawah-Bawah Batu, Situs Megalhit
Balubus, Situs Megalhit Bukit Parasi, Situs Megalhit Guguk
Nunang, Situs Megalhit Guguk, dan Situs Megalhit Limbanang (Tim MSI
Sumatera Barat, 2002: 35 – 51).
Sementara goa-goa pra sejarah antara lain dapat disebutkan Goa
Balik Bukik di Kecamatan Harau, Kabupaten Limo Puluh Kota; Goa
Bukik Kaciak; Goa Bukik Gadang; Goa Bukik Dalimo; Goa Bukik
Panjang; dan Goa Taram.
Dalam pada itu prasasti-prasasti yang ditemukan pada umumnya
adalah peninggalan zaman Hindu Budha di Minangkabau, khususnya
berasal dari zaman raja Adityiawarman, yang diperkirakan berkuasa
sekitar abad XIV. Sebagian besar prasasti itu ditemukan di daerah
Kabupaten Tanah Datar, tersebar di berbagai tempat, seperti
Pariangan, Rambatan, Tanjung Emas, dan Limo Kaum (MSI Sumatera
Barat, 2002: 72 – 87).
Kerajaan Pagaruyung
Berdirinya Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau
berawal dari suatu Ekspedisi Pamalayu (1275) yang dilakukan
Kertanegara selaku raja Singosari. Dalam rangka menghadapi ancaman
dari Kubilai Khan penguasa Mongol yang ganas dan kejam,
Kertanegara telah mengirim suatu utusan kepada raja-raja Melayu di
Sumatera dengan tujuan untuk mencari dukungan.
Sekembalinya tentara Singosari ke Jawa pada tahun 1294 dalam
misi Pamalayu itu, mereka membawa dua orang putri Melayu, yakni
Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak kemudian dipersunting oleh
Kertarajasa, raja Majapahit pertama, sedangkan Dara Jingga kemudian
kawin dengan seorang bangsawan Majapahit, yang kemudian
melahirkan Adityawarman, raja Pagaruyung pertama (M.D. Mansoer,
1970: 56 – 57).
Sebagai seorang bangsawan dan perwira Majapahit, pada tahun
1347 Adityawarman dinobatkan sebagai raja Melayu, yang
sepenuhnya berada di bawah kerajaan Majapahit. Adityawarman
memusatkan kekuasaannya di daerah Damasraya di hulu sungai Batang
Hari. Namun pada tahun 1349 Adityawarman memindahkan
kekuasaannya jauh ke pedalaman Minangkabau, yang kemudian dikenal
sebagai Kerajaan Pagaruyung. Alasan pemindahan pusat kekuasaan itu
kepedalaman Minangkabau diperkirakan didorong oleh kepentingan
politis, yakni dalam rangka menghindarkan pengaruh Majapahit yang
demikian besar; serta oleh kepentingan ekonomis guna mendapatkan
sumber ekonomi yang lebih menjanjikan di pedalaman Minangkabau.
Perkembangan kerajaan pagaruyung sepeninggal raja
Adityawarman tidak dapat diketahui dengan baik. Hal ini berlangsung
sampai abad ke XVI. Keterangan tentang kerajaan Pagaruyung baru
diperoleh kembali pada masa pemerintahan Sultan Alif pada tahun
1506. Pada masa kekuasaan Sultan Alif ini kerajaan Pagaruyung tidak
lagi bercorak Budha Tantrayana, melaincan sudah bercorak Islam.

Sumber
1. M.D.Mansor,dkk, 1970. Sedjarah Minangkabau, (Jakarta:Bhratara)
2. Darman Munir, et. Al. 1993. Minangkabau. (Jakarta:Yayasan Gebu Minang)
3. Cornellis Snouck Hurgrenje, 1973. Islam di Hindia Belanda, Edisi
Terjemahan .(Jakarta:Bhratara)

Anda mungkin juga menyukai