Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEJARAH dan KEBUDAYAAN MINANGKABAU

“Minangkabau Periode Hindu Budha”

Dosen Pengampu:

Drs. Etmi Hardi, M.Hum

Uun Lionar,S.Pd, M.Pd

Kelompok 2

Wahyu Mardhatillah 17046042

Nursyifa Azzura 17046175

Nurvadilla Ramadhani 17046176

Marchelina Nurfa Putri 17046116

Jerry Prastito 17046069

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. Karena atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk sebaik
mungkin yang membahas tentang “Minangkabau Periode Hindu Budha”.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi para pembaca dalam mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer . Harapan kami,
semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan, karena pengalaman yang kami miliki
masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, hanya
kepada Allah kami bersyukur atas selesainya makalah ini, semoga Allah swt memberikan
petunjuk kepada kita semua.

Padang, September 2019

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jika membicarakan pengaruh Hindu maka tidak akan pernah lepas dari India. Karena
negara tersebut merupakan asal dari agama tersebut. Pengaruh India sudah lama ada di Sumatera
Barat, berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke Sumatera Barat
sejak masa pra-sejarah. Sejak abad ke-4 dan ke-5 pengaruh India menjadi semakin jelas. Bahasa
Sansekerta digunakan dalam berbagai prasati. Dan kemudian sejak abad ke-7 huruf India
semakin sering dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa setempat. Pengaruh kebudayaan ini
terutama bahasanya melebar dari Minangkabau hingga beberapa daerah bagian tengah pulau
Sumatera.

Penetrasi kebudayaan Hindu yang berasal dari India Selatan masuk melalui satu kota
pelabuhan yang dulu merupakan salah satu kota dagang tertua, terbesar, dan paling intersional
dibandingkan dengan kota-kota pelabuhan manapun di kepulauan Nusantara ini. Kota pelabuhan
yang dimaksud adalah Barus. Melalui kota dagang inilah kebudayaan India yang oleh para
pedagang India Selatan terutama bangsa Tamil masuk ke Sumatera Barat.Pengaruh Hindu dan
Buddha di Sumatera bagian tengah telah muncul pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa
pengiriman ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara dan kemudian pada masa pemeritahan
Adityawarman dan putranya Ananggawarman.Beberapa kawasan sumatera bagian tengah sampai
kini masih dijumpai pengaruh agama Buddha antara lain kawasan Percandian Padangroco,
Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja sumber-sumber sejarah kerajaan yang bercorak Hindu Budha di
Minangkabau?
2. Bagaimana bukti-bukti peninggalan kerajaan Hindu Budha yang ada di
Minangkabau?
3. Kerajaan- kerajaan di Minangkabau yang bercorak Hindu Budha?

C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana Minangkabau pada
masa Hindu Budha, lalu sumber-sumber dan peninggalan apa saja yang ada dan bagaimana
dengan kerajaan-kerajaan yang becorak Hindu Budha yang ada di Minangkabau.
BAB II

PEMBAHASAN

A. SUMBER-SUMBER SEJARAH

Beberapa fenomena pengaruh Hindu ada dalam kebudayaan dan peninggalan sejarah
Minangkabau tetapi beberapa karya sejarah tidak menuliskan khusus sejarah Hindu. Periode
Budha justru lebih mengemuka. Ini sering dilakukan oleh para sejarawan untuk Asia Tenggara
seperti tulisan George Coedes umpamanya yang menulis Asia Tenggara Masa Hindu Budha.
Dalam penulisan sejarah Minangkabau penulisan zaman pengaruh Hindu juga tidak kelihatan,
yang diulas adalah pengaruh Budha. Rasjid Manggis dan MD Mansoer membagi sejarah
Minangkabau klasik dengan empat fase:
1. Fase Budha (Hinayana) 500-600
2. Agama Islam (Sunnah) 670-730
3. Agama Budha ( Mahayana ) 680-1000
4. Agama Islam Syiah 1100-1350
Tidak adanya fase Kebudayaan Hindu di Minangkabau tentu berkaitan dengan kekuasaan
yang berlangsung. Namun diduga pengaruh Hindu bersamaan dengan pengaruh India ke wilayah
Nusantara sekitar abad ke 4 -6. Dalam masa indianisasi berlangsung begitu dalam ke wilayah
Nusantara. Dalam masa ini, Kerajaan Kantoli (dianggap sebagai cikal Sriwijaya) juga pernah
mengutus seseorang bergama Hindu ke Cina. Keterbukaan dunia Melayu dari sisi geografis dan
budaya sangat memungkinkan pengaruh India masuk ke wilayah ini.
Bagi Minagkabau abad ke-6 merupakan abad yang sangat penting, pruduksi lada yang
terkenal membuat para pedagang dari berbagai bangsa seperti India, Cina dan Arab datang untuk
berdagang. Beberapa pedagang memberitakan mengenai keelokan negeri Minangkabau.
Umpamanya It sing seorang pendeta Budha menyebutkan bahwa ia pernah singgah di sebuah
tempat di Minangkabau Timur. Daerah itu sangat subur dan kaya. Pada masa berikut, abad ke14,
masa pemerintahan adityawarman disninyalisr dibaca oleh Moens dari Prasasti Bandar Bapahat
bahwa banyak migrasi dari India datang ke wilayah Minangkabau.

Sumber- sumber sejarah tentang pengaruh Hindu Budha di Minangkabau dapat dilihat
dari :
1. Prasasti Adityawarman
Prasasti Adityawarman adalah salah satu peninggalan bersejarah yang dimiliki oleh
masyarakat Minangkabau. Cagar budaya tersebut terletak di pinggir jalan lintas Batusangkar-
Sumatera Barat; yang tidak begitu jauh dari Istana Pagaruyung. Masyarakat Minangkabau lebih
mengenal prasasti Adityawarman dengan Batu Basurek. Huruf yang dipahat pada batu prasasti
adalah huruf Jawa kuno. Sedangkan bahasa yang dipakai adalah Sangsekerta bercampur dengan
sedikit bahasa Melayu kuno. Isi Prasasti tersebut berupa puji-pujian terhadap Adityawarman
sebagai penganut Budha Bairawa. Adityawarman adalah salah satu raja pada Kerajaan
Pagaruyung, Minangkabau (Sumatera Barat). Disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman
memproklamirkan diri menjadi raja Malayapura (baca: Minangkabau) yang dirujuk menjadi
kerajaan Melayu yang berada di Dharmasraya. Adityawarman sendiri merupakan anak dari Dara
Jingga yang merupakan putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya bersama-sama
Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang. Pada masa
pemerintahannya, kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah
pedalaman.

2. Prasati Kubu Rajo 1


Prasasti Kuburajo I dipahatkan pada batu persegi, ditulis dengan huruf Jawa Kuno
dengan bahasa Sanskerta. Penulisan dari manuskrip pada prasasti ini tidak terstruktur, dan
banyak keanehan dalam tatabahasanya, teks manuskrip ini terdiri dari kata-kata tunggal dan
majemuk tanpa struktur kalimat yang lengkap. Isi yang termuat dalam prasasti Kuburajo I berupa
suatu keterangan genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman,antara lain menyebutkan:
‘Adwaya-warmma mputra kanakamedinindra’ yang berarti Adwayawarma yang berputra Raja
Tanah Emas. Adwayabrahma dapat diidentifikasikan sebagai Adwaya-warman.
Dari catatan sejarah dan naskah Jawa Kuna, diketahui bahwa Adityawarman merupakan
keturunan kerajaan Melayu Dharmasraya dari seorang ibu Melayu bernama Dara Jingga dan
seorang bangsawan Kerajaan Singasari bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma adalah pejabat
dari Kerajaan Singasari yang dikirim Krtanegara untuk mengiringi pengiriman arca Amoghapasa
ke Suwarnabhumi. Sedangkan kalimat kanakamedini diidentikan dengan Swarnnabhumi
atau swarnnadwipa yang mengacu pada arti tanah emas. Dengan demikian sebutan raja tanah
emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman.
Kalimat berikutnya arti dari kata-kata yang terpahat adalah berisi tentang syair pujian dari
Adityawarman untuk menjelaskan kedudukan dan keutamaannya. Dalam keterangannya
Adityawarman dianggap sebagai keturunan dari Wangsa Kulisadhara, yakni nama lain dari
Dewa Indra atau Dewa Matahari.

3. Prasasti Kubu Rajo II


Prasasti Kuburajo II disebut juga sebagai Prasasti Surya karena ditulis di sekeliling
pahatan matahari yang diletakkan bagian tengah batu. Tulisan pada prasasti ini sudah cukup
menipis bagian hurufnya, ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan bahasa
campuran, yaitu Sanskerta dan Jawa Kuno, terdiri dari delapan baris tulisan. Beberapa kata yang
berhasil dibaca antara lain menyebut “rama” yang dapat berarti ketua desa atau mungkin dapat
berarti yang lain sesuai dengan konteks kalimatnya, “puri” dan “sthana” yang berarti tempat
peristirahatan di istana, dan “srima” yang merupakan penggalan dari kata sri maharaja. Prasasti
ini tidak memiliki angka tahun, tetapi prasasti ini didukung oleh dua buah batu yang bergambar
surya (prasasti Surya II), berupa pahatan tujuh helai daun, dan tiga buah kuncup bunga. Batu
berhias surya yang berada di sisi barat ini merupakan batu yang mengandung angka tahun, yaitu
berupa piktogram atau gambar yang mengandung nilai angka tertentu.
Selanjutnya terdapat pula batu yang bergambar kura-kura. Binatang ini dipahatkan
dengan kepala di bawah, badan segi enam, lingkaran di tengah badan, dan ekor di atas disertai 2
garis lengkung mengapit bagian ekor.. Dari gambar tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:
lingkaran di tengah dapat disamakan dengan surya yang bernilai 12, badannya bernilai 6 ,
kepalanya bernilai 1. Dengan demikian tersusun angka tahun 1261 Saka atau 1339 M. Angka
tahun ini merupakan angka tahun tertua dari semua prasasti yang dikeluarkan Adityawarman.

B. PENINGGALAN HINDU-BUDHA
Pulau Sumatera (Svarnabhumi) memiliki beberapa peninggalan dari masa klasik (masa
pengaruh Hindu/Budha) antara lain berupa candi. Candi-candi yang ada di Sumatera Barat belum
banyak diketahui, kecuali kalangan tertentu yang berkepentingan dengan penelitian. Pengaruh
budaya Hindu-Budha di Sumatera Barat berdasarkan bukti-bukti yang ada dimulai pada tahun
1208 Saka atau 1286 M, yaitu sejak peristiwa Ekspedisi Pamalayu. Dari sumber sejarah
Indonesia Kuno, khususnya berupa naskah Jawa Kuno seperti Kitab Pararaton dan Kitab
Negarakrtagama, disebutkan bahwa tahun 1275 M Raja Kertanagara mengirimkan tentaranya ke
Malayu. Pengiriman tentara yang dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu ini dimaksudkan
untuk menjalin persahabatan antara Singhasari (Jawa) dengan Malayu Dharmasraya (Sumatera)
untuk bersama-sama menahan ekspansi Kaisar Khubilai Khan dari Cina.
Untuk mempererat persahabatan kedua kerajaan tersebut, Kertanegara kemudian
mengirimkan Arca Amoghapasa pada tahun 1286 M kepada Raja Srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa yang berkuasa di Malayu Svarnabhumi. Amoghapasa merupakan pahatan
kelompok arca yang terdiri dari dewa Amoghapasa, sejenis penjelmaan Boddhisattwa
Awalokiteswara (salah satu dewa dalam agama Budha) yang bersifat demonis (menakutkan),
diiringi dengan 13 dewa-dewa lainnya. Arca tersebut kemudian ditempatkan di Dharmasraya
(Marwati Djoened, 1990:83–85), sebuah tempat yang oleh para ahli diduga sebagai pusat
kerajaan Malayu Svarnabhumi. Arca Amoghapasa ini kemudian ditemukan kembali di
Rambahan, sedangkan lapik (alas) arcanya ditemukan terpisah sekitar 7 km dari Rambahan, yaitu
di Padangroco (Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat). Belum diketahui dengan pasti
penyebab terpisahnya arca dengan lapiknya tersebut.
Situs-situs di sepanjang DAS Batanghari semenjak abad XIX telah menjadi bahan
penelitian yang berkesinambungan. Orang Belanda yang pertama kali menaruh perhatian
terhadap kepurbakalaan di DAS Batanghari adalah Verkerk Pistorius (1868), seorang kontrolir
Belanda, yang menulis bahwa di DAS Batanghari pernah berkembang kebudayaan Hindu.
Kemudian dalam perjalanannya ke pedalaman Sumatera Barat tahun 1920, Van Stein Callenfels
menguraikan tentang adanya sisa sisa bangunan candi bata di tempat ditemukannya arca
perwujudan Adityawarmman. Pada tahun 1935, F.M. Schnitger melanjutkan penggalian dari
hasil laporan Callenfels. Tahun 1956 dan 1987, JG de Casparis meneliti secara intensif prasasti-
prasasti masa Adityawarmman yang banyak ditemukan di wilayah Batusangkar. Peneliti-peneliti
Belanda lainnya yang khusus menulis tentang temuan arca dan prasasti yang ada di DAS
Batanghari antara lain Van den Bosch, Kern, Pleyte, Cohen Stuart, dan Stutterheim.
Di Situs Pulau sawah terdapat 9 buah munggu (gundukan tanah) yang mengandung
struktur bata di dalamnya. Dari 9 buah munggu tersebut telah berhasil dilakukan ekskavasi
terhadap 2 buah munggu dan kemudian diketahui bahwa ternyata munggu masih menyisakan
struktur bangunan candi bata yang masih dapat direkonstruksi bentuk kaki candinya. Bangunan
di Situs Pulau Sawah juga memiliki ciri khusus, yaitu dikelilingi oleh anak-anak sungai di sekitar
kompleks bangunannya.
Dari ekskavasi pada salah satu munggu, yang kemudian disebut sebagai Candi
Pulausawah I, diketahui bahwa ukuran bangunan tersebut 7,40 x 6,50 m. Sisi utara dan selatan
membentuk penampil dua buah. Dari pengamatan fisik diketahui bahwa bata-bata tersebut
berkualitas cukup baik dan dibuat dari bahan kaolin yang dicampur dengan tanah liat berpasir.
Suhu pembakarannyapun sudah cukup tinggi. Berdasarkan pada ukuran, ada tiga jenis ukuran
bata, yaitu ukuran 38 x 21x 7 cm, 43 x 23 x 8 cm, dan 41 x 21 x 8 cm. Selain struktur bangunan
yang tersusun dari bata, juga ditemukan struktur yang tersusun dari batu kali (andesit) yang
mengelilingi bagian kaki bangunan.
Di samping Candi Pulau Sawah, di seberang sungai (arah perkampungan) terdapat situs
lagi yang disebut dengan Situs Candi Bukik Awang Maombiak. Lokasinya berada di dalam
hutan karet milik penduduk setempat. Dari hasil penggalian yang pernah dilakukan diketahui
bahwa di situs ini terdapat bangunan bata yang diduga sebagai candi. Bangunan ini masih
menyisakan bagian kaki candi yang sudah rusak, sedangkan pada bagian tubuh ke atas sudah
hilang. Pada salah satu kotak galian pernah ditemukan hiasan makara yang biasanya diletakkan
pada arah pintu masuk. Kondisi bangunan yang tersisa sudah cukup parah tingkat kerusakannya,
sehingga sulit untuk menentukan bentuk dan denah bangunan aslinya.
Pada bagian hulu DAS Batanghari masih ditemukan adanya situs, yaitu Situs Rambahan.
Situs ini merupakan situs yang penting karena merupakan lokasi ditemukannya Arca
Amoghapasa yang dikirimkan oleh Kertanagara untuk Kerajaan Malayu Dharmasraya. Situs ini
berada di daerah persimpangan antara Sungai Batanghari dan Sungai Pingian (anak Sungai
Batanghari). Pada areal Situs Rambahan atau situs Bukik Braholo saat ini dimanfaatkan untuk
kebun karet penduduk setempat. Penampakan yang dijumpai hanya berupa bekas tanggul tanah
yang membatasi lokasi situs dengan tebing Sungai Batang Pingian. Bekas tanggul ini sudah
hampir rata dengan permukaan tanah di sekitarnya.
Tidak jauh dari Situs Pulau Sawah, sekitar 5 km ke arah hilir, terdapat Situs Padangroco
(sekarang lebih dikenal sebagai Situs Sungailangsat). Keberadaan situs ini dilaporkan
pertamakalinya oleh Westenenk pada tahun1909. Dalam laporannya, ia menguraikan bahwa di
Padangroco telah ditemukan gundukan bata yang dikelilingi parit buatan. Keterangan serupa
diberitakan juga oleh Schnitger tahun 1937 yang menyebutkan bahwa di daerah Padang Roco
telah ditemukan Arca Bhairawa dan candi bata. Berbeda dengan Amoghapasa, Arca Bhairawa
sering ditafsirkan sebagai perwujudan Raja Adityawarmman yang sedang melakukan upacara
pengorbanan hewan atau mayat. Arca ini berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton. Arca ini
dulunya diletakkan di tepian Sungai Batanghari.
Di situs Sungai Langsat terdapat kompleks percandian yang dinamakan Candi
Padangroco. Kegiatan ekskavasi (penggalian arkeologis) di Candi Padangroco pertama kali
dilakukan pada tahun 1992 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumbar-Riau dan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dari hasil penggalian telah ditemukan 3 buah bangunan
candi, yang terdiri dari candi induk dan candi perwara (pengiring). Pemugaran terhadap candi
tersebut dilakukan sejak tahun 1995 sampai 2004 melalui Proyek Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Kepurbakalaan Sumatera Barat.
Bangunan Candi I terdiri dari konstruksi susunan bata, berdenah bujur sangkar berukuran
21 x 21 m, dan tinggi bangunan yang tersisa 0,90 m. Pintu dan tangga masuk terdiri dari 4 buah
dengan orientasi barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya.
Candi II merupakan candi bata, berdenah bujur sangkar, berukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi
bangunan yang masih tersisa sekarang 1,28 m. Pintu masuk dan tangga yang menjadi arah hadap
terletak di sisi barat sehingga bangunan tersebut berorientasi ke barat daya-timur laut. Candi II
ini sudah selesai dipugar.
Candi III merupakan bangunan bata, berdenah bujur sangkar terdiri dari 3 undakan.
Undakan pertama terletak paling atas berukuran 2 x 2 m, dengan tinggi bangunan yang masih
tersisa terletak di bagian selatan, terdiri dari 7 lapis bata. Bangunan Candi III mempunyai
teknologi pemasangan yang berbeda dengan Candi I, dimana pondasi candi langsung diletakkan
di atas tanah asli yang telah diratakan permukaan tanahnya. Jika dilihat dari pola susun batanya,
candi ini mempunyai pola susun teratur. Hal ini ditunjukkan oleh kesamaan pola susunan bata
antara satu dengan yang lainnya.
Masih di sekitar DAS Batanghari, sekitar 6 km ke arah hilir terdapat Situs Padanglaweh.
Situs Padanglaweh secara administratif berada di Nagari Padanglaweh, Kecamatan Sitiung,
Kabupaten Dharmasraya. Lokasi situs ini relatif jauh dan berada di daerah pedalaman di sekitar
daerah Perkebunan Kelapa Sawit Desa Timpe VII. Di situs ini ditemukan sebaran bata-bata kuno
di atas permukaan tanah. Adapun lokasi keberadaan candinya belum diketahui dengan pasti.
Selain di sekitar DAS Batanghari yang mempunyai peninggalan dari masa klasik, daerah
lain yang mempunyai tinggalan candi adalah Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Di daerah ini
terdapat beberapa bangunan candi yang diduga berasal dari masa yang sama dengan masa
Adityawarmman, sekitar abad XII–XIV M, yaitu Candi Tanjung Medan dan Candi Pancahan.
Candi Tanjung Medan terletak sekitar 20 km arah utara dari Kota Lubuk Sikaping dan secara
administratif berada di wilayah Tanjung Medan, Nagari Petok, Kecamatan Panti, Kab. Pasaman.
Secara geografis, Candi Tanjung Medan berada pada tanah dataran, dengan ketinggian sekitar
300 m di atas permukaan laut. Situs tersebut relatif dekat dengan dua buah sungai yang
mengelilinginya, yaitu Sungai Batang Sumpur dan Pauh Gadis. Pada saat ini, di sebalah barat
candi terdapat saluran irigasi yang berbatasan dengan pagar candi. Candi Tanjung Medan
ditemukan secara tidak sengaja pada saat pembangunan irigasi yang memotong bangunan candi.
Oleh Balai Pelestarian jalur irigasi yang semula memotong bangunan candi tersebut kemudian
dibelokan sekitar 100 m ke sebelah baratnya. Sampai saat ini sumber sejarah yang berkaitan
langsung dengan Candi Tanjung Medan belum ditemukan, sehingga latar sejarah candi tersebut
secara pasti belum diketahui. Namun demikian, berdasarkan sisa-sisa candi yang ditemukan
menunjukkan adanya kesamaan dengan candi yang berada di sepanjang DAS Batanghari yang
secara periodisasi berasal dari abad XIII–XIV M. Adapun latar belakang keagamaannya,
berdasarkan temuan lempengan emas (yang di dalamnya terdapat mantra-mantra Budha) oleh
EE. Mc. Kinnon dipastikan bahwa Candi Tanjung Medan berlatar belakang agama Budha.
Di kompleks Candi Tanjung Medan terdapat 6 buah bangunan yang tersebar pada areal
seluas ± 18.000 m2. Dari 6 buah bangunan yang ditemukan tersebut yang masih dalam proses
pemugaran adalah Candi I, II, dan Candi VI, sedangkan candi-candi lainnya hanya merupakan
struktur bata yang menyisakan beberapa lapis bata saja dengan kondisi rusak. Candi I berbentuk
bujur sangkar berukuran 8,9 x 8,9 m2 dengan tambahan penampil di sisi timur berukuran 4,05 x
2,95 m2. Candi II berukuran 8,88 x 8,88 m2 dengan tambahan penampil 2 buah berukuran 2,56
m x 1,4 m. Bangunan candi II ini diduga sebagai perwara dari candi induk (Candi I). Candi VI
berbentuk bujur sangkar berukuran 11,7 x 11,7 m. Candi VI ini diduga sebagai gapura pintu
masuk ke situs tersebut.
Tidak jauh dari Candi Tanjung Medan kira-kira sekitar 10 km ke arah utara terdapat
Candi Pancahan. Kondisi candi ini tinggal puingpuing pada bagian kakinya. Bata-batanya
berserakan dan sudah banyak yang hilang. Namun, sebagai bagian dari hasil kebudayaan yang
hilang di Sumatera Barat, candi ini tetap sebagai data arkeologis yang sangat penting.
Bukti-bukti lain yang berasal dari masa Hindu-Budha selain candi adalah batu-batu
bersurat (prasasti) yang banyak terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Kabupaten ini merupakan
daerah yang terkaya dengan peninggalan prasasti dari masa Melayu Kuna (sekitar abad ke13/14
M). Prasasti-prasasti tersebut sebagian besar dikeluar-kan oleh Raja Adityawarmman yang
memerintah sekitar pertengahan sampai seperempat akhir abad XIV M. Sumber sejarah
Indonesia Kuna (naskah) menyebutkan bahwa Adityawarmman adalah anak Dara Jingga yang
merupakan salah satu putri raja Melayu dengan keluarga Kerajaan Singhasari yang bernama
Dewa. Perkawinan ini menurunkan anak yang kemudian diberi nama Aji Mantrolot atau Tuhan
Janaka (berdasarkan Kitab Pararaton). Disebutkan pula bahwa Aji Mantrolot akhirnya menjadi
Raja di Tanah Melayu dan bergelar Adityawarmman yang mengandung arti matahari dari
keluarga Warmma (dewa). Adapun menurut versi prasasti yang ada disebutkan bahwa
Adityawarmman adalah anak dari Adwayawarmman (Prasasti Kuburajo I). Dia mempunyai
saudara yang bernama Akarendrawarmman (Prasasti Pagarruyung VII). Anaknya bernama
Ananggawarmman (Prasasti Saruaso II) dan mungkin juga seorang lagi bernama
Bijayendrawarmman (Prasasti Lubuk Layang, Kab. Pasaman).
Jumlah prasasti yang pernah ditemukan di daerah Tanah Datar sekitar 22 buah yang
tersebar di beberapa kecamatan. Beberapa buah prasasti yang ditemukan sekitar Pagaruyung
telah dikumpulkan dalam suatu tempat yang kemudian disebut dengan nama Kompleks Prasasti
Adityawarman. Lokasinya berada di pinggir jalan raya antara Batusangkar-Pagarruyung dengan
kondisi terawat baik.
C. KERAJAAN PAGARUYUANG
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang
memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika
menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas
menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya
menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca
Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada
Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang
disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
menaklukkan Bali dan Palemban. Pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman
memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman
menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang
senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang
menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan
dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.
Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara
Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan
India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di
Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-
prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang
berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah
mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah
meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk
menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran
dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan
demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut
tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah
memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari
berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan
semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-
13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian
pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari
Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan
sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan
di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual
ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari
Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun
1377 tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan
pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai
pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian
Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk
kawasan taklukan Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain
Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara
dari Singhasari.

Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri,
meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh
Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum
Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka.
Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan
kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu
Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10
Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin
Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani
perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun
sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian
dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda
menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.
Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas
permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali
ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau
ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Pasukan Belanda dan Padri saling
berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900. Sementara Sultan Tangkal Alam
Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia
Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent
Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan
Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha
menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Namun
ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan
perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei
1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas
tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan
dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama
pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan
Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih
bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di
Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang
dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan
Inggris. Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta
pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar
Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar,
namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong
pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.

D. KERAJAAN-KERAJAAN LAIN BERCORAK HINDU BUDHA


1. Kerajaan Melayu Jambi
Sebagai kajian awal dirujuk berita China (Suwardi, 2014: 45-47): kerajaan Jambi dikenal
Mo-lo-you, berdiri sejak 644/645 M, (lihat lebih rinci catatan dibawah) Kerajaan ini berlangsun
sampai 771 M, dan sesudah itu dibawah kekuasaan Sriwijaya. Lembaga Adat Jambi menyatakan
pula kerajaan itu sebagai kerajaan Melayu sejak abad ke 4 dan 5 M. Dahlan Manoer menyatakan
bahwa kerajaan Jambi selepas serangan Chola menggantikan peranan Sriwijaya (Palembang)
sebagai pusat kegiatan politik, agama, dan kebudayaan Buddha di Sumatra.

2. Kerajaan Dharmasraya
Pelanjut dari Kerajaan Jambi adalah Dharmasyraya yaitu lokasinya sekitar 300 km ditepi
Batang Hari kearah hulu,selanjutnya Uli Kozok dan rakan-rakan, 2006, dan Schnitger, (1937:6),
dalam Uli Kozok (2006:24) menjelaskan: sebuah kompleks ritual politik dengan jumlah
penduduk yang lumayan besar. Survei arkeologi di Muara Jambi tiba pada kesimpulan bahwa
dilihat dari segi luasnya, keindahan, dan jumlah bangunan, Muara Jambi tidak kalah dengan situs
lain di Sumatra. Bangunannya lebih besar dari Palembang. Mc Kinon menambahkan, situs
Muara Jambi, untuk jelasnya baca catatan kak yang secara radio karbon antara 1304 dan 1436,
ditulis sebelum 1397 atau ditegaskan sebelum 1377, selama masa kerajaan Adityawarman. Gelar
Maharaja Dharmasyraya menunjukkan bawahan Maharajadiraja Adityawarman yang hendak
mengukuhkan hubungan (termasuk hubungan perdagangan pula ) antara Melayu dan Kerinci.
(sebuah Mandala Melayu), lihat Uli Kozok, 2006:34.
Sistem pemerintahan Melayu Jambi menggunakan gelar Raja”yang tua” yang lazim
disebut setelah Islam Sultan,dan “ raja yang muda” atau Pangeran Ratu Raja Muda (putra
mahkota), Naskah Kitab Tanjung Tanah2 menjelaskan lebih jauh ialah yang secara radio karbon
antara 1304 dan 1436, ditulis sebelum 1397 atau ditegaskan sebelum 1377, selama masa kerajaan
Adityawarman. Gelar Maharaja Dharmasyraya menunjukkan bawahan Maharajadiraja
Adityawarman yang hendak mengukuhkan hubungan (termasuk hubungan perdagangan pula )
antara Melayu dan Kerinci. (sebuah Mandala Melayu).

3. Kerajaan Minangkabau
Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sungai Langsat (Sumatra Barat) dikenal dengan
prasasti pada tapak Arca Adityawarman sebagai pendiri kerajaan Minangkabau berdarah Melayu
sebagai hasil pernikahan Darah Petak/Jingga dengan bangsawan Singosari sebagai 13embil
Melayu yang dibawa ke Jawa oleh ekspedisi Pamalayu sekitar tahun 1275. Kerajaan
Minangkabau berdiri sekitar 1347 M berpusat di Pagaruyung—Batusangkar – Sumatra Barat.
Masyarakat Miangkabau menganut adat Perpatih.Adat ini bermula dikembangkan oleh Datuk
Perpatih Nan Sebatang yang menganut garis keturunan dari pihak ibu/matrilineal. Minagkabau
berkembang bahkan sampai ke Negeri 13embilan di Tanah Semenanjung Malaysia. Negri
Sembilan rajanya keturunan Raja Minangkabau. Raja Budha (Tantrik) ini, Adityawarman (1356-
1375), banyak meninggalkan patung dan prasasti yang melukiskan dia sebagai peguasa sebagian
besar Sumatera Tengah. Pada abad 14 M Surawaso dibawah Adityawarman disebut juga
Pemerintah “Bumi Emas”.
BAB III
KESIMPULAN

Sejak abad ke-4 dan ke-5 pengaruh India menjadi semakin jelas. Bahasa Sansekerta
digunakan dalam berbagai prasati. Dan kemudian sejak abad ke-7 huruf India semakin sering
dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa setempat. Pengaruh kebudayaan ini terutama
bahasanya melebar dari Minangkabau hingga beberapa daerah bagian tengah pulau Sumatera.
Pengaruh Hindu dan Buddha di Sumatera bagian tengah telah muncul pada abad ke-13, yaitu
dimulai pada masa pengiriman ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara dan kemudian pada masa
pemeritahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Di Minangkabau juga pernah berdiri sebuah kerajaan Buddha, kerajaan tersebut adalah
kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung berdiri pada tahun 1347 M. Sebelumnya kerajaan ini
tergabung dengan Malayapura, sebuah kerajaan yang pada prasasti Amoghapasha disebutkan
dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di
Suwarnabhumi. Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah
penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Kerajaan ini
runtuh pada tahun 1825, yaitu pada masa perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian
antara kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan kerajaan Pagaruyung berada
dalam pengawasan Belanda.
Masih ada beberapa pengaruh Hindu dan Buddha yang masih bertahan di Minangkabau
hingga saat ini. Di era ini, banyak masyarakat melakukan persembahan sesajen. Ketika
masyarakat minang akan membangun rumah, biasanya mereka akan memotong seekor ternak
misalnya kerbau, sapi, kambing atau ayam. Setelah islam masuk pun, hal tersebut kadang-kadang
masih diamalkan. Ilmu-ilmu hitam masih berkembang. Gasing tangkurak dan guna-guna banyak
dipakai oleh masyarakat. Mantra-mantra banyak digunakan. Dengan pengaruh kerajaan yang
diperintah Adityawarman, Minangkabaubbanyak mendapat pengaruh budaya Jawa. Dikenallah
istilah-histila seperti dewa-dewi, bidadara bidadari, patih, tumenggung, Bodhi, Hyang, Manti
(menteri), Pandito (pandita), Dewano, Sadeo (sadewa), dan Swarga-nairaka. Di Pulausawah, di
sepanjang aliran sungai Batanghari ditemukan kompleks percandian. Kompleks percandian ini
merupakan bagian dari situs muara Jambi yang dihubungkan dengan keberadaan kerajaan
Melayu II. Gundukan sisa bangunan yang berada di situs Pulausawah adalah sisa-sisa dari suatu
bangunan suci umat Hindu atau Buddha.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal Dr. Mhd. Nur, M.S. Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah.
Analisis Sejarah, Volume 5, No. I, 2014. Labor Sejarah, Universitas Andalas.
2. Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibrahim. 2012. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi : Kristal
Multimedia.
3. Jurnal Suwardi Mohammad Samin, Kerajaan dan Kesultanan Dunia Melayu: Kasus
Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Criksetra, Volume 4, Nomor. 7, 2015.
4. Samry, Wanofri, Azmi Fitrisia. Fenomena Pengaruh Hindu di Minangkabau.
PROSIDING ,SEMINAR NASIONAL agama, adat, seni dan sejarah di zaman milenial.
5. Rusli Amran. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Kerajaan Hindu-Budha di Minangkabau

4. Kerajaan Melayu Jambi


Sebagai kajian awal dirujuk berita China (Suwardi, 2014: 45-47): kerajaan Jambi dikenal
Mo-lo-you, berdiri sejak 644/645 M, (lihat lebih rinci catatan dibawah) Kerajaan ini berlangsun
sampai 771 M, dan sesudah itu dibawah kekuasaan Sriwijaya. Lembaga Adat Jambi menyatakan
pula kerajaan itu sebagai kerajaan Melayu sejak abad ke 4 dan 5 M. Dahlan Manoer menyatakan
bahwa kerajaan Jambi selepas serangan Chola menggantikan peranan Sriwijaya (Palembang)
sebagai pusat kegiatan politik, agama, dan kebudayaan Buddha di Sumatra.

5. Kerajaan Dharmasraya
Pelanjut dari Kerajaan Jambi adalah Dharmasyraya yaitu lokasinya sekitar 300 km ditepi
Batang Hari kearah hulu,selanjutnya Uli Kozok dan rakan-rakan, 2006, dan Schnitger, (1937:6),
dalam Uli Kozok (2006:24) menjelaskan: sebuah kompleks ritual politik dengan jumlah
penduduk yang lumayan besar. Survei arkeologi di Muara Jambi tiba pada kesimpulan bahwa
dilihat dari segi luasnya, keindahan, dan jumlah bangunan, Muara Jambi tidak kalah dengan situs
lain di Sumatra. Bangunannya lebih besar dari Palembang. Mc Kinon menambahkan, situs
Muara Jambi, untuk jelasnya baca catatan kak yang secara radio karbon antara 1304 dan 1436,
ditulis sebelum 1397 atau ditegaskan sebelum 1377, selama masa kerajaan Adityawarman. Gelar
Maharaja Dharmasyraya menunjukkan bawahan Maharajadiraja Adityawarman yang hendak
mengukuhkan hubungan (termasuk hubungan perdagangan pula ) antara Melayu dan Kerinci.
(sebuah Mandala Melayu), lihat Uli Kozok, 2006:34.
Sistem pemerintahan Melayu Jambi menggunakan gelar Raja”yang tua” yang lazim
disebut setelah Islam Sultan,dan “ raja yang muda” atau Pangeran Ratu Raja Muda (putra
mahkota), Naskah Kitab Tanjung Tanah2 menjelaskan lebih jauh ialah yang secara radio karbon
antara 1304 dan 1436, ditulis sebelum 1397 atau ditegaskan sebelum 1377, selama masa kerajaan
Adityawarman. Gelar Maharaja Dharmasyraya menunjukkan bawahan Maharajadiraja
Adityawarman yang hendak mengukuhkan hubungan (termasuk hubungan perdagangan pula )
antara Melayu dan Kerinci. (sebuah Mandala Melayu).
6. Kerajaan Minangkabau
Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sungai Langsat (Sumatra Barat) dikenal dengan
prasasti pada tapak Arca Adityawarman sebagai pendiri kerajaan Minangkabau berdarah Melayu
sebagai hasil pernikahan Darah Petak/Jingga dengan bangsawan Singosari sebagai putri Melayu
yang dibawa ke Jawa oleh ekspedisi Pamalayu sekitar tahun 1275. Kerajaan Minangkabau
berdiri sekitar 1347 M berpusat di Pagaruyung—Batusangkar – Sumatra Barat. Masyarakat
Miangkabau menganut adat Perpatih.Adat ini bermula dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan
Sebatang yang menganut garis keturunan dari pihak ibu/matrilineal. Minagkabau berkembang
bahkan sampai ke Negeri sembilan di Tanah Semenanjung Malaysia. Negri Sembilan rajanya
keturunan Raja Minangkabau. Raja Budha (Tantrik) ini, Adityawarman (1356-1375), banyak
meninggalkan patung dan prasasti yang melukiskan dia sebagai peguasa sebagian besar
Sumatera Tengah. Pada abad 14 M Surawaso dibawah Adityawarman disebut juga Pemerintah
“Bumi Emas”.

Anda mungkin juga menyukai