Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL BOOK

REVIEW

MK.SEJARAH SUMUT

SKOR NILAI:

NAMA : SOVIANA BR BARUS

NIM :3213121055

KELAS:REGULER SEJARAH A 21

DOSEN PENGAMPU: LISTER EVA SIMANGUNSONG, S.Pd ,M.A

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya Critikal Book Review
saya ini dapat terselesaikan. Saya juga mengucapkan terimakasih bagi seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan kritikal book saya dan berbagai sumber yang telah saya pakai
sebagai data dalam pembuatan critikal book review ini. Saya menyadari bahwa saya adalah
manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang
dapat diselesaikan dengan sempurna dalam pembuatan kritikal book review ini.

Saya berharap kritikal book review ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan
pengetahuan kita dalam mempelajari sejarah sumatera utara kepada setiap orang yang
membacanya.

Saya telah melakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan yang saya miliki, saya bersedia
menerima kritik dan saran dari teman-teman semua khususnya dari Dosen Ibu LISTER EVA
SIMANGUNSONG S.Pd ,M.A, dan saya akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai batu
loncatan yang dapat memperbaiki kekurangan dari Critikal book review saya ini dimasa yang
akan datang. Semoga kritikal book review saya ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Akhir kata saya ucapkan terimakasih

Medan, Desember 2021

Soviana Br Barus

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………I

DAFTAR ISI…………………………………………………………..II

BAB I PENDAHULUAN

A.Rasionalisasi pentingya CBR………………………………………4

B. Tujuan Penulisan Critical Book Riview (CBR)……………………4

C. Manfaat Critical Book Review……………………………………..4

D.Identitas buku……………………………………………………….5

BAB II RINGKASAN BUKU………………………………………..5

A.Bab 1

B.Bab 2

C.Bab 3

D.Bab 4

E.Bab 5

BAB III PEMBAHASAN

A.Pembahasan isi buku………………………………………………….9

B.Kelebihan dan Kekurangan Buku……………………………………..20

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN……………………………………………………….20

B. SARAN………………………………………………………………..20

DAFTAR PUSTAKA

II
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Rasionalisasi pentingnya CBR

Critical Book Review ini diharapkan dapat melatih kemampuan untuk menganalisis dan
meringkas sebuah buku serta dapat membandingkan Apa yang menjadi kelemahan dan
kekurangan dari satu buku dengan buku yang lain, serta kita bisa mengenal dan memberi nilai
serta dapat mengkritik sebuah buku yang kita analis. Walaupun kita sering kali bingung untuk
memilih buku referensi untuk kita pahami membacanya dan mengkritik nya,terkadang kita sering
susah memilih buku apa yang cocok untuk dibaca sehingga hasilnya tentu memuaskan.

B. Tujuan Penulisan Critical Book Riview (CBR)

Tujuan dari Penulisan Critical Book Review (CBR) Tesebut adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Sejarah Sumatera Utara. CBR tersebut juga bertujuan untuk menambah
wawasan serta pengetahuan pembaca terutama mempelajari manusia di berbagai masyarakat
suku bangsa di dunia guna membangun masyarakat itu sendiri.

C. Manfaat Critical Book Review

Manfaat CBR antara lain sebagai berikut:

 Penyelesaian tugas sejarah sumatera utara


 Menambah wawasan dan menambah ilmu pengetahuan dalam menganalisis dan
memahami buku yang kita baca
 Menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana cara agar dapat membangun suatu
kesatuan dalam masyarakat
 Agar kita juga mengetahui apa saja kebudayaan yang ada di Indonesia ini, asal usul serta
perkembangannya bagaimana
 Manfafaat lainnya yaitu untuk meningkatkan pemahaman manusia tentang diri manusia
itu sendiri dan satu sama lain.
D.Identitas buku

Judul :Sejarah epidemi lepra di Tanah Karo

Edisi :2019

Pengarang :Lister eva simangunsong

Penerbit :Penerbit Ombak

Kota terbit :Yogyakarta

Tahun terbit :2019

ISBN :978-602-258

BAB 3

RINGKASAN ISI BUKU

A.BAB 1 PENGANTAR

Sejak dahulu hingga saat ini umat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal istilah
penyakit lepra atau dibeberapa daerah lebih dikenal dengan istilah kusta.. Penyakit ini telah
tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad lalu tepatnya 300 SM pada masa peradaban Mesir
Kuno dan India. Di wilayah Eropa pada tahun 1300 di negara Belanda telah banyak ditemukan
pemukiman-pemukiman liar para penderita lepra. Sementara itu invasi bangsa Turki atas
Palestina pada tahun 1523 telah menyebabkan para penderita lepra melakukan migrasi secara
besarbesaran menuju wilayah Eropa guna mendapatkan perlindungan.Hingga saat ini di beberapa
negara masih banyak ditemukan berbagai kasus lepra seperti halnya di India, Brazil, dan
Indonesia.2

Tiap wilayah atau populasi yang terserang wabah lepra biasanya memiliki tingkat endemisitas
yang berbeda dan pravalensi yang tidak menetap. Di Eropa puncak endemisitas lepra terjadi pada
abad ke-14 sedangkan di Nusantara endemisitas lepra berlangsung sejak abad ke-16 sampai abad
ke-18.

Di Nusantara lepra telah menyerang berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku hingga Papua. Salah satu daerah di Sulawesi yang dilanda wabah lepra adalah
Poso. Menurut Adriani seperti yang dikutip oleh Dina Kurniarni bahwa wabah ini pernah sangat
mencemaskan masyarakat setempat.Bahkan di pulau Jawa wabah lepra telah berkembang luas di
Mojowarno dan Kediri hingga berdirinya sebuah tempat rehabilitasi bagi para penderita lepra
pada abad ke 17. Selain Pulau Jawa lepra juga berkembang luas di wilayah Sumatera seperti
halnya di Tapanuli Utara (Huta Salim/Balige, Laguboti), Tapanuli Selatan (Situmba), dan Tanah
Karo.Khusus di Tanah Karo lepra menjadi endemik pada penghujung Abadke 18. Pada tahun
1906 diperkirakan setidaknya dua permil dari 120.000 jiwa masyarakat Karo telah
mengidappenyakit lepra yakni berkisar 0,2 % dengan jumlah 120 orang.5

Jika dilihat dari segi kuantitas, jumlah penderita lepra pada masa itu sudah dikategorikan
banyak, belum lagi penemuan para penderita pada tahun–tahun berikutnya. Namun sayangnya
tidak diperoleh data statistik mengenai jumlah penderita lepra di seluruh dataran tinggi Tanah
Karo pada kurun waktu 1906 hingga 1930-an. Endemisitas lepra yang terjadi di Tanah Karo
disebabkan faktor kondisi sosial masyarakat dan kondisi alam di Tanah Karo. Kurangnya
kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal diperkirakan
menjadi salah satu faktor penyebab wabah lepra berkembang luas. Masyarakat Karo memiliki
kebiasaan buruk, yaitu suka bermalasan-malasan di halaman depan rumah, tanpa menghiraukan
kotoran ternak yang berserakan. Kondisi rumah yang dirancang tanpa memakai jamban6 dan
kebiasaan meminum air mentah yang disimpan dalam bambu mendorong wabah ini berkembang
semakin cepat.

B.BAB 2 PESONA ALAM ITU MENDATANGKAN SEBUAH WABAH

Sebagai daerah yang terletak di bawah kaki Gunung Sibayak danSinabung, dataran tinggi
Tanah Karo memiliki pesona alam yang begitu indah dengan kelembapan udara yang sejuk
karena dikelilingi oleh hutanhujan tropis dan aliran sungai besar maupun kecil. Udara yang sejuk
danpesona alam yang indah ternyata tidak serta merta menjadikan dataran tinggi Tanah Karo
bebas dari wabah penyakit. Sebaliknya menjadi tempatbersarang dan berkembangnya wabah
lepra pada penghujung abad ke-18.Perilaku negatif masyarakat yang tidak menjaga kebersihan
diri dan lingkungan tempat tinggal menyebabkan wabah lepra berkembang luas dan menjadi
endemik dan telah memakan banyak korban.

F.W. Junghuhn adalah seorang dokter berkebangsaan Jerman yang masuk menjadi tentara
Hindia Belanda. Karena keberhasilannya dalam menemukan perkebunan kina di daerah
Parahiyangan, ia kemudian lebih dikenal sebagai ahli botanik dan pada 1840-1842, maka oleh
Pemerintah Kolonial Junghuhn ditugaskan di Tanah Karo.Dalam sejarah Karo, Junghuhn adalah
orang yang pertama kali mencatat dan melaporkan tentang keadaan daerah yang didiami oleh
masyarakat Karo baik tentang geografi, topografi, metereologi iklim tanah serta berbagai jenis
tanaman apa saja yang cocok ditanam di daerah tersebut. Selain Junghuhn, tercatat beberapa
orang Eropa lainnya yang datang ke Tanah Karo, seperti: J. A. M. Van Cats Baron de Raet
(1866).

De Haan (1870) dan kunjungan tiga orang pendeta bernama Heine,Johannsen, dan Mohri (1873).

Daerah Batak Karo terbentang dari sebelah Utara Danau Toba ke atas, daerah Deli dan sekitar
Medan yang terbagi atas Dataran Rendah (Karo Dusun) dan Dataran Tinggi disebut juga daerah
pegunungan yang sangat cocok sebagai lahan perkebunan. Tanah Karo memiliki batas
wilayahsebelah Timur berbatasan dengan tanah Simalungun, sebelah Barat berbatasan dengan
Aceh Tenggara dan Aceh Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan pantai Sumatera Timur yang
dihuni oleh masyarakat Melayu, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan tanah Pakpak dan
Danau Toba.

BAB 3 DARI NON ENDEMIK MENJADI ENDEMIK

Sebagai penyakit infeksi kronis sesungguhnya wabah lepra diperkirakan telah muncul sejak
300 SM pada peradaban Mesir Kuno dan India. Bahkan pada zaman Yesus Kristus diperkirakan
wabah ini telah berkembang luas, terbukti dari hasil tes DNA pada kain kafan salah satu jenazah
yang ternyata adalah seorang penderita lepra. Sumber lain mengatakan bahwa abad ke-4
Sebelum Masehi lepra telah ada di daerah pinggiran Sungai Nil dan mulai menyebar ke Yunani.
Penyakit Pompeyus kemudian membawa penyakit ini ke Kerajaan Romawi dan dari sinilah lepra
menyebar keseluruh daratan Eropa.Memasuki abad ke-5 wabah lepra telah melanda wilayah
Eropa dan selama berabad-abad lamanya bangsa Eropa sangat memusuhi wabah ini. Dua abad
sesudah masehi di mana Perang Salib sedang berlangsung, wabah lepra kemudian tersebar ke
wilayah Spanyol, Lombardia, Prancis dan Jerman (lihat Lesser, Lepraconferentie).4 Interaksi
manusia secaramassal dalam peperangan ini kemudian mendorong wabah lepra menyebar
dengan cepat keberbagai wilayah lainnya. Pada abad ke-15 dan abad ke-16. Di wilayah Eropa,
wabah lepra kemudian tidak endemik lagi dan secara berangsur angsur mulai menghilang pada
awal abad ke-175kecuali di wilayah Portugal dan Spanyol. Setelah menghilang dari wilayah
Eropa, kemugkinan besar wabah lepra tersebar ke berbagai wilayah lainnya dan menjadi
endemik.

BAB 4 RUMAH BARU BAGI PENDERITA LEPRA

Mengatasi wabah lepra, memang mutlak diperlukan adanya sistem pemisahan atau isolasi
tempat tinggal. Sistem pemisahan atau isolasi ini terhadap para penderita harus dilakukan secara
sukarela, jika dilakukan secara paksa akan mengakibatkan para penderita tidak ingat lagi akan
kehidupan mereka, seperti kasus yang ditemukan di Suriname di mana para penderita lepra
dipaksa untuk tinggal di Chatitillon.”Sebagai daerah koloni Pemerintah Kolonial sudah lama
menaruh perhatian akan wabah lepra yang sedang melanda Tanah Karo kala itu dengan
memberikan surat perintah berdasarkan lembaran negara/ Staatsblaat tahun 1917 No. 700

kepada para dokter yang bertugas atas nama Pemerintah Belanda agar segera menangani para
penderita lepra.Pemberantasan wabah lepra telah dicanangkan dalam Kongres Internasional ke 2
di Bergen tahun 1909. Pemerintah menginginkan agar pemberantasan wabah lepra di daerah
Hindia Belanda dilakukan secara serius seperti juga halnya yang dilakukan di Eropa. Pemberian
surat perintah tersebut diharapkan semakin dapat menarik perhatian berbagai pihak terhadap
wabah lepra sehingga dapat mengurangi penderitaan para penyandangnya.

Dengan dikeluarkannya surat perintah pemberantasan lepra berdasarkan Staatsblaat tahun 1917
No. 700 serta konidisi para penderita lepra yang begitu menyedihkan akibat tindakan tidak
manusiawi dari masyarakat setempat telah mendorong Nederlandsche Zendeling Genootschaap
(NZG) untuk melakukan pelayanan Diakonia yakni memberikan pertolongan kepada para
penderita lepra. Didorong oleh rasa kasih para zending yang sebelumnya telah dikirim lembaga
NZG di Tanah Karo dalam rangka memperkenalkan agama Nasrani kemudian bekerjasama
dengan berbagai pihak untuk melakukan berbagai upaya penanggulangan guna mengurangi
penderitaan yang dialami para penderita lepra4 dan mengatasi agar wabah lepra tidak semakin
tersebarluas. Pemerintah Kolonial yang sedang memerintah di Tanah Karo yang bekerjasama
dengan lembaga NZG kemudian mendirikan mendirikan sebuah pemukiman khusus bagi para
penderita lepra yang terletak di Desa Lau Simomo.

BAB 5 PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT KARO

Perubahan adalah merupakan bagian dari proses hidup suatu masyarakat. Masyarakat sebagai
suatu sistem akan senantiasa mengalami perubahan tidak ada satupun masyarakat yang mandeg
dari konsep perubahan.28 Perubahan sosial itu sendiri dapat dibayangkan sebagai perubahan
yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya terdapat perbedaan antara
keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan.

Berbicara tentang perubahan kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu
tertentu dimana kita akan berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan
sesudah jangka waktu tertentu. Untuk dapat menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit
analisis harus diketahui dengan cermat meski terus berubah sehingga konsep dasar dari
perubahan sosial mencakup tiga gagasan, 1) perbedaan, 2) waktu yang berbeda, 3) diantara
keadaan sistem sosial yang sama.Bila dilihat dari definisi perubahan sosial yang terdapat dalam
buku ajar sosiologi, terlihat bahwa para pakar sosiologi meletakkan tekanan pada jenis
perubahan yang berbeda, seperti;
1. Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir
dan dalam pola perilaku pada waktu tertentu
2. Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam
3. pengorganisasian masyarakat
4. Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu,
5. kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu
6. Perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial,
7. lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu

Perubahan yang terjadi pada masyarakat di Tanah Karo setelah dilakukannya


penanggulangan terhadap wabah lepra oleh pemerintah Kolonial tidak berlangsung secara
koersif yaitu dengan cara pemaksaan, tetapi berlangsung secara revolusioner dan alamiah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat kala itu hal. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Lauer bahwa ”suatu perubahan sosial dapat terjadi secara revolusioner dan berjalan sesuai
dengan kebutuhan suatu masyarakat, misalnya kebutuhan akan sosial, kebudayaan dan
ekonomi.

BAB 3

PEMBAHASAN

A.PEMBAHASAN ISI BUKU

1.BAB 1 Tentang buku

Buku ini merupakan penelitian sejarah sosial lokal masyarakat di Tanah Karo yang
membahas pengaruh penanggulangan wabah lepra terhadap perubahan sosial masyarakat di
Tanah Karo. Permasalahan di atas akan dibahas melalui beberapa pertanyaan pokok berikut
ini faktor-faktor apa sajakah yang mendorong wabah lepra hingga berkembang menjadi
endemik di Tanah Karo? Dalam hal apa dan sejauh mana wabah lepra berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat di Tanah Karo? Bagaimanakah keterlibatan Pemerintah Kolonial
bersama dengan para zending dalam upaya penanggulangan wabah lepra di TanahKaro? serta
Bagimanakah perubahan sosial yang ditimbulkan sebagai akibat dari upaya penanggulangan
lepra oleh Pemerintah Kolonial dan ZendingCakupan wilayah dalam buku ini terfokus Desa
Lau Simomo yang terletak di-Dataran Tinggi Tanah Karo. Secara ekologis Tanah Karo
terbagi atas dua bagian, yaitu; dataran rendah yang disebut Karo Dusun
dan dataran tinggi yang disebut daerah pegunungan. Daerah Karo Dusun dihuni oleh
berbagai suku seperti Melayu dan berbagai sub etnis dari suku Batak, baik itu Batak Karo,
Batak Toba maupun Batak Pakpak. Sedangkan seluruh penduduk dataran tinggi Tanah Karo
adalah merupakan suku Batak Karo.8 Di dataran tinggi Tanah Karo ini wabah lepra
berkembang luas. Desa Lau Simomo dipilih sebagai lokaspenampungan dan pengobatan bagi
para penderita lepra yang datang dari berbagai desa di Dataran Tinggi Tanah Karo.

Lau Simomo sebagai desa pemukiman para penderita lepra kemudian menimbulkan
kekaguman masyarakat di Tanah Karo, hal ini tertuang dalam tradisi lisan berupa puisi yang
hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Hitoriografi dan konseptualisasi

Kajian dengan tema sejarah sosial lokal suatu masyarakat dengan menekankan aspek medis
memang sangat minim dibicarakan dalam sejarah Indonesia bahkan hampir tak tersentuh.

Dalam buku Sinuraya kali ini telah mengembangkan kajian dan pembahasan tentang wabah
lepra di Tanah Karo melalui pendekatan agama, hanya saja dalam pengkajian tentang wabah
lepra sangat sedikit dibahas sebaliknya lebih dominan membahas tentang kegiatan

keagamaan.

Di luar Tanah Karo terdapat beberapa kajian tentang lepra sudah pernah dilakukan para ahli
akan tetapi jumlahnya sangat terbatas. Kajian tentang wabah lepra di Pulau Jawa dilakukan
oleh J. D. Kaljser, & C. Ouwehand dalam bukunya yang berjudul Lepra bestrijding pada
1909.Begitu juga halnya dengan buku yang berjudul 3 Tahun Rumah Sakit Kusta Ujung
Pandang: 1 Oktober 1984 -198716 yang ditulis oleh Departemen Kesehatan membahas
tentang wabah lepra di daerah Ujung Pandang

BAB 2

A.Kondisi geografis dan demografi

Pada masa periode Kolonial, Tanah Karo dibagi berdasarkan jenis pemerintahan. Pertama,
Onderafdeeling Karo Landen termasuk ke dalam Keresidenan Sumatera Timur bagian Utara
yang dipimpin langsung oleh seorang Controleur. Kedua, Landschaap, wilayah yang belum
terjamah dan terletak di pedalaman yang berbukit-bukit. Selain Onderafdeeling dan
Landschaap, batas-batas pemerintahan Tanah Karo terbagi lagi ke dalam satuan yang lebih
kecil lagi yaitu; Urung (Kuta) dipimpin oleh seorang Raja Urung dan Kesain yang dipimpin
oleh seorang Penghulu. Selain pembagian wilayah berdasarkan jenis pemerintahan, Tanah
Karo juga dibagi lagi ke dalam beberapa batas lainnya guna memecah kesatuan wilayah,
yaitu:
1. Tahun 1908 stb. no. 604 ditetapkan batas Kabupaten Karo dengan Kabupaten Dairi seperti
sekarang ini. Daerah Karo Baluren sepanjang Sungai Lau Renun termasuk dalam Kecamatan
Tanah Pinem dan Kecamatan Tiga Binanga menjadi bagian dari Kabupaten Dairi.

2. Pada 13 April 1911, dengan Beslit Government no 7465 telah ditetapkan pula batas-batas
Kabupaten Karo dengan Kabupaten Simalungun dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke
dalam Kabupaten Simalungun sekarang.

3. Pada 13 April 1921, dengan Beslit Government no. 17 telahditetapkan pula batas-batas
Kabupaten Karo dengan Kabupaten

Deli Serdang sekarang dengan mengeluarkan Deli Hulu dan Serdang Hulu dari Tanah Karo.

4. Daerah Langkat Hulu, Karo Binge, Karo Selapian, Karo BuahOrok dimasukkan ke dalam
Kabupaten Langkat sekarang.

5. Karo Dusun, Serba Naman, Sunggal, Deli dan Kota Medan

B.Ekologi sosial

Kondisi sosial ekonomi yang buruk akan semakin mendorong berkembangnya berbagai agen
penyakit. Kondisi yang tercipta pada lingkungan sosial masyarakat Karo di dataran tinggi Tanah
Karo sangat jauh dari konsep “bersih” dan terdapat pola kebiasaan buruk masyarakat sehingga
mendorong wabah lepra menjadi endemik. Berikut adalah gambaran kondisi sosial masyarakat
Karo yang mendorong wabah lepra menjadi endemik.

1. Pemukiman

Masyarakat Karo umumnya bermukim di sepanjang kaki Bukit Barisan seperti; Langkat Hulu,
Deli Hulu, Serdang Hulu, Dataran Tinggi Karo, Urung Silima Kuta, dan Karo Baluren Lau
Renun. Upaya membuka suatu pemukiman baru pada masyarakat Karo dilakukan berdasarkan
ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dengan sistem gotong royong.

Dalam membangun pemukiman, masyarakat Karo akan berusaha memperoleh lahan yang subur
dengan aliran air (irigasi) yang baik untuk lahan pertanian dan peternakannya

2. Rumah Adat

Ruangan rumah adat pada masyarakat Karo relatif kecil dan sempit untuk hunian bagi delapan
kepala keluarga. Setiap kepala keluarga memiliki ruangan hanya seluas 4 x 6 meter terdiri dari
ruang tidur, ruang makan, ruang duduk dan ruang dapur. Sebagai tempat tinggal, rumah adat
masyarakat Karo juga memiliki fentilasi udara dan sorotan cahaya yang relatif kecil. Keadaan ini
semakin memberi kesempatan terjadinya kontak dan proses penularan penyakit yang
berlangsung secara terus menerus.Berbeda dengan rumah pada masyarakat Batak lainnya, rumah
pada masyarakat Karo terdapat “ture”, yaitu semacam teras yang terbuat dari rumpun bambu dan
disusun diserambi muka (depan) rumah. Pada siang hari, ture berfungsi sebagai tempat para
gadis untuk mengayam tikar sedangkan pada malam hari berfungsi sebagai tempat pertemuan
para gadis dengan para pemuda yang berkunjung untuk saling bercengkrama. Tempat memasak
atau yang lebih dikenal dengan istilah dapur juga akan dibangun sesuai jumlah kepala keluarga
yang tinggal, akibatnya dalam rumah adat Karo terdapat jumlah dapur yang banyak sehingga jika
para ibu sedang memasak rumah adat akan dipenuhi

dengan asap. Jumlah dapur dalam rumah adat Karo tak sebanding dengan jumlah pintu yang
umumnya hanya terdapat dua atau empat saja, serta hanya terdapat delapan jendela yang relatif
kecil. Ini menyebabkan suasana ruangan dalam rumah adat Karo menjadi pengab dan lembab
karena kurangnya cahaya matahari yang masuk akibatnya kuman–kuman penyakit berkembang
dengan cepat dan angka penularannya pun tinggi. Pada rumah adat masyarakat Karo tak jarang
ditemukan serangga atau kutu- kutu busuk yang dapat menimbulkan penyakit.

3. Jamban

Rumah adat Karo dirancang dan dibangun tanpa memakai jamban.Anak-anak yang akan
buang hajat melakukannya di beranda (teras) depan rumah yang disebut dengan “ture”.
Sedangkan orang dewasa yang sedang sakit juga diperbolehkan buang hajat ditempat yang sama
asalkan tidak malu. Selain tidak hanya berfungsi jamban, ture juga berfungsi sebagaisebagai
tempat mengayam tikar oleh para gadis daan juga sebagai tempat pertemuan para pemuda dan
pemudi bercengkrama.

4. Kebiasaan Memakan Daging dan Meminum Air Mentah

Kebersihan lingkungan, pakaian dan air minum juga sangat berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh seseorang. Adanya kebiasaan masyarakat Karo meminum air mentah dari pancuran yang
kemungkinan besar telah tercemar oleh kotoran ternak tentunya semakin mendukung penularan
penyakit lepra. Para ibu di Tanah Karo umumnya mengambil air minum dipancuran yang
disimpan dalam sebuah bambu panjang yang disebut “kuran”. Kebiasaan ini dilakukan
dikarenakan masyarakat Karo menganggap air mentah yang diminum langsung dari “kitang-
kitang” atau “tambe” (tempat minum yang terbuat dari bambu), rasanya sangat

lezat dan sejuk (malem). Kebiasaan masyarakat yang suka meminum air mentah selain telah
mempengaruhi berkembangnya lepra dengan luas juga mengakibatkan masyarakat pada rentan
terserang penyakit kholera dan disentri.
5. Kebiasaan Makan Bersama

Dalam sebuah rumah atau tempat tinggal yang dihuni banyak kepala keluarga terdapat suatu
tradisi masyarakat makan bersama dalam sebuah “capah”, yaitu piring besar yang terbuat dari
kayu atau porselin. Tradisi makan bersama dalam sebuah capah menggambarkan suatu
keakraban dalam kekeluargaan. Tradisi ini tentunya saja memungkinkan terjadinyapersentuhan
atau kontak langsung yang lebih dekat dan lama antar sesama anggota keluarga sehingga
penularan kuman M. Leprae sangat besar kemungkinan terjadi.

6. Faktor Daya Tahan Tubuh dan Asupan Gizi

Seseorang yang telah terinfeksi kuman M. Leprae belum tentu menderita penyakit lepra.
Diperkirakan faktor asupan gizi dan kebersihan sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan
kuman Leprae hingga menjadi penyakit lepra. Asupan gizi yang baik akan menghasilkan daya
tahan tubuh yang baik pula, sedangkan asupan gizi yang kurang akan mengakibatkan daya tahan
tubuh seseorang menjadi lemah sehingga rentan untuk menderita penyakit lepra.

7. Datu (Dukun)

Masyarakat Karo mempercayai bahwa penyakit lepra dapat ditularkan atau dipindahkan oleh
adanya campur tangan seseorang yang memiliki ilmu tinggi disebut “datu” atau dukun.37 Untuk
mempertahankan diri atau membalas dendam biasanya seseorang akan pergi meminta bantuan
kepada seorang datu dengan memasukkan atau memindahkan kuman penyakit lepra kepada
seseorang yang dianggap musuhnya.

8. Perang Saudara

Perang antar desa, perbudakan dan berbagai kebiasaan jelek lainnya adalah suatu hal yang
sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Karo sebelum adanya kontak dengan bangsa Belanda.
Kontak yang terjadi pada penghujung abad ke-19 yang dalam prakteknya banyak terjadi melalui
proses zendeling menyebabkan kebiasaan buruk tersebut lenyap.

9. Keterbelakangan Pola Pikir

Walaupun penemuan dan pengobatan penyakit lepra telah dimulai sejak 1873 tetapi ilmu
pengetahuan mengenai penyakit ini belum dikenal oleh masyarakat Karo. Masyarakat terlanjur
melakukan pengucilan, pengasingan dan pembuangan terhadap penderita lepra. Keterlanjuran ini
adalah refleksi dari kebodohan dan keterbelakangan yang dimiliki masyarakat Karo sehingga
menimbulkan ”leprophobia” (ketakutan yang berlebihan).

10. Alam Kepercayaan

Keterbatasan pengetahuan ternyata tidak hanya menyebabkan masyarakat Karo memiliki rasa
takut yang berlebihan terhadap lepra dikarenakan cacat fisik yang ditimbulkan bakteri M. Leprae
tetapi juga menyebabkan alam kepercayaan masyarakat bersifat irrasional yakni “mitos”
C.Lingkungan alam

Bagi masyarakat Karo lepra dipercaya tidak hanya dapat ditularkan melalui media manusia
tetapi juga melalui media alam, yaitu semacam serbuk beracun yang dalam bahasa Karo disebut
“regen” yang berasal dari 3 jenis tumbuhan. Regen dalam bentuk serbuk dipercaya masyarakat
Karo berasal dari sejenis buah yang dinamakan “cekala redeem”. Regen yang berasal dari sejenis
tanaman merambat disebut “waren regen” dan regen yang berasal dari sejenis umbi–umbian
beracun yang disebut “bewan” yaitu sebangsa keladi yang sedang berbunga dan termasuk
kelompok ”Zingiberaceac”.42 Keberadaan serbuk sari buah yang dinamakan cekala redeem
menjadi salah satu media penularan lepra.

BAB 3

A.Perkembangan wabah lepra

Pada penghujung abad ke-18, wabah lepra mengalami proses endemisitas di Tanah Karo
tepatnya di daerah pegunungan yang merupakan dataran tinggi Tanah Karo.7 Hampir tiap desa di
Dataran Tinggi Tanah Karo ditemukan para penderita lepra yang hidup dalam kondisi terasing
dan terbuang. Kondisi ini sangat mengancam kehidupan masyarakat Tanah Karo dari berbagai
aspek, baik itu aspek ekonomi, sosial maupun aspek budaya. Tersebarnya wabah lepra di wilayah
Nusantara diperkirakan berlangsung sejak abad ke-4 dan abad ke-5, oleh orang-orang India yang
datang untuk berdagang dan menyebarkan agama Hindu.11 Bagaimana kemudian lepra dapat
tersebar hingga ke Tanah Karo tidak diperoleh informasi dan data yang lebih jelas dan akurat
sehingga sejarah tentang perkembangan wabah lepra di daerah ini hanya terbatas pada asumsi
dan praduga semata maka diperkirakan orang-orang India yang tiba di Nusantara juga memasuki
wilayah Sumatera Timur untuk menyebarkan agama Hindu dan melakukan perdagangan dengan
masyarakat pedalaman melalui jalur darat.

B.Leprophobia dan penolakan masyarakat

Cacat fisik yang ditimbulkan kuman lepra telah menimbulkan berbagai pandangan buruk dan
rasa takut yang berlebihan (leprophobia) dari masyarakat Karo terhadap penderita lepra.
Pandangan negatif dan rasa takut masyarakat kemudian berakibat pada munculnya sikap
penolakan dengan cara mengasingkan, membuang hingga membakar penderita lepra. Oleh
masyarakat Karo, tindakan tidak berprikemanusian ini diangggap sebagai tindakan yang benar
dan layak guna mengantisipasi berkembangnya wabah ini.

Masyarakat Karo berkeyakinan jika penyakit lepra terdiri dari dua jenis yakni; penyakit lepra
yang tidak dapat disembuhkan dan penyakit lepra yang dapat disembuhkan. Jenis penyakit lepra
yang tidak dapat disembuhkan disebut “badam gajah puntung” jenis ini dipercaya telah dibawa
lahir oleh seseorang sejak lahir.20 Bibit penyakit ini telah terdapat
di tulang-belulang seseorang sebagai hukuman dari Tuhan (Dibata). Orang yang menderita jenis
penyakit ini dipercaya bahwa jiwanya (tendi) telah diminta oleh Tuhan sebelum ia dilahirkan
oleh karena nasib.Jenis penyakit lepra yang dapat disembuhkan disebut “badam paropo”. Istilah
ini mengacu kepada suatu daerah dengan nama Paropo terletak di Danau Toba yang dikenal
sebagai daerah yang banyak terdapat penderita lepra. Lepra dengan jenis ini dikenal juga dengan
istilah ”nervorum” atau ”macalusa” yang memiliki ciri-ciri terdapatnya flek atau bercak pada
kulittubuh seorang penderita.

C.Diasingkan dan dibuang

Pada tahun 1889 seorang missionaris bernama Hanstein sudah mulai bekerja di tengah-tengah
penderita lepra di Situmba yang terletak di Sipirok. Di daerah ini Hanstein membangun sebuah
rumah sakit sederhana. Pada tahun yang sama di pagi hari, seorang missionaris bernama
Steinsieck sedang melakukan perjalanan ke beberapa cabang zending menemukan fenomena
lepra yang sangat mengiris hatinya. Steinsieck melihat asap mengepul dari sebuah gubuk di
antara rimbunan semak belukar ternyata gubuk tersebut adalah tempat tinggal seorang wanita
penderita lepra. Fenomena diatas memang sangat mengiris hati dan memilukan tetapi inilah fakta
yang terdapat dalam kehidupan para penderita lepra. Seolaholah para penderita lepra sudah tidak
memiliki tempat tinggal. Seringkali pembakaran gubuk dilakukan pada malam hari sehingga
tidak ada kesempatan bagi penderita untuk menyelamatkan diri.

BAB 4

A.Mendirikan pemukiman dan rumah sakit Lepra Lau Simomo

Upaya penanggulangan wabah lepra oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Tanah Karo untuk
pertama kalinya diprakarsai seorang zending bernama E. J. Van den Berg.Setelah melakukan
berbagai pendekatan dan kerjasama dengan berbagai pihak baik itu dengan pihak Nederlands
Zendings Genooschaap(RMG), pihak Rumah Sakit bahkan tokoh tokoh masyarakat setempat
akhirnya pada tahun 1903 Van den Berg berhasil mendirikan sebuah pemukiman khusus bagi
para penderita lepra yang terletak di desa Lau Simomo. Pada masa pelayanan zending Van den
Berg dan zendings lainnya berbagai perbaikan dan peningkatan hidup segera menghampiri para
penderita lepra di Tanah Karo.

I. Berdirinya Pemukiman Lepra Lau Simomo (1903-1935)


II. Peresmian pemukiman Lau Simomo(1906)
III. Pemukiman Lau Simomo memasuki tahap pembangunan
B. Pengembangan Pelayanan Medis di Pemukiman Lau Simomo (1912 – 1925)

Zending J. P. Talens tiba pada bulan Agustus 1912. Beliau mengadakan acara serah terima
dengan pimpinan yang lama yaitu Van den Berg. Atas dukungan dana dari Controleur Versteeg
beliau membangun dua buah ruang rawat inap di Kabanjahe yang masing-masing satu kamar
untuk pria dan satu kamar lagi untuk wanita. Oleh Karena kesulitan akan tempat tinggal, maka
pendeta ini juga menetap di Kabanjahe. Beliau membagi waktunya untuk melayani Poliklinik
Kabanjahe dan sewaktu-waktu pergi mengunjungi Pemukiman Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.
Pada masa pelayanannya, zending Talens banyak melakukan pembaharuan di Pemukiman dan
Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

1. Pengobatan cara baru

Pada masa pelayanan zending Talens, di Pemukiman Rumah Sakit Lepra Lau Simomo telah
diterapkan pengobatan dengan cara baru yaitu dengan Sejarah Epidemi Lepra di Tanah Karo
melakukan injeksi (suntikan) obat “Aioni” yang harganya cukup mahal.

2. Panitia pengumpulan dana

Panitia secara berkala melakukan aksi pengumpulan dana seperti; mengadakan bazaar dan
konser organ. Sebagian dari anggota panitia pengumpulan dana ialah para kaum ibu pimpinan
perkebunan yang menggabungkan diri dalam kegiatan ibu-ibu Gereja.

3. Sumbangan para dermawan

Para jemaat kaum ibu di gereja-gereja kemudian membentuk Panitia Pegumpulan Dana.
Mereka melakukan bazaar-bazaar guna mengumpulkan dana. Panitia ini juga melibatkan para
dermawan dan para konglomerat pengusaha perkebunan diseluruh Sumatera Timur. Salah
seorang dermawan dari negeri Belanda bernama Ny. Sillem seorang warga negara Amsterdam

4. Pembangunan poliklinik Kabanjahe


5. Mendirikan apotik khusus di Kabanjahe
6. Pembangunan bilik kunjungan pasien

C.Pembangunan pemukiman dan rumah sakit Lau Simomo(1915-1918)

Pada tahun pertama pembangunan pemukiman Lau Simomo belum dapat terlaksana dengan baik
oleh karena sulitnya sarana dan hubungan transportasi. Walaupun ruang inap dan ruang periksa
telah dibangun, namun pada saat itu Lau Simomo belum berfungsi sebagai Rumah Sakit tetapi
hanya berfungsi sebagai tempat pemukiman saja. Guna mendapatkan pemeriksaan (hasil visum),
pengobatan serta perawatan, para penderita lepra dengan terpaksa harus pergi ke Poliklinik
Kabanjahe. Hampir sembilan tahun lamanya para penderita lepra di
Lau Simomo menempuh perjalanan sejauh 12 km dengan berjalan kaki menuju Poliklinik
Kabanjahe. Mereka harus berjalan melintasi Desa Singa dan menyebrangi sungai Lau Biang
yang terkenal deras dan curam. Hal ini tentunya sangat memberatkan, namun para penderita
terpaksa melakukannya menunggu sarana dan jalur transportasi Kabanjahe ke Lau Simomo
selesai dibangun. Pada bulan Januari 1909 Zending L. Bodaan beserta isteri tiba di Buluh Awar.
Setelah beberapa bulan mempersiapkan diri, terutama dalam hal memperdalam pengetahuan dan
bahasa Karo maka ia ditempatkan di Sibolangit. Zending Bodaan adalah salah satu zending NZG
yang sangat tertarik dalam pelayanan di Lau Simomo.

Setelah keadaan memungkinkan Bodaan bekerja keras memindahkan segala fasilitas yang ada
di Rumah Sakit (Poliklinik) Kabanjahe tersebut ke Lau Simomo. Zending Bodaan semakin
memiliki harapan besar bahwa keinginannya untuk membangun Pemukiman dan RS. Lepra Lau
Simomo setelah NZG mulai menirimkan bantuan.

1. Pembangunan rumah sakit


2. Pengiriman tenaga perawat oleh NZG
3. Pembangunan apotik
4. Pembangunan ruang kebaktian
5. Pembangunan ruang tamu
6. Pembangunan ruang inap tamu
7. Perbaikan makam
8. Pembangunan rumah(pondok)baru
9. Kegiatan di Lau simoom

D.Pembaharuan pemukiman dan rumah sakit Lepra Lau Simomo(1918-1942)

I. Pelayananan Zending H. G. Van Eelen (1918-1930)

Dalam laporan bulanan yang disampaikan kepada kantor pusat NZG di Rotterdam, berbagai
masalah dan hambatan yang dihadapi oleh para zendings selalu dikaitkan dengan kebutuhan akan
tenaga medis dan menjadi kebutuhan yang mendesak. Mamahami akan pentingnya kebutuhan
tersebut maka kantor pusat NZG di Rotterdam bekerja keras untuk mempersiapkan tenaga yang
dapat mendukung pelayanan di Lau Simomo. Mereka menyadari bahwa persiapan tenaga
penginjil di Tanah Karo masih sangat harus dikembangkan terutama dalam hal pembekalan

keahlian khusus. Selama ini para zending atau tenaga penginjil hanya dipersiapkan dalam batas-
batas pengetahuan dan keterampilan mengabarkan injil dan memakai obat-obat tertentu.

Zending Van Eelen telah banyak berbuat demi memperbaiki dan meningkatkan keadaan sosial
para penderita lepra di Pemukiman dan Rumah Sakit Lau Simomo.

1. Pemetaan dan Penataan Areal Lau Simomo


2. System paviliun
3. Membentuk kebun keluarga
4. Mendirikan kesain dan jambur
5. Meningkatkan fungi apotik
6. Pembangunan gereja Lau simomo
7. Penjemaatan lau simoom

II. Pelayanan Zending H. Vuurmans (1921-1931)

Zending H. Vuurmans tiba di Tanah Karo pada Juli 1921 untuk menggantikan Van Eelen.
Beliau juga termasuk sebagai tokoh pembangunan di Tanah Karo. Pada tahun pertama
kedatangannya, beliau lebih banyak bekerja di Resort Serdang.78 Pada masa pelayanannya di
Tanah Karo, Vuurmans telah berhasil mendirikan Rumah Sakit Zending di Gunung Muriah.
Beliau juga berhasil membangun sebuah ruangan induk di Rumah Sakit Zending kabanjahe.
Dibawah pimpinannya, ruang rawat inap dan ruang operasi dapat dibangun di Rumah Sakit
Lepra Lau Simomo bahkan sebahagian dana pembanggunan gereja berasal dari hasil
persembahan para penghuni Lau Simomo.79 Pembangunan ini dapat berjalan karena
disokong dana yang tersedia hasil dari Pesta Jubelium 25 Tahun Rumah Sakit Lepra Lau
Simomo yang dirayakan pada 29-30 Agustua 1931.

BAB 5

A.Bidang kepercayaan

Setelah ruangan kebaktian selesai dibangun, para penghuni Lau Simomo mulai
diperkenalkan dengan kegiatan dan aktivitas rohani salah satunya adalah acara kebaktian
(badah). Hampir pada setiap pertemuan diadakan kebaktian, menyanyi,berdoa dan
pembacaan firman Tuhan. Pelayanan firman dilakukan secara rutin baik oleh pendeta yang
sekaligus berstatus sebagai pimpinan Lau Simomo maupun oleh Guru Injil Bapa Samuel
Ketaren serta Zr. Smith.

B.Bidang pendidkan

Upaya penanggulangan oleh pemerintah Kolonial tidak hanya menimbulkan perubahan


dalam bidang kepercayaan tetapi juga dalam bidang Pendidikan. Para penghuni Lau Simomo
diperkenalkan dengan berbagai ilmu pendidikan dasar non formal, seperti; ilmu medis, ilmu
musik, olah raga, keterampilan menjahit, pertukangan, bercocok tanam, dan ilmu gizi.
Berbagai pendidikan dasar non formal yang telah diperkenalkan para zending di pemukiman
dan RS. Lepra Lau Simomo
semakin mendorong Pemerintah Kolonial dan lembaga NZG agar meningkatkan sistem
pendidikan pada masyarakat di Tanah Karo, yang sebelum berdirinya Lau Simomo
sesungguhnya telah berjalan, namun kurang memuaskan.

C.Bidang ekonomi

Dalam bidang ekonomi, upaya penanggulangan wabah lepra telah mendorong memberikan
kemajuan terhadap prekonomian masyarakat di Tanah Karo melalui pendirian pemukiman
dan rumah sakit lepra Lau Simomo. Sejak berdiri, Lau Simomo terus mengembangkan
aktivitas penghuninya dalam berbagai bidang termasuk bidang ekonomi.

1. System peternakan
2. System pertanian

D.Bidang kesehatan

Masyarakat mulai memfungsikan keberadaan Rumah Sakit dan para personilnya.


Kepercayaan terhadap pengobatan secara medis mulai meningkat, namun tetap tidak
meninggalkan upacara ritual jika diperlukan. Animo masyarakat terhadap fungsi dan
keberadaan Rumah Sakit dan Balai Pengobatan juga semakin tinggi, masyarakat mulai
menghilangkan kebiasaan mereka berobat ke dukun. Dengan adanya perubahan pola perilaku
masyarakat dalam bidang kesehatan maka kesehatan masyarakat Karo secara bertahap
semakin meningkat.

E.Bidang sosial

Pemukiman dan Rumah Sakit Lepra Lau Simomo telah menanamkan suatu prinsip dalam
hidup mereka, bahwa betapa berartinya hidup mereka,walau harus menyandang lepra. Para
penderita lepra juga telah mengenal kasih dengan sesama, sikap mandiri, dan saling tolong
menolong antar sesama melalui pengajaran iman yang selama ini mereka terima dari lembaga
NZG di Lau Simomo.

Untuk menumbuhkan dan meningkatkan interaksi sosial antarsesama penghuni Lau


Simomo dengan masyarakat di sekitar, di Lau Simomo mulai dibentuk beberapa organisasi
sosial yang masih sangat sederhana, antara lain; membentuk Kesebelasan Club Maju (KCM),
Music Tiup Club Maju (MTCM) dan Kelompok Kesenian Teater dan Mars Maju
B.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

1.Penulisan yang rafi,mudah dipahami,menjelaskan secara terperinci

2.cover kurang menarik

BAB 4

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Di penghujung abad ke-18, di beberapa desa di dataran tinggi Tanah Karo seperti Kabanjahe,
Sibolangit, Berastagi dan Seribudolok banyak ditemukan penderita lepra/kusta yang hidup
bergelandangan tanpa diperdulikan oleh pihak keluarganya (masyarakat Karo lebih mengenal
lepra dengan istilah Kusta ). Para penderita lepra dibuang dan diasingkan ke daerah-daerah yang
dianggap terisolir seperti hutan, lembah, perbukitan atau desa-desa terpencil lainnya. Selain
diasingkan dan dibuang tak jarang para penderita lepra juga dibakar secara hidup-hidup oleh
keluarga mereka sendiri agar anggota keluarga yang masih sehatterhindar dari penyakit ini.

B.SARAN ATAU REKOMENDASI

Secara keseluruhan buku ini sangat baik karena memberi banyak informasi atau pengetahuan
kepada pembacanya, materi yang terdapat juga cukup banyak dan luas, akan tetapi agar pembaca
lebih memahami lagi buku tersebut, sebaiknya dalam penulisan atau pencetakan buku tersebut
lebih memperhatikan lagi kerapian dan kejelasan dalam penulisan dan pencetakannya, karena
saya lihat dalam buku ini cukup banyak tulisan yang tidak jelas bacaannya atau dapat dikatakan
kabur.
DAFTAR PUSTAKA

Lister eva.2019.Sejarah Epidemi Lepra di Tanah Karo.Yogyakarta.Penerbit ombak

Anda mungkin juga menyukai