Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad ke-15 merupakan masa-masa perdagangan Internasional
mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri
bahwa saat itu terjadi peningkatan permintaan pasar Eropa terhadap berbagai
jenis hasil bumi khas kepulauan Nusantara seperti pala, cengkeh, lada, dan kayu
manis. Komoditas lokal tersebut menjadi hasil bumi yang paling dicari dalam
perdagangan lintas benua yang selanjutnya berkembang menjadi tanaman
budidaya komersial. Kemudian, kurang lebih 200 tahun VOC melakukan
monopoli terhadap perdagangan rempah-rempah dan komoditas ekspor lain.
Kendali perdagangan di Nusantara sepenuhnya diatur oleh pihak administrasi
Belanda. Masa tersebut memasuki era baru dalam perdagangan di Nusantara,
yaitu era liberalisme perdagangan yang ditandai dengan masuknya modal swasta
internasional dalam rangka pengembangan tanaman industri. Masuknya era
liberal kemudian dikuatkan dengan dasar hukum berupa pemberlakuan Undang-
Undang Agraria tahun 18701
Berdasarkan literatur-literatur yang ada dapat diketahui bahwa ramainya
Selat Malaka sebagai jalur perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan
Asia-Eropa. Hal tersebut mengakibatkan daerah-daerah di sepanjang Pesisir
Sumatera dan Semenanjung Malaya menjadi incaran para pengusaha Eropa
untuk mengembangkan komoditas yang tengah laku keras di pasaran dunia.2
Stratregisnya wilayah Sumatera menjadi dasar untuk pembukaan lahan swasta
secara besar-besaran tepatnya di kawasan Pesisir Timur Sumatera yang ternyata
1
Undang-undang Agraria Tahun 1870 menetapkan peraturan tata-guna tanah. Dengan
diberlakukannya Undang-undang Agraria, suatu alat produksi pokok yaitu tanah
diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk membuka perusahaan
perkebunan, Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial
Ekonomi (Yogyakarta: Adtya Media, 1991), hlm. 80.
2
Iyos Rosidah, Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur
1870-1930, Tesis S-2, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2012), hlm. 2.

1
sangat cocok bagi tanaman tembakau. Pembukaan lahan itu juga dikuatkan
dengan dasar hukum Undang-Undang Agraria tahun 1870. Oleh karena itu,
hutan-hutan belantara di Sumatera dibuka dan dijadikan daerah perkebunan.
Pembukaan perkebunan di Deli, Serdang diikuti oleh perluasan ke daerah
Langkat, Simalungun, dan Asahan memicu pendirian berbagai perusahaan
pendukung lainnya.3
Pada tahun 1869, Jacobus Nienhuys bersama C.G. Clemen mendirikan
perusahaan Deli Maatschappij dengan mendapat izin kontrak sewa tanah seluas
25.000 ha. Selama 20 tahun, antara tahun 1870-1890 merupakan tahun-tahun
paling produktif bagi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. 4 Dalam
pelaksanaan pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan secara besar-besaran
pastinya membutuhkan modal, lahan, dan tenaga kerja yang tidak sedikit
kuantitasnya. Pemenuhan tenaga kerja tersebut dapat terealisasi dengan cara
mendatangkan para pekerja kontrak dari luar negeri dan luar pulau, seperti dari
Cina dan Pulau Jawa.
Para pekerja dari Cina yang akan bekerja di perkebunan Sumatera Timur
didatangkan melalui seorang makelar atau broker.5 Selain mendatangkan tenaga
kerja dari Cina, pengusaha-pengusaha perkebunan juga giat mencari tenaga kerja
asal Jawa. Alasan dipilihnya pekerja, mereka sangat rajin dan memiliki
keterampilan dalam bidang pertanian, sehingga mudah menyesuaikan diri
dengan pekerjaan di perkebunan. Selain itu, para pekerja Jawa bisa dibayar
dengan upah yang rendah. Hal itu merupakan tawaran yang menarik bagi
perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur, karena dapat
memperoleh laba yang lebih besar.
Banyaknya pekerja yang didatangkan menimbulkan banyak masalah
karena proses kedatangan mereka dilakukan dengan cara penipuan dan

3
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of
East Sumatra, 1863-1942 (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977), hlm. 6
4
Iyos Rosidah, op.cit., hlm. 3.
5
Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra
(Singapore: Asia Research Institute National University of Singapore, 2005), hlm. 200.

2
pemaksaan.6 Dalam pengadaan tenaga kerja tersebut yang berasal dari Cina
seluruhnya adalah pekerja laki-laki, sedangkan dari Jawa terdiri dari laki-laki
dan sedikit perempuan. Hal ini disebabkan adanya larangan pekerja membawa
istri serta anak-anaknya, dan calon pekerja yang sudah menikah biasanya akan
ditolak.7 Di awal perkembangan perkebunan Deli para pekerja menjadi staf di
setiap tingkatan mulai dari tingkat atas sebagai administrator sampai dengan
tingkat bawah sebagai pekerja. Sampai pada awal tahun 1900 tenaga kerja di
perkebunan Deli berjumlah 55.000 orang dan hanya terdapat 10-20% atau
berkisar 5.500-11.000 tenaga kerja perempuan.
Para pekerja dapat dikatakan sebagai penentu keberhasilan suatu
perusahaan, karena keberadaan nilai suatu komoditas bergantung dari jumlah
dan produktivitas mereka. Sehingga, keuntungan yang didapatkan oleh kaum
kapitalis berupa nilai lebih (surplus value), seharusnya merupakan hak dari para
pekerja.8 Akan tetapi, sangat disayangkan dalam mencapai tujuan tersebut
pengusaha perkebunan tidak memikirkan standard yang layak bagi para pekerja.
Para pekerja diberikan upah murah dan itu merupakan salah satu bentuk
eksploitasi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha di perkebunan Deli.
Masih banyak lagi eksploitasi yang dilakukan oleh para pengusaha kepada para
pekerja.
Dampak yang dirasakan akibat adanya eksploitasi tersebut para pekerja
sengsara, karena mereka hanya dijadikan sebagai budak yang kesejahteraannya
tidak dapat terpenuhi secara maksimal. Eksploitasi yang terjadi terhadap para
pekerja itu merupakan dampak dari berkembangnya liberalisasi ekonomi di
Nusantara. Dimana para pekerja lebih banyak mendapatkan kerugian dalam

6
Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di
Sumatra Timur pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1997), hlm.
xxiii.
7
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-
1979 (Yogyakarta: Karsa, 1995), hlm. 48.
8
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Uthopis Keperselisihan
Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.112.

3
proses pekerjaan. Sementara itu, pemerintah dan pengusaha menjadi pihak yang
mendapatkan keuntungan luar biasa.
Penderitaan yang terjadi semakin nyata ketika pemerintah menetapkan
Koeli Ordonantie tahun 1880 tentang besaran gaji para pekerja dalam aturan
tersebut ditetapkan bahwa gaji para pekerja sebesar 6 dollar per bulan untuk
pekerja laki-laki. Pada masa itu, 1 dollar setara dengan 2 gulden, berarti mereka
menerima 12 gulden sebulan. Nilai dollar kemudian mengalami penurunan
menjadi 1 dollar setara dengan 1.10 gulden, sehingga pekerja laki-laki setiap
bulan hanya menerima upah sebesar 4.40 dollar sedangkan pekerja perempuan
menerima 2.20 dollar perbulan untuk segala keperluan hidupnya, seperti makan,
minum, sabun, dan pakaian.9 Pekerja perempuan selama ini dianggap sebagai
pekerja kelas dua, dapat dibayar dengan upah rendah. Oleh karena itu, mereka
dapat dibayar dengan upah rendah. Kaum kapitalis juga beralasan bahwa pekerja
perempuan merupakan tenaga kerja yang tidak terampil sehingga dengan
membayar rendah pemasukan yang diperoleh akan lebih besar.
Para pekerja perempuan yang didatangkan rata-rata usianya masih muda
dan memiliki rupa yang cantik. Hal tersebut menyebabkan para pekerja wanita
tidak hanya sebagai pekerja, melainkan juga menjadi pemuas nafsu birahi bagi
administrator bangsa Eropa dan juga para pekerja laki-laki. Pada masa itu
perempuan Asia di Hindia dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. 10
Kegiatan tersebut pada akhirnya menjadikan para pekerja perempuan
tereksploitasi hak kehidupannya. Kondisi yang demikian sengaja dibuat oleh
pengusaha perkebunan agar pekerja perempuan tetap tersedia dan juga
kebutuhan seksual mereka terpenuhi.
Akan tetapi, dampak yang timbul akibat kegiatan tersebut menyebarnya
penyakit kelamin dan tingginya jumlah anak yang lahir dari luar nikah. Salah
satu penyakit yang diderita, yaitu sipilis. Penyakit tersebut menyerang para
pekerja perempuan. Seorang manajer di sebuah perkebunan mengeluh bahwa

9
Henri. H. van Kol, Uit Onze Kolonien (Leiden: A.W. Sijthoff,1903), hlm. 97.
10
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (Jakarta: Yayasan Obor,
2007), hlm. 47.

4
dari 60 orang pekerja perempuan, sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit
karena sipilis.11 Selain itu, dampak lain yang terjadi karena kegiatan eksploitasi
tenaga kerja wanita berpengaruh terhadap psikis mereka. Beberapa dari tenaga
kerja wanita itu ada yang lari dari perkebunan, menjadi gila, dan sampai ada
yang bunuh diri. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengambil judul
“Kehidupan Pekerja Perempuan Di Perkebunan Deli 1870-1930”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian berjudul “Kehidupan Pekerja Perempuan Di
Perkebunan Deli 1870-1942”, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah berdiri dan berkembangnya perkebunan tembakau Deli?
2. Bagaimana sistem kerja dan upah pekerja perempuan di perkebunan
tembakau Deli?
3. Ekspolitasi seperti apa yang dialami para pekerja perempuan di perkebunan
tembakau Deli dapat terjadi?
4. Dampak apa yang dirasakan oleh para pekerja perempuan akibat terjadinya
eksploitasi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian sejarah memiliki tujuan yang akan dicapai dalam
penulisannya. Terdapat dua komponen tujuan dalam penelitian ini.
1. Tujuan Umum
a. Sebagai sarana untuk melatih daya pikir kritis, analitis, dan sistematis
dalam penelitian sejarah.
b. Sebagai saran efektif untuk mengaplikasikan metode penelitian sejarah.
c. Meningkatkan disiplin intelektual yang terkhususkan dalam bidang
sejarah.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui sejarah berdiri dan berkembangnya perkebunan tembakau
Deli.

11
Henri. H. van Kol, op.cit., hlm. 98.

5
b. Mengetahui sistem kerja dan upah yang diterima para pekerja perempuan
di perkebunan Deli.
c. Mengetahui eksploitasi seperti apa yang terjadi terhadap para pekerja
perempuan di perkebunan Deli.
d. Mengetahui dampak akibat terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja
perempuan di perkebunan Deli.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pembaca maupun penulis. Manfaat tersebut, yakni sebagai berikut:
1. Bagi Pembaca
a. Pembaca memperoleh informasi mengenai sejarah berdiri dan
berkembangnya perkebunan tembakau Deli.
b. Mengetahui sistem kerja dan besaran upah yang diterima oleh para
pekerja perempuan di perkebunan tembakau Deli.
c. Mengetahui bagaimana kehidupan para pekerja perempuan di
perkebunan Deli.
d. Menambah wawasan mengenai eksploitasi seperti apa yang terjadi
terhadap para pekerja perempuan di perkebunan Deli.
e. Memberikan pemahaman terkait dampak yang terjadi akibat eksploitasi
para pekerja perempuan di perkebunan Deli.
2. Bagi Penulis
a. Memenuhi tugas akhir mata kuliah Praktek Penelitian Sejarah I.
b. Mengasah kemampuan penulis dalam hal meneliti, menganalisis,
membaca sumber-sumber sejarah, dan merekonstruksi menjadi suatu
tulisan sejarah (Historiografi).
c. Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai kehidupan wanita di
perkebunan Deli.
E. Kajian Pustaka
Dalam penelitian sejarah dibutuhkan suatu kajian pustaka yang dapat
menjadi landasan dalam kepenulisannya. Penulisan sejarah merupakan bentuk
dan proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang telah menjadi

6
peristiwa masa lampau.12 Kajian pustaka dapat membantu peneliti untuk
mengkaji setiap permasalahan yang akan diteliti. Berkaitan dengan hal tersebut,
dalam penelitian sejarah kajian pustaka sangat dibutuhkan. Hal itu dikarenakan
kajian pustaka dapat menjadi salah satu tolak ukur tingkat validitas rekonstruksi
sejarah yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa literatur untuk menjawab permasalahan yang akan dikaji.
Untuk menjawab permasalahan yang dikaji dari penelitian ini, peneliti
menggunakan buku yang berjudul Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial,
Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad ke-20 karangan dari
Jan Breman. Dalam buku tersebut dia mengungkapkan perihal kejinya politik
yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada para pekerja di
perkebunan Deli pada sekitar abad ke-19 dan abad ke-20. Dijelaskan bahwa
sekitar seratus ribu pekerja di daerah Sumatera Timur yang tidak mempunyai
hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang telah dibuat dengan pihak
perkebunan sebelum berangkat ke Deli. Sehingga, bagi pekerja yang berani
melanggar aturan tersebut akan mendapatkan sanksi berat atau yang biasa
disebut poenale sanctie.
Penelitian ini erat kaitannya dengan kajian sosiologis. Buku karangan
Jan Breman itu pantas dijadikan acuan, karena dalam pembahasannya buku
tersebut menggunakan analisis sosiologis. Hal tersebut dapat dilihat pada
bahasan bab V yang berjudul “Masyarakat Perkebunan dan Orde Kolonial”. Bab
tersebut membahas tentang kehidupan pada masyarakat perkebunan. Selain itu,
dibahas juga terkait struktur sosial pekerja di perkebunan tembakau Deli.
Eksploitasi terselubung yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan
terhadap para pekerja khususnya pekerja perempuan menyebabkan mereka
hidup di bawah standar kesejahteraan. Hal ini tercermin dari penghasilan pekerja
perempuan yang dibayar kurang dari 11 sen sehari, sedangkan biaya makan
sehari diperlukan 13 sen. Dengan demikian, untuk biaya makan saja tidak cukup,
apalagi untuk biaya membeli pakaian dan sabun mandi. Sumber lain

12
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 19.

7
menyebutkan jika mereka hanya dibayar 7,50 sen sehari. Upah yang demikian
rendah menyebabkan mereka mencari cara untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sementara itu Karl J. Pelzer dalam buku Toean Keboen dan Petani,
Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria memberikan informasi awal terkait
pembukaan perkebunan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang
dimulai sejak kedatangan Jacobus Nienhuys. Bermula dari kedatangannya di
pinggir Sungai Deli. Ternyata Jacobus melihat bahwa tanah tersebut sangat
subur dan cocok ditanami tembakau gulung. Ketika mengetahui tingginya nilai
tembakau gulung yang di tanam di Deli dan sekitarnya, maka semakin banyak
pengusaha asing yang datang ke Sumatera Timur. Melihat hal tersebut para
penguasa setempat, tanpa memikirkan kembali nasib dari rakyatnya bekerjasama
dengan pengusaha asing dalam hal pengadaan lahan untuk membuka
perkebunan.
Para penguasa tersebut memberikan konsesi tanah kepada pengusaha-
pengusaha asing yang ingin membuka lahan di Deli. Konsensi tanah tersebut
menjadikan semakin bertambahnya pembukaan lahan untuk tembakau. Pada
tahun 1872 jumlah perkebunan tembakau berjumlah 22, tahun 1880 berjumlah
49, dan tahun 1888 berjumlah 148 perkebunan. Hal tersebut menimbulkan
perampasan hak agraria rakyat yang kemudian menimbulkan berbagai konflik.
Ann Laura Stoler dalam buku Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk
Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Dalam buku tersebut Stoler membahas
sistem pekerja kontrak di perkebunan Deli Sumatera Timur. Selain itu, Stoler
juga membahas keadaan dari pekerja kontrak itu sendiri. Dijelaskan bahwa
keadaan ekonomi dan sosial komunitas Jawa yang banyak bermukim di
pinggiran perkebunan. Mereka bekerja di perkebunan dengan status pekerja
lepas, dengan upah lebih kecil dibandingkan pekerja kontrak. Pada bab II buku
tersebut Stoler menjelaskan upah yang diperoleh pekerja perempuan jumlahnya
separuh dari upah pekerja laki-laki.
Selain itu, eksploitasi yang dilakukan terhadap pekerja perempuan tidak
hanya permasalahan sistem kerja dan upah yang diperoleh. Para pekerja

8
perempuan juga mengalami eksploitasi dalam hal seksualnya. Mereka dijadikan
sebagai alat pemuas nafsu dari para pekerja laki-laki dan para pengusaha kebun.
Akibat dari kegiatan tersebut tidak sedikit dari para pekerja perempuan yang
terkena penyakit kelamin.
F. Historiografi Yang Relevan
Historiografi yang relevan merupakan bagian yang sangat penting dalam
merekonstruksi sejarah. Upaya dalam membandingkan peristiwa-peristiwa di
masa lampau dengan penelitian sejarah yang didukung adanya penelitian
sejarah. Adanya historiografi yang relevan sebenarnya bertujuan untuk
mendapatkan sebuah karya baru dengan harapan tidak terjadi pengulangan yang
sama.13 Diharapkan dengan adanya historiografi yang relevan penulis dapat
menghindari plagiatisme dan dapat menjadikan penelitian serta karya-karya
yang telah ada sebagai pembeda dari penelitian yang dilakukan penulis.
Dalam penelitian ini peneliti menjadikan tesis dari Iyos Rosidah yang
berjudul”Eksploitasi Pekerja Perempuan Perkebunan Deli di Sumatera Timur
1870-1930” sebagai historiografi yang relevan. Karya tersebut membahas
mengenai eksploitasi terhadap pekerja perempuan yang terjadi di perkebunan
Deli. Fokus dari karya tersebut mengkaji dari aspek kehidupan sosial masyarakat
atau sosiologi, aspek kehidupan ekonomi dari para pekerja perempuan, dan
aspek psikologis juga dikaji, dikarenakan dampak yang terjadi akibat eksploitasi
itu menmpengaruhi psikis dari pekerja perempuan.
Historiografi relevan kedua, yaitu buku Menjinakkan Sang Kuli: Politik,
Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad ke-20 karya
Jan Breman. Buku tersebut menjelaskan terkait aturan-aturan yang sangat
memberatkan para pekerja di perkebunan Deli. Buku itu juga mengupas perihal
sistem kerja yang diberikan kepada para pekerja yang bekerja di perkebunan
Deli. Para pekerja yang bekerja di perkebunan Deli diberikan sistem kontrak
yang tidak boleh keluar dari perkebunan sebelum masa kontrak selesai. Untuk
memuluskan langkah itu para pekerja diberikan uang muka (voorschot). Namun,
apabila terjadi pelanggaran kontrak maka pekerja akan mendapatkan sanksi

13
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 99.

9
berat atau biasa disebut poenale sanctie. Dapat dilihat juga bahwa buku tersebut
membahas terkait aspek sosiologis dari kehidupan para pekerja di perkebunan
Deli.
G. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian
sejarah. Metode sejarah sendiri memiliki berbagai macam versi, pada
penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah menurut
Kuntowijoyo. Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah beliau
memaparkan bahwa dalam mengkaji peristiwa masa lampau diperlukan
langkah-langkah, seperti pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi,
dan historiografi.
a. Pemilihan Topik
Pemilihan topik yang dilakukan tidak terlepas dari kedekatan
emosional peneliti. Pada penelitian ini, peneliti mengambil judul
Kehidupan Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli 1870-
1930. Dipilihnya judul tersebut, karena kedekatan emosional peneliti
dengan daerah tempat tinggal dan lokasi penelitian. Selain itu, peneliti
tertarik terhadap pembahasan mengenai kehidupan pekerja perempuan di
perkebunan tembakau Deli.
b. Heuristik
Dalam studi sejarah penggunaan sumber sebagai pemahaman
peristiwa masa lampau bersifat mutlak.14 Heuristik merupakan kegiatan
menghimpun jejak-jejak masa lampau yang dikenal dengan data sejarah.
Data yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang ditulis.
Heuristik mempunyai tujuan yakni agar kerangka pemahaman yang
didapatkan berdasarkan sumber-sumber yang relevan, yang bisa disusun
jelas, lengkap dan menyeluruh.15

14
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1982), hlm. 96.
15
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm.89

10
Untuk melaksanakan tahapan ini, peneliti mengumpul data dan
informasi yang relevan dari berbagai tempat. Tempat-tempat yang
menjadi rujukan pencarian sumber tersebut, diantaranya Perpustakaan
FIS UNY, UPT Perpustakaan UNY, Perpustakaan Kota Yogyakarta,
Perpustakaan Grahatama Pustaka. Secara garis besar sumber sejarah
terbagi menjadi dua, yakni sumber primer dan sumber sekunder.
1. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber yang didapatkan dari tangan
pertama atau dapat juga disebut sebagai sumber utama dari obyek
penelitian. Sumber primer dalam bentuk tertulis dapat berupa arsip
atau dokumen lainnya.
a. Arsip
Koleksi foto ANRI, KIT 192/42
Koleksi foto ANRI, KIT 315/56
Koleksi foto ANRI, KIT 315/66
Koloniale Verslag van 1915
Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG .1, No. 1312,
ANRI
KIT (Koninklijk Instituut voor de Tropen) Sumatera Utara No
593/54, No. Inventaris F.1, Arsip Nasional Republik
Indonesia
Staatsblad van Nederlandsch Indie, no. 133, tahun 1880
b. Surat Kabar
Deli Courant, 1902
Bintang Barat, 1891
Sumatera Post, 1902
2. Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber yang didapatkan tidak
langsung dari pelaku sejarah atau pihak pertama pada saat peristiwa
itu terjadi. Dengan kata lain, sumber sekunder adalah kesaksian
sesorang yang bukan merupakan saksi pandangngan mata yakni

11
sesorang yang tidak hadir pada waktu terjadinya peristiwa.16 Sumber
sekunder dapat berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal penelitian,
biografi, dan buku. Beberapa sumber sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
a. Tesis
Iyos Rosidah. 2012. Eksploitasi pekerja perempuan di
Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930. Tesis S-2
Semarang: Universitas Diponegoro.
Yasmis. 2008. Kuli Kontrak di Perkebunan Deli Sumatera
Timur Tahun 1880-1915. Tesis S-2. Depok: Universitas
Indonesia.
b. Skripsi
Dwi Winandar. 2013. Perlawanan Buruh Terhadap Dominasi
Perkebunan Tembakau di Deli Pantai Timur Sumatera Tahun
1880-1930. Skripsi S-1. Sleman: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Sugiono Benny Sihombing. 2013. Kolonisasi di Sumatera
Timur (Studi Tentang Kehidupan Kolonis Jawa di Sumatera
Timur Tahun 1905-1942). Skripsi S-1. Sleman: Universitas
Negeri Yogyakarta.
c. Buku
Ann Laura Stoler. 1995. Kapitalisme dan Konfrontasi di
Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.
Anthony Reid. 2005. An Indonesian Frontier: Acehnese &
Other Histories of Sumatra. Singapore: Asia Research
Institute National University of Singapore.
Franz Magnis-Suseno. 2003. Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Uthopis Keperselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

16
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 35.

12
Helius Sjamsudin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
Henri. H. van Kol. 1903. Uit Onze Kolonien. Leiden: A.W.
Sijthoff.
H.J. Bool. 1904. De arbeidswetgeving in de residentie
Oostkust van Sumatra. Utrecht: Bosch.
Jan Breman. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial,
Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abad ke-
20. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti.
Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani, Politik
Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-
1947. Jakarta: Sinar Harapan.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Mohammad Said. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli
Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya.
Medan: Waspada.
R. Broesma. 1919. Oostkust van Sumatra I. Batavia: Javasche
Boekhandel de Drukkerij.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan
Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Pustaka Utama.
Sartono Kartodirdjo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia,
Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Adtya Media.
Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori & Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

13
Thee Kian Wie. 1977. Plantation Agriculture and Export
Growth an Economic History of East Sumatra, 1863-1942.
Jakarta: LEKNAS-LIPI.
Tineke Hellwig. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia
Belanda. Jakarta: Yayasan Obor.
W.H.M Schadee. 1919. Geschiedenis van Sumatra’s
Oostkust, II. Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut.

c. Verifikasi atau Kritik Sumber


Verifikasi ataupun kritik sumber merupakan tahap ketiga dalam
penelitian sejarah. Kritik sumber adalah suatu proses pengujian dan
menganalisa secara, kritis agar dapat dibuktikan kebenaran dari sumber-
sumber yang berhasil dikumpulkan. Kritik sumber dapat pula diartikan
sebagai upaya untuk mencari dan mengetahui kredibilitas dari sumber-
sumber yang diproleh dari proses heuristik.
Dalam tahapan verifikasi atau kritik sumber terdapat dua metode
yang digunakan, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Pada tahapan ini,
kritik awal yang dilakukan adalah kritik ekstern. Kritik ekstern dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui keautentikan sumber sejarah yang
digunakan. Kritik ekstern juga dilakukan untuk mengamati bagian luar
dari sumber sejarah, seperti kertas, tinta, gaya tulisan, dan bahasa yang
digunakan.
Sementara itu, tahap selanjutnya dilakukan kritik intern terhadap
sumber sejarah. Kritik intern merupakan kritik yang dilakukan untuk
menguji kredibilitas sumber sejarah yang digunakan. Pada tahapan ini,
fokus kritik tertuju pada isi dari sumber sejarah. Hal tersebut dilakukan
untuk membuktikan apakah kesaksian atau pernyataan yang terdapat
dalam suatu dokumen atau arsip bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
d. Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan sumber-sumber yang sebelumnya
telah diverifikasi. Interpretasi merupakan kegiatan penafsiran yang
bertujuan untuk menemukan hal yang saling berhubungan antara fakta

14
yang satu dengan fakta yang lain. Pada tahap interpretasi terdapat dua hal
yang dilakukan, yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan).
Kedua hal tersebut saling berhubungan yang diawali dengan penguraian
fakta-fakta sejarah menjadi beberapa kemungkinan yang akan dipilih
untuk dijadikan sebagai sumber dalam penelitian. Kemudian, fakta tadi
kembali disatukan untuk selanjutnya dirangkai menjadi fakta-fakta
sejarah yang baru.
e. Historiografi
Langkah terakhir yang dilakukan dalam penelitian sejarah adalah
historiografi atau penulisan sejarah. Historiografi adalah penulisan
sejarah yang dilakukan dengan menyajikan hasil yang telah didapat
melalui langkah-langkah sebelumnya dan nantinya akan dijadikan
sebuah karya ilmiah. Sementara itu, menurut Louis Gottschalk
historiografi adalah hasil dari sintetsis terhadap sumber-sumber yang
diperoleh.
Untuk menghasilkan historiografi yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka peneliti harus membahas secara secara
analisis dan sintesis seolah-olah kedua bagian ini memiliki proses
masing-masing namun dengan catatan kedua proses tersebut tidak boleh
dipisahkan dan harus tetap disandingkan.
H. Pendekatan Penelitian
Penelitian sejarah tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari
disiplin ilmu yang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan disiplin ilmu lain sebagai
sudut pandang baru untuk menghasilkan rekonstruksi peristiwa sejarah yang
objektif. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan ekonomi dan
sosiologis dalam melakukan penelitiannya. Hal tersebut dikarenakan, fokus dari
penelitian ini membahas kehidupan para pekerja wanita di perkebunan Deli.
Pendekatan ekonomi dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji
sistem kerja yang diberikan kepada para pekerja. Selain itu, digunakan juga
untuk mengkaji permasalahan sistem kerja, upah pekerja dan hasil produksi
tembakau yang semua itu merupakan aspek kajian dari ilmu ekonomi.

15
Pendekatan sosiologi dapat dikaji mengapa dibentuk kelompok, mengapa
mereka hidup dan bagaimana hubungan sosial mereka.17 Dalam kajian penelitian
ini dapat dilihat bagaimana para pekerja hidup bermasyarakat di tempat tinggal
para pekerja kebun. Namun, disisi lain kehidupan tersebut tidak hanya berjalan
seperti kehidupan masyarakat biasa. Dalam kehidupannya terjadi eksploitasi
terhadap golongan pekerja wanita dimana mereka mengalami penindasan hak,
seperti sistem kerja yang menyulitkan dan upah kerja yang sedikit. Hal tersebut
menjadikan mereka tidak bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut mereka mencari pekerjaan lain, pekerjaan yang
paling mampu memberikan penghasilan tambahan salah satunya menjadi
pelacur. Pekerjaan tersebut memaksa mereka untuk memenuhi kebutuhan
seksual dari pekerja laki-laki maupun pengusaha perkebunan. Akibat hal
tersebut timbulnya penyakit kelamin yang dialami oleh para pekerja wanita.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dibuat sebagai uraian singkat dari setiap bab
yang akan dibahas. Penelitian yang berjudul “Kehidupan Wanita di Perkebunan
Deli 1870-1942” akan disusun dalam lima bab pembahasan. Adapun sistematika
pembahasannya, yakni sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan
Bab ini menjelaskan hal-hal yang mendasari penelitian yang akan
dilakukan. Bab pertama dapat dikatakan sebagai pondasi penelitian yang
berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode dan
pendekatan penelitian yang digunakan, serta sistematika pembahasan.
BAB II. SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN
PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
Bab ini berisi mengenai latar belakang dari pembentukan
perkebunan Deli hingga perkebunan Deli menjadi penghasil tembakau
terbaik di dunia.

17
Suhartono W. Pranoto, Teori & Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
hlm. 22.

16
BAB III. SISTEM KERJA DAN UPAH PEKERJA DI
PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
Bab ini membahas mengenai sistem kerja dari pekerja wanita dan
upah yang diterima oleh pekerja wanita di perkebunan Deli. Sistem kerja
dari pekerja di perkebunan tembakau Deli pada umumnya bersifat
kontrak yang berkisar 3 tahun. Sementara itu, upah yang diterima
biasanya sangat rendah dan untuk pekerja perempuan sendiri upah yang
mereka terima setengah dari upah pekerja laki-laki.
BAB IV. EKSPLOITASI PEKERJA WANITA DAN DAMPAKNYA
DI PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI (1870-1930)
Bab ini membahas latar belakang terjadinya eksploitasi terhadap
pekerja wanita di perkebunan Deli. Selain itu, peneliti juga menyajikan
pembahasan terkait bentuk eksploitasi yang dialami oleh para pekerja
wanita tersebut. Dalam eksploitasi tersebut, para pengusaha kebun
memanfaatkan pekerja perempuan yang merupakan hasil dari sosialisasi
ketimpangan gender. Pekerja perempuan sangat memenuhi syarat dalam
strategi penekanan biaya produksi, karena mereka dapat dibayar dengan
upah yang rendah.
Selain itu, pada bab ini juga dibahas terkait dampak yang
dirasakan oleh para pekerja perempuan karena adanya eksploitasi
tersebut. Perlu diketahui bahwa adanya eksploitasi terhadap mereka
menimbulkan berbagai dampak, seperti dampak fisik, moral, dan psikis.
Dampak fisik yang mereka rasakan, yaitu mereka terkena penyakit
sipilis. Dampak moral yang dirasakan, seperti malu akan perbuatan
melacurkan diri karena nantinya akan melahirkan anak-anak hasil diluar
nikah. Dampak psikis yang dirasakan, seperti depresi dan gangguan jiwa
yang menyebabkan mereka lari dari perkebunan. Bahkan tidak hanya itu,
ada juga yang sampai bunuh diri.
BAB V. KESIMPULAN
Bab terakhir berisi tentang kesimpulan dan penjabaran secara
umum tentang penelitian yang dilakukan. Selain itu, bagian ini

17
menyajikan jawaban atas pernyataan dan permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian berdasarkan dari bab-bab yang telah
dipaparkan sebelumnya.

BAB II
SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU
DELI
A. SEJARAH BERDIRINYA PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI

18
Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak Baisabukit
(dulu disebut Wilhelmina Gebergte) dan barisan bukit Simanuk-manuk.
Berangsur-angsur menurun dari Barisan Bukit Simanuk-manuk menyentuh
pantai timur Danau Toba, terus ke dataran rendah dan rawa-rawa sepanjang
pantai Selat Malaka. Luas Sumatera Timur 94.583 kilometer terletak di antara
dua barisan bukit yang merupakan bagian dari sistem Bukit Barisan yang
membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina (Selat Sunda) di
selatan dengan panjang 1.650 km.18
Secara geografis Sumatera Timur terletak di antara garis khatulistiwa dan
garis Lintang Utara 40, berbatasan dengan Aceh di barat laut, dan Tanjung Cina
di Selat Sunda bagian Selatan. Sumatera Timur mempunyai iklim pantai tropik
yang sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah-daerah
tanah tinggi “Tumor Batak”, diantaranya dataran tinggi Karo, pegunungan
Simalungun, dan pegunungan Habisaran.19 Daerah pantai rata-rata bersuhu 250C
maksimum 320C, sedangkan di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun
mencapai 120C dan berkisar antara 5,50C dan 180C.6 Curah hujan di Sumatera
Timur rata-rata 2000 mm/tahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Selain itu, daerah Sumatera Timur memiliki ciri lain, yaitu angin bertiup
sangat kencang yang terjadi antara bulan Juli sampai September. Angin kencang
tersebut sering disebut angin Bahorok. Nama tersebut diambil dari nama lembah
sungai Bahorok yang merupakan anak sungai Wampu. Angin tersebut bertiup
dari sepanjang lembah-lembah sungai, kemudian turun ke daerah “Tumor
Batak” melalui kaki pegunungan sampai pada akhirnya bertiup ke daerah tanah-
tanah rendah langkat. Angin Bohorok menggantikan angin laut yang berhembus
ke pedalaman selama siang hari. Hembusan angin Bohorok yang sangat
kencang, menimbulkan kegersangan yang dapat menghancurkan tanaman.

18
Iyos Rosidah, Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur
1870-1930, Tesis S-2, (Semarang: Universitas Diponegoro), 2012, hlm. 32.
19
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di
Sumatera Timur, 1863-1947 (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 31

19
Sejarah berdirinya perkebunan Deli dimulai ketika Jacobus Nienhuys
membuka wilayah perkebunan di Sumatera Timur. Pada tanggal 6 Juli 1863
kapal “Josephine” mendarat di Kuala Sungai Deli kapal tersebut membawa
Jacobus Nienhuys, wakil-wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen & Co
(perusahaan tembakau Belanda di Surabaya), dan para pemilik kapal tersebut.
Selain itu juga terdapat seorang pangeran bernama Said Abdullah Ibnu Umar
Bilsagih yang menceritakan bahwa tembakau bermutu tinggi dapat ditanam di
Deli. Bersama dengan wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen & Co,
Jacobus Nienhuys memutuskan untuk menemui pangeran ke Sumatera Timur.20
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh Jacob, yaitu memperoleh izin dari
atasannya untuk memindahkan kegiatan penanaman tembakau dari Jawa ke
Sumatera. Tindakan tersebut dilaksanakan dengan segera mengirim surat kepada
atasannya. Selain itu, Jacobus juga menguraikan pokok-pokok rencana dalam
proses pembukaan lahan perkebunan yang nantinya bisa mendapatkan hak
tunggal untuk membeli tembakau Deli yang dihasilkan oleh penduduk setempat.
Rencana lain suatu daerah di Sumatera Timur dijadikan sebagai lahan percobaan
seluas 75 ha, dan ingin memperoleh wewenang membeli lahan seluas 300 ha
lainnya. Jacobus Nienhuys juga diberi wewenang mengupah pekerja-pekerja
Cina untuk menanam tembakau. Para buruh ini menerima uang muka selama
satu tahun yang sedang berjalan, dan perhitungannya diselesaikan setelah
tembakau hasil tanamannya diserahkan ke bangsal-bangsal pengeringan milik
perusahaan. Sampai pada akhirnya Jacobus berhasil memperoleh izin dari pihak
kerajaan Deli untuk mendirikan perkebunan Deli atau yang biasa disebut Deli
Maatschappij pada 28 Oktober 1869.

B. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI


Deli Maatschappij adalah perusahaan perkebunan yang mengutamakan
perhatian pada tembakau, bahkan sejarahnya merupakan penghasil tembakau
gulung pembungkus cerutu yang terkenal di Sumatera Timur. Pada masa
perintisan ini, awalnya Jacobus Nienhuys tidak berhasil meyakinkan Firma

20
Ibid, hlm 51.

20
Pieter van den Arend untuk berinvestasi di Deli. Jacob harus berdikari sendiri
mencari kreditor di Penang untuk memodali firmanya. Usaha Nienhuys untuk
mencari kreditor tidak sia-sia, dua orang pedagang Belanda P.W. Jansen dan C.
G. Clemen setuju bergabung untuk mendirikan perkebunan Deli. Mereka
berkongsi untuk membangun usaha pertembakauan di Deli dengan modal
permulaan f 10.000. Mereka juga mendapat tambahan konsesi tanah yang luas
tanpa uang sewa selama 99 tahun. Tanah tersebut terletak di antara sungai Deli
dan sungai Percut, memanjang sepanjang kampung Mabar hingga Deli Tua.
Luas tanahnya meliputi Mabar, Pulau Berayan, Gelugur, Kesawan, Sukaraja dan
Sungai Mati (Tebing Tinggi), Kampung Brau, dan Deli Tua. Kegiatan
perkebunannya meluas sampai ke hulu, ke Medan Putri di sepanjang jalan
Serdang.
Sedikit permasalahan awal yang dihadapinya adalah pemenuhan tenaga
kerja yang sulit didapat. Oleh sebab itu, mendatangkan pekerja Cina yang sudah
lama tinggal di Penang yang dikenal dengan “Laukeh” adalah solusi awal untuk
memulai pengelolaan di perkebunan Deli ditambah dengan sedikit pekerja
Melayu. Selain itu, pemenuhan tenaga kerja juga dilakukan dengan mendatang
para pekerja dari wilayah pulau Jawa. Sejak awal dimulainya perkebunan, hasil
produksi tembakau telah terjadi kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat.
Tembakau yang dihasilkan pada bulan Maret 1864 sangat memuaskan bagi van
den Arend di Rotterdam dan produksi tembakau meledak di pasaran Eropa.
Sejak saat itu Deli dikenal sebagai ’Dollar Land’ dengan predikat sebagai
penghasil daun pembungkus cerutu terbaik di dunia.
Pada tahun 1865 dengan jumlah pekerja 88 orang Cina dan 23 orang
Melayu, kebun milik Jacobus Nienhuys dapat menghasilkan 189 bal tembakau
dengan mutu terbaik. Tembakau tersebut laku pada pelelangan di Rotterdam
dengan harga 149 sen per ½ kilogram. Selanjutnya, tahun 1868 keuntungan yang
diperoleh Jacobus Nienhuys lebih dari 100%, bahkan pada tahun 1869 hampir
200%. Hal ini meyakinkan Bank Nederlandsche Handel Maatschappij di
Belanda untuk memberi kredit, ketika diketahui bahwa daun tembakau Deli
bermutu tinggi.

21
Usaha Jacobus Nienhuys terus berkembang dan badan usaha tersebut
membawahi sekitar 75 daerah perkebunan di Sumatra Timur yang pengusaha-
pengusahanya berasal dari mancanegara seperti Amerika, Inggris, Swiss,
Belgia, Jerman, dan Jepang. Sepeninggal Jacobus Nienhuys, Deli Maatschappij
dipimpin oleh J.T. Cremer (1871-1873). J.T. Cremer adalah pegawai
Nederlandsche Handel Maatschappij di Amsterdam, tahun 1868 pindah ke
cabang Jakarta. Cremer diangkat menjadi adminstrateur atau tuan kebun untuk
perkebunan Deli di Sumatera Timur pada tahun 1871. Penunjukkan Cremer
sebagai pengganti Nienhuys bukan tanpa alasan. Perannya dalam mendatangkan
banyak pekerja Cina baik langsung dari Tiongkok maupun dari Semenanjung
Malaka merupakan salah satu poin penting, karena kedepan dia bakal paham apa
yang harus dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perusahaan.
Kepemimpinan Cremer memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
perkembangan Deli Maatschappij. Dibawah pimpinannya perkebunan Deli
berkembang pesat. Pada tahun 1871 semakin banyak pengusaha yang ingin ikut
bergabung dalam Deli Maatschappij tercatat telah ada 40 saham kesertaan orang
Eropa di perkebunan Deli seperti perkebunan Maryland (Marelan), Arhemia,
Helvetica (Helvetia), Poland (Polonia), Mariendal dan lain-lain, serta terdapat
15 proposal yang telah menyatakan ikut bergabung. Cremer juga berhasil
memperluas wilayah perkebunan ke kawasan lain seperti Langkat, Binjai,
Serdang, Padang (Tebing Tinggi), Siantar, dan Simalungun. Jumlah perkebunan
juga meningkat dari 13 buah pada tahun 1873 menjadi 23 buah pada tahun 1874.
Tidak hanya wilayah perkebunan, dalam hal produksi tembakau juga mengalami
peningkatan yang pada tahun 1870 berjumlah 1.315 pak menjadi 22.000 pak
pada tahun 1883. Berikut ini ditampilkan tabel laju produksi tembakau dari
1864-1900 yang tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jumlah Produksi Tembakau Deli dan Rata-rata Nilai Jual di
Sumatera Timur Tahun 1864-1900

Tahun Jumlah Bal Rata-rata harga/ Nilai Jual


(@’ 158kg) 0,5 kg (gulden)

22
1864 50 0,48 f 4.000
1869 1.381 1,29 f 250.000
1874 12.895 1,50 f. 2.850.000
1879 57.596 1,19 f. 10.350.000
1884 115.496 1,44 f. 27.550.000
1889 184.322 1,46 f. 40.600.000
1890 236.323 0,72 f. 26.000.000
1892 144.682 1,26 f. 26.700.000
1894 193.334 1,19 f. 35.000.000
1899 264.100 0,82 f. 33.300.000
1900 223.731 1,11 f. 38.000.000

Sumber: W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust I


(Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919), hlm. 186.
Memasuki tahun 1891 terjadi suatu krisis yang menyebabkan banyak
perusahaan perorangan dijual kepada Deli Maatschappij. Antara tahun 1890-
1894 lebih dari 20 perkebunan bangkrut. Jumlah seluruh perkebunan pada tahun
1889 adalah 179 perkebunan, menginjak tahun 1914 hanya tinggal 101
perkebunan dan akhirnya hanya tinggal 72 perkebunan pada tahun 1930.21
Selama masa krisis itu Deli Maatschappij mengambil alih banyak perkebunan
yang para pemiliknya mengalami kesulitan keuangan. Berikut ini disajikan data
perkembangan kebun di Sumatera Timur dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2. Jumlah Perkebunan di Sumatra Timur Tahun 1864-1904


Tahun Jumlah Perkebunan Tahun Jumlah Perkebunan
1864 1 1887 114
1873 13 1888 141
1874 23 1889 153
1876 40 1891 169
21
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Ekonomic History of
East Sumatra, 1863-1942 (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977), hlm.12.

23
1881 67 1892 135
1883 74 1893 124
1884 76 1894 111
1885 88 1900 139
1886 104 1904 114
Sumber: W.H.M Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, II
(Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919), hlm. 191.

BAB III
SISTEM KERJA DAN UPAH KERJA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
A. SISTEM KERJA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
Pembukaan lahan yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys pada 1863
membutuhkan lahan yang cukup agar dapat melakukan produksi yang besar.
Selain itu, dalam pelaksanaan kegiatan produksi dibutuhkan para pekerja yang

24
siap membantu perusahaan untuk mencapai target yang telah ditentukan. Tenaga
kerja adalah faktor utama yang mendukung keberhasilan suatu perkebunan yang
diperlukan sebagai penggarap tanah, penanam tembakau, pengolah daun
tembakau, dan sebagai kuli angkut.
Pemenuhan tenaga kerja di perkebunan Deli pada mulanya dapat
dipenuhi dengan tenaga kerja penduduk setempat. Namun, penduduk setempat
banyak yang kurang tertarik bekerja di perkebunan. Mereka juga kurang
terampil dalam penanaman tembakau. Oleh sebab itu pengusaha perkebunan
terpaksa mencari tenaga kerja dari daerah lain, yaitu dari Semenanjung Malaka,
Jawa, dan India (Keling). Perekrutan tenaga kerja tersebut sering dilakukan
dengan cara penipuan yaitu dengan cara diajak nonton pertunjukan wayang, atau
menyebutkan Johor sebagai tempat tujuan namun pada kenyataannya mereka
diseberangkan ke Deli secara diam-diam.
Pengerahan tenaga kerja ditangani oleh beberapa biro pencari tenaga
kerja. Biro Imigrasi bernama J. C. de Jongh di Batavia adalah milik seorang
makelar bernama Herman A. Lefebre yang juga menawarkan tenaga kerja
melalui iklan di surat kabar. Kantor Imigrasi J. C. de Jongh dalam iklannya
menyediakan pekerja kontrak perempuan sebanyak 25 orang dan 15 orang laki-
laki.22 Selain itu, ada Biro Imigrasi tenaga kerja ESAS yang berkedudukan di
Surabaya. Biro ini memasang iklan di surat kabar dan menawarkan tenaga kerja
seperti menawarkan barang dagangan.23
Terdapat juga biro atau agen pencari tenaga kerja bernama VEDA (Vrije
Emigratie Deli Avros). Biro ini sangat berbeda dengan biro lainnya, dalam hal
mendatangkan pekerja biro ini sangat memperhatikan kualitas kesehatan dari
pekerja yang akan disalurkan. Oleh karena itu, biro ini sangat diminati oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur.
Pada masa awal pembukaan lahan pendatangan pekerja Cina ke

perkebunan Deli merupakan solusi untuk mengatasi kesulitan pencarian

22
Deli Courant, 1 April 1902.
23
Sumatera Pos, 7 Mei 1902.

25
pekerja. Di tahun 1864 Nienhuys langsung terjun sendiri mencari pekerja

Cina tersebut ke Penang. Jacobus Nienhuys mulai melakukan hubungan

dengan orang-orang Cina yang telah lama bermukim di Penang yang disebut

LauKeh (perantau). Melalui mereka Nienhuys dapat menjalin relasi dengan

Kantor Protektorat yang mendatangkan para pekerja dari negeri Cina yang

umumnya berasal dari daerah sekitar Swataw, Amoy, dan Kanton.24

Pada tahun 1884 jumlah tenaga kerja Cina yang didatangkan ke

perkebunnan Deli hanya 40.257 orang, kemudian 1885 bertambah 3.839

orang menjadi 44.096 orang. Begitu juga tahun 1886 terjadi peningkatan

yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,

jumlah tenaga kerja bertambah 13.090 orang yaitu menjadi berjumlah 57.186

orang.25

Mulanya pemenuhan tenaga kerja Cina dapat dilakukan oleh agen

pencari tenaga kerja di Penang dan Singapura. Akan tetapi, karena adanya

permintaan tenaga kerja yang semakin tinggi dari pihak perkebunan,

membuat para agen pencari tenaga kerja saling berlomba untuk memenuhi

kebutuhan tersebut.

Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan

mengantisipasi terjadi kekurangan tenaga kerja. Para pengusaha berpikir

untuk mendatangkan tenaga kerja lokal dari daerah Jawa. Selain itu,

24
Iyos Rosidah, Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur
1870-1930, Tesis S-2, (Semarang: Universitas Diponegoro), 2012, hlm 82.
25
R. Broesma, Oostkust van Sumatra I (Batavia: Javasche Boekhandel de Drukkerij,
1919), hlm. 252.

26
didatangkannya pekerja Jawa ke perkebunan Deli dikarenakan mereka

merupakan pekerja yang terampil dalam bidang pertanian ataupun

perkebunan dan yang tidak kalah penting adalah para pekerja Jawa

merupakan pekerja yang rajin dan tahan kerja. Berikut ini disajikan tabel

jumlah pekerja Cina dan Jawa dari tahun 1883-1930 di perkebunan Deli.

Tahun Cina Jawa Jumlah

1883 21.136 1.711 22.874


1893 41.700 18.000 59.700
1898 50.846 22.256 73.102
1906 53.105 33.802 86.907
1913 53.617 118.517 172.134
1920 27.715 209.459 237.174
1930 26.037 234.554 260.591
Table 3.1 Jumlah pekerja Cina dan Jawa di Sumatera Timur 1883-

1930.

Sumber: Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth

an economic history of East Sumatra, 1863-1942: National Institute

of Economic and Social Research (LEKNAS-LIPI), hlm. 39.

27
Pertambahan jumlah pekerja yang begitu banyak disebabkan

karena bertambahnya jumlah perkebunan tembakau. Pemenuhan

pekerja tersebut dibantu oleh werver (werek) sebutan untuk agen tenaga

kerja. Untuk memudahkan pendatangan tersebut para agen membujuk calon

tenaga kerja Jawa dengan iming-iming, mulai dari kehidupan yang sejahtera,

terdapat banyak emas di Sumatera, terdapat wanita cantik, dan lain

sebagainya.

Pekerja-pekerja yang didatangkan diberikan sistem kerja sebagai

pekerja kontrak. Para pekerja sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan

harus menandatangani kontrak untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Mereka

juga menerima uang voorschot (uang muka upah). Voorschot yang diberikan

dibayar kembali kepada pengusaha perkebunan dengan memotong upah

setelah mereka bekerja. Setelah ditandatanganinya kontrak, pihak pengusaha

perkebunan menuntut kepatuhan para pekerja dalam bekerja.

Sistem kontrak mengatur pihak penguasa mengurus dan menanggung

semua biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan para pekerja dari tempat

asal ke tempat mereka dipekerjakan. 26 Para pekerja yang bekerja berdasarkan

kontrak dilengkapi dengan peraturan yang disebut Koeli Ordonnantie yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda pada bulan Juli tahun 1880. Para

pekerja yang terikat dengan peraturan tersebut dinamakan contract koeli atau

koeli kontrak.27

26
Iyos Rosidah, op.cit., hlm. 96.
27
Ibid, hlm. 97.

28
Ketika sektor pertanian tidak mampu lagi menampung tenaga kerja
perempuan, mereka mempunyai andil yang cukup besar dalam penyediaan
tenaga kerja. Pengadaan tenaga kerja perempuan ini sengaja dilakukan untuk
memikat para pekerja laki-laki agar betah di perkebunan hingga kontrak mereka
selesai. Selain itu, faktor lain didatangkannya para pekerja perempuan, yaitu
adanya komersialisasi tanah, introduksi ekonomi uang, dan tingginya tingkat
pengangguran.
Pencarian terhadap pekerja perempuan dilakukan dengan cara memasuki
desa-desa kemudian para perempuan tersebut diberi iming-iming dan dibujuk
dengan cara menikahinya. Akan tetapi, setelah perempuan tersebut setuju
mereka malah diberikan kepada agen pencari kerja untuk dijual. Sama seperti
pekerja laki-laki mereka juga mendapatkan sistem kerja kontrak, namun nasib
mereka sangat sedih dikarenakan tidak adanya pemberian uang muka
(voorschot).
Dikalangan pekerja, kaum perempuan merupakan minoritas. Pada awal
kedatangannya jumlah pekerja perempuan hanya sebagian kecil dibandingkan
dengan jumlah pekerja laki-laki yaitu 4:1, atau hanya 8%. Pendataan dilakukan
awal tahun 1900 dari seluruh pekerja di perkebunan Deli yang berjumlah 62.000
orang, pekerja perempuan hanya berjumlah 5.000 orang dan semuanya orang
Jawa. Peningkatan jumlah pekerja perempuan disebabkan karena adanya anjuran
pemerintah kolonial yang mendorong untuk mendatangakan pekerja perempuan.
Para pekerja perempuan yang didatangkan biasanya relatif berusia muda,
seperti umur 10-14 tahun.28 Oleh karena itu, masuknya tenaga kerja perempuan
ke dalam proses kerja dibatasi oleh persyaratan yang tertera dalam ordonansi
kuli. Mereka hanya boleh mengerjakan pekerjaan ringan, seperti memilah dan
mengikat daun tembakau di dalam lumbung, menyiangi pesemaian di ladang,
menyapu jalan, dan pekerjaan lain yang memerlukan kesabaran tetapi tidak
menguras tenaga. Namun, sangat disayangkan dalam pemenuhan kebutuhan
pekerja perempuan ini tidak dibarengi dengan pemberian hak yang layak.

28
Ibid, hlm. 93.

29
Mereka mendapatkan diskriminasi, upah rendah, dan juga dieksploitasi oleh
pengusaha kebun maupun para pekerja laki-laki.
B. UPAH PEKERJA PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
Hirarki terdapat dalam semua hubungan sosial di perkebunan. Hal
tersebut mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dari para pekerja perkebunan.
Kondisi sosial ekonomi para pekerja yang hidupnya bergantung kepada
perkebunan tergolong sangat rendah.29 Pada awalnya sistem upah pekerja di
perkebunan dilakukan dengan sistem borongan,30 upah dibayarkan berdasarkan
pada jumlah mutu dan produksi tembakau yang dikerjakan.
Pemberian upah tenaga kerja ternyata tidak ada yang sama. Upah tandil31
sebesar 319 dollar pertahun. Pekerja lapangan mendapat upah sebesar 135
dollar, pekerja yang bertugas di bangsal-bangsal mendapat 72 dollar pertahun,
mandor besar orang Jawa sebesar 258 dollar pertahun, mandor biasa mendapat
135 dollar, dan pekerja biasa hanya mendapat 85 dollar.
Para pekerja borongan menerima upah pada hari-hari tertentu, biasanya
tanggal 1, 15 atau 16 setiap bulan. Upah yang diterima sebesar 2 sampai 2,5
dollar sebulan dan harus cukup untuk biaya hidup sebulan. Bagi pekerja Cina
yang berhasil menanam sampai 16.000 batang pohon tembakau menerima upah
sebesar 112 dollar pertahun. Pendapatan tersebut dipotong 3 dollar untuk
pakaian dan sepatu, 5 dollar untuk perkakas kerja, 8 dollar untuk pekerja

29
Iyos Rosidah, op.cit., hlm. 100.
30
Upah borongan yaitu upah yang dibayar berdasarkan hasil kerja. Para pekerja dibayar
bukan atas setiap pohon tembakau yang ditanam melainkan atas setiap pohon yang
dipanen. Cuaca buruk, tanah yang kurang subur, dan berbagai keadaan lainnya dapat
menagkibatkan naik turunnya penghasilan para pekerja. Lihat H.J. Bool, De
arbeidswetgeving in de residentie Oostkust van Sumatra (Utrecht: Bosch, 1904), hlm.
24-25.
31
Tandil adalah Kepala dari para kuli kontrak Cina di onderneming.

30
pembantunya, dan 60 dollar pertahun untuk panjar, sehingga mereka menerima
upah bersih sebesar 34 dollar pertahun.32 Berikut ini disajikan besaran upah yang
diterima oleh mandor dan kuli perkebunan tahun 1910-1913.
Tabel 3.2 Gaji Mandor, Kuli Pribumi, dan Kuli Cina 1910-1913.

Sumber: Koloniale Verslag van 1915


Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas

ketimpangan kesejahteraan antara tandil, mandor, dan pekerja. Penerimaan

upah yang rendah menyebabkan keadaan sosial ekonomi para pekerja sangat

terpuruk. Selain itu, kesengsaraan mereka juga dikarenakan terjerat hutang,

berjudi, candu, dan kegiatan prostitusi. Para pekerja ini juga terkadang ditipu

oleh pengusaha perkebunan. Upah mereka terkadang dialihkan dalam

bentuk bentuk estate-bons (kupon perkebunan).33

Para pengusaha akan menggunting kaleng bekas biskuit menjadi

kepingan bulat pipih, dan menulis angka-angka di atasnya seperti uang

logam. Hal ini tentu saja merugikan para pekerja, karena uang logam
32
Iyos Rosidah, op.cit., hlm. 101.
33
Reggie Baay,Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (Jakarta:Komunitas Bamboe,
2010), hlm.134.

31
tersebut hanya dapat ditukarkan dan dibelanjakan di kedai-kedai

perkebunan. Para pengusaha perkebunan mendapatkan keuntungan dari

kegiatan tersebut, dikarenakan harga barang yang diperjualbelikan di

perkebunan lebih mahal dari barang yang di luar perkebunan.

Kondisi yang demikian juga diterima para pekerja perempuan.

Mereka menerima upah yang bahkan lebih rendah dari upah pekerja laki-

laki. Apabila pekerja laki- laki menerima upah 6 dollar per bulan, maka

pekerja perempuan hanya menerima 3 dollar. Mereka hanya menerima 2,20

dollar per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya, setelah dipotong uang

panjar 0,50 dollar, dan harga cangkul 0,30.34 Mereka juga sangat rentan

terhadap pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha

perkebunan, para pengawas bahkan para suami mereka sendiri. Oleh karena

itu, pilihan lain mereka untuk memenuhi kebutuhannya dengan terpaksa

melacurkan diri.

BAB IV
EKSPLOITASI DAN DAMPAKNYA BAGI PEKERJA WANITA DI
PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI

34
Iyos Rosidah, op.cit., hlm. 104.

32
A. EKSPLOITASI PEKERJA WANITA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU
DELI
Dibukanya perkebunan Deli oleh Nienhuys pada 1863 memberikan
pengaruh yang luar biasa terhadap kehidupan sosial masyarakat maupun
ekonomi di Sumatera Timur. Terlebih dalam pembukaan dan perkembangan
perkebunan Deli sedikit banyaknya dibantu oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Hal tersebut semakin memperparah kondisi masyarakat, karena seperti
yang kita ketahui bahwa pada abad ke-19 hingga ke-20 merupakan puncak dari
kejinya permainan politik yang mereka lakukan. Pengaruh mereka juga termasuk
dalam struktur pemerintahan yang pada awalnya dipegang oleh penguasa lokal,
tetapi sejak masuknya Belanda pengatur struktur pemerintahan berubah. Belanda
ikut serta mencampuri urusan politik kerajaan.35
Hal tersebut dapat dilihat sejak dibukanya perkebunan semakin banyak
konsensi-konsensi tanah yang diberikan kepada pengusaha perkebunan yang
mengakibatkan lahan pertanian rakyat semakin berkurang. Akan tetapi, satu hal
yang sangat disayangkan adalah kemudahan yang diperoleh oleh pengusaha
perkebunan tidak lain dikarenakan penguasa lokal sangat terbuka kepada
mereka. Keterbukaan penguasa lokal itu, disebabkan karena keuntungan besar
yang mereka dapatkan dari pemberian konsesi-konsesi tanah kepada pengusaha
perkebunan.
Dalam pemberitaan di surat kabar Bintang Barat yang terbit tanggal
17 November 1894 diberitakan bahwa Sultan memberikan kemudahan
dalam penyewaan tanah dan bahkan membebaskan uang sewa pada tahun-tahun
awal.36 Adapun isi dari surat tersebut, yaitu
”Telah berapa poeloeh tahoen orang-orang lain negri dateng noempang
berkebon mentjari pengidoepan di afdeling Asahan, belom perna bajar oepeti
35
FA. Sutjipto (ed), Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1977), hlm.
131.

36
Yasmis, Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-
1915, Tesis S-2, (Depok: Universitas Indonesia, 2008), hlm. 64.

33
atawa sewa pada soeltan, ini tahoen ’94 baroe dimoelai poengoet pada
orang tersebut, kabarnja $3 satoe kepala. Orang bilang goenanja boeat
betoelin tembako. Tahoen jang laloe berapa kali soedah menembok tidak
dengan wang poengoetan, apa hasil ini tahoen banjak koerang dari tahoen jang
doeloe-doeloe.”37
Hal yang demikian merupakan sedikit dari bentuk kesewenangan yang
diterima oleh masyarakat ataupun pekerja perkebunan. Bentuk-bentuk
eksploitasi lain yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan bisa dapat dilihat
dari upah yang rendah dan terjadi pelacuran yang dilakukan pekerja wanita
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
1. Upah Rendah Pekerja Perkebunan
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa para
pekerja perkebunan mendapatkan upah yang tidak layak. Upah
tersebut juga belum tentu mereka dapatkan secara penuh, terkadang
dalam pemberiannya upah tersebut juga dipotong oleh pengusaha
perkebunan. Hal paling menyedihkan ketika, mereka ditipu oleh
pengusaha yang mengganti gaji mereka dengan estate-bons (kupon
perkebunan). Selain itu, pada satu waktu mereka juga diberikan upah
berupa uang logam yang dibuat oleh pengusaha perkebunan sendiri.
Uang logam tersebut terbuat dari potongan logam yang kemudian
diberi nomor. Uang tersebut bukan alat pembayaran yang sah dan
hanya berlaku di dalam perkebunan. Hal itu juga dilakukan
pengusaha perkebunan agar warung yang mereka buka akan laku
dagangannya oleh para pekerja perkebunan. Padahal, ketika dilihat
terkait harga barang yang diperjualbelikan sangat mahal harga
kebutuhan yang ada di dalam perkebunan dibandingkan dengan di
luar perkebunan.
Tidak hanya itu, karena upah yang rendah pada akhirnya para
pekerja tersebut terpaksa berhutang kepada para Tandil yang
membuka kedai di perkebunan. Hutang–hutang tersebu akan dibayar

37
Bintang Barat, 17 Nopember 1894.

34
ketika mereka sudah menerima gaji atau ketika menang
berjudi.38 Selain memberikan hutang di kedai para Tandil juga
memberikan para pekerja berupa kredit pinjaman.
Hal serupa juga terjadi terhadap para pekerja perempuan. Dalam
hal pemberian upah, mereka mendapatkan hak yang tidak layak.
Dapat dilihat dari besaran upah yang diterima bahwa upah mereka
setengah dari upah yang diterima oleh pekerja laki-laki. Sebagai
contoh jika pekerja laki-laki menerima upah sebesar 6 dollar per
bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima 3 dollar. Jika ditotal
keseluruhan pekerja perempuan hanya menerima 2,20 dollar per
bulan untuk semua kebutuhan hidupnya, setelah dipotong uang
panjar 0,50 dollar, dan harga cangkul 0,30
2. Pelacuran
. Kegiatan ini biasanya dilakukan ketika memasuki masa gajian
dari para mandor dan pekerja, karena mereka yang sering
menggunakan jasa pekerja perempuan sebagai pemuas nafsu
seksualnya. Dikalangan mandor dan pekerja kegiatan seperti itu
dikenal dengan istilah malam gajian. Pada saat itu banyak orang
berdagangdan ada pula pertunjukan kesenian, misalnya ketoprak,
wayang orang, ronggeng, bioskop. Ketika tiba saatnya gajian para
mandor dan terutama pekerja menjadi sangat loyal. Hal tersebut
menjadikan upah yang baru saja mereka terima seketika habis
dimalam itu juga. Seperti ini isi dari pemberitahuan terkait akan
diadakannya kegiatan tersebut.
”Selama boelan Agustus 1891 sampe akan di boelan November
tiada ada setengahnja sang eodjan toeroen di tiap–tiap malem sampe
Komedi koedanja toean Harmentzoon ke paksa boeat main sebab
terlaloe lebat toeroennja oedjan tetapi dia main tjoema
satoe Minggoe sadja saabis itoe dia teroes berangkat pergi di
Bendjei begitoe poen tiada lama dia main tjoema satoe Minggoe

38
Yasmis, op.cit., hlm. 69.

35
sadja saja bole bilang bermoela dia main kedua jang banjak
manoesia menonton sampai kelas satu dan kelas dua dan kelas
tiga sesak begitoe poen toean–toean dan njonja–njonja yang
belakangan datang kapaksa sampai berdiri kira–kira sama
dengan orang banjak ampoenja taksiran dapet $ 4000 dolar
dia main di dalam satoe Minggoe.”39
Para pekerja perempuan selain mendapat diskriminasi upah yang
rendah juga mendapat pelecehan seksual baik dari kalangan para
pekerja laki-laki maupun dari Administrator Eropa.40 Kegiatan
pelacuran terpaksa dilakukan oleh para pekerja perempuan, karena
pemenuhan kebutuhan yang serba sulit di perkebunan. Dengan
melacurkan dirinya para pekerja perempuan itu bisa mendapatkan
tambahan uang. Namun, pada hakikatnya kegiatan tersebut telah
diatur oleh pihak perkebunan dengan mengeksploitasi sumber daya
pekerja perempuan. Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar
perempuan tetap tersedia dan dapat memberikan pelayanan seksual.41
Mereka dipaksa untuk melakukan kegiatan tersebut agar para pekerja
laki-laki dapat tetap tinggal di perkebunan sampai masa kontraknya
habis.
B. DAMPAK EKSPLOITASI PEKERJA WANITA DI PERKEBUNAN
TEMBAKAU DELI
Seperti yang diketahui bahwa terjadi berbagai macam bentuk eksploitasi
yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan kepada para pekerja laki-laki dan
perempuan. Pada bahasan kali ini fokus yang akan diuraikan, yaitu dampak yang
dirasakan oleh para pekerja perempuan akibat eksploitasi terhadap diri mereka.
Dampak yang terjadi akibat eksploitasi berupa dampak fisik, moral, dan psikis.

39
Ibid, hlm. 75. Lihat juga Surat kabar Bintang Barat, 19 Oktober 1891.
40
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (Jakarta: Komunitas Bamboe,
2010), hlm. 142.
41
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera,
1870-1979 (Yogyakarta: Karsa, 1995), hlm. 50.

36
1. Dampak Fisik
Membahas mengenai dampak fisik dalam hal ini para pekerja
perempuan terkena penyakit kelamin, yaitu sipilis akibat terjadinya
kegiatan pelacuran di perkebunan terdapat juga para pekerja
perkebunan yang melahirkan dari hasil pelacuran tersebut. Akan
tetapi, selain dari penyakit kelamin itu ternyata kesehatan dari para
pekerja perempuan ini juga sangat tidak sehat. Hal tersebut terbukti
karena banyak diantara mereka yang terkena berbagai macam
penyakit. Penyakit-penyakit tersebut ketika ditelisik ternyata berasal
dari pemukiman yang mereka huni. Disekitaran pemukiman mereka
terlihat sampah dan air tergenang yang menambah bau dan kotor
tempat tinggal, sehingga menjadi sumber penyakit yang berbahaya.42
Seorang manajer di sebuah perkebunan mengeluh bahwa dari 60
orang pekerja perempuan, sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah
sakit karena sipilis. Tidak hanya itu berdasarkan data dari Verslag
van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het
jaar 1917-1924 tercatat 159 orang terkena penyakit sipilis dan 38
orang melahirkan dari hasil pelacuran. Selain itu, dikarenakan tidak
sehatnya lingkungan pemukiman banyak pekerja yang terkena
penyakit seperti malaria, influenza, dan lain sebagainya.
2. Dampak Moral dan Psikis
Dampak moral yang dimaksud disini jelas dapat dilihat, karena
terjadinya kegiatan prostitusi di perkebunan menyebabkan para
pekerja perempuan yang terlibat akan hamil dan melahirkan anak
hasil dari kegiatan itu. Hal tersebut menjadikan mereka malu atas apa
yang telah mereka lakukan.
Kemudian, dampak dari persoalan moral tersebut berbuntut
panjang hingga menimbulkan dampak psikis bagi mereka. Dampak
yang terjadi pada pekerja perempuan di perkebunan Deli salah

Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di
42

Sumatra Timur Pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 121.

37
satunya depresi ataupun gangguan jiwa. Selain itu, dampak psikis
yang paling banyak dialami oleh para pekerja perempuan ini adalah
gila dan pada akhirnya ada juga yang mengakhiri kehidupannya
dengan jalan bunuh diri. Menurut sumber Verslag van den Dienst der
Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924
tercatat antara tahun 1923-1924 sebanyak 50 orang bunuh diri. Data
tersebut belum termasuk dari beberapa tahun sebelumnya,
dikarenakan sebelum tahun itu diinformasikan banyak juga pekerja
yang bunuh diri.

BAB V
KESIMPULAN
Berperan pentingnya Sumatera Timur dalam kegiatan ekspor impor ataupun
kegiatan ekonomi di Nusantara dan di dunia pada masa pemerintah Hindia Belanda
dimulai sejak datangnya Jacobus Nienhuys pada 1863. Bersama dengan wakil
perusahaan dagang J.F. van Leeuwen & Co (perusahaan tembakau Belanda di Surabaya)
Nienhuys mendarat di Kuala Sungai Deli dan sejak saat itu dia memulai penelitiannya
terhadap Deli. Penelitiannya itu menyatakan bahwa Deli adalah daerah yang cocok

38
untuk ditanami tembakau. Maka, kemudian Nienhuys menemui pihak penguasa lokal
untuk membicarakan terkait pengadaan lahan perkebunan. Saat itu daerah Sumatera
Timur dipimpin oleh Sultan Deli, setelah menerima Nienhuys Sultan menyetujui
rencana untuk pembukaan lahan perkebunan. Sultan memberikan konsensi tanah selama
99 tahun kepada Nienhuys.
Namun, dalam pelaksanaan kegiatan perkebunan adanya lahan tidak cukup
dibutuhkan juga tenaga kerja yang siap untuk membantu produksi dari perkebunan
tersebut. Para pekerja yang didatangkan ke perkebunan Deli Sumatera Timur pada
awalnya adalah pekerja Cina. Hal tersebut, dikarenakan Nienhuys telah memiliki relasi
dengan agen pekerja Cina sehingga memudahkan pendatangannya. Selanjutnya,
pembukaan lahan perkebunan semakin banyak untuk menyiasati yang demikian
Nienhuys berpikir untuk mendantangkan pekerja lokal dari pulau Jawa. Dipilihnya
pekerja lokal Jawa, karena mereka telah terbukti rajin dan menguasai pekerjaan
dibidang pertanian ataupun perkebunan. Selain itu, para pekerja Jawa ini juga bisa
didatangkan dengan pemberian upah yang murah dan memberikan keuntungan bagi
pengusaha.
Sebelum didatangkan para pekerja tersebut diminta untuk menandatangani
perjanjian kontrak kerja, biasanya kontrak tersebut selama tiga tahun masa kerja.
Perjanjian kontrak tersebut seharusnya dibarengi dengan pemberian hak kerja yang
wajar, namun dala perjalanannya yang terjadi malah sebaliknya. Para pekerja tersebut
tidak menerima hak yang seharusnya mereka terima, upah mereka rendah bahkan
terkadang dalam pemberian upah tersebut harus dipotong dengan keperluan lain
diperkebunan. Kadang kala, mereka juga ditipu dengan mendapat gaji berupa kupon
perkebunan ataupun uang logam yang dibuat sendiri oleh para pengusaha perkebunan
tersebut.
Kondisi yang demikian juga diterima oleh para pekerja perempuan. Mereka
didatangkan ke perkebunan Deli untuk membantu proses pengerjaan tembakau. Pada
awal pendatangan mereka diimingi dengan pemberian kehidupan yang layak dan
sebagainya, tetapi seiring berjalannya waktu mereka hanya ditipu oleh para agen pencari
kerja dan pengusaha perkebunan. Pendatangan pekerja perempuan ke perkebunan Deli
merupakan salah satu strategi yang dibuat oleh pengusaha perkebunan untuk membuat

39
para pekerja laki-laki bertahan di perkebunan hingga kontrak mereka selesai. Selain itu,
diperuntukkan juga sebagai pemuas kebutuhan nafsu dari para pengusaha perkebunan.
Para pekerja perempuan ini sangat menerima perlakuan yang tidak layak, seperti
upah rendah dan dijadikan sebagai pelacur. Dalam hal ini, terjadi kegiatan pelacuran di
perkebunan, karena para pekerja perempuan tersebut mencari solusi mudah untuk
mendapatkan uang yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Akan tetapi, sangat
disayangkan karena dalam perjalanan kehidupan pekerja perempuan di perkebunan
memberikan dampak yang tidak baik untuk mereka. Dampak yang dirasakan mereka
terkena penyakit sipilis dan meningkatnya kelahiran anak, moral mereka yang merasa
terhina karena malu atas perbuatan pelacuran, dan psikis mereka yang terganggu.
Sampai pada akhirnya banyak dari mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidup
dengan jalan bunuh diri.
Demikianlah dampak yang dirasakan oleh para pekerja perempuan di
perkebunan Deli. Dampak-dampak tersebut merupakan implikasi dari eksploitasi yang
dilakukan oleh pengusaha perkebunan kepada mereka. Sangat disayangkan, padahal
pada koeli ordonantie telah tercatat bahwasanya hak-hak pekerja harus terpenuhi
dengan baik terlebih pekerja perempuan. Akan tetapi, semua itu tidak diperdulikan oleh
para pengusaha perkebunan. Mereka hanya berpikir bagaimana agar keuntungan besar
mereka raih dan kepuasaan pribadi terpenuhi.

BIBLIOGRAFI
Arsip
Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG. 1, No.1312, ANRI
Koleksi foto ANRI, KIT 005/071
Koleksi foto ANRI, KIT 241/16

Koleksi foto ANRI, KIT 290/46

40
Koleksi foto ANRI, KIT 593/54

Staatsblad van Nederlandsch Indie, no. 133 Tahun 1880

Surat Kabar

Deli Courant, 1902

Bintang Barat, 1891

Sumatera Post, 1902

Tesis

Iyos Rosidah. 2012. Eksploitasi pekerja perempuan di Perkebunan Deli Sumatera


Timur 1870-1930. Tesis S-2. Semarang: Universitas Diponegoro.

Yasmis. 2008. Kuli Kontrak di Perkebunan Deli Sumatera Timur Tahun 1880-1915.
Tesis S-2. Depok: Universitas Indonesia.
Skripsi
Dwi Winandar. 2013. Perlawanan Buruh Terhadap Dominasi Perkebunan Tembakau
di Deli Pantai Timur Sumatera Tahun 1880-1930. Skripsi S-1. Sleman: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Sugiono Benny Sihombing. 2013. Kolonisasi di Sumatera Timur (Studi Tentang
Kehidupan Kolonis Jawa di Sumatera Timur Tahun 1905-1942). Skripsi S-1. Sleman:
Universitas Negeri Yogyakarta.

Buku

Ann Laura Stoler. 1995. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera,
1870-1979. Yogyakarta: Karsa.

Anthony Reid. 2005. An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra.
Singapore: Asia Research Institute National University of Singapore.

41
FA. Sutjipto (ed). 1977. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Franz Magnis-Suseno. 2003. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Uthopis


Keperselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Helius Sjamsudin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Henri. H. van Kol. 1903. Uit Onze Kolonien. Leiden: A.W. Sijthoff.

H.J. Bool. 1904. De arbeidswetgeving in de residentie Oostkust van Sumatra. Utrecht:


Bosch.

Jan Breman. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonia, Tuan Kebun, dan Kuli di
Sumatra Timur Pada Awal Abad ke-20. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti.

Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mohammad Said. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe
dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Waspada.

R. Broesma. 1919. Oostkust van Sumatra I. Batavia: Javasche Boekhandel de Drukkerij.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia.


Jakarta: Gramedia. Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi.


Yogyakarta: Adtya Media.

Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori & Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

42
Thee Kian Wie. 1977. Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History
of East Sumatra, 1863-1942. Jakarta: LEKNAS-LIPI.

Tineke Hellwig. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan
Obor.

W.H.M Schadee. 1919. Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, II. Amsterdam: Oostkust
van Sumatra-Instituut.

LAMPIRAN

REVIEW BUKU

IDENTITAS BUKU

Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli Di Sumatra
Timur Pada Awal Abad ke-20

43
Pengarang buku : Jan Breman

Penerjemah : Koesalah Soebagyo Toer

Judul buku : Menjinakkan Sang Kuli: Politik, Kolonial, Tuan Kebun,


dan Kuli Di Sumatra Timur Pada Awal Abad ke-20

Penerbit : Pustaka Utama Grafiti

Tahun terbit : 1997

Tempat terbit : Jakarta

Jumlah halaman : 346 halaman

Bab 1 “Pendahuluan”

Bab 2 “Terbentuknya Masyarakat Perkebunan”

Bab 3 “Perkebunan Sebagai Usaha Produksi Kapitalis”

Bab 4 “Pendisiplinan dan Perlawanan Terhadapnya”

Bab 5 “Masyarakat Perkebunan dan Orde Kolonial”

Bab 6 “Masalah Kuli: Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan”

Bab 7 “Restorasi”

Buku ini merupakan karangan dari Jan Breman yang memiliki judul asli
Koelies, Planters en Koloniale politiek: Het Arbeidsregime op de
Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostlust in Het begin van de twintigste
eeuw. Kemudian, buku tersebut diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Koesalah
Soebagyo Toer. Secara garis besar buku ini menceritakan mengenai politik keji
pemerintah kolonial terhadap para pekerja di Sumatera Timur. Buku yang ditulis dengan
metode historiografi kualitatif ini terdiri dari tujuh bab pembahasan. Dalam
penyampaian pembahasannya Breman mengutarakan data-data dengan rinci yang
bersumber dari arsip di Belanda.

44
Pada bab 1 pembahasan buku ini menjelaskan mengenai latar belakang Breman
menulis buku tersebut. Awal dari keinginannya menulis buku ini didasari oleh laporan
dari seorang jaksa di masa kolonial bernama Rhemrev. Dalam laporan itu Rhemrev
menjelaskan bahwa pada awal abad ke-20 para kuli atau pekerja yang berada di
Sumatera Timur diperlakukan secara tidak manusiawi. Dalam laporan itu disebutkan
bahwa sebelumnya seorang jurnalis dari De Millionenen uit Deli mengutarakan kritik
terhadap kebijakan poenale sanctie dalam koeli ordonantie yang dianggapnya menyiksa
dan membuat para kuli menderita. Oleh karena landasan laporan tersebut, Breman
tertarik untuk mengungkapkan fakta-fakta yang sesungguhnya terkait keadaan para
buruh di Sumatera Timur.

Pada bab 2 Breman mengawali pembahasannya dengan kemunculan industri


perkebunan di Sumatera Timur. Awal kemunculan ini menurutnya sebagai tanda
masuknya pengaruh kapitalisme di Hindia Belanda. Pada masa awal pembukaan
industri tersebut pemerintah kolonial memberikan kesempatan kepada pengusaha
Belanda untuk berinvestasi di Deli. Usaha pembukaan industri tersebut terkesan mudah
mereka lakukan, karena para penguasa lokal Deli memberikan lahan-lahan di Deli
kepada penguasa kolonial. Pemberian itu bukan tanpa alasan, semua itu dilakukan
penguasa lokal Deli demi mementingkan keuntungan pribadi. Selanjutnya, Jacobus
Nienhuys seorang yang awalnya mengurusi perkebunan di Surabaya datang ke Deli dan
melihat bahwa wilayah ini cocok untuk dijadikan lahan komoditi tembakau. Sejak saat
itu dimulailah pengembangan usaha industry perkebunan tembakau di Deli Sumatera
Timur.

Pada bab 3 Breman menjelaskan seluk beluk yang terjadi dalam industri
perkebunan termasuk didalamnya terdapat hierarki. Adanya hierarki tersebut semakin
menunjukkan terjadinya diskriminasi terhadap kelas-kelas tertentu. Dalam hierarki
tersebut Pimpinan Perusahaan hanya dapat diduduki oleh orang yang berkulit putih.
Kemudian, terdapat Tandil atau mandor yang menjadi pimpinan regu buruh.
Selanjutnya, terdapat kelas buruh. Dalam kelas tersebut buruh adalah seorang pekerja
kebun yang hanya sebagai pesuruh di kebun. Selain itu, pada bab ini juga pemerintah
kolonial menjadikan penguasa lokal sebagai alat pelindung mereka, juga dijadikan

45
sebagai alat untuk mempermudah mereka dalam hal mendapatkan tanah untuk
pembukaan lahan.

Pada bab 4 dibahasa mengenai pendisiplinan terhadap buruh. Dalam hal tersebut
dilihat bahwa buruh yang memiliki disiplin tinggi dan dapat diandalkan akan
dipertimbangkan menjadi seorang pengawas perkebunan. Akan tetapi, semua itu
tidaklah muda. Walaupun para buruh tersebut sudah memenuhi syarat untuk menjadi
seorang pengawas pimpinan kebun baru memberikan jabatan itu ketika mereka mau
membayar dengan mahal kepada pimpinan perkebunan. Dijelaskan juga pada bab ini
terdapat pembagian sistem kerja yang berupa sistem kontrak terhadap para buruh.
Tujuan dari sistem ini agar mengikat tenaga kerja untuk jangka waktu beberapa tahun
dan kemudian mereka tidak bisa meninggalkan perkebunan sebelum masa kontraknya
habis.

Pada bab 5 Breman menjelaskan terkait masyarakat perkebunan dan orde


kolonial di Sumatera Timur. Dalam pembahasan ini Breman memaparkan terdapat
keunikan pada masyarakat perkebunan yang berada di Sumatera Timur. Keunikan
tersebut dapat dilihat dari letak buruh yang berada di daerah pinggiran, tumbuh cepat
sebagai faktor yang dominan, dan keberadaan buruh maupun majikan yang hanya
bersifat sementara. Pembukaan lahan perkebunan di luar Jawa merupakan fase penting
untuk memastikan daerah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara khususnya Nusantara.
Selain itu, pertimbangan lain berkaitan dengan alasan ekonomi yang tujuan untuk
memuluskan gerakan kapitalis di daerah jajahan.

Kita ketahui bahwa semenjak dimulainya pembukaan lahan perkebunan


tembakau Deli pada tahun 1863. Perkebunan tersebut terus mengalami perkembangan
yang signifikan hingga pada 1885 tidak dapat dipungkiri sebagai masa produksi
tembakau bukan suatu komoditi yang laku bersifat sementara, tetapi berpeluang akan
menjadi komoditi yang selalu laku di pasaran. Hal tersebut menjadikan Sumatera Timur
yang berpusat di Medan mengalami perkembangan signifikan dalam tata kotanya.
Pembangunan jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, gedung-gedung pemerintah, rumah
sakit, dan fasilitas umum lainnya semakin digalakkan pemerintah kolonial untuk
mendukung laju perdagangan tembakau tersebut.

46
Akan tetapi, semua perkembangan signifikan tersebut tidak dibarengi dengan
peningkatan kualitas tenaga kerja atau buruh yang berada di perkebunan Deli. Keadaan
yang terjadi malah sebaliknya, para buruh tersebut semakin sengsara nasibnya dimana
para mandor semakin merajalela menyiksa para pekerja jika tidak sesuai dengan
kemauanya. Disamping itu, para pekerja tersebut juga menerima gaji yang rendah
karena gaji mereka dipotong dengan seenaknya oleh pemimpin perkebunan. Kemudian,
kehidupan dari para pekerja juga semakin gila dengan cara mereka yang mengikuti pola
hidup orang Eropa, seperti mabuk-mabukan, berjudi, dan juga ikut dalam aktivitas
pelacuran.

Kegiatan-kegiatan yang demikian malah menjadikan kehidupan para buruh


perkebunan semakin sengsara. Dengan pola hidup seperti itu mereka malah menambah
beban hidupnya dengan terlilir hutang akibat kalah dalam judi. Kemudian, ada yang
sampai depresi dan sebagainya. Sampai pada yang paling mengerikan akibat kegiatan
pelacuran banyak dari pekerja perempuan maupun laki-laki terkena penyakit kelamin.
Adanya ordonansi kuli yang semestinya menjamin kehidupan para buruh perkebunan
justru tidak sesuai dengan faktanya.

Pada bab 6 Breman menguliti terkait masalah yang dihadapi para kuli di
perkebunan. Ia membongkar fakta terkait adanya pembagian kerja para buruh didasari
atas daerah asal mereka. Selain itu, Breman juga mengungkapkan bahwa terdapat
pekerja perempuan yang berasal dari Jawa bekerja di perkebunan Deli dan usia dari
pekerja tersebut masih relatif muda berkisar 10-14 tahun. Para pekerja perempuan
tersebut adalah yang paling rentan mengalami kekerasa, penindasan, dan kesewenangan
dari para mandor atau pengawas perkebunan. Dapat dilihat juga bahwa terdapat aturan
yang tujuannya untuk mendisiplikan buruh, yaitu buruh dilarang meninggalkan
perkebunan tanpa izin. Jika, para buruh melanggar maka mereka akan berhadapan
dengan polisi atau pemerintah yang membuat aturan tersebut. Membahas mengenai
hukuman pelanggaran dalam buku ini disebutkan bahwa hukuman yang diberikan tidak
main-main, seperti memberikan cambukan dengan rotan kepada para pekerja yang
melanggara aturan, terkadang ada yang diberikan hukuman berupa kemaluannya
digosok dengan lada halus.

47
Bab 7 pada buku ini merupakan pembahasan yang terakhir. Pada bab ini
mengemukakan pembahasan terkait restorasi. Mengapa Breman membuat judul dengan
kata restorasi? Hal tersebut dikarenakan restorasi sendiri pada umumnya berarti
pengembalian suatu hal kepada kondisi semula. Seiring dengan itu, Breman
memaparkan bahwa pada 1905 terdapat upaya dari ketua Pengadilan Negeri di Batavia
A.F. Van Blommestein untuk menyusun rancangan baru terkait ordonansi kuli. Hal
tersebut berfokus pada ponalie sanctie. Ia mengusulkan agar ponalie sanctie hanya
diperuntukkan untuk sebagian kuli, namun hal tersebut tidak dapat diterima oleh para
tuan kebun.

Akan tetapi, pada akhirnya sejak 1915 rancangan orodonansi kuli yang diajukan
oleh Blommestein baru dapat diterima. Namun, sangat disayangkan dalam
pelaksanaanya para tuan kebun tetap saja tidak melakukan peraturan tersebut dengan
sepenuhnya. Mereka sangat pandai mencari cara agar peraturan tersebut tidak
diterapkan dan berarti peraturannya hanya sekedar ada namun tidak dilaksanakan.

Peta Sumatera Timur

48
Sumber: Kartografi Indonesia Jilid 1, No Inventaris KG. 1, No.1312, ANRI
(diambil dari Tesis Iyos Rosidah)

Para pekerja Cina di Perkebunan Deli Sumatera Timur tahun 1900

Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninlijk Instituut voor de Tropen (KIT) 005/071
(diambil dari Tesis Iyos Rosidah)

Para pekerja kontrak di Perkebunan Deli sekitar tahun 1891

49
Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninlijk Instituut voor de Tropen (KIT) 241/16
(diambil dari Tesis Iyos Rosidah)

Para pekerja perempuan sedang meyortir tembakau

Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) 290/46
(diambil dari Tesis Iyos Rosidah)

50
Pembukaan lahan baru untuk membangun gudang pengeringan dan rumah
asisten

Sumber: Koleksi foto ANRI, Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) 593/94
(diambil dari Tesis Yasmis)

Iklan tentang penyaluran tenaga kerja


Sumber: Sumatera Post, 7 Mei 1902 (diambil dari Tesis Yasmis)

51
Iklan tentang penyediaan kuli kontrak
Sumber: Deli Courant, 1 April 1902 (diambil dari Tesis Yasmis)

Iklan tentang penyaluran tenaga kerja


Sumber: Deli Courant, 1 April 1902 (diambil dari Tesis Yasmis)

52
Ordonansi yang mengatur kontrak kerja kuli dengan pemerintah Hindia Belanda
Sumber: Staatsblad van Nederlandsch Indie, no. 133 Tahun 1880 (diambil dari
Skripsi Dwi Winandar)

53
54
55
56
57
58
59

Anda mungkin juga menyukai