Anda di halaman 1dari 8

MEGA RACHMALIA WIBAWANTI

C0514033
ILMU SEJARAH FIB UNS

Judul buku : Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!


Pengarang : Bambang Purwanto
Penerbit, tahun terbit : Ombak, 2006
Jumlah halaman : 299 halaman

Bagian 1 pada buku ini berjudul “Kesadaran Dekonstruktif dan Historiografi


Indonesiasentris”. Bab tersebut membahas persoalan kesadaran dekonstruktif dan arti pentingnya
bagi sejarawan agar terhindar dari pemujaan yang berlebihan tanpa kritik, baik terhadap
konstruksi historis maupun cara berpikir yang telah dilakukan oleh para sejarawan Indonesia
sebelumnya, dan kemungkinan membangun sebuah cara berpikir lain untuk memahami dan
memaknai masa lalu Indonesia.

Secara umum sastra selalu dikaitkan dengan fiksi yang imaginatif, sedangkan sejarah
tidak dapat dipisahkan dari fakta untuk menemukan kebenaran masa lalu. Akan tetapi persoalan
menjadi lain ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana
dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang
dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Fiksi dan fakta
tidak dapat begitu saja diasosiasikan hanya dengan salah satu di antara sastra atau sejarah.

Sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebutkan sebagai representasi langsung dari
objektivitas masa lalu, karena jarak itu telah mereduksi secara langsung kemampuan
rekonstruktifnya. Sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di
masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan
yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan
konteksnya. Hal itu berarti sebagai sebuah realitas, sejarah hanya ada di masa lalu dan tidak
mungkin dapat dijangkau oleh sejarawan yang ada pada masa kini.

Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman intelektual
yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu,
tempat, dan orang yang berbeda. Sementara itu, sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar
sebagai sejarah karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah narasi
melalui imajinasi kebahasaannya. Hal itu berarti kebenaran sejarah maupun sastra adalah
kebenaran relatif.

Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh


dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra
nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-
generasi awal sejarawan Indonesia pasca kolonial, seperti Sanusi Pane, M. Yamin, dan Soekanto.
Dalam karyanya tentang “Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih”, M. Yamin dengan gaya bahasa
yang berapi-api mencoba meyakinkan bengasa Indonesia bahwa sejarah bendera nasional
Indonesia merah putih telah berakar jauh ke belakang sejak enam ribu tahun yang lalu.

Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu menitikberatkan pada penjelasan


politik dan peran penting yang selalu dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah.
Kecuali beberapa kajian tentang gerakan petani, sejarah Indonesia yang ditulis sebagian besar
hanya berkisar pada kekuasaan, negara, dan institusi sehingga sejarah menjadi sangat formal.
Akibatnya, mencari dalang, kambing hitam, dan membuat generalisasi sempit menjadi sangat
penting dalam memahami unsur siapa yang paling utama dalam sebuah peristiwa sejarah.

Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang
juga hilang dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berkembangnya pengaruh Hindu-
Budha, meluasnya pengaruh Islam, perubahan ekonomi yang terjadi sejak awal abad ke-19, atau
pengadopsian nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat seharusnya tidak hanya berpengaruh
terhadap laki-laki melainkan juga kepada perempuan. Walaupun dalam kenyataan sejarah para
perempuan memiliki fungsi yang penting dalam proses perkembangan agama-agama di
Indonesia, dalam kenyataan historiografis sangat sulit untuk menemukan rekonstruksi tentang
para Bikuni dalam tradisi Budha, Biarawati dalam tradisi Kristen, atau para Nyai di pesantren
Islam sebagai realitas sejarah. Jika ada yang menghadirkan perempuan dalam proses sejarah,
maka keberadaan mereka hanya dikaitkan pada beberapa aspek tertentu yang cenderung
berkonotasi negatif, seperti pelacuran atau penyakit kelamin.

Di samping hilangnya perempuan, historiografi Indonesia adalah rekonstruksi dunia


orang dewasa yang melupakan keberadaan anak-anak dan remaja dalam sejarah. Peniadaan anak-
anak dan remaja dalam proses sejarah ini dapat dilihat lebih jauh dalam pembahasan tentang
pendidikan, karena hampir seluruh kajian tentang sejarah pendidikan di Indonesia menyajikan
pendidikan seolah-olah hanya bagi orang dewasa.

Selain itu, identifikasi sosial-kultural dari historiografi Indonesia secara umum kadang-
kadang juga terlalu dipusatkan pada Islam dan cenderung melupakan unsur lainnya. Akibatnya,
sejak kedatangan bangsa Barat ke Indonesia seolah-olah hanya terjadi proses Kristenisasi
sedangkan proses Islamisasi telah berakhir pada abad-abad sebelumnya. Padahal banyak bukti
yang menunjukkan proses Islamisasi di banyak wilayah di Indonesia berlangsung seiring dengan
proses perluasan kekuasaan VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda.

Konstruksi sejarah yang dibangun juga cenderung mengabaikan sisa-sisa komunitas


Hindu-Budha. Padahal setelah agama menjadi salah satu identitas sosial yang penting sejak
kemerdekaan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa komunitas Hindu-Budha belum punah
dan terus bertahan. Hal itu berbeda dengan penulisan sejarah selama ini yang memberi kesan
seolah-olah keberadaan komunitas Hindu-Budha telah berakhir ketika Islam berkembang,
kecuali unsur-unsurnya yang melebur ke dalam masyarakat baru melalui proses akulturasi,
asimilasi, dan sebagainya.

Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia
terkemuka di abad ke-20 sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang
hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang
masyarakat kebanyakan, melalui studinya tentang “Pemberontakan Petani Banten”. Sartono juga
mulai beralih dari tradisi penulisan sejarah yang berdasarkan filologi ke arah penulisan dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan
multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya.

Akan tetapi kehadiran historiografi yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial
yang multidimensional itu ternyata masih saja belum mampu menyingkirkan kecenderungan
rekonstruksi sejarah yang hanya menghujat kekuasaan kolonial atau memfokuskan diri pada
peristiwa di sekitar kolonialisme. Beberapa kajian kritis ternyata menemukan adanya
kecenderungan bahwa tradisi baru itu masih tetap menempatkan sejarah Indonesia dalam pola
pikir lama yang memfokuskan eksplanasi historis sejarah Indonesia di sekitar kolonialisme.
Padahal sebagai sebuah proses historis, sejarah pada masa kolonial tidak selalu identik dengan
kekuasaan kolonial, karena sejarah yang terjadi merupakan hasil interrelasi antar berbagai
elemen yang ada pada waktu itu.

Keberadaan historiografi Indonesia pascakolonial tidak terlepas dari pemahaman teoretik


tentang apa yang tercakup sebagai fakta sejarah. Sebagai sebuah peristiwa, sejarah hanya
dikaitkan dengan sesuatu yang penting secara sosial. Bagi peristiwa yang dianggap tidak
memiliki arti penting secara sosial, yang sebagian besar merupakan sejarah masyarakat
kebanyakan, maka seolah-olah tidak ada sejarah di dalamnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya para
sejarawan Indonesia berpikir secara bersama-sama mencoba merumuskan kembali prinsip-
prinsip dasar filologis dan epistimologis historiografi indonesiasentris tanpa perlu takut terhadap
perkembangan pemikiran post-modernisme atau post-kolonial dan menentang wacana
dekonstruksi.

Bagian 2 yang berjudul “Sejarah Lisan dan Wacana Baru Historiografi” mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar unsur mitos dalam rekonstruksi sejarah
Indonesiasentris dan keberadaan wacana ilmu pengetahuan baru dan perkembangan penelitian
sejarah lisan yang mereorientasi sebuah format baru historiografi yang lebih dekat dengan
objektivitas sejarah dan kebenaran sejarah.

Tidak seperti dokumen tertulis yang dianggap bebas dari subjektivitas, sumber-sumber
lisan dianggap penuh dengan intervensi dan manipulasi baik yang dilakukan oleh informan
maupun sejarawan dalam proses pengumpulannya. Selain itu, terdapat perbedaan yang berarti
antara dokumen tertulis dalam pengertian teks dan ingatan yang dianalogikan sebagai teks.
Dokumen tertulis hanya mampu menginformasikan unsur luar dari informan, tetapi miskin
terhadap unsur dalam yang menggambarkan emosi dan perasaan informan terhadap sebuah
peristiwa yang dialaminya atau dilakukannya, yang sangat mungkin tercakup dalam dokumen
lisan. Dalam konteks ini, ingatan adalah fakta sosial, tidak bisa dipungkiri adanya subjektivitas di
dalam ingatan. Oleh karena itu sejarah lisan telah meyakinkan sejarawan tentang perlunya kerja
interdisipliner dalam merekonstruksi masa lalu.

Sejarawan-sejarawan yang merekonstruksi peristiwa masa lalu di indonesia melalui


sumber lisan berpendapat bahwa data yang didapat dari informan sarat dengan data yang tidak
akan ditemui pada sumber tertulis, data yang ada dapat digunakan untuk menulis sejarah dari
bawah, adanya keterlibatan setiap orang yang tahu tentang masa lalu untuk menginterpretasi
sejarahnya sendiri, dan pentingnya arti ingatan sebagai sebuah naratif. Selain itu data-data yang
dikumpulkan penulis melalui wawancara tidak hanya menghadirkan fakta-fakta baru yang tidak
pernah terungkap selama ini di dalam sumber tertulis, melainkan juga merubah cara sejarawan
menjelaskan sebuah proses sejarah.

Cerita rakyat baik yang sudah terdokumentasi secara tertulis maupun belum, mampu
menampilkan substansi faktual baru dan memberikan gambaran historis alternatif terhadap versi
sejarah yang telah ada. Sumber lisan juga membuat sejarawan tidak hanya berhasil menemukan
fakta, melainkan juga wacana atau pemaknaan terhadap peristiwa masa lalu yang berkembang di
sekitar peristiwa itu, sesuatu yang sangat sulit didapat dari sumber-sumber tertulis yang ada.

Ketika sebuah peristiwa masa lalu telah menjadi ingatan, sejarah sebagai aktualitas akan
sangat mudah ditafsirkan bukan hanya oleh sejarawan, melainkan juga oleh pelaku dan
penonton. Oleh sebab itu, penggunaan metode sejarah lisan dan sumber lisan atau sumber tidak
tertulis lainnya nampaknya dapat dijadikan dasar untuk membangun formulasi alternatif
historiografi Indonesiasentris.

Bagian 3 pada buku ini membahas tentang sejarah Jawa yang mampu menghadirkan
realitas yang tersembunyi di dalam historiografi tradisi tersebut. Berbagai karya sejenis serat,
suluk, babad, hikayat, dan sebagainya dapat dengan mudah dikategorikan oleh sebagian besar
sejarawan sebagai karya sastra yang hanya memuat cerita fiktif dan tidak ada hubungannya
dengan sejarah yang merupakan rekonstruksi atas fakta atau realitas empirik masa lalu. Para
sejarawan beranggapan bahwa karya para pujangga banyak bersandar pada sesuatu yang terjadi
pada masa lalu itu hanya berfungsi politis dan bukan historis.

Padahal dari serat-serat Jawa yang dianggap pusaka itu, kita bisa memahami beberapa
realitas-realitas masa lalu khususnya pada orang Jawa sendiri. Orang Jawa secara tegas
membedakan diri mereka dengan orang lain dengan cara menggunakan simbol keislaman
sebagai identitas kejawaan. Dalam konteks hubungan Jawa dan Islam dapat dikatakan bahwa
Jawa tidak bisa melepaskan ketergantungannya pada Islam, namun pada saat yang sama Islam
tidak bisa merubah tradisi kejawaan secara utuh biarpun nilai-nilai yang tertinggal itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman itu sendiri.
Naskah yang dianggap pusaka itu juga menunjukkan cara di masa lalu orang Jawa
mengkonseptualisasikan pemikiran mereka dan membangun sebuah teknologi sosio-kultural
melalui karya sastra untuk menunjukkan pemahaman mereka terhadap sesuatu dan cara mereka
untuk menyelesaikan sesuatu. Dalam konteks Jawa solusi atas sesuatu ternyata tidak selalu harus
dilakukan dengan cara kekerasan seperti perang yang banyak disimbolkan dalam naskah-naskah
Jawa melainkan melalui sebuah mekanisme sosial dan kultural yang berhubungan jelas dengan
cara orang Jawa memahami, merekayasa, dan memanfaatkan masa lalu itu sendiri.

Bagian berikutnya menjelaskan tentang VOC dalam tradisi historiografi Indonesia. VOC
yang merupakan singkatan dari Verenidge Oostindische Compagnie adalah nama yang tidak
dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia. Secara historiografis, kenyataan itu menimbulkan
persoalan dalam memahami posisi VOC ketika dihubungkan dengan sejarah kolonialisme dan
imperialisme Belanda di Indonesia.

Konstruksi historis yang menyatakan VOC identik dengan praktik kesewenangan Barat
terhadap Timur dianggap telah melebih-lebihkan atau bahkan memanipulasi realitas masa lalu.
Buku-buku sejarah yang ada di Indonesia selama ini memaparkan berbagai interpretasi
sejarawan yang berbeda dalam upaya mereka merekonstruksi dan menjelaskan kolonialisme dan
imperialisme di Indonesia, sedangkan masyarakat juga memiliki pemahaman sendiri tentang
sejarah yang sama.

Jika dilakukan pengkajian terhadap periodesasi yang dibuat oleh sebagian besar
sejarawan akademis, mereka pada prinsipnya membedakan antara sejarah kolonialisme Belanda
dengan terbentuknya negara kolonial. Namun, hampir semua yang ada di dalam kelompok
sejarawan itu sepakat bahwa pembentukan negara kolonial hanya berkaitan erat dengan
pemerintah Hindia Belanda, bukan VOC. Hal tersebut menepis pemahaman yang telah mengakar
dalam pikiran masyarakat bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 350 tahun.

Pada bagian 5, dijelaskan mengenai pemahaman nasionalisme Indonesia. Setelah


kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, berkembang interpretasi
yang berbeda tentang makna nasionalisme seiring dengan perubahan yang terjadi pada waktu itu.
Nasionalisme Indonesia telah berubah makna dengan label-label seperti revolusi total, revolusi
belum selesai, demokrasi, syariat Islam, nasionalisme, sekuler atau orang Indonesia asli. Dalam
konteks yang lain, nasionalisme Indonesia juga hanya dikenal sebagai sesuatu yang
merepresentasi identitas secara “nasional” sehingga tidak pernah mengakui adanya nasionalisme
Indonesia yang merupakan produk dari dinamika lokal.

Rekonstruksi sejarah dari nasionalisme Indonesia di masa depan seharusnya tidak lagi
terikat pada perlawanan terhadap kolonialisme atau patriotisme mempertahankan kemerdekaan
sebagai sebuah paradigma, namun bagaimana memahami identitas keindonesiaan sesuai dengan
perubahan yang terjadi dan dinamika internal pada tingkat lokal. Oleh sebab itu secara historis
perkembangan “nasionalisme Indonesia nasional” harus dilihat lebih rasional dan objektif
sebagai sebuah proses. Keberadaan nasionalisme Indonesia akan dapat dimengerti dan dihargai
jika proses pembentukannya direkonstruksi secara sejajar dengan perkembangan nasionalisme
nasional di berbagai wilayah yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Sejarah Indonesia harus
dibangun dari perspektif sejarah daerah atau lokal, yang menempatkan kesadaran tentang
keindonesiaan bukan hanya didasarkan pada konsep yang datang dari pusat atau segelintir elite
yang berlabel nasional.

Pada bagian selanjutnya dijelaskan bahwa ada kesan yang kuat bahwa para peneliti
meragukan adanya hubungan antara historiografi dan peran sosial politik tentara karena
historiografi hanya dipahami sebagai bagian dari upaya merekonstruksi masa lalu, yang dapat
dengan mudah dianggap terpisah dari aktivitas sosial politik militer. Padahal, pemikiran tentang
perlunya pusat sejarah sebagai salah satu unit kegiatan di dalam institusi militer Indonesia yang
memiliki peran strategis, telah berkembang jauh sebelum militer menjadi kekuatan paling
dominan pada masa orde baru.

Pada bagian terakhir dari buku ini menjelaskan tentang carut marut rekonstruksi peristiwa
atau tragedi 1965 dimana telah terjadi peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan sejarah
Indonesia sampai saat ini dan masa-masa yang akan datang. Gerakan 30 September
menyebabkan wacana historis tentang peristiwa tersebut dan adanya kekacauan historiografis
dalam merekonstruksi dan memaknai masa lalu Indonesia, khusunya tempat komunisme dalam
peristiwa tersebut.

Semua masa lalu yang berhubungan dengan komunisme lebih banyak dilihat hanya
sebagai fakta politik yang kemudian diikuti dengan tindakan politik. Jarang sekali ditemukan
penulisan yang memahami peristiwa tersebut sebagai fakta sosial dari peristiwa politik kemudian
mencari tahu akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat secara keseluruhan tanpa
terjerumus pada dendam politik.

Kesimpulan :

Historiografi Indonesiasentris yang selama ini dianggap telah menempatkan orang


Indonesia sebagai pemeran utama dan sebagai suatu pembenaran terhadap historiografi
Eropasentris ternyata masih ditemui banyak sekali kekurangan. Sejarah sebagai kenyataan hanya
merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah
sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa,
wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Hal itu berarti sebagai sebuah realitas,
sejarah hanya ada di masa lalu dan tidak mungkin dapat dijangkau oleh sejarawan yang ada pada
masa kini. Artinya, rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pemahaman
kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu, tempat, dan orang yang berbeda.

Sebagai seorang sejarawan, kita seharusnya memikirkan kembali hal-hal yang selama ini
dihindari dan kurang diperhatikan oleh sejarawan-sejarawan sebelumnya, baik itu kesadaran
dekonstruktif yang selama ini dianggap tidak bisa menampilkan sebuah fakta, sumber lisan yang
selama ini dianggap tidak akurat dan mudah dimanipulasi, serta historiografi tradisional yang
selama ini dianggap hanya sebagai sebuah pusaka yang mengandung unsur mitologisasi dan
fiktif belaka.

Kita juga perlu menguak hal-hal yang selama ini tidak terlalu penting dalam penulisan
sejarah, seperti peranan wanita yang sebenarnya begitu kuat pengaruhnya terhadap sejarah,
peranan anak-anak dan remaja di masa lalu juga perlu dikaji lebih dalam lagi. Peristiwa-peristiwa
sepanjang sejarah kolonial hingga nasional juga perlu dibenahi agar carut marut dan
kesalahpahaman yang telah mengakar di dalam pikiran masyarakat dan kurikulum sekolah dapat
dihilangkan dan digantikan dengan kebenaran berdasarkan fakta yang didapatkan melalui
beberapa metode sejarah. Itu semua harus dilakukan agar tidak terjadi kegagalan dalam
historiografi Indonesiasentris.

Anda mungkin juga menyukai