Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT SEJARAH KRITIS

ANEKA PANDANGAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS


Diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah

Dosen pengampu:
Drs. Kayan Swastika M.Si.

Kelas C

Oleh :

Dimas Faldi Jiaulhaq 170210302086


Venedio Nala Ardisa 170210302111

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
Sejarah dan Masa Silam

Sering terjadi bahwa ucapan seorang ahli sejarah mengenai masa silam
tidak dapat diterima sebagai ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya. Tak jarang
juga bahwa para ahli sejarah itu sendiri sangsi akan data yang disajikan semata-
semata karena alasan ilmiah, Namun pada kenyataannya hal ini tidak membawa
para ahli sejarah tak pernah mampu memperoleh pengetahuan masa silam yang
dapat diandalkan.
Sebaliknya seorang skeptikus secara prinsip sangsi akan kebenaran
pengetahuan historis. Prinsip mereka adalah bahwa para ahli sejarah pernah atau
selalu membuat kesalahan. Seorang skeptikus menyatakan bahwa setiap generasi
ahli sejarah memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, fakta-fakta sejarah yang saat
ini diandalkan mungkin di masa depan akan menjadi tidak benar atau
menyesatkan. Seorang yang skeptikus tidak percaya bahwa seseorang dapat
memperoleh pengetahuan dari masa silam.

1. Masa Silam Sebuah Fiksi?


Bentuk skeptisme historis yang paling ekstrim adalah kesangsian mengenai
“apakah masa silam itu pernah ada?” bagi mereka mungkin saja masa silam hanya
merupakan hasil rekaan atau hayalan kita. Dalam mengsangsikan sesuatu
seseorang harus mempunyai gambaran mengenai dunia yang disangsikannya,
namun seorang yang skeptikus tidak dapat menerangkan apa yang
disangsikannya, mereka tidak dapat memaparkan alasan mengapa Ia sangsi akan
adanya sesuatu.
Salah satu tokoh yang bernama Bertrand Russell (1872-1970) pernah menulis
bahwa semua kenangan dimasa silam ternyata baru diciptakan 5 menit yang lalu.
Semua kenangan dan bahan historis itu, kedua-duanya baru berumur lima menit
yang serasi satu sama lain. Sehingga nampak seolah-olah masa silamlah yang
mendahului saat penciptaan itu sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah
pertanyaan “Mengapa titik awal sejarah ditetapkan 5 menit yang lalu, bukan 2
menit, 10 menit, atau 100 tahun yang lalu?” Jawaban Russell ternyata hal tersebut
ditentukan dengan sewenang-wenangnya. Maka dari itu sulit untuk kita mengerti
mengapa Russell memilih jangka waktu 5 menit tersebut dan kita tidak bisa
menyalahkan apa yang telah diasumsikan oleh Russell.
Menurut Russell asumsinya tidak mengandung suatu kontradiksi dan
asumsinya itu mungkin memang benar. Alasannya karena “Bukankah
pengetahuan historis itu berasal dari masa silam yang pernah ada?”. Russell
memberikan jawaban tentang bagaimana bentuk dunia kita jika memang masa
silam itu ada, sekaligus Ia memberi alasan mengapa timbul sebuah kesangsian
atas adanya masa silam itu.
Jika kita bayangkan melalui sebatang garis untuk mengukur waktu dapat
digambarkan sebagai berikut ini:

Waktu pendahulu T1 T1 (titik permulaan waktu menurut Russell) Waktu setelah T1

Pada bagian tengah kita memberi tanda T1, yaitu titik yang ditentukan Russell
sebagai permulaan waktu, dan disebelah kiri terdapat saat-saat yang mendahului
titik T1, dimana titik tersebut merupakan waktu yang dianggap tidak pernah ada
oleh orang skeptikus. Sedangkan disebelah kanan terletak titik yang
menggambarkan masa yang akan datang. Bagi seorang skeptikus tidak ada alasan
untuk menolak gambaran mengenai garis waktu tersebut. Karena mereka tidak
menyangkal bahwa semenjak saat penciptaan waktu itu mengalir seperti yang
terjadi sekarang.
Sebenarnya kita dapat sangsi akan pendapat skeptikus ala Russell dengan
pertanyaan “Apakah jawaban yang akan diberikannya besuk, akan pertanyaan kita
bilamana dunia diciptakan?” jika saja Ia masih berpegang teguh pada pendirian
bahwa dunia baru saja diciptakan, maka Ia harus memberikan Jawaban mengapa
dihari esok Ia menerima sebagian dari masa silam sebagai kenyataan, namun tidak
seluruhnya. Sehingga Russell berkontradiksi dengan dirinya sendiri karena
memberikan dua jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan yang sama. Dapat
disimpulkan seorang skeptikus tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kita
secara memuaskan dan masuk akal. Sehingga hal tersebut membuat kita bebas
untuk percaya atau tidak bahwa masa silam itu benar-benar ada. Sehingga kita
hanya bisa menunggu sampai seorang filsuf lain yang memberikan alasan kuat
untuk menyangsikan adanya masa silam.

2. Konstruktivisme
Sampai saat ini belum ada seorangpun yang dapat menyangsikan adanya
masa silam dengan alasan yang signifikan dan dapat diterima oleh akal termasuk
orang skeptikus. Namun, orang-orang skeptikus masih belum menyerah. Mereka
kembali dengan pendapat bahwa ia bersedia menerima masa silam itu pernah ada
tetapi diteruskan lagi kalau masa silam sekarang tidak ada lagi. Sehingga kita
tidak pernah bisa untuk mengecek sejauh mana kebenaran ucapan-ucapan historis
dapat dipercaya.

2.1 M. Oakeshott, Experience and Its Modes (1933)


Titik pangkal Oakeshott merupakan suatu bentuk yang empirisme ekstrem.
Dimana anggapannya kita dapat memperoleh suatu pengetahuan yang dapat
diandalkan hanya melalui hal-hal yang bisa diamati dengan indera.
Dalam Skeptisisme Oakeshott terdapat 3 komponen, antara lain :
Pertama, perkataan bahwa pengetahuan mengenai masa silam yang dapat
diandalkan itu adalah mustahil, karena pengetahuan yang dapat diandalkan itu
hanya akan dapat diperoleh jika kita mengamatinya secara langsung dengan
inderawi. Sedangkan masa silam tidak berdasarkan pengamatan atau pengalaman
kita.
Kedua, Oakeshott pernah merincikan skeptisismenya sebagai berikut :
“Pengetahuan” kita mengenai masa silam, terwujud, dan terungkap dalam ucapab-
ucapan mengenai masa silam. Dalam ungkapan tersebut, dapat ditunjukkan
sebuah komponen demonstratif dan deskriptif. Komponen demonstratif
menerangkan mengenai objek, sedangkan komponen deskriptif menerangkan sifat
dari objek tersebut. Didalam ucapan “Amir itu cerdas”, kata Amir menunjukkan
kepada suatu objek yang nyata dan ada, sedangkan kata “cerdas” menjelaskan
sifat dari objek itu sendiri. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa kita dapat
menunjukkan sesuatu atau seseorang jika orang tersebut dapat hadir dihadapan
kita. Dalam pengetahuan historis sebagai contoh saja kita tidak dapat
menunjukkan Sultan Agung. Dengan demikian komponen demonstratif dalam
ucapan mengenai masa silam, selalu mengawang. Dalam ucapan-ucapan
mengenai masa silam, selalu terdapat unsur-unsur yang tidak menentu, sehingga
kita dapat menyangsikan kesahihan ucapan-ucapan itu.
Ketiga, pendirian Oakeshott bahwa pengetahuan kita mengenai masa silam
dibenarkan karena adanya buktu historis seperti dokumen, arca, prasasti, candi
dan lain-lain. Semua barang bukti tersebut dapat ditunjukkan atau ditemukan
secara langsung di museum atau cagar budaya. Oakeshott percaya akan hal ini
ditaraf tertentu. Ia tidak menolak adanya penulisan sejarah. Kembali lagi ia
menegaskan bahwa barang atau bukti-bukti yang ada tersebut hanyalah sebagai
pembuka jalan agar kita dapat mengkombinasi dan menganalisis lalu membuat
konstruksi-konstruksi mengenai apa yang mungkin terjadi di masa silam. Sebuah
barang bukti mungkin memang benar adanya tetapi barang bukti tersebut
hanyalah sebagai bahan pendukung pendapat para ahli saja bukan merupakan
bukti bahwa pendapat para ahli itu benar. Bukti yang bisa membuat pendapat para
ahli itu benar hanyalah dengan membandingkan kontruksi-konstruksi masa silam
itu dengan masa silam itu sendiri. Namun karena masa silam itu untuk selamanya
silam dan tenggelam, maka perbandingan seperti ini tidak akan mungkin bisa
dilakukan. Satu-satunya yang dapat kita andalkan hanyalah konstruksi-konstruksi
mengenai masa silam yang berdasarkan bahan historis yang ada.
Dapat disimpulkan mengapa Oakeshott kemudia menamai pendiriannya
ini sebagai “konstruktivisme ” karena pendiriannya ini empirisme ekstrim yang
percaya bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan itu hanyalah pengetahuan
yang dapat diamati dengan inderawi.
Meiland menjawab adanya pendirian konstruktivisme Oakeshott dengan
kita harus mengamati dulu dengan teliti apakah maksud dari apabila kita
mengatakan “A tahu bahwa p”; adapun A sebagai subyek atau seseorang tertentu
dan p adalah predikat (dalam tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia). Para filsuf meyakini A mengetahui
bahwa p dengan tiga syarat sebagai berikut :
1. A percaya bahwa p
2. P adalah benar (tidak ada yang mengatakan bahwa p itu tidak benar)
3. Ada bahan bukti mengenai p
Para filsuf tidak sepakat dengan harus terpenuhinya syarat ketiga.
Bayangkan saja seseorang dengan tepat meramalkan bahwa pertandingan antara
kesebelasan Indonesia dengan Malaysia nnati akan menghasilkan kemenangan
bagi Indonesia. “Alasannya” tak lain dan tak bukan karena adanya rasa
patriotisme. Dapatkah dikatakan bahwa ia benar-benar tau pada kesebelasan
Indonesia benar-benar Indonesia yang akan menang? Mempunyai bahan bukti
mengenai p hanya merupakan bagian yang paling pokok dalam pengetahuan kita
mengenai p.
Sebaliknya jalan pikiran Oakeshott didasarkan pada pengetahuan adalah
penyatuan antara p dan bahan bukti bagi p. Ia seakan-akan mengikat antara
“pengetahuan” dan “bahan bukti”. Ia tidak bersedia melepaskan konsep
pengetahuan dari konsep bahan bukti. Maka dari itu baginya, bukan bukti historis
p yang menyediakan bahan bagi konstruksi historiografis, bukan hanya bukti p
yang dijadikan bahan untuk memperoleh pengetahuan pada masa silam.
Perkembangan dalam metode-metode ilmiah penelitian sejarah
menyediakan jawaban untuk melawan skeptisisme. Metode ini diciptakan oleh
para ahli sejarah untuk menentukan kebenaran mengenai masa silam. Namun,
seperti yang sering terjadi bahwa perkembangannya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Dengan memusatkan perhatian pada metode-metode historis serta
pada kritik historis, pegangan terhadap masa silam menjadi tidak di perketat.
Banyak para filsuf ilmu mengalihkan perhatian mereka dari rekonstruksi abstrak
yang sering formal-logis mengenai metode ilmiah serta menjauhkan diri dari
proses perkembangan dalam suatu pengetahuan ilmiah. Sebagai gantinya, mereka
lebih suka untuk meneliti bagaimaa de facto dalam praktek penelitian ilmiah.

2.2 L.Goldstein, Historical Knowing (1976)


Dalam pengkajian sejarah, Goldstein menunjuk ke arah konstruktivisme.
Dalam pengkajiannya ia membedakan antara “struktur supra” dan “struktur infra”.
Adapun struktur supraadalah struktur pengertian historis yang telah bulat dan
yang kita jumpai dalam buku-buku dan karangan historis. Sedangkan struktur
infra adalah keseluruhan metode dan teknik penelitian yang menghasilkan
pengertian historis. Goldstein mencatat bahwa sampai sekarang filsafat sejarah
hampir eksklusif dan hanya berurusan dengan struktur supra. Goldstein
mengusulkan kepada para filsuf untuk menempuh jalan yang sebaliknya, yakni
meneliti bagaimana dalam praktek penelitian sejarah menjadi tersusunnya
pengetahuan historis. Dengan demikian, Goldstein de facto mengubah penelitian
sejarah seperti lazim dilakukan menjadi suatu diskusi intern antara para ahli
sejarah, mengenai tepat gunanya serta kesahihan teknik-teknik penelitian sejarah
seperti yang dikembangkan dari abad ke abad.
Goldstein menyimpulkan bahwa pengetahuan kita mengenai sejarah selalu
tergantung dan ditentukan pada sifat-sifat metode penelitian yang digunakan dan
ia sanggup menerima konsekuensi-konsekuensi paling radikal sebagai akibat
pendiriannya itu. Goldstein mengatakan bahwa metode-metide penelitian sejarah
tidak hanya dapat dipandang sebagai sarana untuk memperoleh pengertian
mengenai masa silam, melainkan metode penelitian tersebut juga menentukan
sifat masa silam itu.
Konstruktivisme ala Oakeshott dan Goldstein merupakan suatu teori dalam
filsafat sejarah mengeni fakta-fakta sejarah atau mengenai masa silam itu sendiri.
Menurut mereka fakta dalam masa silam itu merupakan kontruksi-konstruksi dari
para ahli sejarah.

3. Re Enactment
Menurut Oakeshott dan Goldstein, maka skeptisisme merupakan suatu
kesimpulann yang tak terelakkan. R. G. Collingwood (1889-1943)-filsuf sejarah
paling terkenal pada abad ke-20 ini-pernah mencoba membantah skeptisme secara
fundamental. Anehnya, titik pangkal Collingwood sebetulnya tak jauh berbeda
dari asumsi Oakeshoot, keduanya berpendapat, bahhwa hanya pengetahuan
mengenai apa yang dapat langsung diamati, pantas dipercaya dan diandalkan.
Empirisme-empirisme serupa itu rupanya memang menjurus ke skeptisme historis
tetapi Collingwood berusaha menyelamatkan kepastian historis.
Seorang peneliti sejarah, demikian Collingwood, dapat menghayati pikiran
dan perbuatan seorang tokoh sejarah yang sedang dipelajarinya. Ia seolah-olah
dapat masuk ke dalam kulit Van Mook, ketika dia berhadapan dengan republik
Indonesia dan ahli sejarah itu lau dapat membayangkan, bahwa dalam keadaan
pada waktu itu bentuk negara federal ada segi-segi yang menarik. Nah, bila dalam
batin seorang penelitti sejarah terjadi proses penghayatan, maka ia secara harfiah
mengulangi gagasan-gagasan pelaku sejarah itu. Dalam proses penghayatan
serupa itu, masa silam-alam pikiran Van Mook atau siapa saja yang hidup dulu-
dibawa ke masa kini dan dijadikan suatu peristiwa yang sekarang terjadi. Oleh
Collingwood prosede ini dinamakanya Re-Enactment of The Past, artinya masa
silam dipentaskan kembali, diperagakan kembali (Ankersmit, 1987:89). Dengan
demikian, kita dapat mengetahui masa silam lewat pementasanya pada masa kini
yang langsung kita alami: jadi, dengan demikian, mengetahui mengenai masa
silam dapat dipercaya dan diandalkan.
Perlu dicatat, bahwa jalan pikiran Collingwood menjurus ke suatu
intelektualisme. Hanya apa yang pernah ada dalam benak seorang pelaku sejarah,
dapat diaktualkan kembali, dapat dibawa ke masa kini, bukanya fakta-fakta.
Teoritis, kita dapat menghayati kembali apa yang dipikirkan prajurit-prajurit
Napoleon dalam pertempuran di Waterloo, tetapi pertempuran itu sendiri tak dapat
diperagakan kembali (kecuali secara rekaan dalam sebuah film). Segala sesuatu
yang tak dapat dikembalikan kepada buah pikiran para pelaku sejarah, dapat
dirongrong oleh skeptisme ala Oakeshott. Baik bagi Oakeshott maupun bagi
Collingwood, hanya pengetahuan mengenai apa yang disini dan kini terjadi dan
dialami, pantas dipercaya dan diandalkan (Ankersmit, 1987:89).
Terdapat jalan pikiran ini, dapat diajukan berbagai keberatan. Pertama-tama,
hendaknya dibedakan (1) memikirkan suatu gagasan G, dari (2) gagasan G
sendiri. Yang pertama merupakan suatu perbuatan intelektual, yang kedua dapat
disebut tujuan atau obyek perbuatan tadi. Bahwa ada bedanya antara (1) dan (2)
jelas juga dari pertimbangan tersebut. Berdasarkan pertimbangan ini, maka
jelasnya, bahwa masa silam tidak dapat dipentaskan kembali dengan memikirkan
kembali suatu gagasan yang dahulu pernah dipikirkan oleh salah seseorang,
melainkan hanya dengan mengulangi sebuah tindak pikiran. Berlainan dengan
gagasan sendiri maka tindak pikiran ditentukan menurut waktu dan tempat:
mementaskan kembali massa silam hanya berlaku bagi tindak pikiran itu. Nah,
pokok persoalan ialah, tindak pikiran itu tidak dapat dipindahkan ke masa kini.
Sekalipun saya sekarang melakukan perbuatan sama seperti dulu dilakukan
seseorang, perbuatan itu tetap tidak sama dengan perbuatan orang dulu, karena
aku bukan dari jaman dulu itu. Sekalipun ada dua orang yang melakukan
perbuatan yang tepat sama (mencampur semen misalnya), namun tetap ada 2
perbuatan yang berbeda-beda. Maka dari itu mementaskan kembali masa silam
seperti diusulkan Collingwood, tetap tidak mungkin (Ankersmit, 1987:90).

Jika dapat membaca sanggahan ini, Collingwood mungkin menjawab, bahwa


rupanya masalah skeptisme tidak relevan. Yang bagi dia relevan ialah kita dapat
memikirkan kembali gagasan-gagasan para pelaku sejarah dan, dengan demikian,
kita dapat mengetahui masa silam. Baik bila kita mementaskan kembali suatu
peristiwa sejarah yang ditentukan oleh waktu dan temppat, namun bila kita
memikirkan kembali sesuatu yang tidak terikat akan waktu, itu bukan persoalan
yang perlu dirisaukan. Tentu saja lalu timbul pertanyaan, sejauh mana sebuah
masalah dipecahkan kalau dinyatakan tidak relevan? Tetapi biarlah dalam hal ini
kita membiarkan Collingwood menikmati The Benefit of The Doubt; Masih ada
keberatan lebih serius yang dapat diajukan terdapat pendirianya (Ankersmit,
1987:90).

4. Mesin-mesin Waktu
Bagi Oakeshott, satu-satunya sumber bagi pengetahuan yang dapat
dipercaya ialah apa yang langsung dapat diamati Skeptisisme yang dihasilkan oleh
pendapat itu, oleh Collingwood dibantah dengan semacam pegalaman tiruan
mengenai masa silam. Kedua-duanya bersedia meerima skeptisisme dengan sikap
pasrah. Maka dari itu, usaha kita untuk membuktikan bahwa skeptisisme tidak
benar, belum begitu berhasil. Tetapi, dari usaha-usaha yang dipaparkan diatas,
dapat dibayangkan dua taktik lain dalam memerangi skeptisisme. Pertama, dapat
diteliti pertanyaan apakah pengalaman langsung mengenai masa silam memang
mustahil. Kedua, dapat diselidiki apakah pengetahuan yang dapat diandalkan
mengenai masa silam sungguh mustahil, pun pula bila kita benarkan pendapat
Collingwood, Oakeshott, dan Goldstein bahwa ucapan-ucapan kita mengenai
masa silam hanya dapat diverifikasikan sekarang dan disini.
Marilah kita mulai dengan pertanyaan pertama. Bukanlah dalam ingataan
ada semacam pengalaman langsung mengenai masa silam? Bayangkan kita ingat
akan suatu peristiwa penuh suka maupun duka dari masa silam, bukankah
peristiwa itu sering langsung hadir, sama seperti saat pada saat itu sendiri?
Kadang-kadang, beberapa aspek dalam peristiwa itu, di kemudian hari kita ingati,
sedangkan pada saat peristiwa itu terjadi, kita tidak menyadari aspek-aspek itu.
Rupanya peristiwa itu masih tetap siap untuk ditinjau sehingga langsung dapat
dialami, sama seperti ketika terjadi pada saat itu dahulu. Tetapi, sayanglah, ini
bukan suatu pengalaman langsung mengenai masa silam. Bayangkan seseorang
ingat akan peristiwa G. Ia dapat mengatakan, “Aku teringat peristiwa G.” Sejauh
disini sungguh terjadi pengalaman (langsung), maka yang terjadi ialah seorang di
sini dan sekarang ingat akan G, bukannya bahwa pada masa silam G itu terjadi.
Ini menjadi jelas, bilamana kita menyangkal ucapan tadi. Yang dikatakan ialah
“Aku tidak ingat bahwa G”, bukannya “Aku ingat bukan G”. Inti logis dalam
ucapan itu, terletak pada aktifitas mengingat, bukan pada peristiwa G yang
diingat. Mengingat itu terjadi pada masa kini, ini sama sekali bukan suatu bentuk
pengalaman pada masa silam. Masalah tambahan yang kita hadapai disini ialah,
kebanyakan peristiwa yang dipelajari oleh para ahli sejaraht terjadi sekian abad
yang lampau, sehingga tak ada seorangpun yang masih ingat akan peristiwa itu.
Tentu saja, kita dapat berkhayal, bahwa pada masa yang akan datang para
ahli akan dapat membuat sebuah mesi waktu, sehingga kita mampu untuk
menjelajahi kembali masa lampau dan degan demikian langusng mengalami masa
silam. Dalam buku sains-fiksi, mesin-mesin serupa itu sering muncul. Dapat
dibayangkan bahwa nanti para ahli sejarah sering akan mempergunakan mesin itu,
kalau sungguh dapat dibuat. Selama mesin-mesin serupa itu belum dibuat, kita
harus sabar dengan skeptisisme. Sabar pula menunggu sampai dapat dibuat mesin
waktu itu.
Akan tetapi, sayanglah ilusi ini pun direnggut oleh Tuan Alfred Ayer.
Bayangkan demikian dikatakanya, bahwa memang semenjak suatu saat tertentu
dalam hidup kita muncullah pengalaman yang sama seperti bertahun-tahun yang
lalu pernah kita rasakan atau pengalaman-pengalaman sugestif, seolah-olah kita
dikembalikan kepada suatu saat pada masa yang silam (misalya berkat sebuah
mesin waktu). Misalnya, kita melihat bagaimana pada tanggal 17 agustus 45,
Bung karno dan bung hatta memproklamasikan kemerdekaa. Bukankah dalam
keadaan seperti itu, kita tidak boleh mengatakan bahwa kita ditempatkan kembali
pada masa silam serta langsung mengalami masa silam?
Pendapat ini disangkal oleh Ayer dengan alasan sebaai berikut.
Pengalaman-pengalaman serupa itu, tetap terjadi sesudah t dan tak pernah terjadi
sebelum t. Bila akita sekali lagi memperguakan garisan yang telah disebut dalam
pasal tadi, maka, pada mistar itu, tidak dapat ditunjukkan sebuah titik yang
letaknya baik sebelah kiri maupun kanan t. Kita telah (secara diam-diam)
mengadakan kata sepakat, mengenai tersusunnya pengalaman-pengalaman kita
secara temporal ( dalam arus waktu). Kata sepakat tersebut, antara lian berarti
bahwa tak ada satu pengalaman pun yang terjadi sesudah pengalaman sebelumnya
(pada garisan letaknya disebelah kanan), sekaligus juga dapat mendahului
pengalaman pertama (pada garisan letaknya disebelah kiri). Oleh sebab itu kita
tidak dapat menghayati kembali masa silam dan kita tidak dapat mengalami secara
langsung masa silam, karena kita tidak dapat mengenal kembali atau mengakui
sesuatu sebagai suatu penghayatan kembali mengenai masa silam. Sekalipun kita
merasa seolah-olah dengan mata kepala sendiri kita menyaksikan, bagaimana
Pangeran Diponegoro ditahan Belanda di Magelang, Namun menginat
penghayatan kita mengenai waktu yang mengalir dan yang ada titik-titik sebelum
dan sesudahnya, maka kita tidak dapat meyebut pengalaman langsung atau suatu
penghayatan kembali mengenai masa silam. Di mana pun kita berada, pengalaman
apapun yang kita miliki, kita tetap terbelenggu oleh masa kini

5. Verifikasionime
Filsafat memiliki senjata ampuh yaitu mendefinisikan ucapan-ucapan kita
mengenai masa silam sedemikian rupa, sehingga seorang skeptikus tidak berdaya
lagi. Dalam filsafat, senjata ampuh itu disebut verifikasionisme.
Menurut verifikasionisme, ucapan ‘p’ mengenai ‘A’ sebetulnya
merupakan suatu ucapan mengenai barang bukti ’B’, yang membuka
kemungkinan menetapkan kebenaran ucapan itu atau memverifikasinya.
Demikian misalnya ucapan “pada saat ini angin taufan melanda philipina”
sebetulnya merupakan suatu pernyataan mengenai apa yang besok dapat kita baca
dalam surat kabar verifikasionisme, sebetulnya merupakan suatu teori mengenai
arti yang sesungguhnya dalam ucapan dan pernyataan kita.
Sebuah ucapan yang rupanya mengatakan sesuatu mengena hal tertentu,
sebetulnya mengatakan sesuatu mengenai bahan bukti yang mendukung ucapan
tadi. Sejauh ucapan-ucapan itu menyangkutpengamatan atau pencerapan inderawi,
teori itu agak masuk akal. Bila kita mengatakan “bunga mawar itu warnanya
merah”, maka kebenaran ucapan tersebut dapat dicek kebenarannya menurut
pengalaman atau pencerapan kita.
Ucapan bahwa pada tanggal 6 februari 1986, surapati menewaskan kapten
tack beserta rombongannya dekat kartasura, sepintas kilas mengatakan sesuatu
mengenai sebuah peristiwa pada masa silam, tetapi menurut verifikasionisme
hanya mengatakan sesuatu mengenai apa yang dapat dan harus kita simpulkan
dari dokumen-dokumen sejarah.
Ada hubungan erat antara konstruktivisme dan verifikasionisme. Bila
konstruktivisme tidak kita lihat sebagai teori, bagaimana para ahli sejarah sampai
pada pernyataan-pernyataan historis, maka konstruktivisme identik dengan
verifikasionisme.cara sebua pernyataan historis disusun (dikonstruksikan) dan
cara pernyataan itu dapat dicek kebenarannya, sama saja.
Akhirnya tak dapat disangkal, bahwa verifikasionisme merupakan suatu
perombakan dalam cara kita bernalar. Segala ucaapan dan pernyataan kita
mengenai hal-ihwal (entah sekarang atau dahulu), perlu diberi arti lain dari biasa.
Filsafat ini memang merupakan senjata ampuh, untuk menggugurkan skeptisisme.
Bila segala ucapan kita mengenai masa silam sebetulnya tidak menyangkut
peristiwa pada masa silam sendiri, melainkan bahan bukti yang menopang ucapan
tadi, maka tidak perlu sangsi apakah bahan historis itu layak dipercayaa. Bahan
bukti itu dapat kitaa teliti disini dan sekarang.
Namun sayanglah, bantuan yang diberikan oleh verifikasionisme dalam
memerangi skeptisisme historis, tidak dapat kita terima. Alasannya, karenaa
verifikasionisme sendiri tidak merupakan sebuah sistem filsafat yang dapat
diandalkan.
Pertama-tama, verifikasionisme bertentangan dngan akal sehat. Tak
seorang pun merasa, bahwa iaberbicara mengenai surat kabar esok, bila ia
mengatakan sesuatu mengenai cuaca di philipina sekarang. Pengertian akal sehat
itu dapat kita rumuskan kembali seperti berikut : sebagai teori, arti
verifikasionisme tidak meyakinkan. Menurut verifikasionisme terdapat persamaan
atau ekuivalensi antara ucapan ‘P’ dan serangkaian ucapan ‘R’ yang menjadi
sarana untuk mengecek kebenaran ‘P’.
Andaikata persamaan itu sungguh ada, maka kita selalu boleh
menggantikan ‘P’ dengan ‘R’ dan sebaliknya. Hal-hal yang ekuivalen boleh
ditukar tanpa terjadi perubahan dalam kenyataan. Tetapi justru, ini ternyata tidak
selalu benar. Ucapan “amir percaya bahwa ‘P’ ” tidak begitu saja dapat diganti
dengan ucapan “amir percaya bahwa ‘R’ “.
Bisa saja terjadi, bahwa amir percaya bahwa tahun 19942, kolombus
menemukan amerika, tanpa timbul gagasan di benaknya bagaimana ucapan itu
dapat diverifikasi, dapat dicek kebenarannya. Maka dari itu, tak dapat dikatakan,
bahwa terdapat sesuatu ekuivalensi yang nyata antara’P’ dan ‘R’, sehingga
veriikasionisme itu harus kita tolak.
Selain itu, masih ada keberatan lain.bayangkari, bawa bahan bukti bagi
pernyataan kita mengenai masa silam berubah dalam perputaran waktu.
Ditemukannya dokumen-dokumen baru dalam arsip-arsipmemang sering terjadi
dalam penelitian sejarah.
Menurut verifikasionisme maka arti ucapan kita lalu juga terus menerus
berubah, sekalipun isi ucapan tidak berubah. Andaikata ditemukan dokumen-
dokumen baru mengenai pelayaran kolombus, maka ucapan pada tahun 1492
kolombu menemukan benua amerika yang dirrumuskan misalnya pad tahun 1850,
lalu memperoleh arti yang sama sekali baru seesdah ditemukan dokumen-
dokumen baru. Jelaslah ini tidak masuk akal. Kesimpulannya ialah
verifikasionisme tidak dapat membantu kita dalam memerangi skeptisme historis
6. Sejarah sebagai jembatan waktu
Sampai saat ini, kita masih belum berhasil membantah paham
Skeptisisme, tetapi yang berhasil kita lakukan ialah, bahwa masa silam memang
pernah ada. Setelah itu kita berhasil menggugurkan alasan-alasan skeptisis yang
diutarakan oleh konstruktivisme Oakeshott dan Goldstein. Tetapi, belum
dibuktikan bahwa pengetahuan historis yang diandalakn dapat diperoleh. Usaha-
usaha seperti dilakukan oleh Collingwood, para verifikasionis dan para pecinta
cerita-cerita SF dengan mesin waktunya, tidak berhasil juga. Yang lebih efektif
ialah bantahan Danto terhadap skeptisisme.
Danto memaparkan, bahwa spektisisme selalu didasarkan atas ide, bahwa
kita tidak dapat lagi mengamati masa silam. Berlaianan dengan pembatahan
historisn diatas, Danto tidak merasa perlu menyerang pendapat ini. Ia berkata :
Biar kita tidak lagi dapat mengamati masa silam, tetapi ini tidak berarti bahwa kita
harus menyangsikan kesahihan pengetahuan historis seperti dikatakan kaum
spektisis. Ketidak mampuan kita untuk mengalami atau mengamati masa silam
secara langsung, tidak merupakan kelemahan pokok dalam pengkajian sejarah.
Sebaliknya, seluruh pengkajian sejarah justru didasarkan atas ketidak mampuan
itu. Justru karena terdapat sebuah jurang antara masa kini dan masa silam, maka
dikembangkan ilmu sejarah dan pengkajian sejarah untuk menjembatani jurang
tersebut. Mempermasalahkan pengkajian sejarah, bahwa ia tidak didasarkan atas
pengamatan langsung terhadap obyek penelitiannya, sama aneh dengan misalnya
memepermasalahkan PJKA karena terdapat jarak jauh antara kota-kota di Pulau
Jawa dan Sumatra Selatan. PJKA justru dikembangkan untuk mengatasi jarak
antara kota-kota besar itu.
Selain itu, hendaknya kita menyadari bahwa banyak pengetahuan yang
kita andalkan, tidak berdasarkan pengamatan langsung. Sebaliknya, pengamatan
langsung sering dapat menyesatkan. Penglihatan kita dapat ditipu. Tak ada alas an
apapun untuk memprioritaskan pengamatan langsung di atas pengetahuan lain.
Kebanyakan pengetahuan yang dapat diandalkan, selalu merupakan perpaduan
antara pengamalan langsung dan pertimbangan yang tidak dapat diasalkan pada
pengamatan langsung. Pertimbangan terakhir tidak berhubungan dengan
pengamatan langsung atau pengalaman mengenai sesuatau. Demikian juga
pengkajian sejarah selalu didasarkan atas pengamatan terhadap teks-teks, sumber-
sumber sejarah dan sebagainya, kemudian atas pertimbangan historis, bagaimana
menafsirkan pengamatan tadi. Andaikata tidak mampu mempertahankan
skeptisisme historis, maka yang perlu diasingkan tidak hanya pengetahuan kita
mengenai masa silam, melainkan juga pengetahuan kita mengenai ilmu alam,
kimia, astronomi, dan sebagainya, sampai dalam pengetahuan hidup sehari-hari.
Skeptisisme historis, lalu dijadikan skeptisisme universal. Membantah paham itu
terletak diluar jangkauan pembahasan (Ankersmit, 1987: 95-97)
DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit. F. H. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai