Anda di halaman 1dari 7

RESENSI BUKU

DUA KOTA TIGA ZAMAN: SURABAYA DAN MALANG SEJAK MASA


KOLONIAL SAMPAI KEMERDEKAAN

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan


Dosen Pengampu: Asti Kurniawati, S. S. M. Hum

Disusun oleh:
Andri Setyawan B0418006
Fajar Dwi Nugroho B0418022

PROGRAM STUDI SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
Identitas Buku
 Judul Buku : Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya Dan Malang Sejak
Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan
 Penulis : Purnawan Basundoro
 Penerbit : Ombak
 Tahun Terbit : 2009
 Tebal Halaman : xxii + 297
Isi Buku:

Buku ini terdiri dari 10 Bab dimana terbagi menjadi dua bagian yaitu
Bagian Surabaya dan Malang. Dimana pada Bab pertama menjelaskan
tentang kondisi kota-kota di Indonesia pada masa transisi. Dimana pada
bab pertama ini, memberikan gambaran terlebih dahulu tentang kondisi
kota-kota yang ada di Indonesia sebelum membahas ke pokok bahasan
yang ada di dalam buku ini. Pada bab ini dijelaskan bahwa kota di
Indonesia tumbuh seiring adanya kebijakan dari Belanda tentang UU
Agraria yang mengakibatkan datangnya para investor dari luar. Dengan
datangnya investor ini mereka menginginkan tempet tinggal mereka sama
dengan tempat asal mereka, dari sini lah kota-kota mulai dibangun. Seiring
berkembangnya kota masalah-masalah pun hadir seperti banjir,
perkampungan kumuh, wabah penyakit, dsb. Hal ini diakibatkan
pembangunan kota yang kurang memperhatikan kondisi masyarakat
Pribumi. Dimana masyarakat Pribumi terpinggirkan oleh para investor dan
mereka terpaksa tinggal di pinggiran kota dengan perkampungan kumuh
yang menjadi sarang penyakit.

Kemudian antara kota pantai dan kota pedalaman memiliki derajat


perkembangan yang berbeda kota pantai cenderung lebih cepat dari pada
kota yang berada di pedalaman di dalam perkembangnya. Hal ini dapat
dilihat pada perkembangan Kota Surabaya dan Malang. Dua kota tersebut
menampak karakteristik yang berbeda sekali disini digambarakan bahwa
Surabaya merupakan kota yang dibangun untuk di ekspolitasi besar-
besaran SDA tanpa memperhatikan dampaknya. Surabaya dikembangkan
ke arah kota Industri dan pusat pemerintahan, sedangkan kota Malang
lebih terarah pembangunannya. Dalam pembangunannya Malang lebih
matang dan sangat teratur tata kotanya, tertib dan terarah.

Surabaya tumbuh sangat pesat karena dikategorikan sebagai kota


pesisir (coastal city) yang mudah menerima pengaruh dari luar terutama
kolonial. Pertumbuhan yang sangat pesat menjadikan Surabaya menjadi
kota Industri, perdagangan serta pusat pemerintahan. Adanya
pembangunan yang ada juga menimbulkan berbagai macam masalah. Kota
sendiri pada dasarnya bersifat paradoks dimana kota sangat ramah bagi
kaum borjuis namun kota juga sangat menindas bagi kaum marjinal. Kaum
miskin kota merupakan korban dari pengelolaan yang mengatasnamakan
pengelola kota, hal tersebut juga terjadi di Surabaya.

Adanya para investor yang datang berakibat kaum Pribumi harus


tersingkir akibatnya mereka harus mendirikan pemukiman di pinggiran
kota. Kondisi kota yang cukup menarik bagi orang yang ada di pedesaan
berakibat mereka memutuskan untuk urbanisasi, akibatnya dengan kondisi
lahan yang semakin sempit dan mereka hanya bekerja sekadarnya akhirnya
mereka membangun permukiman yang sifatnya liar karena tidak dapat
menunjukan bukti legal. Tanah menjadi persoalan yang pelik waktu itu,
kehadiran kolonial mengakibatkan tanah-tanah komunal menjadi milik
negara dan tanah berubah haknya menjadi hak individu. Kemudian adanya
tanah partekelir yang dikuasai swasta menjadikan para penduduk harus
tunduk kepada pihak swasta. Mereka harus membayar pajak dan juga
harus bekerja kepada pihak swasta tersebut. Adanya pemukiman yang
kumuh tersebut mengakibatkan adanya penyakit yang timbul, hal ini
menggugah kesadaran orang Hindia tentang penataan kota, namun
kebijakan tersebut akhirnya juga hanya ditujukan untuk orang-orang
kolonial. Bahkan, untuk menggambarkan kota Surabaya waktu itu orang-
orang Belanda berkata “Surabaya van buiten blink, van binen sting” yang
artinya kota Surabaya terlihat indah dari luar pada jalan utamanya tapi
intiplah baliknya, dan anda akan menumukan lingkungan kampung
kumuh.
Kemudian diperparah lagi adanya kebijakan Exhorbitante Rachten.
Kebijakan Exhorbitante Rachten yakni hak Gubernur Jendral untuk
menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk. Hak ini
didasarkan pada heterogenitas dan agar tidak terjadi konflik antar etnis,
namun sistem pemukiman ini menimbulkan masalah dimana penduduk
Pribumi kurang diperhatikan. Mereka diposisikan paling bawah, mereka
hanya tinggal di tanah-tanah sisa pembangunan. Persoalan tersebut
menggugah beberapa tokoh untuk melakukan perlawanan seperti yang
dilakukan oleh Tillema, Karsten, dan Dr.Soepomo. Namun usaha tersebut
juga tidak berhasil karena kalah dalam hal kekuatan. Dari masalah-
masalah tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Pribumi tidak
mampu memberdayakan dirinya baik untuk menyehatkan diri dan
pemukimannya, mengakses tanah secara legal dan juga mereka kehilangan
haknya yang dimiliki sejak nenek moyang akibat kebijakan kolonial.
Kemudian pada bab selanjutnya dijelaskan tentang gerakan protes
penghuni kampung partikelir yang disebabkan adanya konflik
persengketaan. Gerakan protes tersebut di pelopori oleh Prawirodirjo dan
juga Pak Siti alias Sadikin. Mereka mengajak warga agar tidak membayar
sewa tanah dan juga tidak menjalankan kerja wajib, kemudian melakukan
pendudukan secara liar dan tidak memberikan hasil panennya kepada
tuan-tuan mereka. Tanah partikelir terjadi karena adanya penjualan tanah
oleh VOC kepada pihak swasta dan hal itu berdampak buruk pada
masyarakat sekitar. Prawirodirdjo dan Pak Siti menganggap swasta tersebut
tak ubahnya seorang penjahat yang hanya memeras rakyat.

Gerakan tersebut terus meluas ke seluruh wilayah Surabaya bahkan


pemimpin desa yang dulunya memihak koloni mulai ikut bergabung dalam
gerakan tersebut. Gerakan tersebut sifatnya sporadis baru setelah adanya
Sarekat Islam di Surabaya dan gerakan mulai teroganisir dan sistematis.
Kemudian hasilnya, pengadilan memutuskan putusan yang berpihak
kepada penduduk kampung partikelir dan hal tersebut disambut gembira
oleh para penduduk. Tanah partekelir merupakan gambaran negatif adanya
pendudukan yang di lakukan oleh kolonial. Namun disamping hal tersebut
pendudukan koloni juga menyisakan sesuatu yang berdampak positif bagi
rakyat Indonesia, salah satunya adalah listrik. Listrik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan nasyarakat kota, listrik
sangat penting bagi penduduk kota. Pada masa koloni terdapat perusahaan
listrik NV. Aniem, adanya perusahaan listrik tersebut tidak bisa dipisahkan
dengan gairah liberalisasi ekonomi yang terjadi. Ketika masa awal Aniem
sangat efisien namun setelah datangnya Jepang hal tersebut mulai hilang.
Pada masa Jepang listrik diurusi oleh Djawa Denki Djigjo Kosja. Setelah
Jepang menyerah kepada sekutu, Aniem kembali berkuasa namun mereka
kesulitan untuk memulihkan kondisi perusahaan. Kemudian pada masa
awal kemerdekaan sentimen akan nasionalisme cukup besar, akibatnya
perkembangan Aniem terhambat. Karena kesulitan yang terjadi maka
terjadilah proses nasionalisasi Aniem menjadi milik pemerintah RI.
Kemudian pada bab selanjutnya dijelaskan tentang mengenai masalah
pertanahan disertai catatan-catatan pasca orde baru dan berbagai alternatif
menghadapi arus urbanisasi Kota Surabaya.

Kemudian selanjutnya menginjak ke Kota Malang yang secara


karakter berbeda dengan Kota Surabaya dimana secara letak Malang yang
berada di pedalaman (inland city) mengakibatkan perubahan yang terajdi
tidak secepat yang terjadi di Surabaya. Namun Malang oleh kolonial
dibangun dengan perancanaan yang matang dimana kota tersebut
diproyeksikan sebagai tempat tinggal yang layak huni bagi kolonial hal
tersebut didukung dengan kondisi Kota Malang yang di kelilingi
pegunungan. Pada pembahasan di buku ini Malang dibahas berbeda
dengan Surabaya bukan masalah pemukiman, sengketa tanah, atau
urbanisasi dan industrialisasi. Tapi terkait dengan keunikan yang terjadi di
Kota Malang seperti Interprestasi Simbolik alun-alun Kota Malang dan
kemudian membaca Alun-Alum Bunder Kota Malang dan perekonomian
Kota Malang awal kemerdekaan.

Alun-Alun Kota Malang memang dibuat berbeda dari tata ruang di


Jawa pada biasanya. Secara fisik maupun simbolik tempat ini menjadi
kawasan terbuka, satu ruang publik yang diperebutkan oleh elemen-elemen
perkotaan, mulai dari jualan jamu, kotbah misionaris, kampanya parpol,
demonstrasi, pasar, bahkan orasi waria di hari sumpah pemuda. Alun-Alun
Kota Malang merupakan simbol perlawanan rakyat karena disitu rakyat
berkumpul dan yang bisa menguasai alun-alun berarti telah bisa
menguasai kota tersebut. Namun sebagai perlawanannya pihak kolonial
membangun Alun-alun Bunder yang mempinyai kesan jauh, tertutup,
dengan eksklusifitas yang memang dibangun sejak awal dikawasan hunian
masyarakat Eropa. Kemudian di dekat alun-alun tersebut dibangun
Societet yang merupakan tempat hiburan bagi orang-orang Eropa dan
masyarakat Pribumi dilarang memasukinya. Melihat gambaran ini, maka
akan terlihat bagaimana kondisi yang berbeda 180 derajat antara Eropa
dan Pribumi. Kemudian dalam bab selanjutnya Penulis menguraikan
kesimpulan sebagai alasan mengapa kedua kota tersebut memiliki karakter
berbeda.

Komentar atau pendapat tentang isi buku:


 Kelebihan:

Menurut Isi buku tersebut kita dapat mengetahui bagaimana riwayat


pembentukan antara Kota Surabaya dan Malang. Kemudian kita juga akan
mengetahui bagaimana alasan-alasan yang menyebabkan perbedaan
karakter antara kedua kota tersebut. Penjelasannya telah diuraikan secara
kritis oleh penulis serta penulis tidak hanya menuliskan dampak buruk
penjajahan saja namun penulis juga menuliskan dampak dampak positif
seperti listrik dan lain sebagainya. Kemudian dari uraian tersebut kita
dapat mengetahui bahwa kota tidak hanya berisi kemewahan namun
dibalik kemewahan yang ada di kota terdapat suatu penindasan dan
kesengsaran yang jarang kita ketahui. Kemudian buku tersebut ditulis
dengan menggunakan pendekatan multidisipliner dimana buku tersebut
ditulis dengan pendekatan berbagai bidang ilmu sosial seperti ekonomi dan
sosiologi serta antropologi. Hal ini sangat bagus karena kita dapat
mengetahui perkembangan kota tidak hanya dari satu sudut pandang dan
akan membuka wawasan kita bahwa apa yang ada di kota tidak hanya yang
baik-baik saja namun masih ada permasalahan yang ada.
 Kekurangan:

Buku Dua Kota Tiga Zaman yang membahas Kota Surabaya dan
Malang, namun terlalu memberatkan Kota Surabaya dalam
pembahasannya dimana hal itu dapat dilihat dari babnya untuk Malang
hanya ada 3 bab penjelasan, dan hal itu hanya membahas tentang
pemaknaan Alun-alun yang ada di kota Malang walaupun dari Alun-alun
tersebut dapat diketahui bagaimana kehidupan masyarakat Malang.
Namun, untuk pembahasan yang lebih detail menjadi kurang. Tidak seperti
saat membahas Kota Surabaya yang membahas secara rinci tentang
masalah-masalah yang ada di Kota Surabaya pasti dalam
perkembangannya untuk kedua kota tersebut memiliki persamaan masalah
namun oleh penulis kurang di jelaskan.

Anda mungkin juga menyukai