Anda di halaman 1dari 5

Tugas Sejarah Pemikiran Jawa Kelas A

“Script Tokoh Pemikiran Jawa”

Anggota:

 Andri Setyawan (B0418006)


 Fajar Dwi Nugroho (B0418022)
 Doddy Adi Hendrato (B0418015)
 Goldbuddin Hikmatyar. R (B0418025)

Raden Mas Said ( Pangeran Sambernyawa )

Biografi Raden Mas Said

Raden Mas Said atau Mangkunegara I mempunyai julukan Pangeran Sambernyawa.


Dilahirkan di lingkungan keraton Kartosuro pada 7 April 1725. Raden Mas Said merupakan
anak dari Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan. Beliau tumbuh
tanpa kehadiran seorang ayah karena Pangeran Arya Mangkunegara pada saat itu diasingkan
ke Tanjung Harapan karena beliau menentang VOC. Kehidupan masa kecil RM Said penuh
dengan kemelaratan dan penderitaan walaupun beliau hidup di lingkungan istana tidak
menjamin hidup beliau. Situasi tersebut membuat beliau banyak bergaul dengan orang-orang
kecil.

Setelah dewasa, beliau diberi gelar setingkat abdi dalem, hal ini sebenarnya kurang
tepat seharusnya RM Said bisa mendapat gelar Pangeran Sentana, atas ketidakadilan yang
belaiu dapat akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari istana dan memutuskan untuk
memberontak kepada Sunan Pakubuwono II atas ketidak adilan yang beliau dapat. Kemudian
perjuangan beliau tidak hanya melawan ketidakadilan dari keraton tapi juga terhadap VOC.
Dalam perjuangan beliau, terdapat beberapa fase, yang pertama beliau bergabung dengan
Sunan Kuning, pada fase ini diawali dengan peristiwa “Geger Pecinan” yang ada di Batavia
yang kemudian meluas sampai di Kartasuro.

Pada fase pertama, diawali pada saat etnis Cina melakukan perlawanan kepada
kolonial yang diawali dari sikap saling curiga yang kemudian meluas sampai ke wilayah
kerajaan yang membuat Mataram ikut juga melakukan perlawanan kepada kolonial. Namun
Mataram akhirnya tunduk dan perlawanan dilanjutkan oleh Sunan Kuning dan RM Said juga
ikut bergabung. Namun pemberontakan tersebut akhirnya dapat dipadamkan oleh kolonial
dan Sunan Kuning diasingkan. Sedangkan RM Said menolak menyerahkan diri dan
memutuskan untuk melanjutkan perjuangan.

Pada fase kedua, perjuangan RM Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi


yang kelak akan menjadi mertua beliau. Alasan Pangeran Mangkubumi ikut dalam
perjuangan tersebut karena kekecewaan jatah tanah hadiahnya dikurangi. RM Said dan
Pangeran Mangkubumi mulai melakukan perlawanan kepada Pakubuwono II dan kolonial
sehingga banyak tempat mulai ditaklukan oleh pasukan dari RM Said dan Mangkubumi.
Namun, akhirnya kongsi tersebut pecah dan Pangeran Mangkubumi akhirnya menjadi
Hamengkubuwono I secara sah setelah terjadi Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram
menjadi dua.

Pada fase ketiga, RM Said berjuang sendirian dengan pasukannya yang tidak begitu
banyak, namun pasukan tersebut telah menyusahkan lawan-lawannya, kini musuhnya
bertambah yaitu Hamengkubuwono I atau Mangkubumi yang dulu menjadi mitranya. Setelah
kolonial menyadari kerugian yang diakibatkan atas pemberontakan RM Said, kolonial mulai
melancarkan strategi untuk melakukan perundingan. Akhirnya, perlawanan tersebut selesai
dengan ditandanginya Perjanjian Salatiga yang mana hal ini juga memberikan RM Said
kesempatan untuk mendirikan Kadipaten Mangkunegaran dan sekaligus menjadi
Mangkunegara I pada 1757. Raden Mas Said wafat pada 1795 dan dimakamkan di Astana
Mangadeg di Matesih Karanganyar yang dulunya merupakan tempat bertapa Raden Mas
Said.

Hubungan antara Monumen Tri Dharma dan Raden Mas Said

Monumen Tri Dharma terletak dikawasan Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar.


Monumen ini berupa bangunan tugu yang dibangun untuk mengingat perjuangan RM Said
bersama rakyat Mataram. Monumen ini diresmikan pada 8 Juni 1971 oleh Soeharto, ditempat
ini dipercaya sebagai tempat Raden Mas Said menerima wahyu Praja Mangkunegaran. Di
tempat ini juga Raden Mas Said sering bertapa sebelum menjadi Mangkunegara I. Monumen
Tri Dharma merupakan tugu yang mengandung arti, yakni: bagian kaki berbentuk jenjang
(trap) bersusun sembilan yang diapit oleh tiga gelung sebagai perlambang hukum abadi umat
manusia yaitu: lahir – berkarya – mati sebelum hidup kekal di alam baka, lukisan tangan-
tangan yang bergetar menggambarkan dukungan rakyat terhadap RM Said,
Tugu bersegi delapan dengan pahatan yang melukiskan kobaran api perjuangan yang tampak
terputus-putus diartikan belum menyatunya tekad karena masih disertai watak duniawi
sebagai pembawa usia muda. Nama Tri Dharma ini juga identik dengan filosofi yang
diucapkan oleh Raden Mas Said yaitu: Mulat sarira angrasa wani (berani berintrospeksi atau
mawas diri), Rumangsa mèlu andarbèni atau anggondhèli (merasa ikut memiliki) dan, Wajib
mèlu hangrukebi (berkewajiban ikut membela/mempertahankan).

Konsep Pemikiran Raden Mas Said

Pemikiran Raden Mas Said banyak tertuang pada strategi perang beliau dan juga pada
filosofi untuk mendirikan Kadipaten Mangkunegaran. Raden Mas Said dan pasukannya
memiliki semboyan Tiji Tibeh. Tiji Tibeh merupakan akronim dari mati siji mati kabeh-mukti
siji mukti kabeh, artinya mati satu mati semua makmur satu makmur semua. Semboyan ini
ditujukan Raden Mas Said untuk menyemangati pasukannya dalam melawan musuh-musuh
yang ada. Semboyan tersebut juga berarti adanya rasa senasib sepenanggungan, yang
mengikat antara anggota pasukan Raden Mas Said, yang tujuannya untuk selalu kompak
dalam setiap pertempuran dan juga untuk mencapai tujuannya yaitu memerangi
ketidakadilan. Tiji Tibeh juga dapat dimaknai sebagai konsep kebersamaan antara seorang
pemimpin dengan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat atau dalam konsep Jawa
sebelumnya dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Konsep persatuan kesatuan
tersebut digambarkan dengan falsafah Hanebu Sauyun: Serumpun / Seliang seperti tebu
(bersatu padu saling bahu-membahu).

Dalam peperangan, Raden Mas Said sangat terkenal dengan strategi perangnya
bahkan strategi tersebut diakui oleh musuh-musuhnya. Dalam peperangan, pasukan Raden
Mas Said sering kalah dalam jumlah pasukan, namun dengan pasukan yang sedikit Raden
Mas Said dapat menyusahkan musuhnya dan juga memenangi pertempuran tersebut. Dalam
pertempuran yang terjadi, Raden Mas Said selalu dapat melawan bahkan tidak ada yang bisa
menangkap Raden Mas Said. Kolonial sendiri memberikan gelar Pangeran Sambernyawa
yang artinya Pangeran yang selalu menebar kematian kepada musuh-musuhnya. Raden Mas
Said menggunakan strategi perang gerilya yaitu dengan berpindah-pindah tempat, syarat
utama dalam melakukan stretegi ini adalah menguasai medan pertempuran, hal itu telah
dikuasai oleh pasukan Raden Mas Said.
Ilmu perang Pangeran Sambernyawa itu adalah dhedemitan, weweludhan, dan
jejemblungan. Dhedhemitan berasal dari akar kata dhemit yakni mahluk halus yang susah
diraba, hal ini menggambarkan bahwa pasukan dari Raden Mas Said ini dalam pergerakan
susah untuk diketahui. Weweludan berasal dari akar kata welud artinya belut yang sangat licin
untuk ditangkap, hal ini menggambarkan bahwa dalam pertempuran yang dilakukan oleh
pasukan Raden Mas Said selalu penuh perhitungan sehingga menyulitkan musuh untuk
menangkapnya ataupun untuk mengalahkannya. Sedangkan, jejemblungan berasal dari kata
jemblung artinya orang gila tidak punya rasa takut, hal ini menggambarkan bahwa pasukan
Raden Mas Said ini sudah tertanam dalam diri mereka untuk selalu percaya diri dan tidak
mundur dalam peperangan walaupun kematian mengintai mereka. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ilmu tersebut mempunyai arti yaitu, tidak menampakkan diri saat musuh terlihat kuat,
menyerang ketika musuh lengah dan cepat dalam menyembunyikan diri. Strategi ini terbukti
ampuh dalam pertempuran Raden Mas Said dan beliau serta pasukannya dapat selalu lolos
dalam pengejaran yang dilakukan oleh musuhnya.

Selain strateginya dalam perang, pemikiran Raden Mas Said juga terdapat dalam
filosofi dalam mendirikan Mangkunegaran. Hal ini ditujukan setelah Perjanjian Salatiga,
untuk menjaga kewibawaan dan demi persatuan dan kesatuan Praja Mangkunegaran beserta
kawulanya, maka dideklarasikan tiga pilar pondasi untuk memperkokoh berdirinya Praja
Mangkunegaran yaitu:

A Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki terhadap tanah air
(daerahnya), tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan
melestarikan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kalimat tersebut diucapkan
Raden Mas Said setelah dilantik menjadi Mangkunegara I, kalimat tersebut
mengartikan bahwa adanya kesatuan antara raja rakyat untuk selalu berjuang demi
tanah airnya. Konsep ini juga dapat diartikan sebagai rasa cinta tanah air, yang
menggambarkan bahwa Mangkunegaran merupakan milik bersama bukan hanya milik
raja, hal ini juga menggambarkan kelanjutan dari konsep Manunggaling Kawula
Gusti.
B Wajib Melu Hangrungkebi, artinya merasa ikut memiliki, timbul kesadaran untuk
berjuang hingga titik darah yang penghabisan untuk tanah kelahirannya. Hal ini
menggambarkan setelah adanya kesatuan antara raja dan rakyat maka kemudian
muncul kewajiban untuk berjuang demi tanah airnya.
C Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam
setiap pertempuran hanya ada dua pilihan yaitu hidup atau mati. Berani menghadapi
cobaan dan tantangan meskipun pada kenyataannya sangat berat dijalani. Sebaliknya,
di saat mendapat anugerah harta benda maupun anugerah yang lain, harus menerima
dengan cara yang wajar. Hangrasa Weni artinya mau berbagi bahagia dengan orang
lain. Kata-kata tersebut menggambarakan pentingnya mawas diri atau introspeksi atas
apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Selain juga berisi pentingnya
mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu yang menimbulkan rasa persatuan untuk
membentuk Trah Mangkunegaran.

Dalam budaya politik Mataram, negara menyatu dengan raja. Dalam budaya
Mataram, raja adalah Khalifatullah yang dapat disejajarkan dengan wakil Tuhan di dunia.
Sebagai wakil Tuhan, sang penguasa memilik jarak sosial dengan rakyat. Di budaya politik
Mangkunegaran, keberadaan penguasa atau raja karena rakyat. Dalam hal ini adalah para
pengikut Pangeran Sambernyawa yang berjuang melawan penjajah Belanda dan penguasa
Mataram yang dianggap zalim. Hal ini menggambarkan, jika Praja Mangkunegaran tidak
serta merta keluar dari konsep Manunggaling Kawula Gusti, karena konsep yang ada
merupakan pengembangan dari konsep tersebut. Hal ini dapat diketahui dari filosofi yang
disebutkan diatas. Kemudian konsep yang ada di Mangkunegaran juga menggambarkan jika
perjuangan untuk mendirikan Praja Mangkunegaran dilakukan atas adanya rasa persatuan dan
kesatuan antara pemimpin dan rakyat, maka Mangkunegaran merupakan milik bersama
bukan hanya milik raja.

Anda mungkin juga menyukai