Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam menjalankan
kehidupannya manusia tidak bisa sendirian, dalam artian kita pasti butuh orang lain untuk membantu kita,
bekerjasama satu-sama lain dengan tujuan terciptanya kehidupan yang lebih baik .
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi
tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas aktifitas tersebut, dengan
berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia
peroleh, maka tidak jarang dan sangat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada
tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang terjebak
dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain
baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan
lil-alamin mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam
dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan
daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka. Di Al-Qur’an dan
Hadits juga disebutkan agar kita bekerjasama , saling membantu satu sama lain. Di dalam dunia Islam di
kenal dengan mudharabah yang intinnya bekerjasama antara dua pihak atau lebih dengan syarat dan
ketentuan tertentu.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-Qur'an dan Hadits
yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sangat jelas sekali menyatakan sikap bahwa
tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang jujur dan halal, agar setiap orang
memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang
beruntung. Dari pemaparan di atas, maka makalah ini diberikan judul “Konsep Mudharabah Perspektif
Tafsir Ahkām.”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka penulis mengajukan beberapa pertanyaan
yang akan dijadikan fokus pembahasan adalah:
1. Bagaimana Konsep Mudharabah Perseptif Tafsir Ahkam?
2

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka penulis akan merumuskan penelitian, dengan
tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Konsep Mudharabah Perseptif Tafsir Ahkām
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk irak dan qiradh atau muqaradhah merupakan bahasan

Hijaz, tetapi pengertiannya masih satu makna. Mudharabah secara bahasa berasal dari kata ‫ ضرب‬yang
berarti memukul atau berjalan. Mudharabah juga berasal dari kata al-dharb yang memiliki arti
berpergian atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.1
Mudharabah merupakan salah satu akad yang dilaksanakan dua pihak, yaitu antara pemilik
modal (shahibul mal) dan pelaku usaha yang menjalankan atau mengelola modal (mudharib). Berkaitan
dengan penamaan mudharabah itu sendiri, ada dua pandangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa

mudharabah diambil dari kata ‫الضرب في األرض‬ atau ‫ضرب في األرض‬ yang berarti melakukan
perjalanan dibumi untuk berusaha. Firman Allah yang berkaitan dengan definisi ini terdapat dalam QS.
Al-Muzammil ayat 20:

ِ ْ‫َواخَ رُوْ نَ يَضْ ِربُوْ نَ فِي اأْل َر‬


‫ض يَ ْبتَ ُغوْ نَ ِم ْن فَضْ ِل هَّللا‬
“...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...”

ِ ْ‫َر‬
Kalimat ‫ض‬ ‫يَضْ ِربُوْ نَ فِي اأْل‬ yang berarti melakukan perjalanan dimuka bumi yang dimaksud adalah

berusaha. Sebagian ulama berpendapat bahwa mudharabah berasal dari kata ‫الضرب‬, maksudnya
masing-masing pihak mendapat bagian keuntungan.
Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menyebutkan bahwa mudharabah secara

bahasa terambil dari kata ‫رض‬XX‫ ق‬berarti ‫( القطع‬potongan), maksudnya pemilik modal memotong
sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang lain untuk digunakan sebagai modal usaha. Mudharabah

juga diambil dari kata ‫ المقارضة‬yang berarti persamaan, persamaan yang dimaksud yaitu persamaan
dalam hak menerima keuntungan.
Secara terminologi mudharabah berarti sejumlah uang yang diberikan seseorang kepada orang
lain untuk modal usaha, apabila mendapat keuntungan maka dibagi dua, yaitu untuk pihak pemilik modal

1
Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 95.
4

(shahibul mal) dan pelaku usaha atau pengelola modal (mudharib) dengan presentase atau jumlah sesuai
dengan kesepakatan. Sementara apabila terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal.
Ulama‟ fiqih memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang mudharabah. Ulama‟ Mazhab
Hanafi memberikan definisi bahwa mudharabah merupakan akad perjanjian untuk bersama-sama dalam
membagi keuntungan dengan lantaran modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain. 2
Menurut Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul “Fiqh al-Sunnah”, menjelaskan bahwa
mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak)
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi
bersama sesuai dengan kesepakatan3
Berdasarkan pemaparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah kerjasama
antara dua pihak untuk menjalankan suatu bisnis tertentu, dimana pihak satu sebagai pemilik modal,
kemudian pihak lainnya sebagai pelaksana bisnis satu pengelola modal. Apabila terjadi kerugian maka
yang menanggung seluruh kerugian adalah pihak pemilik modal, kecuali kerugian terjadi karena kelalaian
pihak yang menjalankan bisnis. Sementara apabila bisnis tersebut mendapatakan keuntungan, maka
dibagi sesuai dengan kesepakatan diantara mereka. 4

B. Ayat Al-Qur’an dan Penafsirannya Tentang Mudharabah


1. Ayat Pertama
a) Teks Ayat

ۡ ِ‫ ِل َون‬XXX‫و ُم أَ ۡدنَ ٰى ِمن ثُلُثَ ِي ٱلَّ ۡي‬XXXُ‫ك تَق‬


ٞ َ‫فَهۥُ َوثُلُثَهۥُ َوطَٓائِف‬XXX‫ص‬
‫ة ِّم َن‬XXX َ َّ‫۞إِ َّن َرب ََّك يَ ۡعلَ ُم أَن‬
‫وا‬ ۡ Xَ‫اب َعلَ ۡي ُكمۡۖ ف‬X
ْ ‫ٱق َر ُء‬X َ Xَ‫وهُ فَت‬X‫ص‬ َ ۚ ‫ين َم َع‬
ُ ‫ك َوٱهَّلل ُ يُقَ ِّد ُر ٱلَّ ۡي َل َوٱلنَّهَا ۚ َر َعلِ َم أَن لَّن تُ ۡح‬ َ ‫ٱلَّ ِذ‬
‫ُون فِي‬ َ ‫ ِرب‬X‫ض‬ ۡ َ‫ُون ي‬ َ ‫ ر‬X‫اخ‬ َ ‫ون ِمن ُكم َّم ۡر‬
َ ‫ض ٰى َو َء‬ ُ ‫ان َعلِ َم أَن َسيَ ُك‬ ِ ۚ ‫َما تَيَس ََّر ِم َن ۡٱلقُ ۡر َء‬
‫ا‬X‫وا َم‬ ْ ‫ٱق َر ُء‬X ۡ َ‫بِي ِل ٱهَّلل ۖ ِ ف‬X‫ون فِي َس‬X َ ُ‫ُون يُ ٰقَتِل‬
َ ‫ ر‬X‫اخ‬ َ ‫ ِل ٱهَّلل ِ َو َء‬X‫ض‬ۡ َ‫ون ِمن ف‬ ِ ‫ٱ َ ۡر‬
َ ‫ض يَ ۡبتَ ُغ‬ ‫أۡل‬
‫ا‬XX‫ ٗن ۚا َو َم‬X‫ا َح َس‬X‫ض‬ ً ‫وا ٱهَّلل َ قَ ۡر‬ْ X‫ض‬ُ ‫وةَ َوأَ ۡق ِر‬Xٰ X‫وا ٱل َّز َك‬X
ْ Xُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬
َّ ‫وا ٱل‬ ْ ‫تَيَ َّس َر ِم ۡن ۚهُ َوأَقِي ُم‬
ْ ‫تَ ۡغفِر‬X‫ٱس‬
‫ُوا‬ ۡ ‫ ٗر ۚا َو‬X‫ ٗرا َوأَ ۡعظَ َم أَ ۡج‬X‫و َخ ۡي‬X َ Xُ‫وا أِل َنفُ ِس ُكم ِّم ۡن َخ ۡي ٖر تَ ِج ُدوهُ ِعن َد ٱهَّلل ِ ه‬ ْ ‫تُقَ ِّد ُم‬
٢٠ ‫َّحي ۢ ُم‬ِ ‫ور ر‬ ٞ ُ‫ٱهَّلل ۖ َ إِ َّن ٱهَّلل َ َغف‬
2
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, (Beirut: Dar al-Qalam, t.th) hlm. 35.
3
Sayyid, Sabiq, Fiqih Sunnah, diterjemahkan oleh Abdurrahim dan Masrukhin dalam “Fiqh al-Sunnah”, Juz 3,
Beirut: Darul-Falah al-Arabiyah, t.th,.hlm. 297.
4
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 149-151.
5

b) Terjemahan Ayat
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang)
kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi
keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-
Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan
apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)
nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar
pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil: 20)

c) Mufradat kata atau Kata Kunci


‫أۡل‬
ِ ‫ض ِربُونَ فِي ٱ َ ۡر‬
 ‫ض‬ ۡ َ‫( ي‬berjalan di muka bumi)
ْ
 َ‫رضُوا‬ ۡ
ِ ‫ق‬ (pinjaman)

d) Penafsiran
Ayat terakhir dari surat Al-Muzzammil di atas jika diambil makna
iqtishadi-nya, secara umum membahas tentang kewajiban berzakat dari harta
kekayaan dan anjuran kepada hamba-Nya yang beriman menyerahkan hartanya
kepada Allah sebagai piutang yang akan dibayar oleh Allah secara berlipat ganda.
Ini seperti apa yang diungkapkan dalam penafsiran Ibnu Katsir.5
Lalu apa kaitannya makna ayat ini dengan mudharabah? Sebagaimana
kita ketahui bahwa mudharabah merupakan akad yang telah dikenal oleh umat
Muslim sejak jaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum

5
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 2004), hal. 25
6

turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw berprofesi sebagai pedagang, ia


melakukan akad mudharabah kepada Khadijah.6
Mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahib al-mal) menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib)
bertanggung jawab atas pengelolaan usaha.7 Jika usaha atau proyek itu selesai,
mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut
porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka
seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedangkan mudharib kehilangan
keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya.8
Dalam melakukan mudharabah, ada beberapa rukun yang biasanya
terdapat dalam akad kerjasama ini, di antaranya :
1) Pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal),
sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib).
2) Objek. Pemilik modal menyerahan modalnya sebagai objek mudharabah,
sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek
mudharabah.
3) Persetujuan. Di sini, kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
4) Nisbah (persentase) keuntungan. Mudharib mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapatkan imbalan atas ppenyertaan
modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mecegah terjadinya
perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
Sebagaimana maksud mudharabah di atas secara garis besar, maka secara
tidak langsung makna ini berkaitan dengan kata kunci yang penulis paparkan di
atas. Menurut penulis, kata yadribu (berjalan di muka bumi) dalam ayat ini dapat
berarti bepergian meninggalkan tempat tinggal untuk mencari sebagian karunia
Allah sebagaimana sambungan kata-kata tersebut. Ini juga senada dengan yang
diungkapkan oleh Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah.9
6
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) ,
hal. 204
7
Muhammad, Sistem dan Prosedur Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 13
8
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajamen Bank Syariah, (Tangerang: Azkia Publisher, 2009), hal. 24
9
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 537-539
7

Penulis dapat menganalisa jika dalam bepergian mencari karunia Allah


tersebut, misalnya dalam jalan perniagaan, kita akan bertemu dengan banyak
orang yang pastinya juga sedang mencari karunia Allah. Otomatis dalam
hubungan perniagaan tersebut, tentunya banyak transaksi yang akan terjadi di
antara pihak-pihak terkait, salah satunya adalah kerjasama.
Jika kita mencoba mengerucutkan aspek dari kerjasama tersebut, maka
kerjasama yang terjadi dapat berupa kerjasama di antara pihak pemilik modal
(shahib al-mal) dengan pihak pengelola usaha (mudharib). Inilah sebabnya ayat
ini dapat dijadikan dasar hukum dari akad mudharabah seperti yang banyak
dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan dewasa ini.
Kata kunci kedua yang penulis paparkan di atas adalah mengenai qordun
yang merupakan isim dari qirad yang berarti pinjaman. Dalam tafsir al-Maraghi,
makna qirad ini berarti memberikan pinjaman yang baik kepada Allah dengan
jalan menafkahkan di jalan kebaikan, untuk individu-individu dan golongan-
golongan sehingga dapat membawa manfaat.10
Memang makna kata ini tidak secara langsung merujuk pada mudharabah.
Namun, penulis dapat memahami jika arti qirad merupakan pinjaman, sedangkan
mudharabah adalah bentuk kerjasama dimana pemilik modal bersedia
meminjamkan hartanya untuk dijalankan atau diproduktifkan kepada seseorang
yang akan menjadi pengelola dalam usahanya.
Sebagaimana yang juga diungkapkan dalam buku Tafsir Ayat-ayat
Ekonomi karya Hardi Vizon, karena kesamaan makna dari kedua kata itu, maka
mudharabah bisa dijadikan istilah lain dari qirad.11 Karena itu, penulis
menyimpulkan jika ayat ini dapat dijadikan dasar dalam akad kerjasama
mudharabah tersebut.

2. Ayat Kedua

a) Teks Ayat

َ ٰ ُ‫َّمن َذا ٱلَّ ِذي ي ُۡق ِرضُ ٱهَّلل َ قَ ۡرضًا َح َس ٗنا فَي‬
١١ ‫يم‬ٞ ‫ر َك ِر‬ٞ ‫ض ِعفَ ۥهُ لَهۥُ َولَ ٓۥهُ أَ ۡج‬
10
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1974), hal. 199-200
11
Hardi Vizon, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2013), hal. 138
8

b) Terjemahan Ayat
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)

c) Kata Kunci
ُ‫( ي ُۡق ِرض‬pinjaman).
d) Penafsiran
Ayat ke-11 surat al-Hadid ini tak ubahnya seperti pada ayat pertama yang
telah penulis paparkan di atas. Di dalam ayat ini juga terdapat kata qirad yang
berarti pinjaman. Penulis pun memaknai kata pinjaman kepada Allah dalam ayat
ini sejalan dengan makna yang lebih luas seperti pada ayat ke-20 surat al-
Muzzammil yang dapat berarti pinjaman dari pemilik modal kepada pengelola
usaha untuk melaksanakan akad mudharabah.
Di dalam buku Hadis-hadis Ekonomi yang dikarang oleh Busra
Febriyarni, ada salah satu hadis riwayat Ibnu Majah yang sejalan dengan ayat ini,
artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: ‘Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.”
12

Ayat ini seperti pada Al-Muzzammil ayat 20, juga mengandung teks yang
berarti pinjaman kepada Allah, dan pada kalimat selanjutnya Allah berjanji akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya. Jika kita menghubungkan
secara sempit makna ayat ini dengan pinjaman shahib al-mal yang diberikan
kepada mudharib untuk menjalankan suatu usaha, maka dapat ditarik suatu
analogi bahwa kegiatan kerjasama mudharabah akan mendapatkan balasan yang
berlipat ganda dari Allah. Ini dikarenakan suatu kerjasama mudharabah yang

12
Busra Febriyarni, Hadis-hadis Ekonomi, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2013), hal. 56
9

didasarkan pada keridhaan Allah akan mendatangkan laba yang halal dan
bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Maka tidak dipungkiri lagi, terkhusus bagi shahib al-mal yang telah
meminjamkan hartanya untuk dijadikan modal usaha bagi mudharib, maka harta
itu akan kembali lagi kepada pihak shahib al-mal dengan berlipat ganda
dikarenakan laba atau keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut. Tentu saja,
laba tersebut akan dibagi kepada pihak mudharib sesuai dengan kesepakatan yang
telah disetujui di awal.

3. Ayat Ketiga

a) Teks Ayat
ۡ َ ‫ا ٱلَّ ِذ‬XXَ‫ٰيَٓأَيُّه‬
‫ َرةً َعن‬X‫ون تِ ٰ َج‬X ِ X‫ ٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِ ۡٱل ٰبَ ِط‬X ۡ‫أ ُكلُ ٓو ْا أَم‬XXَ‫وا اَل ت‬X
َ X‫ل إِٓاَّل أَن تَ ُك‬X ْ Xُ‫ين َءا َمن‬
٢٩ ‫ان بِ ُكمۡ َر ِح ٗيما‬ َ ‫اض ِّمن ُكمۡۚ َواَل تَ ۡقتُلُ ٓو ْا أَنفُ َس ُكمۡۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َك‬ ٖ ‫تَ َر‬

b) Terjemahan Ayat
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-
Nisa’: 29)

c) Kata Kunci
ۚۡ‫َعن تَ َراض ِّمن ُكم‬ (Perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka).
ٖ
d) Penafsiran
Ayat ke-29 surat An-Nisa’ ini secara luas membahas tentang larangan
Allah terhadap perbuatan memakan harta sesama dengan jalan yang batil,
misalnya dengan melakukan pencurian ataupun perampasan. Maka dari itu, Allah
menganjurkan umat Islam untuk mendapatkan harta melalui jalan perniagaan
10

yang dilakukan dengan suka sama suka atau saling meridhai di antara kedua belah
pihak agar tidak ada pihak yang disakiti. Ini seperti yang tertulis dalam kitab tafsir
Universitas Islam Indonesia.13
Penulis mencoba memaknai ayat ini secara lebih luas. Memang ayat ini
secara umum membahas tentang perniagaan atau jual beli yang dilakukan dengan
jalan suka sama suka. Namun, jika kita menghubungkan kalimat ini dengan akad
kerjasama mudharabah, maka dapat juga diasumsikan bahwa makna kata suka
sama suka merupakan aspek dari mudharabah.
Sebagaimana diketahui, bahwa kerjasama antara pihak shahib al-mal
dengan pihak mudharib tentulah harus dilandasi dengan rasa suka sama suka,
sehingga tidak ada keterpaksaan dan pendzaliman yang bakal terjadi saat
menjalankan usaha yang berdasarkan akad mudharabah tersebut. Karena pada
hakikatnya, kerjasama mudharabah yang diilakukan pihak penyedia modal
maupun pihak pengelola, bakal merujuk pada dijalankannya usaha perniagaan
yang nantinya laba dari usaha tersebut akan dibagi hasil bersama. Tentunya ayat
ini dapat dijadikan dasar dalam melandasi kegiatan mudharabah yang mesti
dilakukan dengan suka sama suka untuk menjalankan perniagaan yang diridhai
Allah.

C. Rukun dan Syarat Mudharabah


Menurut ulama syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:14
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;
3. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang;
4. Māl, yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.
13
Universitas Islam Indonesia, Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2011), hal. 159-160
14
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007) 139-140.
11

Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang
memiliki keahlian.
Adapun syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri,
syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:15
1. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk
emas, perak batangan, mas hiasan atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut
batal.
2. Bagi orang-orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka
dibatalkan akad oleh anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang dibawah
pengampunan.
3. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba atau keuntungan dari perdangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5. Melafadzkan ijab dari pemilik modal, misalnya saya serahkan uang ini kepada anda untuk
modal dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk dagang di
negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu,
sementara di waktu yang lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang
dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-
persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Imam
Syafi’I dan Imam Maliki. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal,
mudharabah tersebut sah.
Adapun syarat sah mudharabah yang lainnya adalah:
1. Syarat Aqidani
Di syaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan
pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil sebab mudharib
mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil.
2. Syarat Modal
a. Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala
sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian

15
Hendi Suhe ndi, Fiqh Muamalah ….140.
12

b. Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran


c. Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada tempat akad. Juga
dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada oranng lain, seperti
mengatakan:”Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usaha”
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha, hal itu dimaksudkan agar pengusaha
dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah
3. Syarat-syarat Laba
a. Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba, dengan demikian
pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00 misalnya untuk
dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba yang diterimanya.
b. Laba harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti
kesepakatan diantara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba
adalah untuk pemilik modal, sedanngkan setengah lainnya lagi diberikan kepada
pengusaha. Akan tetapi tidak boleh menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak
lain, seperti menetapkan laba Rp.1000 bagi pemilik modal dan menyerahkan
sisanya bagi pengusaha.

Adapun perkara yang membatalkan mudharabah, antara lain sebagai berikut:


1) Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk
mengusahakan (tasharuf) dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan
dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan
tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan.
2) Salah seorang Aqid Meninggal dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang akad meninggal
dunia, baik pemilik modal, maupun pengusaha. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat
bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan
akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
3) Salah seorang Aqid Gila
13

ahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian
dalam mudharabah.
4) Pemilik Modal Rusak
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad,
atau tergabung dengan musuh serta karena diputuskan oleh hakim atas pemberontakan
hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan
mati.
5) Modal rusak ditangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal
harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal. Begitu pula
nudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada
orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.16

D. Implementasi Kandungan Tafsir Dalam Peraturan Perundang-Undang Indonesia.


Keberadaan bank syari’ah secara yuridis formal, diawali dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar
operasional bagi hasil.17 Ketentuan dalam pasal 6 hurf m dan Pasal 13 huruf c UU ini menegaskan, bahwa
bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat dapat menjalankan kegiatan usaha dengan menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh
Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang ini, peraturan pelaksanaan mengenai Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil ini diatur dan ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah nomor 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan tersebut dijadikan dasar hukum
operasional bank syariah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (Dual
Banking Sistem). Pada tahun kelahiran undang-undang ini, berdiri bank pertama di indonesia yang
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). 18
Diantara produk penghimpunan dan pembiayaan yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah adalah trransaksi dengan prinsip bagi hasil menggunakan akad mudharabah dan
musyarakah, hal ini dikemukakan dalam pasal 1 berikut ini:
16
Syafe’i, rachmad. 2002. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia. Hal 229-238.

17
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan UU Tahun 1998, Buku kesatu, Cet. I, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 169-172.
18
Neneng Nurhasanah, Mudharabah Dalam Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2015) hlm. 91
14

(21)
Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan/atau lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Akad Mudharabah lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 19 sebagai berikut. Kegiatan usaha Bank Umum
Syari’ah meliputi:
- Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah.
- Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, musyarakah atau akad yang
lainyang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
- Perubahan lain dalam undang-undang ini yang diberikan harapan baik bagi pengembangan
ekonomi syari’ah di Indonesia adalah penyelesaian sengketa perbankan syari’ah yang dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkup peradilan agama, walaupun masih tercantum alternatif diluar
peradilan agama apabila dalam akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah. (pasal 55).
Dengan demikian, kehadiran Undang-Undang Perbankan Syari’ah akan menjadi legitimasi paling akurat
untuk berjalannya praktik perbankan syari’ah. Selain itu, kehadirannya juga akan menjadi daya dorong
kepada pemerintah pusat juga daerah serta pihak-pihak lain untuk melaksanakan sistem ekonomi dan
perbankan syari’ah. Tanpa undang-undang, sosialisasi dan pengembangan perbankan syari’ah dinilai akan
kurang efektif.19

E. Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi dua yaitu: Mudharabah Sahih dan Mudharabah Fasid
1) Hukum mudharabah fasid
Beberapa hal dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan
upah kepada pengusaha antara lain:

19
Yusuf Wibisono, Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah: Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan
Syari’ah, dalam Bisnis dan Birokrasi, Jurnal ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16 No. 2, (Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2009) hlm. 108.
15

a) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, atau
mengambil barang
b) Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak
bekerja, kecuali atas seizinnya.
c) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal
tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya

2) Hukum mudharabah shahih


Hukum mudharabah shahih yang tergolong shahih diantaranya:
 Tanggung jawab pengusaha
Apabila pengusaha berutang ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan
pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang
menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak
untuk mendapat upah, jika harta rusak tanpa disengaja ia tidak bertanggung jawab
atas rusaknya modal tersebut, dan jika mengalami kerugian pun ditanggung oleh
pengusaha saja.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akad mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola
dana untuk melakukan kegiatan usaha.
Oleh sebab itu, akad mudharabah merupakan suatu transaksi pembiayaan atau investasi
yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam akad
mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana. Hal ini disebabkan
bahwa laba dibagi atas dasar nishab bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak,
16

sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh
pengelola dana.
Tedapat beberapa jenis akad mudharabah, namun seluruh jenis akad mudharabah tersbut
harus memenuhi rukun dan ketentuan syari’ah yang mengacu pada Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma,
dan Qiyas.
Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam mudharabah hingga jaman
sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini
merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy
secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui,
melakukan dan tidak mengingkarinya.
“Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba...(Q.S.Al-Baqarah:275)
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al
Mujammil:20)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.
(QS.Al Baqarah: 19

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Zainul, Dasar-dasar Manajamen Bank Syariah, (Tangerang: Azkia Publisher, 2009)
Febriyarni Busra, Hadis-hadis Ekonomi, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2013)
Fuady Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan UU Tahun 1998, Buku kesatu, Cet. I,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
Islam Indonesia Universitas, Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2011)
Al Jaziri Abdurrahman, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, (Beirut: Dar al-Qalam, t.th)
Karim Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006)
Katsir Ibnu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 2004)
Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1974)
Muhammad, Sistem dan Prosedur Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000)
17

Al Mustofa Imam, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016)


Nurhasanah Neneng, Mudharabah Dalam Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2015)
Rachmad Syafe’i,. 2002. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Sabiq Sayyid, , Fiqih Sunnah, diterjemahkan oleh Abdurrahim dan Masrukhin dalam “Fiqh al-
Sunnah”, Juz 3, Beirut: Darul-Falah al-Arabiyah, t.th
Shihab Quraisy, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007)
Vizon Hardi, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, (Curup: LP2 STAIN Curup, 2013)
Wibisono Yusuf, Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah: Peluang dan Tantangan Regulasi
Industri Perbankan Syari’ah, dalam Bisnis dan Birokrasi, Jurnal ilmu Administrasi dan
Organisasi, Volume 16 No. 2, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2009)

Anda mungkin juga menyukai