Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HADIS-HADIS TENTANG LARANGAN TENGKULAK (SIMSAR), MENIMBUN


BARANG (IHTIKAR), MENGOPLOS BARANG (GHISY), SUMPAH PALSU DAN
MENAWAR DI ATAS TAWARAN ORANG LAIN

“Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadis Ekonomi Ekonomi

Dosen Pengampu :

Desri Nengsih,Lc.,MA

Disusun Oleh :

kelompok 10

1. Abel Puspita 3321009

2. Tiara Puspita sari 3321017

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

T.A 2022/2023
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ekonomi Islam bertujuan untuk mempelajari upaya manusia mencapai al- falah
(kesejahteraan) dengan sumber daya yang ada melalui jalan pertukaran. 1 Islam
mengenal adanya nilai-nilai spiritualisme pada setiap materi yang dimiliki, yang
menjadi sentral dalam setiap konsep moralnya adalah semua barang adalah milik Allah
swt dan bagaimana melakukan transaksi perdagangan yang sesuai dengan aturan main
syariah2 Islam memberikan ajaran kapan seorang muslim melakukan transaksi, serta
bagaimana mekanisme transaksi perdagangan. Demikian pula sebaliknya islam tidak
memperkenangkan adanya kecurangan dalam melakukan transaksi.
Dalam dunia ekonomi jual beli merupakan praktek yang paling sering kita remui
dalam kehidupan sehari-hari. Pada prakteknya berdasarkan ayat-ayat atau dalil yang
membahas jual beli, para ulama sepakat bahwa hukum jual beli adalah mubah (boleh). 3
Akan tetapi pada prakteknya ada penyimpangan yang terjadi sehingga jual beli itu akan
berubah hukum menjadi dilarang (haram) seperti praktek penimbungan barang, yaitu
salah satu cara seseorang untuk memonopoli pasar dengan cara membeli barang
sebanyak-banyaknya pada saat harga rendah kemudian menyimpannya dan menjualnya
dengan harga yang tinggi pada saat harga dipasar itu jika mengalami kenaikan.
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hukum
persaingan usaha melarang melakukan penimbunan harta, yang dimaksud untuk
menaikkan harga jika suatu saat nanti barang akan menjadi langkah.
Istilah yang digunakan adalah ikhtikar yang artinya larangan-larangan menimbun
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hukum

1
Muhamad Nadratuzzaman, Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaisyia
(Jakarta: PT. Raja Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 7.
2
Mustafa Edwin Nasution, Pengantar Eksklusif Ekonomi Islam (Cet. V; Jakarta:
Kencana, 2016), h. 173.
3
Misbahuddin, E-commerce dan Hukum Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 115.

1
persaingan usaha melarang melakukan penimbunan harta, yang dimaksud untuk
menaikkan harga jika suatu saat nanti barang akan menjadi langkah.4
Istilah yang digunakan adalah ikhtikar yang artinya larangan-larangan menimbun
barng. Dengan kata lain, membeli barang dengan maksud mengumpulkan dari pasar pada
saat langka kemudian dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkan barang
tersebut dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Perilaku ini dilarang, karena akan berpengaruh negative terhadap jumlah barang
yang tersedia sehingga ketersediaan dan permintaan barang menjadi tidak stabil, artinya
terjadi distorsi pasar.
Oleh karena hal dalam latar belakang di atas sehingga mendorong penulis untuk
melakukan sebuah kajian literatur yang dituangkan dalam sebuah makalah yang
berjudul: “Larangan Menimbun Harta”.

2. Rumusan Masalah

1. Apa saja hadis- hadis tentang larangan tengkulak (simsar)


2. Apa saja hadis-hadis tentang larangan menimbun barang (ihtikar)
3. Apa saja hadis-hadis tentang mengoplos barang (ghisy)
4. Apa saja hadis-hadis tentang larangan sumpah palsu
5. Apa saja hadis-hadis tentang larangan menawar di atas tawaran orang lain

3. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui hadis- hadis tentang larangan tengkulak (simsar)


2. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang larangan menimbun barang (ihtikar)
3. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang mengoplos barang (ghisy)
4. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang larangan sumpah palsu
5. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang larangan menawar di atas tawaran orang lain

4
La Ode Husen , Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia (Cet. I;
Makassar: CV. Social Politic Jenius, 2017), h. 77.

2
B. PEMBAHASAN

1. Hadis- Hadis Tentang Larangan Tengkulak (Simsar)

a. Pengertian Tentang Larangan Tengkulak (Simsar)

Menurut bahasa, perilaku berarti kelakuan, perbuatan, sikap, tingkah.5 Dan

tengkulak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni pedagang perantara (yang

membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama); peraih: harga

beli para tengkulak umumnya lebih rendah daripada harga pasar.6 Jadi, Perilaku

Tengkulak yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh pedagang perantara.

Tengkulak memiliki banyak pengertian. Pengertian dari tengkulak sendiri dapat

dibedakan menurut perannya. Tengkulak memiliki beberapa peran yaitu tengkulak

sebagai pengumpul, pembeli, penghubung, pemasar dan kreditor/pemilik modal.

Tengkulak sebagai pengumpul yaitu ia berperan mengumpulkan hasil pertanian dari

lebih dari satu orang petani yang ada di satu desa atau beberapa desa.

Tengkulak sebagai pembeli yaitu ia membeli hasil pertanian dari satu atau lebih

petani. Tengkulak sebagai penghubung yaitu ia sebagai perantara atau yang

menjembatani transaksi antara petani dengan pembeli yang akan membeli hasil

pertanian tersebut. Mereka aktif membeli dan mengumpulkan barang dari produsen

(petani) di daerah produksi dan menjualnya kepada pedagang yang berikutnya dan

jarang menjual kepada konsumen terakhir.7

5
Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Putra Karya, 1997), 274.
6
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke dua (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 1039.
7
Zainal Abidin dkk, Pemasaran Hasil Perikanan (Malang: UB Press, 2017), 99.

3
Tengkulak sebagai pemasar yaitu ia memasarkan hasil pertanian yang

dihasilkan oleh petani selaku produsen kepada banyak jejaringnya sebagai konsumen.

Tengkulak sebagai kreditor/ pemilik modal yaitu ia memberikan uang atau modal

kepada petani yang kemudian petani tersebut harus mengganti uangnya dengan cara

dicicil. Jika petani tidak dapat membayar maka tengkulak akan mengambil kemudian

membeli hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan harga yang rendah. Disatu

sisi, tengkulak memang dapat membantu petani melalui peminjaman uang yang dapat

dibayar pada saat panen, tetapi dilain pihak petani tidak dapat memiliki kebebasan

memilih pasar hasil produksi.8

Dalam jual beli ada juga yang mendekati dengan tengkulak, dalam fiqh

muamalah disebut badan perantara. Badan Perantara dalam jual beli disebut pula

simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang

itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Orang yang

menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau agen, tergantung

persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut hukum dagang yang berlaku

dewasa ini. Walaupun namanya simsar, komisioner, dan lain-lain, namun mereka

bertugas sebagai badan perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik

atas namanya sendiri maupun atas nama perusahaan yang memiliki barang.

Berdagang secara simsar dibolehkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi

penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.9

8
Erfrida Nurul Azizah, “Peran Positif Tengkulak dalam Pemasaran Buah Manggis Petani: studi
Jaringan Sosial Tengkulak di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor”, Indonesian Journal Of
Sociology and Education Policy, 1 (Desember 2016), 85.
9
Hendi Suhendi, fiqih muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 85 .

4
b. Hadis dan Terjemahan

“Telah menceritakan kepada kami Ash-Shaltu bin Muhammad, telah

menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Ma'mar

dari 'Abdullah bin Thawus dari Bapaknya dari Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma

berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah

dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada

orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma, "Apa arti sabda

beliau, "Dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa." Dia menjawab,

"Janganlah seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi orang kota".

c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya

Di dalam hadits di atas dijelaskan haram hukumnya pasokan barang

dagangan. Ini adalah madzhab Syafi‟i, Malik, dan jumhur ulama. Sedangkan Imam

Abu Hanifah dan Al -Auza'i berpendapat, "Boleh melakukan pencegatan (talaqqi

rukban) bila tidak membahayakan masyarakat, bila menimbulkan bahaya maka

hukumnya makruh." Yang benar adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan

yang sangat jelas.

5
Jual beli dengan sistem talaqqi rukban merupakan sistem jual beli yang sah,

tetapi dilarang. Yang menjadikan pokok sebab timbulnya larangan yaitu:

a. menyakiti penjual, pembeli, atau orang lain

b. menyempitkan gerakan pasar

c. merusak ketentraman umum

Malik berpendapat bahwa yang dimaksud dengan larangan tersebut

adalah orang-orang pasar, agar si pencegat tidak memonopoli pembelian

dagangan tersebut dengan harga murah tanpa orang-orang pasar lainnya.

Menurutnya, seseorang tidak boleh membeli barang dagangan hingga barang

tersebut masuk pasar. Larangan ini berlaku manakala tempat pencegatan itu

dekat dengan kota.

d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis

Q.s An- Nisa : 29

6
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku

atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.

Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

2. Hadis-Hadis Tentang Larangan Menimbun Barang (ihtikar)

a. Pengertian Larangan Menimbun Barang (ihtikar)

Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikanl dengan Ihtikar (‫تكا ر‬
‫) اال ْح‬, yaitu penimbunan barang sehingga persediaan (Stok) hilang di pasar dan harga

menjadi naik.10 Al- Fahrius Abdi menyebutkan bahwa ihtikar artinya


mengumpulkan, menahan barang, dengan harapan mendapatkan harga yang mahal.
Dan Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa ihtikar adalah perbuatan mengumpulkan
makanan atau yang sejenis dan menahan dengan maksud menunggu naiknya harga
barang tersebut.11 Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat dikatakan bahwa
kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan barang yang dikumpulkan
saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi12.
Lebih lanjut lagi para ulama fikih memberikan gambaran lebih jauh tentang
praktek penimbunan harta (ihtikar) tersebut, pendapat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Asy-Syukaini mendefenisikan bahwa Ihtikar merupakan penimbunan barang dari
peredarannya.
2. Al-Gazali mendefinisakan ihtikar sebagai penyipanan barang dagang oleh penjual
makanan untuk menunggu melonjaknya harga harga dan penjualannya ketika

10
Misbahuddin, E-commerce dan Hukum Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 115.
11
Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontenporer (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 85.
12
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2018), h. 42.

7
harga melonjak.
3. Al-Maliki mendefenisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang oleh produsen,
baik makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.
Dari pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa praktek tersebut merupakan
suatu penimbunan barang pada saat lapang sehingga dapat membuat bara ng tersebut
akan menjadi langkah dipasarannya dan menjaulnya pada saat harganya berangsur
mulai melonjak.

b. Hadis dan Terjemahan

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab,

telah menceritakan kepada kami Sulaiman -yaitu Ibnu Bilal- dari Yahya -yaitu

Ibnu Sa'id- dia berkata, "Sa'id bin Musayyab menceritakan bahwa Ma'mar

berkata, "Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa menimbun barang, maka dia

berdosa." (HR. Muslim )

c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya

Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan
dari peredarannya.” Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan
oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika
harga melonjak.” Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan,
“penyimpanan barang oleh produsen: baik makananm pakaian, dan segala barang
yang bisa merusak pasar.”Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut
aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya

8
ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis
barang yang ditimbun beda.

Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas


menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika
harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang
yang ditimbun beda.

1. Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) menyatakan larangan
menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan. Tetapi meliputi seluruh
barang yang dibutuhkan masyarakat. Alasannya, yang menjadi ilat (motivasi hukum)
dalam larangan melakukan penimbunan adalah “kemudharatan yang menimpa orang
banyak”. Sebab, kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada
makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang dibutuhkan
orang.
2. Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun, sehingga
seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan barang untuk dijual
ketika harga melonjak. Bahkan, Imam Asy-Syaukani tidak membedakan apakah
penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam
keadaan tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap
para pedagang dalam menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar,
tentu tidak ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama
yang mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.
3. Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan keharaman
penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena yang dilarang dalam
nash hanyalah makanan. Menurut mereka, karena masalah ihtikar menyangkut
kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan kebutuhan orang banyak,
maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun
ulama dari kalangan Mazhab Syafi‟i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas
yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang

9
terkait dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh
karena itu, perlu dibatasi.

d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis

Q.s Al- Humazah :2-3

“yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,”

“dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.”

3. Hadis-Hadis Tentang Larangan Mengoplos Barang (Ghisy)

a. Pengertian Tentang Larangan Mengoplos Barang (Ghisy)

Adapun yang dimaksud sebagai jual beli oplosan di sini ada dua pengertian.

Pengertian yang pertama, adalah jual beli barang dengan dua tumpukan yang

berbeda dan kualitas barang yang bisa dibedakan, namun pembeli meminta untuk

dijadikan satu wadah. Misalnya, tumpukan pertama terdiri atas apel kualitas super.

Sementara tumpukan lain terdiri atas apel dengan kualitas biasa. Karena kedua

tumpukan disusun berdasarkan kualitas yang berbeda, maka harganya pun berbeda.

10
Pengertian yang kedua, yang dimaksud dengan jual beli oplosan di sini adalah

penjual memiliki dua barang yang masing-masing memiliki kualitas super (harga

12.000/kg) dan kualitas biasa (harga 11.000/kg). Kemudian keduanya dioplos dengan

takaran yang sama, atau takaran yang berbeda dengan melebihkan takaran salah

satunya. Kecenderungan di masyarakat, penjual melakukan ini adalah sebagai bentuk

pelayanan kepada konsumennya agar konsumen memiliki pilihan barang dengan

harga yang beragam.

b. Hadis dan Terjemahan

“Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta

Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan

kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau

memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang

basah, maka beliau pun bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang pemiliknya

menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda,

"Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan agar manusia dapat

melihatnya. Barang siapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim)

11
c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya

ketika “mengoplosnya” (menggabungkannya) bukan mengandung unsur

tipuan. Kalau sudah mengandung unsur tipuan (misalnya agar dianggap bahwa

barang-barang itu semua dari Makkah, padahal bukan), pemalsuan, atau

mengakibatkan bahaya dan sebagainya tentu saja terkena larangan. Sehingga dalam

hal urusan dunia, hukum asalnya adalah boleh-boleh saja, selagi tidak ada dalil atau

sebab yang melarangnya.

Berbeda kalau yang dioplos itu agama (Islam) dengan lainnya, maka langsung

terlarang. Islam tidak boleh dioplos dengan selain Islam. Karena Islam itu wahyu

Allah, sedang Nabi Muhammad shallalahu „alaihi wa sallam saja hanya mengikuti

wahyu.ketika mengenai urusan agama (ibadah) maka tidak boleh ada kreatifitas kita,

karena kita hanya untuk mengikuti, bukan membuat syari‟at agama. Sebaliknya,

mengenai urusan dunia, maka dipersilakan berkreasi, selagi tidak ada larangan.

Dengan demikian, sebenarnya meyakini dan melaksanakan Islam itu mudah, jelas,

dan tidak ruwet. Tinggal mengikuti aturan dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam.

Namun keadaannya jadi ruwet dan sulit dibenahi, ketika sudah dibalik-balik

persoaannya. Yang tidak boleh diberi kreasi apa-apa yakni urusan agama, justru

diberi kreasi dan inovasi (masukan), maka akibatnya terkena dalil tentang amalannya

tertolak. Misalnya, tentang hal-hal yang berkaitan dengan orang meninggal dunia,

sejatinya sudah ada aturannya dalam Islam. Lalu, misalnya diadakan pemaduan

12
(oplosan) dengan adat Fir‟aun, memperingati 40 hari kematian, maka dilarang dalam

Islam.

d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis

Q.s Al- Baqarah : 29

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu

kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh

langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

4. Hadis-Hadis Tentang Larangan Sumpah Palsu

a. Pengertian Tentang Larangan Sumpah Palsu

Larangan Larangan menurut bahasa adalah lawan dari perintah yang berarti
menghentikan diri dari sesuatu.13 Sedangkan larangan menurut istilah sebuah
perkataan yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan dalam bentuk
istiʻla>ʼ (dari atas ke bawah). Dengan kata lain, larangan bisa diartikan sebagai
tuntutan Allah kepada hambanya untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sabagaimana
firman Allah swt.

Sumpah di dalam bahasa Arab dikenal dengan lafaz halafa yang berarti
mula>zamah (keharusan) maksudnya apabila manusia telah bersumpah berarti dia

13
Musṭafah bin Mu ammad bin Sala>mah, al-Ta si>s fi Us}u>l al-Fiqh ala Du>i‟ al-Kitab wa alSunnah
(Riyaḍ: Maktabah al- aramain, t.th), h. 310.

13
telah mengharuskan dirinya untuk melaksanakan sumpahnya itu. Sumpah dalam
bahasa Arab biasa juga dikenal dengan lafaz aima>n jamak dari yami>n , dan asal
dari yami>n adalah tangan, diistilahkan dengan sumpah karena kebiasaan orang Arab
apabila bersumpah dia memukul tangan kanan saudaranya dengan tangan kanannya.14
Dan kadang juga disebut dengan qasama atau aqsama yang juga berarti sumpah.

Adapun menurut istilah sumpah adalah menegaskan sesuatu dengan menyebut


nama dan sifat Allah swt.15 Sedangkan dalam kamus Indonesia sumpah secara
etimologis berarti:

1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah swt.
untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan;

2. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu, menguatkan kebenarannya


atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar; dan

3. Janji atau ikrar yang diteguhkan untuk menunaikan sesuatu.36

b. Hadis dan Terjemahan

14
Kama>l bin Sayyid Sa>lim, a i Fiqhi al-Sunnah, juz II ( al-Qa>hirah: Maktabah
Tawfiqiyyah, 2003), h. 285.
15
Kama>l bin Sayyid Sa>lim, a i Fiqhi al-Sunnah, juz II, h.285

14
c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya

1) Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya)

untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya,

dan sebagainya).

2) Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu

sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman arti keseluruhan.

3) Penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat bagiannya

dan sebagainya.

4) Penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.

5) Pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya


a.

15
d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis

Q.s Al- Imran : 77

“Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah

mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak

akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak

akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”.

6) Hadis- Hadis Tentang Larangan Menawar Di Atas Tawaran Orang Lain

a. Pengertian Tentang Larangan Menawar Di Atas Tawaran Orang Lain

Tentang pengertian menawar barang yang ditawar orang lain sebagaimana

penjelasan An Nawawi Asy Syafii bahwa maksudnya adalah adanya kesepakatan antara

pemilik barang dengan peminat barang tersebut untuk mengadakan transaksi jual beli

namun keduanya belum mengadakan transaksi lalu datanglah orang ketiga menemui

penjual lantas mengatakan akulah yang akan membelinya. Hal ini hukumnya haram jika

sudah ada kesepakatan harga antara pemilik barang dengan penawar pertama.

16
b. Hadis dan Terjemahan

“Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya; dari

Abu Hurairah, dan Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah seseorang menjual di

atas penjualan saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya." (HR.

Ahmad)

c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya

Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan hal ini telah melakukan

hal yang haram sehingga pelakunya tergolong sebagai pelaku maksiat.

Meski demikian mayoritas ulama mengatakan bahwa transaksi jual beli

yang dilakukan oleh orang yang melanggar larangan di atas adalah transaksi

jual beli yang sah. Sedangkan menawar barang yang dijual dengan sistem

lelang hukumnya tidak haram meski barang tersebut sudah ditawar oleh

orang sebelumnya.

d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis

Surat Al-Baqarah ayat 275 Al-Quran dan surat An-Nisa‟ayat 29:

Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

17
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

18
C. PENUTUP

a. Kesimpulan

Menurut bahasa, perilaku berarti kelakuan, perbuatan, sikap, tingkah.1 Dan

tengkulak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni pedagang perantara (yang

membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama); peraih: harga

beli para tengkulak umumnya lebih rendah daripada harga pasar.2 Jadi, Perilaku

Tengkulak yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh pedagang perantara.

dapat dikatakan bahwa kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan

menahan barang yang dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat

harga barang tersebut tinggi. yang dimaksud dengan jual beli oplosan di sini adalah

penjual memiliki dua barang yang masing-masing memiliki kualitas super (harga

12.000/kg) dan kualitas biasa (harga 11.000/kg).

Larangan Larangan menurut bahasa adalah lawan dari perintah yang berarti

menghentikan diri dari sesuatu.29 Sedangkan larangan menurut istilah sebuah

perkataan yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan dalam bentuk

istiʻla>ʼ (dari atas ke bawah).

Tentang pengertian menawar barang yang ditawar orang lain sebagaimana

penjelasan An Nawawi Asy Syafii bahwa maksudnya adalah adanya kesepakatan

antara pemilik barang dengan peminat barang tersebut untuk mengadakan transaksi jual

beli namun keduanya belum mengadakan transaksi lalu datanglah orang ketiga

menemui penjual lantas mengatakan akulah yang akan membelinya

19
b. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata

sempurna, kedepannya penulis akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang

makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dipertanggung

jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk

menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Husen, La Ode. Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia. Cet. I;

Makassar: CV. Social Politic Jenius. 2017.

al-Dawri>, Qaht}a>n Abd al-Rahma>n. S{afwah al-Ahka>m min Nail al-Awt}a>r wa Subul al-

Sala>m. Al-Mamlakah Uruniyah: Da>r al-Furqa>n, t.th.

Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992.

al-S{a>lih, S{ubhi>}. Ulu>m al- {adi> wa Mush alah, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas

Ilmu-Ilmu Hadis. Cet. V; Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005.

21

Anda mungkin juga menyukai