PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Wakaf” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manajemen ZISWAF. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.
Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada Bapak Agung Abdullah selaku dosen
pengampu mata kuliah Manajemen ZISWAF yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan
makalah ini. Dan kepada orang tua kami yang selalu mendo’akan kami, serta ucapan terima
kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
makalah ini.
Harapan kami dalam pembuatan makalah ini, semoga dapat bermanfaat untuk pembaca
dan sebagai bahan referensi pembaca untuk menulis makalah yang lebih baik. Makalah ini masih
banyak kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca untuk menyempurnakan penulisan makalah kedepannya. Akhir kata penulis
mengucapkan sekian dan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................6
A. Pengertian Wakaf.........................................................................................................................6
B. Rukun dan Syarat Wakaf..............................................................................................................9
C. Dasar Hukum Wakaf....................................................................................................................9
D. Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa..................................................................................11
E. Sejarah Perwakafan di Indonesia...............................................................................................15
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang penciptaannya untuk beribadah
kepada Allah SWT. Ibadah yang sepatutnya dilakukan oleh seorang makhluk adalah
dengan sholat, puasa, dan bersosial seperti zakat, infaq, shodaqoh maupun wakaf).
Manusia sebagai makhluk sosial pastinya saling berhubungan dan saling membutuhkan
satu sama lain. Semakin sering berinteraksi maka rasa solidaritas dan terbentuknya rasa
simpati antara satu sama lain akan tumbuh seiring waktu. Satu dengan yang lain akan
saling memberikan manfaat kepada orang disekitarnya agar tercipta kesejahteraan
diantara mereka.
Salah satu pilar kesejahteraan umat adalah dengan wakaf. wakaf merupakan salah
satu tuntutan yang diajarkan dalam Islam yang berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima ‘iyah (ibadah sosial). Selain wakaf digunakan
sebagai sarana ibadah umat muslim, wakaf juga berdampak sosial terhadap kesejahteraan
masyarakat. Wakaf memiliki arti “menahan” adalah menahan suatu harta untuk diambil
manfaatnya secara keberlanjutan dengan pemanfaatannya harus sesuai dengan syara’
guna mendapatkan ridha dari Allah SWT. Dalam Islam, terdapat tiga potensi besar
mengenai gagasan wakaf, yaitu: pertama, perbuatan wakaf didasarkan pada semangat
kepercayaan yang sangat tinggi dari seorang wakif kepada nadzir. Kedua, aset wakaf
merupakan kepemilikan Allah, dengan kata lain tidak boleh dihibahkan. Ketiga, tujuan
wakaf adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam sejarah Islam, keberadaan wakaf sangat dinamis dan mudah untuk
dikembangkan kepada masyarakat dengan menyesuaikan perkembangan zamannya.
Terdapat empat peristiwa inspiratif pada awal sejarah Islam, yang seringkali dijadikan
sebagai landasan dalam pengembangan kerangka wakaf. 1) Donasi tanah oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membangun Masjid Quba’. 2) Sumbangan rumah (sumur yang
dibeli oleh Khalifah Utsman r.a,) yang digunakan oleh masyarakat dan dirinya sendiri. 3)
Donasi kebun oleh Talha kepada kerabatnya setelah menerima saran dari Nabi
Muhammad SAW. 4) Berupa tanah yang paling berharga di Khaybar atas saran dari Nabi
Muhammad SAW. agar menahan tanah tersebut dan dimanfaatkan untuk perkebunan
yang hasilkan digunakan untuk tujuan amal.
Dari penjelasan di atas, maka pada makalah ini penulis akan menjelaskan lebih
rinci mengenai wakaf, dasar hukum wakaf, dan perkembangan wakaf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Wakaf?
2. Apa Dasar Hukum dari Wakaf?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui yang dimaksud dengan Wakaf.
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum dari Wakaf.
3. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu “Wakafa” yang berarti “menahan, berhenti,
diam, tetap berdiri”. Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau dengan menyerahkan sebagian dari hartanya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu untuk tujuan ibadah dan kesejahteraan masyarakat
umum menurut syariah. Dengan melepaskan hartanya, seorang wakif telah kehilangan
hak miliknya sehingga wakif tidak lagi diperkenankan untuk menggunakannya untuk
kepentingan pribadi dan tidak boleh memindahtangankan atau mengalihkan status
kepemilikan kepada orang lain, seperti menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada
ahli warisnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf adalah tanah negara yang tidak
dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal. Menurut istilah
syara’, menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fiqh Lima Mazhab mengakan
bahwa wakaf merupakan sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara
mehanan (kepemilikan), lalu dimanfaatkan agar tidak untuk wariskan, digunakan,
dijual,dihibahkan, dan sejenisnya. Dan pemanfaatan wakaf sesuai dengan kehendak wakif
tanpa ada imbalan.
Para ahli fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda menurut dengan
istilahnya, sehingga mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan
wakaf itu sendiri. Pandangan para ahlli fiqih mengenai wakaf, adalah sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafiyah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetao menjadi milik si
wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya dalam hal kebaijkan.berdasarkan
definisi dari Abu Hanifah, maka dapat dipahami bahwa harta wakaf tetap menjadi
milik wakif dan dibenarkan apabila si wakif ingin menariknya kembali, menjualnya,
bahkan mewariskannya.
Jadi, dalam definisi ini, wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaatnya”. Karena
itu, Madzhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan tindakan
terhadap suatu harta yang berstatus hak milik, namun hanya menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik sekarang maupun yang akan
datang.
2. Madzhab Malikiyah
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif. Pemilik harta boleh melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada pihak lain, dan wakif
berkewajiban untuk menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya.
Ibnu ‘Arafah mendefinisikan wakaf dengan dua dimensi, yaitu dimensi
berdasarkan masdar dan dimensi berdasarkan isim. Pengertian wakaf berdasarkan
masdar ialah meberikan manfaat sesuatu selama keberadaannya tetap menjadi milik
wakif. Sedangkan, wakaf menurut dimensi isim (kata benda) adalah sesuatu yang
manfaatnya diberikan kepada orang lain selama kepemilikannya adalah milik si
wakif. Perwakafan hanya berlaku untuk masa tertentu tidak sebagai wakaf kekal.
3. Madzhab Syafi’iyah
Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, disalurkan
pada sesuatu yang mubah (tidak haram). Apabila wakif melarang, maka Qadli berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Maka dari itu, Madzhab
mendefinisikan wakaf dengan “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda,
yang berstatus sebagai milik Allah SWT. dengan menyedekahkan kepada kebajikan
(sosial).
4. Madzhab Hanabilah
Wakaf adalah menahan pemilik harta untuk menggunakan harta yang telah
diwakafkannya, namun dapat dimanfaatkan dan harta pokoknya harus tetap ada da
tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial) dalam rangka untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Ibnu Qudamah mendefinisikan wakaf sebagai menahan pokok harta dan
menyalurkan manfaatnya.
5. Madzhab Dhohiriyah
Wakaf menurut Madzhab Dhohiriyah hanya diartikan sebagai tahbis (menahan).
Definisinya tidak ditambah kalimat lainnya hanya saja disebutkan beberapa contoh
barang yang dapat diwakafkan. Dalam kitab al Muhalla disebutkan harta yang dapat
diwakafkan yaitu tanah yang dapat didirikan bangunan atau untuk kahan pertanian,
mushaf, buku dan lain sebagainya.
6. Madzhab Ibadiyah
Wakaf didefinisikan dengan meahan sesuatu yang diwakafkan dan bersedekah
dengan manfaatnya. Pengertian wakaf menurut Madzhab Ibadiyah hampir sama
dengan definisi wakaf oleh Madzhab Syafi’iyah.
7. Madzhab Zaldiyah
Wakaf adalah menahan sesuatu yang khusus dengan cara yang khusus juga
dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Syaukani menjelaskan
bawa ada beberapa transaksi yang dikecualikan dari makna menahan sesuatu yang
khusus yaitu rahn dan ijarah. Sementara, Al Hajr tidak termasuk dalam substansi
dalam cara yang khusus dan segala akad perpindahan kepemilikan yang tidak
mensyaratkan adanya niat taqarrab dikecualikan dari kata-kata niat untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
8. Madzhab Imamiyah
Wakaf menurut madzhab Imamiyah adalah akad yang hasilnya adalah menahan
pokoknya dan memberikan manfaatnya. Madzhab Imamiyah juga mendefinisikan
wakaf dengan shodaqoh jariyah, sebagimana sabda Rasulullah SAW.
“ Apabila seseorang meninggal dunia maka akan terputus amalnya kecuali tiga hal:
shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang
tuanya.”
a. Semua ulama sepakat kecuali ulama Hanafiyah bahwa wakaf adalah amalan takhlifi
dalam Islam yaitu mengeluarkan sesuatu yang diwakafkan yang dilakukan oleh wakif
(orang yang berwakaf).
b. Terdapat persamaan substansi pada definisi-definisi di atas, yaitu bahwa pokok harta
wakaf harus tertahan, yang boleh disalurkan adalah manfaatnya dalam rangka
menggapai ridho Allah SWT.
c. Hal-hal yang diperselisihkan oleh ulama dalam beberapa definisi di atas adalah
batasan waktu wakaf. kemungkinan terjadi ruju’ prang wakaf kepada benda yang
telah diwakafkan, dan masalah terputusnya kepemilikan wakif terhadap harta yang
telah diwakafkan.
Pada tahun ketiga hijriyah, Rasulullah SAW mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah, diantaranya ialah kebun A’raf, Syafiyah, Dalal, Barqah, dan kebun lainnya.
Menurut pendapat ulama lainnya mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Umar bin Khatab. Dimana pendapat ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, beliau berkata:
“Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khibar, kemudian Uamr
ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata ; “Hai
Rasulullah SAW, saya mendapatkan sebidang tanah di Khibar, saya belum mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”Rasulullah
SAW, bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.”Ibnu
Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengolahan tanah) kepada orang-
orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (nadzir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang
baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta.” (HR.Muslim)
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh
Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, yakni kebun “Bairaha”.
Kemudian baru disusul oleh sabahat Nabi SAW lainnya, seperti Abu Bakar yang
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah diperuntukkan kepada anak keturunannya
yang datang ke Mekkah. Kemudian, Utsman mewakafkan hartanya di Khaibar, Ali
bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya, Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya,
yakni “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW.
2. Dinasti Umayah dan Abbasiyah
Praktif wakaf ini kemudian berkembang lebih luas pada masa Dinasti Umayah
dan Dinasti Abbasiyah, semua orang berbondong-bondong untuk melaksanakan
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja melainkan wakaf untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji
para stafnya, para guru, dan pemberian beasiswa bagi siswa dan mahasiswa.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar
Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Beliau sangat tertarik
dengan pengembangan wakaf oleh karena itu terbentuklah lembaga wakaf sendiri
dan diawasi oleh hakim. Lembaga wakaf ini merupakan lembaga pertama dalama
dministrasi wakaf di Mesir,bahkan diseluruh negara Islam. Hakim Taubah
mendirikan lembaga wakaf di Basrah.
Kemudian pada masa Abbasiyah, terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan
“shadr al-Wukuuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga
wakaf. Dimana pembentukan Lembaga Wakaf ini sangat dirasakan oleh masyarakat
manfaatnya sehingga masyarakat menjadi lebih antusias untuk mengelola dan
mengatur wakaf agar wakaf tersalurkan dengan baik.
3. Dinasti Ayyubiyah
Kemudian pada maa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup
menggembirakan dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan tanah menjadi milik negara (baitul mal). Pada
masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyuby, ia bermaksud untuk mewakafkan tanah-
tanah milik negara kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sama seperti yang
dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah.
Raja Nuruddin Asy-Skyahid merupakan orang yang pertama kali mewakafkan
tanah milik negara kepada yayasan dan sosial dengan menggunakan fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang ulama ialah Ibnu “Ishrun dan didukung para ulama lainnya.
Dimana mewakafkan tanah milik negara hukumnya boleh “jawaz” dengan dalil
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak
mewakafkan tanah milk negara untuk kegiatan pendidikan dan pendirian madrasah.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi Mazhab Sunni
Shalahuddin Al-Ayyubi menetapkan kebijakan (1178 M/572H) bahwa orang Kriten
yang datang dari Iskandar wajib membawar wajib bea cukai. Hasil dari bea cukai ini
akan diwakafkan kepada ahli yurisprudenti (fuqaha) dan para keturunannya. Wakaf
menjaadi saranan bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politik dan misi
alirannya ialah mahzab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta
milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan
mahzab Sunni dan menggusur mahzab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya,
ialah dinasti Fathiyah.
4. Dinasti Mamluk
Perkembangan wakaf pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beragam, sehingga
apapun boleh diwakafkan untuk diambil manfaatnya. Yang paling banyak
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan. Pada masa Mamluk,
Sulaiman Basya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Wakaf
seperti ini dilakukan pertama kali oleh dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir.
Wakaf dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, umum, dan sosial.
Wakaf yang membawa syiar agama Islam pada masa itu ialah wakaf untuk sarana
Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja
Shaleh bin al-Nasir membeli desa Bisus kemudian diwakafkan unyuk membiayai
kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan
mimbarnya setiap lima tahun sekali. Manfaat wakaf ini telah menjadi tulang
punggung bagi roda ekonomi dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk memiliki Perundang-
Undangan wakaf, dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/
658-676 H), namun tidak diketaui secara pasti pengesahannya.
Pada orde al-Dzahir Bibers, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori : Pendapat
negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap
berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah), dan
kepentingan masyarakat umum.
5. Dinasti Utsmani
Sejak abad ke-15, kerajaan Turki Utsmani berhasil memperluas kekuasaannya
sampai ke negara Arab. Dimana, perluasan wilayah Turki ini otomatis mempermudah
dalam menerapkan Syari’at Islam, salah satunya peraturan tentang perwakafan.
Diantaranya, pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah, dinasti Utsmani
mengeluarkan undang-undang tentang pembukuan pelaksanaan wakaf. Undang-
undang tersebut mengatur mengenai pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara
pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam
upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah, mengeluarkan undang-undangan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dalam implementasi undang-undang tersebut diketahui bahwa ternyata masih
banyak tanah yang berstatus wakaf.
Praktek wakaf terbukti telah dimulai sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan, dan
masa-masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang, wakaf masih dilaksanakan dari waktu
ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, pasti
akan selalu bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan munculnya inovasi-inovasi
yang relevan seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan
lainnya. Di Indonesia sendiri, wakaf cukup mendapat perhatian yang tingga dengan
diterbitkannya Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun
2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.
Pengaturan wakaf pada zaman kesultanan terutama di Jawa pada saat itu diatur
pada Staatblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Ban Ned Indie ddp. 12
Agustus 1896 No. 43,jo. Ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), menyatakan
bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu, dan Demak memiliki tanah
sawah bondo masjid sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan
masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada dilingkungan masjid-masjid
tersebut. Peraturan mengenai harta wakaf masih sangat terbatas.
Dasar hukum, kompetensi dan tugas mengurus persoalan wakaf oleh Kementrian
Agama didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1980 serta berdasarkan
pada Peraturan Mendteri No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Dimana menurut peraturan
tersebut perwakafan tanag mejadi wewenang Menteri Agama yang dalam
pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.
Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama pada tanggal 5 Maret 1956
No. Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, disahkan bahwa perwakafan tanah milik yang
semula menjadi wewenang Bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria yang
kemudian diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepada Pusat Jawatan Agraria
tanggal 13 Februari 1960 No. 2351/34/11. Dari peraturan-peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, terlihat bahwa pemerintah
berusaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf, bahkan usaha penertiban juga
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan adanya BWI ini diharapkan mampu mendorong kinerja pengelolaan harta
wakaf agar lebih produktif sehingga bisa memberikan mandaaf yang lebih kepada
masyarakat baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi maupun
pembangunan infrasturktur publik.
Secara statistik, pada tahun 2015 tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai 435.768
persil dengan luas 4.405,128,860.2 m atau sekitar 440.512,89 ha. Dengan wakaf seluas
itu, Indonesia termasuk kedalam negara dengan harta wakaf (tanah) terluas di seluruh
dunia. Dengan orientasi penggunaan wakaf diperuntukkan untuk kepentingan
keagamaan, pendidikan, dan sosial. Lebih dari 73% digunakan untuk sarana ibadah
(masjid dan mushola) sementara 13,3% digunakan untuk sarana pendidikan sedangkan
sisanya untuk tujuan sosial seperti makan dan lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Wakaf adalah menyerahkan atau memberikan harta benda kepada seseorang dengan
tujuan untuk dibagikan manfaatnya kepada penerima wakaf tanpa melepaskan hak milik dari
harta benda si wakif, wakif tidak boleh menarik kembali harta benda yang telah diwakafkan
namun boleh iktu merasakan manfaat dari harta benda tersebut.
Seruan mengenai wakaf terdapat di dalam ayat di Al-Qur’an walaupun tidak spesifik itu
mengenai wakaf. Dimana, dalam Al-Qur’an wakaf termasuk ke dalam infaq fi sabilillah. Selain
dalam Al-Qur’an, wakaf juga memiliki dasar hukum di hadist, ijma’ dan peraturan di Indonesia.
Wakaf terbukti telah ada pada Masa Rasulullah SAW. dengan wakaf yang biasanya
diberikan adalah wakaf tanah yang diperuntukkan untuk kegiatan ibadah seperti pembuatan
masjid/mushola, pembangunan madrasah, dan infrastruktur untuk masyarakat banyak.
Sejak dulu, pemerintdah Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan mengembangkan
wakaf, sampai saat ini wakaf tanah masih berada di posisi teratas. Wakaf tanah ini kemudian
78% digunakan untuk kegiatan keagamaan dan 13,3% digunakan untuk makanan, sosial, dan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si (2017), “FIQH WAKAF : Dari Wakaf Klasik Hingga
Wakaf Produktif”
Indah Piliyanti (2018), “Managemen Ziswaf san Wakaf : Teori dan Praktik di Indonesia.”
Waluyo, Lc., M.A. ( 2019), “WAKAF UANG : Tinjauan Fiqih dan Aplikasinya Kontemporer.”