Anda di halaman 1dari 22

WAKAF

Mata Kuliah : Manajemen ZISWAF

Dosen Pengampu : Dr. Agung Abdullah, SE.,M.M.

Disusun oleh Kelompok 3 Kelas PBS A :

1. Anis Puspitasari (205231229)


2. Rico Wibowo (205231310)

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Wakaf” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manajemen ZISWAF. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada Bapak Agung Abdullah selaku dosen
pengampu mata kuliah Manajemen ZISWAF yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan
makalah ini. Dan kepada orang tua kami yang selalu mendo’akan kami, serta ucapan terima
kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
makalah ini.

Harapan kami dalam pembuatan makalah ini, semoga dapat bermanfaat untuk pembaca
dan sebagai bahan referensi pembaca untuk menulis makalah yang lebih baik. Makalah ini masih
banyak kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca untuk menyempurnakan penulisan makalah kedepannya. Akhir kata penulis
mengucapkan sekian dan terima kasih.

Surakarta, 6 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................6
A. Pengertian Wakaf.........................................................................................................................6
B. Rukun dan Syarat Wakaf..............................................................................................................9
C. Dasar Hukum Wakaf....................................................................................................................9
D. Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa..................................................................................11
E. Sejarah Perwakafan di Indonesia...............................................................................................15
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang penciptaannya untuk beribadah
kepada Allah SWT. Ibadah yang sepatutnya dilakukan oleh seorang makhluk adalah
dengan sholat, puasa, dan bersosial seperti zakat, infaq, shodaqoh maupun wakaf).
Manusia sebagai makhluk sosial pastinya saling berhubungan dan saling membutuhkan
satu sama lain. Semakin sering berinteraksi maka rasa solidaritas dan terbentuknya rasa
simpati antara satu sama lain akan tumbuh seiring waktu. Satu dengan yang lain akan
saling memberikan manfaat kepada orang disekitarnya agar tercipta kesejahteraan
diantara mereka.
Salah satu pilar kesejahteraan umat adalah dengan wakaf. wakaf merupakan salah
satu tuntutan yang diajarkan dalam Islam yang berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima ‘iyah (ibadah sosial). Selain wakaf digunakan
sebagai sarana ibadah umat muslim, wakaf juga berdampak sosial terhadap kesejahteraan
masyarakat. Wakaf memiliki arti “menahan” adalah menahan suatu harta untuk diambil
manfaatnya secara keberlanjutan dengan pemanfaatannya harus sesuai dengan syara’
guna mendapatkan ridha dari Allah SWT. Dalam Islam, terdapat tiga potensi besar
mengenai gagasan wakaf, yaitu: pertama, perbuatan wakaf didasarkan pada semangat
kepercayaan yang sangat tinggi dari seorang wakif kepada nadzir. Kedua, aset wakaf
merupakan kepemilikan Allah, dengan kata lain tidak boleh dihibahkan. Ketiga, tujuan
wakaf adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam sejarah Islam, keberadaan wakaf sangat dinamis dan mudah untuk
dikembangkan kepada masyarakat dengan menyesuaikan perkembangan zamannya.
Terdapat empat peristiwa inspiratif pada awal sejarah Islam, yang seringkali dijadikan
sebagai landasan dalam pengembangan kerangka wakaf. 1) Donasi tanah oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membangun Masjid Quba’. 2) Sumbangan rumah (sumur yang
dibeli oleh Khalifah Utsman r.a,) yang digunakan oleh masyarakat dan dirinya sendiri. 3)
Donasi kebun oleh Talha kepada kerabatnya setelah menerima saran dari Nabi
Muhammad SAW. 4) Berupa tanah yang paling berharga di Khaybar atas saran dari Nabi
Muhammad SAW. agar menahan tanah tersebut dan dimanfaatkan untuk perkebunan
yang hasilkan digunakan untuk tujuan amal.
Dari penjelasan di atas, maka pada makalah ini penulis akan menjelaskan lebih
rinci mengenai wakaf, dasar hukum wakaf, dan perkembangan wakaf.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Wakaf?
2. Apa Dasar Hukum dari Wakaf?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui yang dimaksud dengan Wakaf.
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum dari Wakaf.
3. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu “Wakafa” yang berarti “menahan, berhenti,
diam, tetap berdiri”. Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau dengan menyerahkan sebagian dari hartanya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu untuk tujuan ibadah dan kesejahteraan masyarakat
umum menurut syariah. Dengan melepaskan hartanya, seorang wakif telah kehilangan
hak miliknya sehingga wakif tidak lagi diperkenankan untuk menggunakannya untuk
kepentingan pribadi dan tidak boleh memindahtangankan atau mengalihkan status
kepemilikan kepada orang lain, seperti menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada
ahli warisnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf adalah tanah negara yang tidak
dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal. Menurut istilah
syara’, menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fiqh Lima Mazhab mengakan
bahwa wakaf merupakan sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara
mehanan (kepemilikan), lalu dimanfaatkan agar tidak untuk wariskan, digunakan,
dijual,dihibahkan, dan sejenisnya. Dan pemanfaatan wakaf sesuai dengan kehendak wakif
tanpa ada imbalan.
Para ahli fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda menurut dengan
istilahnya, sehingga mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan
wakaf itu sendiri. Pandangan para ahlli fiqih mengenai wakaf, adalah sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafiyah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetao menjadi milik si
wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya dalam hal kebaijkan.berdasarkan
definisi dari Abu Hanifah, maka dapat dipahami bahwa harta wakaf tetap menjadi
milik wakif dan dibenarkan apabila si wakif ingin menariknya kembali, menjualnya,
bahkan mewariskannya.
Jadi, dalam definisi ini, wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaatnya”. Karena
itu, Madzhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan tindakan
terhadap suatu harta yang berstatus hak milik, namun hanya menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik sekarang maupun yang akan
datang.
2. Madzhab Malikiyah
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif. Pemilik harta boleh melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada pihak lain, dan wakif
berkewajiban untuk menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya.
Ibnu ‘Arafah mendefinisikan wakaf dengan dua dimensi, yaitu dimensi
berdasarkan masdar dan dimensi berdasarkan isim. Pengertian wakaf berdasarkan
masdar ialah meberikan manfaat sesuatu selama keberadaannya tetap menjadi milik
wakif. Sedangkan, wakaf menurut dimensi isim (kata benda) adalah sesuatu yang
manfaatnya diberikan kepada orang lain selama kepemilikannya adalah milik si
wakif. Perwakafan hanya berlaku untuk masa tertentu tidak sebagai wakaf kekal.
3. Madzhab Syafi’iyah
Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, disalurkan
pada sesuatu yang mubah (tidak haram). Apabila wakif melarang, maka Qadli berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Maka dari itu, Madzhab
mendefinisikan wakaf dengan “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda,
yang berstatus sebagai milik Allah SWT. dengan menyedekahkan kepada kebajikan
(sosial).
4. Madzhab Hanabilah
Wakaf adalah menahan pemilik harta untuk menggunakan harta yang telah
diwakafkannya, namun dapat dimanfaatkan dan harta pokoknya harus tetap ada da
tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial) dalam rangka untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Ibnu Qudamah mendefinisikan wakaf sebagai menahan pokok harta dan
menyalurkan manfaatnya.
5. Madzhab Dhohiriyah
Wakaf menurut Madzhab Dhohiriyah hanya diartikan sebagai tahbis (menahan).
Definisinya tidak ditambah kalimat lainnya hanya saja disebutkan beberapa contoh
barang yang dapat diwakafkan. Dalam kitab al Muhalla disebutkan harta yang dapat
diwakafkan yaitu tanah yang dapat didirikan bangunan atau untuk kahan pertanian,
mushaf, buku dan lain sebagainya.
6. Madzhab Ibadiyah
Wakaf didefinisikan dengan meahan sesuatu yang diwakafkan dan bersedekah
dengan manfaatnya. Pengertian wakaf menurut Madzhab Ibadiyah hampir sama
dengan definisi wakaf oleh Madzhab Syafi’iyah.
7. Madzhab Zaldiyah
Wakaf adalah menahan sesuatu yang khusus dengan cara yang khusus juga
dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Syaukani menjelaskan
bawa ada beberapa transaksi yang dikecualikan dari makna menahan sesuatu yang
khusus yaitu rahn dan ijarah. Sementara, Al Hajr tidak termasuk dalam substansi
dalam cara yang khusus dan segala akad perpindahan kepemilikan yang tidak
mensyaratkan adanya niat taqarrab dikecualikan dari kata-kata niat untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
8. Madzhab Imamiyah
Wakaf menurut madzhab Imamiyah adalah akad yang hasilnya adalah menahan
pokoknya dan memberikan manfaatnya. Madzhab Imamiyah juga mendefinisikan
wakaf dengan shodaqoh jariyah, sebagimana sabda Rasulullah SAW.
“ Apabila seseorang meninggal dunia maka akan terputus amalnya kecuali tiga hal:
shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang
tuanya.”

Dari beberapa definisi wakaf di atas, maka disimpulkan bahwa:

a. Semua ulama sepakat kecuali ulama Hanafiyah bahwa wakaf adalah amalan takhlifi
dalam Islam yaitu mengeluarkan sesuatu yang diwakafkan yang dilakukan oleh wakif
(orang yang berwakaf).
b. Terdapat persamaan substansi pada definisi-definisi di atas, yaitu bahwa pokok harta
wakaf harus tertahan, yang boleh disalurkan adalah manfaatnya dalam rangka
menggapai ridho Allah SWT.
c. Hal-hal yang diperselisihkan oleh ulama dalam beberapa definisi di atas adalah
batasan waktu wakaf. kemungkinan terjadi ruju’ prang wakaf kepada benda yang
telah diwakafkan, dan masalah terputusnya kepemilikan wakif terhadap harta yang
telah diwakafkan.

B. Rukun dan Syarat Wakaf


Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa rukun dari wakaf ada empat,
yaitu : Wakif, Harta yang diwakafkan, Orang yang menerima wakaf dan Sighot.
Sementara Hanafiyah berpendapat bahwa rukun wakaf hanyalah sighot.
Adapun Syarat wakaf pada setiap rukun-rukun yang telah tersebut di atas, adalah:
1. Syarat Wakif : Seseorang yang mewakafkan disyaratakan cakap bertindak dalam
membelanjakan hartanya, yaitu meliputi Merdeka, Berakal Sehat, Dewasa, da Tidak
di Bawah Pengampunan maka tidak sah apabila wakaf berasal dari budak, orang gila
serta dari anak kecil.
2. Syarat Mauquf : Harta atau benda yang diwakafkan dianggap sah apabila memenuhi
syarat-syarat seperti : Benda tersebut harus mempunyai nilai, benda bergerak atau
benda yang tetap yang dibenarkan untuk diwakafkan, benda adalah milik wakif
secara sah.
3. Syarat Mauquf ‘Alaih : Penerima wakaf adalah orang atau badan hukum yang berhak
menerima harta wakaf. Dimana syaratnya yaitu: Harus diikrarkan secara jelas dan
tegas pada saat penyerahan wakaf, kepada siapa dan tujuan wakaf adalah untuk
ibadah.
4. Syarat Sighat : Sighat (akad) adalah segala ucapan tulisan maupun isyarat dari orang
yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.
Syarat sah sighat adalah : Sighat harus munjazah (terjadi seketika), Sighat tidak
diikuti dengan syarat bathil, Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu, Tidak
mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.
C. Dasar Hukum Wakaf
1. Menurut Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan mengenai konsep
wakaf secara jelas. Oleh karena itu, wakaf termasuk kedalam infaq fi sabilillah, maka
para ulama menerangkan konsep wakaf dengan menggunakan dasar keumuman ayat-
ayat al-Quran mengenai infaq fi sabilillah, Di antara ayat-ayat tersebut yaitu:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ٰ ‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِ ْي ُك ِّل ُس ۢ ْنبُلَ ٍة ِّماَئةُ َحبَّ ٍة ۗ َوهّٰللا ُ ي‬
‫ُض ِعفُ لِ َم ْن يَّ َش ۤا ُء‬ ْ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ۢ ْنبَت‬
‫ۗ َوهّٰللا ُ َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم‬
Artinya : “ Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tagkai ada seratus biji.
Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas, Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2 : Ayat 261).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :


‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ ۗ َو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم‬
Artinya : “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu
sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali-Imran 3 : Ayat 92)
2. Hadist
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ُ‫ح يَ ْدعُو لَه‬ َ ‫اريَ ٍة َو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه َو َولَ ٍد‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ِإ َذا َماتَ اِإْل ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع َملُهُ ِإاَّل ِم ْن ثَاَل ثَ ٍة ِم ْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
Artinya :” Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang
shalih.” (HR. Muslim: 1631)
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Hadist ini jadi dalil akan sahnya wakaf dan
pahalanya yang besar di sisi Allah. Dimana wakaf tersebut tetap manfaatnya dan
langgeng pahalanya. Contoh, wakaf aktiva tanah seperti tanah, Al-Quran, dan mushaf
yang terys bisa dimanfaatkan. Selama benda-benda tadi ada, lalu dimanfaatkan maka
pahala akan terus mengalir pada seorang hamba.” (Minhah Al-‘Allam; 7:11)
Imam Ash-Shan’ani menyebutkan, “Para ulama manafsirkan sedekah jariyah dengan
wakaf. Perlu diketahui bawa wakaf pertama dalam Islam adalah dari ‘Umar bin Al-
Khattab sebagaimana nanti akan disebutkan hadistnya yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah. Kaum Muhajirun berkata, “Wakaf pertama dalam Islam adalah wakaf dari
Umar.” (Subul As-Salam, 5:226).
3. Ijma’
Selain dari al-Quran dan Hadits, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf
sebagai satu amal jariyah yang disyariatkan dalam Islam. Tidaka satu orangpun yang
dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi
amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum
Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.
4. Peraturan di Indonesia
Di Indonesia, amalan wakaf telah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim
Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan Undang-
Undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut,
pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004.

D. Perkembangan Wakaf dari Masa ke Masa


1. Masa Rasulullah SAW
Dalam sejarah Islam, wakaf sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW. Wakaf
disyariatkan setelah Rasulullah SAW ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada
dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (Fuqaha’)
mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Sebagian ulama
berpendapat bahwa yang melakukan wakaf pertama kali adalah Rasulullah SAW
dengan mewakafkan tanah untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari
‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, beliau mengatakan:
“Dan diriwayatkanlah dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad
berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam?Orang Muhajirin
mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah
Rasulullah SAW..” (Asy-Syaukani:129).

Pada tahun ketiga hijriyah, Rasulullah SAW mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah, diantaranya ialah kebun A’raf, Syafiyah, Dalal, Barqah, dan kebun lainnya.
Menurut pendapat ulama lainnya mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Umar bin Khatab. Dimana pendapat ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, beliau berkata:

“Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khibar, kemudian Uamr
ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata ; “Hai
Rasulullah SAW, saya mendapatkan sebidang tanah di Khibar, saya belum mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”Rasulullah
SAW, bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.”Ibnu
Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengolahan tanah) kepada orang-
orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (nadzir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang
baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta.” (HR.Muslim)

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh
Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, yakni kebun “Bairaha”.
Kemudian baru disusul oleh sabahat Nabi SAW lainnya, seperti Abu Bakar yang
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah diperuntukkan kepada anak keturunannya
yang datang ke Mekkah. Kemudian, Utsman mewakafkan hartanya di Khaibar, Ali
bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya, Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya,
yakni “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah SAW.
2. Dinasti Umayah dan Abbasiyah
Praktif wakaf ini kemudian berkembang lebih luas pada masa Dinasti Umayah
dan Dinasti Abbasiyah, semua orang berbondong-bondong untuk melaksanakan
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja melainkan wakaf untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji
para stafnya, para guru, dan pemberian beasiswa bagi siswa dan mahasiswa.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar
Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Beliau sangat tertarik
dengan pengembangan wakaf oleh karena itu terbentuklah lembaga wakaf sendiri
dan diawasi oleh hakim. Lembaga wakaf ini merupakan lembaga pertama dalama
dministrasi wakaf di Mesir,bahkan diseluruh negara Islam. Hakim Taubah
mendirikan lembaga wakaf di Basrah.
Kemudian pada masa Abbasiyah, terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan
“shadr al-Wukuuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga
wakaf. Dimana pembentukan Lembaga Wakaf ini sangat dirasakan oleh masyarakat
manfaatnya sehingga masyarakat menjadi lebih antusias untuk mengelola dan
mengatur wakaf agar wakaf tersalurkan dengan baik.

3. Dinasti Ayyubiyah
Kemudian pada maa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup
menggembirakan dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan tanah menjadi milik negara (baitul mal). Pada
masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyuby, ia bermaksud untuk mewakafkan tanah-
tanah milik negara kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sama seperti yang
dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah.
Raja Nuruddin Asy-Skyahid merupakan orang yang pertama kali mewakafkan
tanah milik negara kepada yayasan dan sosial dengan menggunakan fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang ulama ialah Ibnu “Ishrun dan didukung para ulama lainnya.
Dimana mewakafkan tanah milik negara hukumnya boleh “jawaz” dengan dalil
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak
mewakafkan tanah milk negara untuk kegiatan pendidikan dan pendirian madrasah.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi Mazhab Sunni
Shalahuddin Al-Ayyubi menetapkan kebijakan (1178 M/572H) bahwa orang Kriten
yang datang dari Iskandar wajib membawar wajib bea cukai. Hasil dari bea cukai ini
akan diwakafkan kepada ahli yurisprudenti (fuqaha) dan para keturunannya. Wakaf
menjaadi saranan bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politik dan misi
alirannya ialah mahzab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta
milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan
mahzab Sunni dan menggusur mahzab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya,
ialah dinasti Fathiyah.

4. Dinasti Mamluk
Perkembangan wakaf pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beragam, sehingga
apapun boleh diwakafkan untuk diambil manfaatnya. Yang paling banyak
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan. Pada masa Mamluk,
Sulaiman Basya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Wakaf
seperti ini dilakukan pertama kali oleh dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir.
Wakaf dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, umum, dan sosial.
Wakaf yang membawa syiar agama Islam pada masa itu ialah wakaf untuk sarana
Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja
Shaleh bin al-Nasir membeli desa Bisus kemudian diwakafkan unyuk membiayai
kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan
mimbarnya setiap lima tahun sekali. Manfaat wakaf ini telah menjadi tulang
punggung bagi roda ekonomi dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk memiliki Perundang-
Undangan wakaf, dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/
658-676 H), namun tidak diketaui secara pasti pengesahannya.
Pada orde al-Dzahir Bibers, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori : Pendapat
negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap
berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah), dan
kepentingan masyarakat umum.
5. Dinasti Utsmani
Sejak abad ke-15, kerajaan Turki Utsmani berhasil memperluas kekuasaannya
sampai ke negara Arab. Dimana, perluasan wilayah Turki ini otomatis mempermudah
dalam menerapkan Syari’at Islam, salah satunya peraturan tentang perwakafan.
Diantaranya, pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah, dinasti Utsmani
mengeluarkan undang-undang tentang pembukuan pelaksanaan wakaf. Undang-
undang tersebut mengatur mengenai pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara
pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam
upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah, mengeluarkan undang-undangan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dalam implementasi undang-undang tersebut diketahui bahwa ternyata masih
banyak tanah yang berstatus wakaf.

Praktek wakaf terbukti telah dimulai sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan, dan
masa-masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang, wakaf masih dilaksanakan dari waktu
ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, pasti
akan selalu bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan munculnya inovasi-inovasi
yang relevan seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan
lainnya. Di Indonesia sendiri, wakaf cukup mendapat perhatian yang tingga dengan
diterbitkannya Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun
2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.

E. Sejarah Perwakafan di Indonesia


1. Wakaf di Zaman Kesultanan
Terdapat banyak bukti pada masa Kesultanan sudah dilakukan ibadah dalam
bentuk wakaf. hal tersebut ddapat dilihat dari peninggalan sejarahnya, baik berupa
tanah, bangunan masjid, madrasah, komplek makam, lahan basah dan kering banyak
ditemukan diseluruh Indonesia di zaman Kesultanan /Susuhunan yang diperintah
oleh Bupati beragama Islam. Peninggalan yang ditemukan diantaranya:
a. Masjid Al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thah Saifudin;
b. Masjid kauman Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati;
c. Masjid di Demak wakaf dari Raden Patah;
d. Masjid Menara ssi Kudus wakaf dari Sunan Muria;
e. Masjid Jamik Pangkalan wakaf dari Sultan Abdul Qoridun;
f. Masjid Agung Semarang wakaf dari Pangeran Pandanaran;
g. Masjid Ampel di Surabaya wakaf dari R. Rochmat Sunan Ampel;
h. Masjid Agung Kauman di Yogya wakaf dari Sultan Agung;
i. Masjid Agung Kauman di Solo wakaf dari Susuhunan Paku Buwono X;
j. Masjid Agung Banten dan Madrasah-madrasahnya mendapat tanah wakaf dari
Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas dan Hartawan
Muslim yang luasnya ratusan hektar;
k. Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah
seluas kurang lebih 350 hektar wakaf dari Raden Patah;
l. Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang pertma
yaitu Pangeran Samber Nyawa seluas lebih 19 hektar.

Pengaturan wakaf pada zaman kesultanan terutama di Jawa pada saat itu diatur
pada Staatblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Ban Ned Indie ddp. 12
Agustus 1896 No. 43,jo. Ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), menyatakan
bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu, dan Demak memiliki tanah
sawah bondo masjid sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan
masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada dilingkungan masjid-masjid
tersebut. Peraturan mengenai harta wakaf masih sangat terbatas.

2. Wakaf Pada Zaman Kolonial


Pada zaman ini telah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur mengenai
wakaf, diantaranya:
a. Surat edaran Sekretaris Gubernur pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,
sebagaimanan termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6169, tentang Toezicht op den
houw van Muhammedaansche bedehuizen.
b. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/ A,
sebagaimana termuat di dlam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich Van de
Regeering op Mohammedaan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en wakaf.
c. Surat Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/ A sebagaimana
Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toizich Van de Regeering op
Muhammedaansche bedehuizen, Vrijdagdienstten en wakaf.
d. Surat Edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.. 1273/ A,
sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No. 13480 tentang Teozijh Vande
Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs.

Dasar hukum, kompetensi dan tugas mengurus persoalan wakaf oleh Kementrian
Agama didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1980 serta berdasarkan
pada Peraturan Mendteri No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Dimana menurut peraturan
tersebut perwakafan tanag mejadi wewenang Menteri Agama yang dalam
pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.

Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama pada tanggal 5 Maret 1956
No. Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, disahkan bahwa perwakafan tanah milik yang
semula menjadi wewenang Bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria yang
kemudian diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepada Pusat Jawatan Agraria
tanggal 13 Februari 1960 No. 2351/34/11. Dari peraturan-peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, terlihat bahwa pemerintah
berusaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf, bahkan usaha penertiban juga
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

3. Wakaf di Zaman Kemerdekaan


Sampai saat ini, di Indonesia telah terdapat berbagai perangkat peraturan yang
berlaku yang mengatur mengenai perwakafan tanah milik, seerti yang dimuat pada
Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Perwakafan Tanah yang diterbitkan
oleh Departemen Agama Republik Indonesia, aturan-aturan tersebut yaitu
diantaranya:
a. UU No. 15 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 9
ayat (1) memberi isarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
b. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah karena
peraturan ini berlaku umum, maka terdapat juga didalamnya mengenai
pendaftaran tanah wakaf.
c. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan
Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada
tanggal 25 September 1961.
d. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang penunjukkan badan-badan
hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
e. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran
Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
g. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP
No. 28 Tahun 1977 Perwakafam Tanah Milik
h. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tentang Penambahan
ketentuan mengenai biaya pendaftaran tanah untuk Badan-Badan hukum tertentu
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1978 pasal 4a ayat (2).
i. Permendagri No. 12 Tahun 1978 ini menentukan “Untuk Badan-Badan hukum
sosial dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri yang bersangkutan, berlaku
ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebagai yang
ditetapkan, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan
sosial atau keagamaan”.
j. Instruksi bersama Menteri Agama dan menteri Dalam negeri No. 1 Tahun 1978
tentang Pelaksanaana Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.
k. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang penyertifikatan
tanah bagi Badan hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan lembaga
Pendidikan yang menjadi objek proyek operasional Agraria.
l. Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78
tanggal 18 April 1978 tentang formulir dan Pedolam Pelaksanaan Peraturan
tentang Perwakafan Tanah Milik.
m. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang pendelegasian Wewenang
Kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/ setingkat diseluruh
Idnonesia utnuk menganggkat atau memberhentikan setiap Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW).
n. Instruksi Menteri Agama No.3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978.
o. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5Ed/14/1980 tanggal 25 Juni
1980 tentang Pemakaian bea materai dengan lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-
629/Pj.33/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir mana yang
dikenakan bea materai, dan beraoa besar materainya.
p. Surat Dirjen Bimas Ilslam dan Urusan Haji No. DII/5Ed/14/1981 tanggal 17
Februari 1981 kepada Gubernur Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang
Pendaftaran Perwakafan tanah Milik dan Permohonan keringanan atau
Pembebasan Biaya.
q. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan haji No. DII/5ED/14/1981 tentang
Petunjuk pemberian Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.
r. Daerah Khusus Ibukota Jakarta mengenai pendaftaran Tanah Wakaf di daerag
masing-masing.
F. Perkembangan Wakaf Di Indonesia
Dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf telah mendirikan Badan
Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga indeenden yang memiliki tugas dan wewenang
sebagai beriktu:
1. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta wakaf berskala nasional dan
internasional;
2. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan;
3. Membina nadzir;
4. Memberhentikan dan mengganti nadzir;
5. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peuntukan dan status harta
benda wakaf; dan
6. Memberikan persetujuan atau penukaran harta benda wakaf.

Dengan adanya BWI ini diharapkan mampu mendorong kinerja pengelolaan harta
wakaf agar lebih produktif sehingga bisa memberikan mandaaf yang lebih kepada
masyarakat baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi maupun
pembangunan infrasturktur publik.

Seluruh harta benda wakaf yang diberikan kepada BWI pengembangannya


dikelompokkan menjadi wakaf tak bergerak dan harta bergerak. Wakaf harta tak bergerak
yang paling umum di Indonesia yaitu berupa tanah. Tanah diupayakan untuk menjadi
aset yang produktif, dimana nadzir dapat melakukan kerjasama dengan investor melalui
skema bagi hasil. Hasil pengelolaan dan pengembangan harta wakaf produktif akan
dibagi hasilkan dengan komposisi 10% untuk nadzir dan 90% didistribusika kepada
maukuf ‘alaih.

Secara statistik, pada tahun 2015 tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai 435.768
persil dengan luas 4.405,128,860.2 m atau sekitar 440.512,89 ha. Dengan wakaf seluas
itu, Indonesia termasuk kedalam negara dengan harta wakaf (tanah) terluas di seluruh
dunia. Dengan orientasi penggunaan wakaf diperuntukkan untuk kepentingan
keagamaan, pendidikan, dan sosial. Lebih dari 73% digunakan untuk sarana ibadah
(masjid dan mushola) sementara 13,3% digunakan untuk sarana pendidikan sedangkan
sisanya untuk tujuan sosial seperti makan dan lainnya.

BAB III
KESIMPULAN

Wakaf adalah menyerahkan atau memberikan harta benda kepada seseorang dengan
tujuan untuk dibagikan manfaatnya kepada penerima wakaf tanpa melepaskan hak milik dari
harta benda si wakif, wakif tidak boleh menarik kembali harta benda yang telah diwakafkan
namun boleh iktu merasakan manfaat dari harta benda tersebut.

Seruan mengenai wakaf terdapat di dalam ayat di Al-Qur’an walaupun tidak spesifik itu
mengenai wakaf. Dimana, dalam Al-Qur’an wakaf termasuk ke dalam infaq fi sabilillah. Selain
dalam Al-Qur’an, wakaf juga memiliki dasar hukum di hadist, ijma’ dan peraturan di Indonesia.

Wakaf terbukti telah ada pada Masa Rasulullah SAW. dengan wakaf yang biasanya
diberikan adalah wakaf tanah yang diperuntukkan untuk kegiatan ibadah seperti pembuatan
masjid/mushola, pembangunan madrasah, dan infrastruktur untuk masyarakat banyak.
Sejak dulu, pemerintdah Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan mengembangkan
wakaf, sampai saat ini wakaf tanah masih berada di posisi teratas. Wakaf tanah ini kemudian
78% digunakan untuk kegiatan keagamaan dan 13,3% digunakan untuk makanan, sosial, dan
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si (2017), “FIQH WAKAF : Dari Wakaf Klasik Hingga
Wakaf Produktif”

Indah Piliyanti (2018), “Managemen Ziswaf san Wakaf : Teori dan Praktik di Indonesia.”

Waluyo, Lc., M.A. ( 2019), “WAKAF UANG : Tinjauan Fiqih dan Aplikasinya Kontemporer.”

Anda mungkin juga menyukai