Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita sampaikan atas kehadirat Allah SWT.


Karena rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “sadd adż-
dżari’ah”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Bahasa Fiqh dan
Ushul Fiqh.
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang kami alami, namum berkat dukungan dan semangat dari orang terdekat
sehingga kami mampu menyelesaikannya.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang
membantu mengerjakan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami
mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan penulisan pada makalah
ini.
Harapan kami, semoga karya tulis ini membawa manfaat bagi kita,
setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita tentang sadd
adż-dżari’ah.

Medan, 17 Mei 2017


Penulis

Kelompok IV

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai
teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut
berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin
kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak
dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama
adalah sadd adż-dżari’ah dan fath adż-dżari’ah. Metode sadd adż-dżari’ah
merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan
dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan
khazanah intelektual Islam yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang
sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa
hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena
memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan
yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan
kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada
perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd
adż-dżari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana
terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang
menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath
adż-dżari’ah.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Sadd adż-dżari’ah?
2. Apakah yang menjadi kehujjahan dalam Sadd adż-dżari’ah?
3. Bagaimana contoh aplikasi pada Sadd adż-dżari’ah?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Sadd adż-dżari’ah
2. Untuk mengetahui kehujjahan dalam Sadd adż-dżari’ah
3. Untuk mengetahui contoh aplikasi pada Sadd adż-dżari’ah

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SADD ADŻ-DŻARI’AH


1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah merupakan bentuk
frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (ُّ‫سد‬
َ ) dan adż-dżari’ah
(‫)الذَّ ِر ْيعَة‬. Secara etimologis, kata as-sadd (ُّ‫)السَّد‬ merupakan kata benda

abstrak (mashdar) dari ‫سد ًّا‬ ُ َ‫سدَُُّّّي‬


َ ُُّّ‫سد‬ َ . Kata as-sadd tersebut berarti menutup
sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.1 Sedangkan adż-

dżari’ah (‫ )الذ َّ ِر ْيعَة‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti

jalan, sarana (wasilah)2 dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak

dari adż-dżari’ah (‫ )الذ َّ ِر ْيعَة‬adalah adz-dzara̅’i (‫)الذ َّ َرائِع‬.3 Karena itulah,


dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-
Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara̅’i.4
Pada awalnya, kata adż-dżari’ah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang
pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang
diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi,

1. Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt),
juz 3, hal. 207.
2. Ibid., juz 8, hal. 93.
3. Ibn Manzhur, Lisan al- Arab, loc. cit.
4. Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul, dalam Kitab Digital al-
Marji’ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).

4
kata adż-dżari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.5

2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adż-dżari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu
kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.6
Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).7
Dalam karyanya al-Muwafat, Asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).8 Menurut Mukhtar
Yahya dan Fachurrahman, sadd adż-dżari’ah adalah meniadakan atau
menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.9 Sedangkan
menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.10

5. Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit


6. Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, loc. cit
7. Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
8. Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-
Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
9. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.
10. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz 2,
hal. 103.

5
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adż-dżari’ah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan
Mukhtar Yahya menyebutkan adż-dżari’ah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping
itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adż-dżari’ah yang pada
awalnya memang dilarang. Klasifikasi adż-dżari’ah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adż-
dżari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

2.2 KEHUJJAHAN SADD ADŻ-DŻARI’AH


Meskipun hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung
tentang sadd adż-dżari’ah namun amat sedikit yang membahasnya dalam
pembahasan khusus secara tersendiri, ada yang menempatkan bahasanya
dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama.
Ditempatkannya adż-dżari’ah sebagai salah satu dalil dalam menempatkan
hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa
meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu
perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi
suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk
atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang
ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Kehujjahan dalam Sadd adż-
dżari’ah yaitu:

6
1. Al-Qur’an
a) Qs. Al-an’am 6: 108

Artinya : “ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan”
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu
boleh-boleh saja bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena
perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain
Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan mencaci dan menghina itu
menjadi dilarang.

b) QS. Al-Baqarah: 104

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan


(Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah".
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-
Baqarah:104)
Orang-orang Yahudi menggunakan lafal ُّ‫عنَا‬
ِ ‫ َرا‬untuk mencela atau
mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang
mukmin untuk mengucapkan lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan
yang kiranya dapat mencela Rasulullah Saw.. Larangan menggunakan
sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah.

7
c) Potongan ayat Qs. Annur 24: 31

Artinya : “Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan


kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung”
Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan
namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat
diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang
mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
Dari dua contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang
dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya
perbuatan itu boleh hukumnya. 11

2. Sunnah

ُّ‫علَ ْي ُِّه َو‬


َ ُ‫للا‬ُّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫للا‬
ُّ ‫ل‬ ُُّ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬ َُّ ‫ع ْن ُه َما قَالَقَا‬ َ ُ‫للا‬
ُّ ‫ي‬ َُّ ‫ض‬ ِ ‫ع ْم ٍرو َر‬ َ ‫ْن‬ ُِّ ‫ّللا ب‬َُِّّ ‫ع ْب ُِّد‬
َ ‫ن‬ ُّْ ‫ع‬ َ
‫نا‬ ُُّ ‫ْف َي ْل َع‬
َُّ ‫للاِ َو َكي‬
ُّ ‫ل‬ ُ ‫ل َوا ِلدَ ْي ُِّه قِي َل َيا َر‬
َُّ ‫سو‬ ُُّ ‫الر ُج‬
َّ ‫ن‬َُّ ‫ن َي ْل َع‬ُّْ َ ‫ن أ َ ْك َب ُِّر ْال َك َبائِ ُِّر أ‬ُّْ ‫سلَّ َُّم ِإنَّ ِم‬
َ
ُ‫سبُّ أ ُ َّم ُّه‬
ُ َ‫سبُّ أَبَا ُه َوي‬
ُ َ‫ل فَي‬ َّ ‫ل أَبَا‬
ُِّ ‫الر ُج‬ ُُّ ‫الر ُج‬
َّ ُّ‫سب‬ َُّ ‫ل َوا ِلدَ ْي ِهقَا‬
ُ َ‫ل ي‬ ُُّ ‫لر ُج‬
َّ

Artinya : “Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW


bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang
lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki

11. Amir Saripudin, Ushul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 425-427

8
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”12
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar
hukum bagi konsep sadd adż-dżari’ah. Berdasarkan hadits tersebut,
menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan
sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adż-dżari’ah.13

3. Kaidah Fiqih
Di antara kaidah fiqih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adż-dżari’ah adalah:

.‫ح‬ َ ‫بُّ ْال َم‬


ِ ‫صا ِل‬ ُِّ ‫نُّ َج ْل‬
ُّْ ‫دَ ْر ُُّءُّ ْال َمفَا ِس ُِّدُّأ َ ْولَىُّ ِم‬
Artinya : “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan
daripada meraih kebaikan (maslahah).”14ُّ
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-
masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd adż-dżari’ah pun bisa disandarkan
kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adż-dżari’ah
terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan,
maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan
kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu
perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan

12. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-
Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
13. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
14. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.

9
Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”15

2.3 APLIKASI SADD AŻ-DŻARI’AH


Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu
contoh kasus Sadd adż-dżari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.

Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari


1. Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka
hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama’. Contoh: menggali lubang
dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan, hukumnya haram. Contoh: menjual
senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat
khamr.
3. Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai
pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad
menetapkan keharamannya. Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada
barang riba.
4. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini
hukumnya diperbolehkan. Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.16

15. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit.


16.Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 59-60.

10
BAB III
PENUTUP

2.1 KESIMPULAN
Sadd adż-dżari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Kehujjahan sadd az-dzari’ah terdiri dari:


1. Alquran
2. Sunnah
3. Kaidah Fiqih
4. Logika
Aplikasi sadd aż-dżari’ah dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
1. Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka
hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama.
2. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan, hukumnya haram.
3. Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai
pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad
menetapkan keharamannya.
4. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini
hukumnya diperbolehkan.

2.2 SARAN
Saran dari kami kepada para pembaca makalah ini adalah agar mampu
menerapkan Sadd adż-dżari’ah untuk kebaikan dalam kehidupan kita dan
menjadikannya pedoman berperilaku hidup yang semestinya sesuai syariat islam.

11
DAFTAR PUSTAKA
______. 2003. Al-Mahalli bi al-Atsar. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut.
Ahmad, bin Ali. 1998. Al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah:
Beirut.
Al-Hanafi A.. 1997. Al-Lubab fi Syarh al-Kitab. Dar al-Ma’rifah: Beirut.
Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. 1996. A’lam al-Muqi’in. Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
Al-Mishri, Muhammad. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir, tt.
Ali asy-Syaukani, Muhammad. 1994. Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm
al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Dar al-Fikr: Damaskus.
Ibrahim, Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi. Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Logos : Jakarta.
Jalaluddin, as-Suyuthi. Al-Asybah wa an-Nazhair. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tt.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islam: Fiqh Islami. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

12

Anda mungkin juga menyukai