Anda di halaman 1dari 21

PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

Tentang

(ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kelompok

dalam Mata Kuliah Pengantar Studi Hukum Islam

Semester I Jurusan TBI-A

TAHUN AKADEMIK 2018/2019

Kelompok 6

1. Rajaddin Rachmadh NIM: 1814050022


2. Selvia Andri Yani NIM: 1814050019
3. Bunga Okta Sari Putri NIM: 1814050037

DOSEN PEMBIMBING
Fathur Rahmi, M.A.

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
(UIN) IMAM BONJOL
PADANG
1440 H / 2018 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
2.1 Definisi Istihsan & Mashlahah Mursalah...............................................2
A. Istihsan..............................................................................................2
1. Pengertian............................................................................2
2. Istihsan Qiyasi & Istitsna’i.................................................3
3. Relevansi Istihsan Masa Kini & Mendatang...................5
4. Kehujjahan Istihsan............................................................6
5. Macam – Macam Istihsan..................................................7
6. Dalil Istihsan........................................................................9
B. Mashlahah Mursalah....................................................................10
1. Pengertian..........................................................................10
2. Macam – Macam Mashlahah..........................................11
3. Arti Mashlahah Mursalah...............................................13
4. Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad.............15
5. Dalil Mashlahah Mursalah..............................................16
BAB III PENUTUP.......................................................................................................17
3.1 Kesimpulan................................................................................................17
3.2 Saran...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH”.
Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
pengantar studi hukum islam. Kami berharap dapat menambah wawasan
tentang istihsan dan mashlahah mursalah. Serta pembaca dapat mengetahui
tentang bagaimana dan apa sebenarnya istihsan dan mashlahah mursalah itu.
Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah
ini, kami mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk
melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Padang, Oktober 2018

Kelompok 6

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan berkembangnya zaman, banyak permasalahan yang
perlu dipecahkan dan semuanya itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an
hadits dalam pemecahannya, tapi seiring perkembangan waktu banyak
permasalahan yang tidak terjadi pada zaman rasulullah SAW. Dalam makalah
ini kami akan menjelaskan metode yang digunakan untuk menyingkap dan
menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau
haditsnya) yaitu melalui metode istihsan dan mashlahah mursalah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi istihsan dan mashlahah mursalah ?
2. Bagaimana penggunaan metode istihsan dan mashlahah mursalah
pada zaman kontemporer ?
3. Apa contoh kasus istihsan dan mashlahah mursalah ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari istihsan dan mashlahah mursalah.
2. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan metode istihsan dan
mashlahah mursalah pada zaman kontemporer.
3. Untuk mengetahui beberapa contoh tentang istihsan dan mashlahah
mursalah.
4. Untuk menambah wawasan tentang istihsan dan mashlahah mursalah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Istihsan & Mashlahah Mursalah


A. Istihsan
1. Pengertian
Dari segi etimologi, Istihsan berarti menilai sesuatu
sebagai baik atau memperhitungkan sesuatu lebih baik atau adanya sesuatu
itu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti karna memang disuruh untuk itu.1 Sedangkan menurut
istilah ushul fiqih, beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain :
a. Menurut al-Bazdawi
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada
model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas
yang pertama.
b. Menurut al-Karakhi
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu
masalah yang sama hukumnya berdasarkan
metode qiyas, kepada hukum lain yang
berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat
yang menuntut adanya pengalihan tersebut
dari hukum yang pertama.
c. Menurut Imam Malik
Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil,
atau menggunakan prinsip kemashalatan
yang bersifat parsial dalam posisi yang
bertentangan dengan dalil yang bersifat
umum.

1
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 197.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 305.
Munadi, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh (Aceh: Unimal Press, 2017), hlm. 70.

2
d. Menurut Wahbah az-Zuhaili merumuskan 2
definisi
Lebih menggunggulkan qiyas kahfi daripada
qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.
Mengecualikan hukum kasus tertentu dari
prinsip hukum atau premis yang bersifat
umum, berdasarkan alasan tertentu yang
menuntut berlakunya pengecualian
tersebut.2

Dapat kita ambil kesimpulan dari beberapa definisi


istihsan di atas, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk
menentukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu
dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas, dalam bentuk hukum kulli, atau dalam
bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam
bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau
‘uruf yang berlaku atau keadaan darurat, atau hukum pengecualian.
Alasannya adalah karna dengan cara itulah si musjtahid menganggapnya
sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemshalatan dan lebih
menjauhkan kesulitan bagi umat.

2. Istihsan Qiyasi & Istitsna’i


a. Istihsan Qiyasi
Ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan
kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang
kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum
tersebut (kemashalatan).

2
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 197.

3
Contohnya yaitu apabila seseorang mewakafkan
sebidang tanah pertanian untuk kepentingan
umum, maka berdasarkan istihsan, yang
diwakafkannya itu termasuk hak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu, dan
bentuk-bentuk lainnya.
Apabila ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan
qiyas jali kepada transaksi jual beli, maka hak-
hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima
wakaf. Sebab dalam jual beli, yang terpenting
ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Akan tetapi, karena alasan
kemashalatan, maka hak-hak tersebut ikut
berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan
cara meng-qiyaskan wakaf itu kepada transaksi
sewa-menyewa.
b. Istihsan Istitsna’i
Ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-
prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu
yang bersifat khusus. Istihsan Istitsna’i dapat
dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut.
 Istihsan bi an-Nashsh
Ialah pengalihan hukum dari ketentuan
yang umum kepada ketentuan lain dalam
bentuk pengecualian, karena ada nashsh
yang mengecualikannya, baik nashsh
tersebut alquran maupun sunnah.
 Istihsan bi al-Ijma’
Ialah pengalihan hukum dari ketentuan
umum kepada ketentuan lain dalam

4
bentuk pengecualian, karena ada
ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
 Istihsan bi al-‘Urf
Ialah pengecualian hukum dari prinsip
syariah yang umum, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku.
 Istihsan bi ad-Dharurah
Ialah suatu keadaan darurat yang
mendorong mujtahid untuk
mengecualikan ketentuan qiyas yang
berlaku umum kepada ketentuan lain yang
memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan
darurat.
 Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Ialah mengecualikan ketentuan hukum
yang berlaku umum berdasarkan
kemashlahatan, dengan memberlakukan
ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemashlahatan.3

3. Relevansi Istihsan di Masa Kini & Mendatang


Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu
digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus
pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan
yang berlaku secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali
atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara
konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang tidak
mendatangkan kemashlahatan yang diharapkan dari penetapan hukum.
Dalam keadaan demikian si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan
lain sebagai alternative dari pendekatan yang konvensional tersebut.

3
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 198.

5
Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam
bentuk ijtihad yang disebut “Istihsan”.
Pada masa yang akan datang, permasalahan
kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaian dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama (Konvensional) yang digunakan
ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu
menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik. Karena itu, si
mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif diluar
pendekatan lama, meskipun dengan berat hati untuk meninggalkan
pendekatan lama yang selama ini ia gunakan dan ia pertahankan dengan
setia. Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan
semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum
yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat
berkembang dan semakin kompleks.4

4. Kehujjahan Istihsan
Pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum
yang berdiri sendiri, melainkan istihsan bentuknya berdalilkan qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya
beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si
mujtahid dan juga dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi
istihsan.5

4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 319.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 113.

6
5. Macam – Macam Istihsan
a. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat
beralih dari qiyas, istihsan ada 3 macam :
 Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas
dhahir (qiyas jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal
ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas
dhahir dalam menetapkan hukumnya,
tetapi menggunakan qiyas khafi. Karena
menurut perhitungannya cara itulah yang
paling kuat.
 Beralih dari apa yang dituntut oleh nash
yang umum kepada hukum yang bersifat
khusus. Jadi meskipun ada dalil umum
yang dapat digunakan dalam menetapkan
hukum suatu masalah, namun dalam
keadaan tertentu dalil umum itu tidak
digunakan, dan sebagai gantinya
digunakan dalil khusus.
 Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada
tuntutan yang dikehendaki pengecualian.
b. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi
dasar dalam peralihan untuk menempuh cara
istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi kepada 4
macam :
 Istihsan yang sandarannya adalah qiyas
khafi. Dalam hal ini si mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena
ia menemukan bentuk qiyas yang lain,
meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi
memiliki kelemahan, namun dari segi
pengaruhnya terhadap kemashalatan

7
lebih tinggi. Cara seperti ini dinilai sebagai
cara terbaik dalam menentukan hukum.
Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas.
 Istihsan yang sandarannya adalah nash.
Dalam hal ini si mujtahid dalam
menetapkan hukum tidak jadi
menggunakan qiyas atau cara biasa
karena ada nash yang menuntunnya.
 Istihsan yang sandarannya adalah ‘Uruf
(adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak
menggunakan cara-cara biasa yang
bersifat umum, teteapi menggunakan cara
lain dengan dasar pertimbangan atau
sandaran kepada kebiasaan yang telah
umum berlaku dalam suatu keadaan.
Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan
al – ‘Urf.
 Istihsan yang sandarannya adalah
dharurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum
harus diikuti karena adanya keadaan
darurat yang mengkehendaki
pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini
disebut istihsan al-Dharurah.
c. Menurut syatibi, dikalangan mazhab maliki
dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya
dinamai dengan istilah. Mereka membagi istihsan
kepada 3 macam :
 Meninggalkan dalil yang biasa digunakan
untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan).
Umpamanya ucapan yang berlaku dalam
sumpah.

8
 Meninggalkan dalil yang biasa digunakan
dan untuk selanjutnya beramal dengan
cara lain karena didorong oleh
pertimbangan kemaslhatan manusia.
 Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan
untuk menghindarkan kesulitan dan
memberikan kemudahan kepada umat.6

6. Dalil Istihsan

 Surat al-Zumar (39) : 18.

‫سنَهُ ۚ أُو َٰلَ ِئ َك‬ َ ‫ون أ َ ْح‬ َ ُ‫ون ْالقَ ْو َل فَيَت َّ ِبع‬ َ ‫الَّ ِذ‬
َ ُ‫ين يَ ْست َ ِمع‬
‫ب‬
ِ َ ‫ا‬ ‫ب‬ ْ
‫ل‬ َ ْ
‫اْل‬ ‫و‬ُ ‫ل‬‫و‬ ُ ‫أ‬ ‫م‬ ُ
‫ه‬ ‫ك‬
َ ‫ئ‬
ِ َ َٰ
‫ل‬ ‫َّللاُ ۚ َوأُو‬ َ ‫الَّ ِذ‬
َّ ‫ين َهدَا ُه ُم‬
ْ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik diantaranya. Mereka itulah orang – orang yang telah diberi allah
petunjuk dan mereka itulah orang – orang yang mempunyai akal.

 Surat al-Zumar (39) : 55.

‫س َن َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َر ِب ُك ْم ِم ْن قَ ْب ِل‬


َ ‫َوات َّ ِبعُوا أ َ ْح‬
َ ‫اب بَ ْغتَةً َوأ َ ْنت ُ ْم ََل ت َ ْشعُ ُر‬
‫ون‬ ُ َ‫أ َ ْن يَأ ْ ِتيَ ُك ُم ْالعَذ‬
Dan ikutilah sebaik – baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari tuhanmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba – tiba, sedang
kamu tidak menyadarinya.7

B. Mashlahah Mursalah

6
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 105.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 308.
7
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 119.
Munadi, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh (Aceh: Unimal Press, 2017), hlm. 71.

9
1. Pengertian Mashlahah
Mashlahah dalam bahasa arab berarti “Perbuatan –
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang
umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan
atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemadharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung
manfaat patut disebut mashlahah.8
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif
terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang kalau dianalisa ternyata
hakikatnya adalah sama.
a. Al – Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya
mashlahah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat dan menjauhkan
madharat, namun hakikat dari mashlahah adalah
memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum).
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum itu ada 5, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.
b. Al – Khawarizmi memberikan definisi yang
hampir sama dengan definisi al – Ghazali yaitu
memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan
dari manusia.

c. Al – ‘Lez ibn Abdi al – Salam dalam kitabnya,


Qawa ‘id al – Ahkam, memberi kan arti

8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 323.

10
mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan
“kesenangan dan kenikmatan”. Sedangkan bentuk
majazinya adalah “sebab – sebab yang
mendatangkan kesenangan dan kenikmatan”
tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada
prinsipnya ada 4 bentuk manfaat, yaitu kelezatan
dan sebab – sebabnya serta kesenangan dan
sebab – sebabnya.
d. Al – Syatibi mengartikan mashlahah itu dari 2
pandangan, yaitu dari segi terjadinya mashlahah
dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya
tuntutan syara’ kepada mashlahah.
e. Al – Thufi menurut yang dinukil oleh yusuf
hamid al – ‘Alim dalam bukunya al-Maqashid al-
‘Ammah li al-Syari’ ati al-Islamiyyah
mendefinisikan mashlahah yaitu ungkapan dari
sebab yang membawa kepada tujuan syara’
dalam bentuk ibadah atau adat.9

Dapat kita ambil kesimpulan bahwa mashlahah


itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena
mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia,
sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

2. Macam – Macam Mashlahah


a. Dari kekuatannya sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum mashlahah ada 3 macam.
 Mashlahah Dharuriyah adalah
kemashlahatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh kehidupan

9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 324.

11
manusia, artinya kehidupan manusia
tidak punya arti apa – apa bila satu saja
dari prinsip yang 5 itu tidak ada.
 Mashlahah Hajiyah adalah kemashlahatan
yang tingkat kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak berada pada tingkat
dharuri.
 Mashlahah Tahsiniyah adalah mashlahah
yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat dharuri,
juga tidak sampai tingkat haji. Namun
kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam
rangka memberi kesempurnaan dan
keindahan bagi hidup manusia.
b. Dari adanya keserasian dan kesejalanan
anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari
maksud usaha mencari dan menetapkan
hukum, mashlahah itu disebut juga dengan
munasib atau keserasian mashlahah dengan
tujuan hukum. Mashlahah dalam artian
munasib itu dari segi pembuat hukum (syari’)
memperhatikannya atau tidak, mashlahah
terbagi kepada 3 macam.
 Mashlahah al-Mu’tabarah yaitu
mashlahah yang diperhitungkan oleh
syari’. Maksudnya ada petunjuk dari
syari’ baik langsung maupun tidak
langsung.
 Mashlahah al-Mulghah yaitu mashlahah
yang dianggap baik oleh akal, tetapi

12
tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada
petunjuk syara’ yang menolaknya.
 Mashlahah al-Mursalah yaitu apa yang
dipandang baik oleh akal, sejalan
dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, namun tidak ada
petunjuk syara’ yang
memperhitungkannya dan tidak ada
pula petunjuk syara’ yang
menolaknya.10

3. Arti Mashlahah Mursalah


Mursalah dalam bahasa arab artinya terlepas atau
bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya
dilakukan.
Adapun perbedaan definisi tentang mashlahah
mursalah ini, namun masing – masing memiliki kesamaan dan berdekatan
pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah :
a. Al – Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa
merumuskan mursalah yaitu apa-apa
mashlahah yang tidak ada bukti baginya dari
syara’ dalam bentuk nash tertentu yang
membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya.
b. Al – Syaukani dalam kitab irsyad al-Fubul
memberikan definisi mashlahah yang tidak
diketahui apakah syari’ menolaknya atau
memperhitungkannya.
c. Ibnu Qudamah dari ulama hanbali memberi
rumusan mashlahat yang tidak ada bukti

10
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 115.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 326.

13
petunjuk tertentu yang membatalkannya dan
tidak pula memperhatikannya.
d. Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan
apa-apa mashlahah yang tidak ada petunjuk
syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak
untuk memperhatikannya.
e. Jalal al - Din Abd al - Rahman memberi
rumusan yang lebih luas yaitu mashlahah yang
selaras dengan tujuan syari’ dan tidak ada
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang
pengakuannya atau penolaknnya.
f. Abd al – Wahhab al – Khallaf memberi
rumusan mashlahah mursalah ialah mashlahat
yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.
g. Muhammad Abu Zahrah memberi definisi
yang hampir sama dengan rumusan Jalal al –
Din yaitu mashlahah yang selaras dengan
tujuan syari’at islam dan petunjuk tertentu
yang membuktikan tentang pengakuannya
atua penolakannya.11

11
Munadi, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh (Aceh: Unimal Press, 2017), hlm. 47.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 332.
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 206.

14
Dari beberapa rumusan definisi tersebut, dapat kita
ambil kesimpulannya tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut,
yaitu :
 Sesuatu yang baik menurut akal dengan
pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan
atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
 Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras
pula dengan tujuan syara’dalam menetapkan
hukum.
 Apa yang baik menurut akal dan selaras pula
dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada
petunjuk syara’ secara khusus yang
menolaknya juga tidak ada petunjuk syara’
yang mengakuinya.

4. Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad


 Adanya takrir (pengakuan) nabi atas
penjelasan Muaz ibn Jabal yang akan
menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak
menemukan ayat alquran dan sunnah nabi
untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum.
 Adanya amaliah dan praktek yang begitu
meluas di kalangan sahabat nabi tentang
penggunaan mashlahah mursalah sebagai
suatu keadaan yang sudah diterima bersama
oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan.
 Suatu mashlahah bila telah nyata
kemashlahatannya dan telah sejalan dengan
maksud pembuat hukum, maka menggunakan
mashlahah tersebut berarti ia telah memenuhi

15
tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus
mendukungnya.
 Bila dalam keadaan tertentu untuk
menetapkan hukum tidak boleh menggunakan
metode mashlahah mursalah, maka akan
menempatkan umat dalam kesulitan.12

5. Dalil Mashlahah Mursalah


 Surat Al – Anbiya (21) : 107.

َ ‫َاك ِإ ََّل َر ْح َمةً ِل ْل َعالَ ِم‬


‫ين‬ َ ‫س ْلن‬
َ ‫َو َما أ َ ْر‬
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.
 Surat Yunus (10) : 57.

‫ظةٌ ِم ْن َر ِب ُك ْم‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬


َ ‫اس قَ ْد َجا َءتْ ُك ْم َم ْو ِع‬
ٌ‫ُور َو ُهدًى َو َر ْح َمة‬ ِ ‫صد‬ ُّ ‫َو ِشفَا ٌء ِل َما فِي ال‬
َ ِ‫ِل ْل ُمؤْ ِمن‬
‫ين‬
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit – penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang - orang yang beriman.

12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 334.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Istihsan yaitu dalam ijtihad untuk menemukan dan
menetapkan suatu hukum dengan menggunakan dalil lain yang dinilai lebih
kuat, keadaan darurat atau hukum pengecualian dengan alasan lebih baik
dan lebih banyak mendatangkan kemaslahatan. Istihsan ditinjau dari dalil
yang digunakan ada 3, yaitu beralih dari qiyas jali ke qiyas khafi, dari nash
umum ke nash khusus dan dari hukum kulli pada hukum pengecualian.
Ditinjau dari sandarannya, istihsan terbagi menjadi 4 macam, yaitu istihsan
qiyas, istihsan nash, istihsan ‘uruf, dan istihsan dharurat.
Mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat
karena mendatangkan kebaikan bagi manusia dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum. Mashlahah ditinjau dari kekuatannya ada 3
macam, yaitu mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah dan mashlahah
tahsiniyah. Sedangkan ditinjau dari kesejalanan antara akal dengan tujuan
syara’, ada 3 macam yaitu mashlahah mu’tabarah, mashlahah mulghah dan
mashlahah mursalah. Mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahatan yang
baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’, serta tidak ada petunjuk
syara’ yang secara khusus menolaknya atau mengakuinya.

3.2 Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok
ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna, minimal kita
mengimplementasikan tulisan ini. Kami butuh saran atau kritikan agar bisa
menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari pada masa
sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing
mata kuliah pengantar studi hukum islam ibuk Fathur Rahmi, M.A. yang
telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan diri kita sendiri dan
untuk negara dan bangsa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. 1999. Ushul Fiqh.


Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Abd Rahman Dahlan. 2010. Ushul Fiqh.


Jakarta: Amzah.

Abdul Wahhab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh.


Semarang: Dina Utama.

Amir Syarifuddin. 1999. Ushul Fiqh Jilid II.


Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Munadi. 2017. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh.


Aceh: Unimal Press.

Nasrun Haroen. 1997. Ushul Fiqh.


Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Asmawi. 2013. Perbandingan Ushul Fiqh.


Jakarta: Amzah.

18

Anda mungkin juga menyukai