Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ISLAM DAN BUDAYA MINANGKABAU


Tentang

Islam-Minangkabau dan Gerakan Sosial Keagamaan

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. SALMADANIS, MA

Disusun Oleh Kelompok 4:

Muslimah Permata Hati : 2214050037

Mery Fauziah : 2214050069

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS-B

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT.
sebagai pencipta, pengatur, dan pemelihara alam semesta ini, dengan berkat dan
hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Islam dan
Budaya Minangkabau ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT.
melimpahkan untuk Nabi besar Muhammad SAW. yang merupakan rahmat
seluruh alam.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak


kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat
kemampuan yang dimiliki penulis. Namun, berkat kemudahan dan hidayah dari
Allah SWT. serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat kami
selesaikan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan makalah ini. Dan kami juga berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya serta bagi pihak lain pada
umumnya aamiin yaa Rabbal’alamiin.

Padang, 27 maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DARTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Gerakan Pemurnian ....................................................................... 3


B. Gerakan Kaum Tua dan Kaum Muda ........................................... 7
C. Gerakan Tarekat ............................................................................ 11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan .............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam dikenal sebagai agama dalam kalangan masyarakat Minangkabau
dimulai sekitar abad ke-16 M. Mereka di lslamkan oleh pedagang-pedagang
Arab yang berlayar dari Malaka melalui pantai barat pulau Sumatera. Islam
yang dibawa pedagang adalah Islam yang diwarnai sufistik. Hal ini
dikarenakan corak pemikiran yang berkembang dipengaruhi tasawuf dalam
bentuk tarekat. Minangkabau adalah sebuah daerah yang paling krusial pada
sejarah islam pada Indonesia. Sebab, dari daerah inilah cita-cita menyebar ke
daerah-daerah lainnya. Meskipun dinamika hubungan agama (Islam) dengan
diadaptasi di Minangkabau agar harmonis terjadi dalam waktu yang cukup
lama, dan dengan berbagai macam rintangan. Karena itu munculnya dan
berkembangnya berbagai gerakan sosial baru dalam berbagai masyarakat
dengan bermotif dan kepentingan.

Pembaharuan yang terjadi di Minangkabau dimulai dengan gerakan


paderi yang sekilas dijelaskan diatas. Yang mana gerakan ini bertujuan
memurnikan ajaran islam. Gerakan reformasi generasi muda selanjutnya
melalui sistem pendidikan. Dan juga gerakan tarekat yang dibawa oleh
pedagang ke daerah Minangkabau saat pra Islam. Meski dalam termin awal
proses ini berliku dan menyebabkan konflik, tetapi dengan seiringnya dengan
kematangan masyarakat, maka terjadilah proses restrukturisasi. Proses seperti
ini lah yang sekarang memberi warna pada islam Minangkabau.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gerakan pemurnian?

2. Bagaimana gerakan kaum tua dan muda?

3. Bagaimana gerakan kaum tarekat?

1
2

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui gerakan pemurnian

2. Untuk mengetahui gerakan kaum tua dan muda

3. Untuk mengetahui gerakan kaum tarekat


BAB II

PEMBAHASAN

A. Gerakan Pemurnian
Pada akhir abad ke-18 tanda-tanda pembaharuan agama mulai muncul
di tengah masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari surau dan
tarekat-tarekat telah mengukuhkan otoritasnya dengan kuat melampaui
kesetiaan nagari dan suku. Apalagi pada saat itu juga, para jamaah haji
semakin banyak yang pergi ke dan kembali dari Mekkah sehingga semakin
memperkuat surau-surau tersebut. Perkembangan ini meningkatkan
penekanan pada pratik Islam yang lebih ketat oleh banyak pemimpin tarekat. 1
Selain itu, kehidupan masyarakat pada abad itu meningkat dikarenakan
perdagangan kopi, akasia serta emas mendapatkan waktu terbaiknya di pasar
apalagi yang meramaikannya waktu itu tidak hanya warga Agami, tapi juga
warga sekitar seperti Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Pariaman dan Solok
(Masdison, 2018).

Pendeta Tuanku Koto Tuo yang dihormati meletakkan dasar untuk


pemurnian islam dengan meyeru orang-orang untuk kembali ke ajaran Al-
Quran dan Sunnah. Beberapa ualam yang mengikuti Tuanku Koto Tuon dari
Nagari Cangking adalah Tuanku Mansianga, Tuanku lintau dan Tuanku nan
Renceh kemudian terkenal dengan pendiri gerakan Paderi. Kata padri atau
paderi berasal dari kata Spanyol padre, yang berarti "pendeta atau biarawan".
Namun Padri juga bisa diartikan sebagai “orang yang berasal dari Pidie”.
Pidie adalah pelabuhan di Aceh yang harus dilalui setiap pelaut Sumatera
pada masa itu untuk berziarah ke Mekkah.2

1
Azuyurmadi Azra, Surau. Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu), hlm. 5.

2
S. Metron Masdison. Tokoh-Tokoh Gerakan Padri. (Jakarta Timur: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2018), hlm. 4.

3
4

Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Tuanku Koto Tuo adalah


melakukan pembersihan umat Islam yang terbenam dalam kehidupan yang
rusak dengan cara memberikan dakwah tanpa adanya kekerasan. Karena cara
pembersihan yang dilakukan olehnya hanya dakwah, barulah ketika 1803
setelah kembalinya tiga peziarah dari Mekkah seperti Haji Sumanik, Haji
Miskin dan Haji Piobang, mulai muncul dengan memperkenalkan gagasan
dan praksis Wahhabi.

Gerakan wahabiah (wahabisme) adalah gerakan yang dikembangkan


oleh Muhammad bin Abduk Wahab pada abad ke-18 Masehi. Gerakan
Wahhabi lebih memperhatikan aqidah dalam upaya pemurniannya. aspek
Tauhid, keesaan Allah merupakan bagian terpenting dari gerakan Wahhabi,
oleh karena itu gerakan Wahhabi disebut sebagai “gerakan purinisme”.
Gerakan Wahhabi Puritan adalah seruan untuk kembali kepada nilai-nilai
ajaran Islam dan kepada dua sumber Islam, yaitu Alquran dan Hadits, dari
perspektif ijtihad legislasi dan perilaku sahabat kehidupan di dunia.

Sehingga Haji Miskin yang dulunya terlibat gerakan revivalisme


Tuanku Koto Tuo beralih dari metode moderatnya dan pergi ke Enam Koto
yang berbatasan dengan Agam, disana ia mendapat dukungan dari sejumlah
tuanku dan beberapa penghulu khususnya Datuk Batuah Pandai Sikat. Tetapi
mereka mendapat perlawanan dan dianggap muallaf oleh gerakan Tuanku
Koto Tuo.

Akhirnya, untuk menunjukkan kesungguhan dan keteguhan hati


dalam tujuannya, Haji Miskin membakar gedung yang merupakan
kebanggaan Pandai Sikat, yaitu balai adat. 3 Namun ia tetap mendapatkan
perlawanan dari masyarakat sekitar dan terpaksa mengungsi ke surau Tuanku
Mensiangan di Kota Lawas.

Pada masa itu juga, seorang Koto Tuo bernama Tuanku nan Renceh
beranggapan bahwa cara yang dibawakan oleh gurunya terlalu lamban. Ia

3 Ibid, hlm. 74.


5

menginginkan pembaharuan yang lebih menyeluruh bukan dengan cara


moderat dan evolusioner seperti yang dilakukan Tuanku Koto Tuo. 4
Kesempatan datang bagi Tuanku nan Renceh ketika Haji Miskin muncul
didaerahnya Bukit Kamang menyebarkan ajaran pembaharuan melalui
kekerasan.

Kedua tokoh gerakan Paderi ini pun mempersiapkan serangan


gencar dalam setahun dengan membangun aliansi dengan tujuh tuanku
terkemuka di wilayah Agam dan membentuk kelompok Harimau nan Salapan
yang mana mereka membuktikan diri mereka untuk memperjuangkan
tegaknya syara' dan membasmi kemaksiatan ke setiap desa di Sumatera.
Mereka itu terdiri dari: Tuanku nan Renceh. Tuanku Basa. Tuanku Gulung,
Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku
Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. 5

Tuanku nan Renceh memulai gerakan pemurnian yang radikal secara


spektakuler di desanya sendiri dengan membunuh ibu saudara perempuannya
(etek) karena memakai sugi tembakau. Dan ia juga menyampaikan bahwa
gerakannya yang sekarang dan seterusnya harus diikuti. Adapun keikutsertaan
itu adalah meninggalkan adu ayam dan judi; tidak memakai tembakau opium,
sirih dan arak; mengenakan pakaian putih yang melambangkan kemurnian,
kaum perempuan harus menutupi wajahnya dan laki-laki membiarkan
janggutnya tumbuh; tidak ada bagian tubuh yang dihiasi perhiasan emas, dan
pakaian sutera harus dihindari. Kewajiban sholat lima waktu dalam sehari
mesti dilakukan dengan ketat. System denda dilembagakan bagi pelanggaran
atas aturan-aturan tersebut.6

Di tahun 1821 hingga 1833 empat kelompok yang di Sumatra Barat


saling bertentangan, empat kelompok itu adalah kelompok adat, kerajaan,
kelompok padri dan Belanda. Empat kelompok ini saling berbenturan. Suatu

4 Ibid, hlm. 75
5
Zulfahmi, Op. Cit, hlm. 51.
6
Parve, “De Secte der Pidaris”, h. 271-272; Dobbin, Islamic Revivalism, h. 132
6

ketika terkadang kelompok adat membantu kelompok padri dan saling timbal
balik. Begitu juga dengan Belanda, yang terkadang saling berjabat tangan
dengan pihak kerajaan. Beberapa perjanjian terjadi seperti Perjanjian Masang.
Tapi begitu perjanjian itu telah dibuat dan disepakati, tak lama kemudian di
langgar. Pada masa ini ditandai dengan masuknya Bonjol dalam situasi
tersebut.
Bonjol menjadi pertahanan benteng kokoh yang dipagari oleh bambu
dan lima puluh ribu prajurit ahli bela diri. Tuanku Imam Bonjol yang
langsung turun tangan melatih mereka. Tuanku Imam Bonjol dalam
melaksanakan tugas dibantu oleh Tuanku Galuak. Tuanku Keluat dan Tuanku
Hitam. Dari mereka berempat inilah lahir istilah Barumpek Selo Bonjol
(Empat pemimpin Bonjol). Perpecahan mulai timbul begitu Tuanku Nan
Renceh mengunjunginya meminta pertolongan sebagai sesama Muslim.

la pun dilanda keraguan. Tuanku Gapuak dan Tuanku Hitam menyesal


untuk menolak mereka lebih memilih untuk mempertahankan situasi Bonjol
yang menjadi lebih penting. Tetapi Tuanku Imam Bonol terpengaruh sehingga
dalam keraguannya itu Tuanku Gapuak dan Tuanku Keluat meninggal dalam
peperangan. Yang kemudian tak disusul oleh Tuanku Hitam. Termasuk juga
anak Tuanku Gapuak.

Akhirnya Berampek Solo berubah menjadi Rajo Tigo Selo (Raja yang
bertiga) Adapun orang-orangnya yaitu Tuanku Imam, Datuk Siti, dan Datuk
Bandaro. Namun situasi semakin makin mendarurat. Dalam beberapa tahun
yaitu dari 1825-1831, akibat perang melawan Belanda, ekonomi Bonjol anjlok.
Rakyat Bonjol jatuh semiskin-miskinnya. Dan tersisa pilihan yaitu menyerah
atau melawan. Hal ini mengakibat dua datuk bersitenggang dan Datuk Siti
memilih untuk melawan. Dikarenakan dua kubu yang saling terpecah membuat
Tuanku Imam tidak tahan melihatnya dan memilih untuk melarikan diri ke
Lubuk Sikaping. Dengan larinya Tuanku Imam Bonjol ini Belanda pun
melenggang memasuki benteng tanpa perlawanan.
7

Pemicu intervansi Belanda pada perang padri yaitu Pada Maret 1831.
Belanda, yang telah berhasil menumpas Perang Jawa, mulai melakukan
serangan habis-habisan terhadap kaum Padri. Menjelang akhir Juli 1832,
Belanda mengambil-alih Agam dari tangan kaum Padri, dan pada Oktober
tahun yang sama, menundukkan benteng besar terakhir kaum Padri di
Limapuluh Kota, serta dua pemimpin terkemuka terakhir Padri, Tuanku Nan
Renceh dan Tuanku Lintau, tewas terbunuh. Meskipun peperangan kecil tetap
berlanjut di sejumlah wilayah sampai pada 1838, kaum Padri tidak pernah
mampu memulihkan kembali kekuatannya. Menjelang 1840, Perang Padri
berakhir meskipun pengaruh kaum Padri tetap bisa dirasakan.

Ketika perang usai, kaum Padri tampaknya tidak berhasil mengubah


struktur politik dan sosial Minangkabau secara fundamental. Namun, gerakan
Padri berhasil memperkuat kecenderungan Islam berwawasan Shadat di
masyarakat Minangkabau. Sebuah rumusan adat baru dihadirkan yang
bernuansa kontras antara adat jahiliyah, adat yang sinkretis dan tidak
tercerahkan, dengan adat Islamiyyah, adat yang sesuai dengan hukum agama,
Kategori adat yang paling tinggi, “adat yang sebenar-benarnya adat”,
sekarang diinterpretasikan sebagai Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Sebuah
aporisme baru dalam hubungan antara adat dan agama juga diperkenalkan:
“adat bersendi syara’ (syariat), syara’ bersendi Kitabullah (Al-Quran)”.
Subordinasi adat terhadap Islam terungkap dalam “syara’ merencanakan, adat
menerapkan”. Jadi, secara ideal, adat merupakan manifestasi yang benar dari
hukum agama.

B. Gerakan Kaum Tua dan Kaum Muda

Istilah kaum tua dan kaum muda muncul pada awal abad ke-19 M
hingga Awal abad ke-20 M. Lahirnya kaum tua dan kaum muda di
Minangkabau menurut Hamka (1982:128) yaitu terjadi pada tahun 1906 yang
mana waktu itu diadakan pertemuan tentang masalah tarekat di Padang.
8

Sebenarnya istilah kaum tua dan kaum muda hanya digunakan untuk
membedakan pemikiran yang muncul di kalangan ulama. Tampak bagaimana
perbedaan prinsip atau cara kaum tua dan kaum muda dalam melakukan
penyebaran agama Islam. Kriteria dari kaum muda dalam melakukan
pembaharuan mengandung tiga prinsip. Pertama, pemurnian agama cari segala
hal yang tidak berasal dari ajaran yang Rasulullah sampaikan. Kedua,
pembaharuan dalam pemikiran dan pemahaman ajaran agama-agama, yang
berarti Ijtihad harus disertai dan menjauhi kejuudan, Ketiga, modernisasi dalam
bidang pendidikan, social dan politik.

Sedangkan kaum tua mengandung empat prinsip dalam melaksanakan


pembaruannya. Pertama, dalam bidang aqidah, mereka menganut aliran
Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipimpin oleh Abul Hasan Al-Asyari dan Abu
Mansur Al-Maturidi. Kedua, dalam syariah mereka menganut Mazhab Syafi’i
semata-mata hal, bukannya mereka tidak mengakui kebenaran ketiga mazhab
lainnya namun hal ini mereka lakukan supaya amalan mereka tidak menjadi
kacau balau. Ketiga, mereka membenarkan dan merasa berkewajiban untuk
mempertahankan aliran-aliran thariqat yang mu’tabarah (sah dan boleh
diamalkan, menurut penilaian mereka). Keempat, mereka ingin tetap
mempertahankan tradisi dan adat kebiasaan yang telah disepakati dalam
berbagai macam amalan keagamaan yang oleh kaum tua. Kelima, kelompok
kaum tua ini juga menekankan pada masa kenabian.

Memang Islam tidak bertentangan dengan budaya lokal masyarakat,


tetapi Tidak semua budaya sesuai dengan ajaran Islam, karena seperti yang
diketahui budaya yang berkembang sebelumnya merupakan warisan budaya
dari Hindu-Budha dan animisme-animisme yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Sementara kaum muda yang merupakan kelompok Islam modernis
menolak dengan keras masuknya nilai-nilai budaya dalam praktik peribadatan.

Kaum muda mulai mendirikan sekolah agama (madrasah) yang


dimodernisasikan meniru gaya Barat, baik dari segi system, metodologi
9

maupun kurikulumnya. Bedanya dengan sekolah Belanda waktu itu adalah


Belanda cenderung lebih melarang masuknya ilmu-ilmu keagamaan, sementara
sekolah yang dibangun kaum mudo kental dengan keagamaan dan juga disertai
dengan pendidikan umum. Pengajaran yang diterapkan kaum muda juga tidak
berlangsung secara klasikal dan dengan penjenjangan yang jelas. Kaum muda
melakukan ini agar para ulama dan guru-guru agama dibekali ilmu sebagai alat
menghadapi tantangan keutuhan zaman.

Para siswa diarahkan untuk dapat memahami bagaimana suatu fatwa


harus ditetapkan, jadi tidak hanya terpaku bagaimana fatwa itu diamalkan.
Setelah itu, beberapa surau penting mulai mengikuti jalur Thawalib Padang
Panjang dan diorganisirkan di bawah payung organisasi yang disebut Sumatra
Thawalib. Kaum muda juga telah mendirikan Persatuan Guru Agama Islam
(PGAI). (Azra, 2003)

Selain dibidang pendidikan, kaum muda juga terjun dalam media cetak.
Hal ini dimulai pada tahun 1910, mereka menerbitkan majalah dua mingguan,
Al- Munir, di Padang, yang kemudian diikuti jurnal dan majalah suara
pembaharuan lainnya yang terseabr di beberapa daerah Minangkabau seperti
Al-Ittiqan di Maninjau Al-Bayan di Parabek, Al-Basyir di Sungayang, Al-
Imam di Padang dan Al-Munir Al-Manar yang terbit di Padangpanjang.

Kaum tua juga mempergunakan cara-cara yang dipakai kaum muda.


Antara lainnya, mereka mendirikan organisasi Ittihadul Ulama Minangkabau
(Persatuan Ulama Minangkabau) di Banuhumpu. Bukittingi di tahun 1921
sebagai organisasi lain dari PGAI kepunyaan kaum muda walaupun
organisasi tersebut nyatanya merosot dengan cepat dan tidak dapat menyamai
keberhasilan PGAI. Selain itu, kaum tua juga menerbitkan majalah Suluh
Melayu di Padang. Al- Mizan di Maninjau, dan Al-Rad wa Al-Mardud dan
Soearti di Bukittinggi.

Kaum tua yang menyadari bahwa sulit mempertahankan sistem


pendidikan tradisional surau di tengah kuatnya sistem pendidikan madrasah
10

atau sekolah “kombinasi” yang sedang maraknya melanda seluruh


masayarakat Minangkabau. Dengan demikian, mereka pun perlahan-lahan
mulai menerima sistem sekolah modern di sebagian kecil komunitas surau.
Oleh karena itu, Syaikh Abbas dari Surau Alanglawas di Bukittingi membuka
Madarasah Al-Arabiyah dan madrasah lainnya di kota asalnya walaupun
mendapatkan perlawanan yang kuat dari kolega-koleganya dikalangan
penguasa surau. Pada akhirnya diantara kalangan penguasa surau tadi
menyusul mengikuti jejak Syekh Abbas. Untuk melakukan koordinasi
diantara sistem pendidikan baru pada komunits surau, Madrasah Tarbiyah
Islamiyah didirikan pada 5 Mei 1928.

Meskipun semua upaya yang dilakukan kaum tua tidak bisa berjalan
semua dengan lancar untuk menandingi keberhasilan ulama kaum muda.
Maka kaum tua pun mengambil upaya yang lebih ambisius dari penguasa
surau, yaitu dengan mengubah organisasi madrasah tarbiyah Islamiyyah
menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, disingkat Perti, pada 20 Mei 1930.
Perti didirikan ulama tradisional, seperti Syaikh Abbas dari Padanglawas,
Syaikh Sulaiman al-Rasul dari Candung, dan Syaikh Muhammad Djamil
Djaho dari Padang Panjang. Dalam pertemuan mereka, selain mendirikan
Perti, mereka juga memutuskan bahwa semua surau harus dimodernkan
sesuai dengan model yang dikembangkan oleh kaum muda. Meski lagi-lagi
dengan berbagai alasan Perti tidak mampu menyaingi keberhasilan organisasi
kaum modernis, dan ia tetap merupakan organisasi yang marginal, baik di
Mingkabau maupun tingkat nasional..

Namun, kaum tua dan kaum muda tidak selalu dalam bertentangan,
ada juga saat mereka bersatu. Pada tahun 1920-an, pemerintah Belanda mulai
mengawasi dengan ketat semua aktivitas ulama kaum muda. Sebagaimana
yang telas dijelaskan kaum muda telah memberikan pengaruh yang besar
dalam kalangan masyarakat Minangkabau, dan juga mereka berhasil
membangun banyak madrasah dan sekolah diseluruh Minangkabau. Belanda
mencoba memaksakan Ordonasi Guru, dan Ordonansi Sekolah Liar di
11

Minangkabau. Hal ini mereka lakukan masing-masing pada tahun 1928 dan
1932. Penentangan ini tidak hanya muncul dari kalangan kaum muda tetapi
juga dari kalangan kaum tua. Ordonansi tersebut pada dasarnya bertujuan
mengekang surau agama dan pendidikan madrasah. Disini kaum tua dan
kaum muda bersatu menentang peraturan tersebut.

Jadi, sebenarnya gerakan pembaharuan yang dilakukan kaum muda


dikatakan sebuah keinginan positif. Mereka ingi agar masyarakat Islam-
Minangkabau mau memahami dan mengambalkan Islam secara murni dan
bebas dari praktek-praktek yang menurut mereka menyimpang dari ajaran
Islam yang sebenarnya. Tapi menurut kaum tua maksud baik itu tidak
didukung oleh cara yang baik sehingga tidak dapat diterima oleh kaum tua.
Tetapi sikap kaum tua tambah melunak terhadap masing-masing. Mereka
tidak lagi bermusuhan sebagaimana semula, tetapi telah bersahabat.

C. Gerakan Tarekat

Para penuntut ilmu Islam asal Indonesia (Asia Tenggara) yang pernah
bermukim di Makkah. Mereka membentuk satu komunitas yang sedikit
banyak terisolasi, karena kebanyakan memiliki keterbatasan tertentu dalam
berbahasa Arab. Hanya sedikit dari mereka yang mampu menuntut ilmu
keagamaan langsung dari ulama-ulama besar Haramayn, dan di antara ilmu
keagamaan Islam yang terpenting mereka tuntut adalah tasawuf dan tarekat.
Melalui mereka tarekat menyebar ke lingkungan komunitas jawi yang lebih
besar. Komunitas inilah yang kemudian menyebarluaskannya ke Indonesia.
Sehubungan dengan itu, kita dapat menyaksikan bahwa, tarekat yang
berkembang dan memperoleh banyak pengikut di Makkah pada masa
tertentu, dengan cepat mengalami perkembangan yang sama di Indonesia.
Dengan kata lain, perkembangan tarekat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan tarekat di Makkah. (Muhammad Iskandar, dkk, 2015)
12

Para pedagang yang menyebarkan Islam begitu masuk Minangkabau


merupakan Islam telah bercorak sufistik. Dengan demikian, corak pemikiran
yang dikembangkan sangat kuat dipengaruhi oleh tasawuf dalam bentuk
tarekat. Tarekat diambil dari bahasa arab tariqah yang berarti cara, jalan,
keadaan, mazhab, aliran, dan beberapa makna lainnya. Secara bahasa, tarekat
berarti jalan atau cara yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri
kepada Tuhan. Yang selanjutnya dalam perkembangannya, tarekat berarti
cara yang ditempuh sekelompok orang dengan bimbingan gurunya dalam
melakukan latihan-latihan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pusat
latihan tarekat biasanya dinamkan “khangah atau zawiyah”.

Pengembangan Islam oleh ulama di Minangkabau yang menggunakan


pendekatan tarekat sebagai media yaitu Syekh Burhanuddin, sampai pada
gurunya Syekh Abdur Rauf. Ulama memiliki peran penting dalam proses
dinamika keagamaan Minangkabau khususnya dalam pembentukan tradisi
keagamaan. Pada aspek ini keberadaan tasawuf. Khusunya tarekat
Syatariyyah berperan besar dalam proses tersebut. Di Sumatra Barat pusat
tarekat yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan sufisme
berada di Ulakan.

Metode empati, rasional yang menekan nilai-nilai moral serta dapat


menyesuaikan dengan budaya lokal menjadi sangat efektif dalam proses
Islamisasi. Diterimanya tarekat oleh masyarakat Minangkabau tidak bisa
dilepaskan dari aspek historis. Sebelum datangnya Islam, masyarakat sudah
menganut kepercayaan yang berkaitan dengan kebatinan.

Peran penting dari tasawuf di Indonesia tidak terlepas dari upaya dan
derap langkah para ulama-ulama tasawuf yang mengamalkan ajaran-ajaran
tasawuf. Praktek tasawuf menjadi populer di Indonesia oleh Hamzah Fanzuri
(w.1610 M) dan oleh Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630 M). Pada abad ke-17
Hamzah Fanzuri dari Pantai Barat Sumatra Barat, seorang ulama sufi yang
pertama kali memperkenalkan tarekat di wilayah Indonesia. Ia mengunjungi
13

Mekkah, Madinah, Yerusalem dan Baghdad untuk memperdalam ilmunya


tentang Islam. Melalui pengalamannya selama menuntu ilmu inilah ia
menjadi tahu dan dekat dengan hal yang mengenai tarekat. Contohnya seperti
Qadiriyah yang merupakan tarekat yang berpusat di Baghdad memakai corak
tasawuf wahdatul wujud, meeskipun tarekat tolersebut tidak terlalu popular
sekarang.

Di dalam Minangkabau terdapat beberapa surau yang menjadi pusat


perkembangan tarekat Naqsabandiyah juga, khususnya di Lima Puluh Kota
dan daerah Tanah Datar. Ada juga Surau Ordo Kadiriya di daerah pesisir
dan di Forrest. Sistem yang digunakan oleh tarekat Naqsabandiyah dalam
ajarannya seperti zikir dan suluk yang mana hal ini lebih terasa di hati
masyarkat. Sehingga dalam perkembangannya tarekat Naqsabandiyah lebih
cepat menyebarnya. Adapun pemahaman dan ajaran dari tarekat Syatariyyah
lebih rumit dan lebih mendalam seperti mengenai pengajian tubuh dan
martabat tujuh.

Tuanku Nan Tuo begitu keluar dari Ulakan, ia langsung mendirikan


surau nya sendiri di Cangking, Ampek Angke, karena hal ini ia dikenal
sebagai ulama syariat dan tasawuf di Minangkabau. Banyak hal yang
dilakukan Tuanku nan Tuo untuk mendakwahkan ajarannya dan menentang
praktek tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat. Dalam
pembaharuan di kalangan tarekat ini yang dilakukan oleh Tuanku nan tuo
yang dibantu oleh Jahaluddin tentunya mendapatkan pertentangan dari
penghulu atau pemungka adat maupun pengikut tasawuf yang ekstrim.
Menurut Oman Fathurrahman, pertentangan mengenai tarekat Syattariyah
dan Naqsabandiyah ditimbulkan karena perbedaan tentang seputar paham
Wahdat al-Wujud (panteisme) selain itu kedua tarekat ini selalu berebut
pengaruh.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, gerakan tarekat juga telah


mengalami kritik dan kontroversi, terutama karena beberapa tarekat terkait
14

dengan ajaran radikalisme dan kekerasan. Meskipun demikian, gerakan


tarekat masih dianggap sebagai bagian penting dari tradisi islam dan terus
berkembang hingga saat ini. Selain sebagai sarana pengembangan spiritual,
gerakan tarekat juga memiliki peran penting dalam mempertahankan dan
mengembangkan tradisi-tradisi keagamaan dan budaya tarekat sering
diiringi oleh musik- musik khas Minangkabau seperti rebana, gendang, dan
talempong.

Selain itu, gerakan tarekat di Minangkabau juga seringkali terkait


dengan adat istiadat dan kebudayaan setempat. Misalnya, dalam tarekat
Naqsyabandiyah, terdapat praktik ziarah kubur yang menjadi bagian dari
adat istiadat Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan tarekat di
Minangkabau tidak hanya mencakup aspek spiritual, namun juga terkait
dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.

Tujuan akhir dari gerakan tarekat adalah mencapai kesadaran spiritual


yang lebih tinggi dan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan
antara manusia dan Allah. Gerakan ini juga menekankan pentingnya
mengatasi nafsu dan keinginan duniawi untuk mencapai kesucian dan
kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Meskipun gerakan tarekat memiliki banyak pengikut setia, mereka juga


telah dituduh melakukan praktik- praktik ekstrem atau bahkan teroris dalam
beberapa kasus. Sebagai hasilnya, gerakan tarekat telah menjadi subyek
kontroversi dan kritik di beberapa wilayah Muslim.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Gerakan paderi yang diawali oleh beberapa orang yang dengan


sebutan "Tuanku" di Minangkabau, tujuan untuk membersihkan berbagai
pengaruh adat yangg bertentangan dengan ajaran Islam. Ide ini timbul ketika
meeka berkenalan dengan ajaran kaum wahabhi Mekkah saat Mereka
menunaikan ibadah haji. Yang menjadi terget mereka adalah puritanisme
agama Islam secara menyeluruh, yakni ketaatan mutlak terhadap agama,
shalat lima waktu, tidak merokok, berjudi serta menyabung ayam. Gerakan
ini kemudian menjadi pelopor munculnya gerakan modernisasi intelektual
di Minangkabau. Peran surau-surau dan pedagang juga menjadi turut serta
dalam mempernngaruhi perkembangan dan modernisasi intelektual Islam di
Minankabau. Jadi bisa dikatakan bahwa gerakan paderi itu adalah radikal.

Pertentangan antara kaum tua dan kaum muda tidak hanya berkaitan
dengan masalah tarekat tetapi menyebar ke soal-soal praktek keagamaan
lain yang pada umumnya soal tersebut diamalkan oleh masyarakat
Minangkabau. Pada gerakan tarekat peran Islamisasi yang dilakukan oleh
Syekh Burhannuddin dan muridnya yang menyebar di wilayah
Minangkabau mengadopsi Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam,
khususnya dalam bentuk tarekat Syatariyyah. Konflik di kalangan
Syatariyyah antar intra dan antar tarekat. atau konflik dengan para reformis
modernis, yang para pemimpinnya kembali dari Mekkah dan
mengembangkan Wahabisme dari negara-negara Arab dalam bentuk para
pendeta dan pemuda, menjadi proses pendewasaan Islamisasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Apria Putra & Chairullah Ahmad. (2011), Bibliografi Karya Ulama Minangkabau
Awal Abad
XX. Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda Padang: Komunitas
Suluah, (Suaka Luhung Naskah).
Azra, A. (2003). Surau: Pendidikan islam Tradisonal dalam Transisi dan
Modernisest. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
H.B, Z. (2018). Islam dan Budaya Minangkabau. Padang: Teratai Jaya.

Hamka. (1950). Sejarah Islam di Minangkabau. Medan: Pustaka Nasional.

Kastolani. (2019). Islam dan Modernitas: Sejarah Gerakan Pembaharuan Islam


di Indonesia, Yogyakarta: Trussmedia Grafika.
Nasr, S. H. (1994). Tasawuf dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Roni Faslah & Ahmad Khoirul Fata (2020). Islam, Adat, dan Syatariyyah di
Minangkabau, Al- Ijtihad Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, 1-19.

Anda mungkin juga menyukai