Dosen Pengampu:
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT.
sebagai pencipta, pengatur, dan pemelihara alam semesta ini, dengan berkat dan
hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Islam dan
Budaya Minangkabau ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT.
melimpahkan untuk Nabi besar Muhammad SAW. yang merupakan rahmat
seluruh alam.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Kesimpulan .............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam dikenal sebagai agama dalam kalangan masyarakat Minangkabau
dimulai sekitar abad ke-16 M. Mereka di lslamkan oleh pedagang-pedagang
Arab yang berlayar dari Malaka melalui pantai barat pulau Sumatera. Islam
yang dibawa pedagang adalah Islam yang diwarnai sufistik. Hal ini
dikarenakan corak pemikiran yang berkembang dipengaruhi tasawuf dalam
bentuk tarekat. Minangkabau adalah sebuah daerah yang paling krusial pada
sejarah islam pada Indonesia. Sebab, dari daerah inilah cita-cita menyebar ke
daerah-daerah lainnya. Meskipun dinamika hubungan agama (Islam) dengan
diadaptasi di Minangkabau agar harmonis terjadi dalam waktu yang cukup
lama, dan dengan berbagai macam rintangan. Karena itu munculnya dan
berkembangnya berbagai gerakan sosial baru dalam berbagai masyarakat
dengan bermotif dan kepentingan.
B. Rumusan Masalah
1
2
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
A. Gerakan Pemurnian
Pada akhir abad ke-18 tanda-tanda pembaharuan agama mulai muncul
di tengah masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari surau dan
tarekat-tarekat telah mengukuhkan otoritasnya dengan kuat melampaui
kesetiaan nagari dan suku. Apalagi pada saat itu juga, para jamaah haji
semakin banyak yang pergi ke dan kembali dari Mekkah sehingga semakin
memperkuat surau-surau tersebut. Perkembangan ini meningkatkan
penekanan pada pratik Islam yang lebih ketat oleh banyak pemimpin tarekat. 1
Selain itu, kehidupan masyarakat pada abad itu meningkat dikarenakan
perdagangan kopi, akasia serta emas mendapatkan waktu terbaiknya di pasar
apalagi yang meramaikannya waktu itu tidak hanya warga Agami, tapi juga
warga sekitar seperti Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Pariaman dan Solok
(Masdison, 2018).
1
Azuyurmadi Azra, Surau. Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu), hlm. 5.
2
S. Metron Masdison. Tokoh-Tokoh Gerakan Padri. (Jakarta Timur: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2018), hlm. 4.
3
4
Pada masa itu juga, seorang Koto Tuo bernama Tuanku nan Renceh
beranggapan bahwa cara yang dibawakan oleh gurunya terlalu lamban. Ia
4 Ibid, hlm. 75
5
Zulfahmi, Op. Cit, hlm. 51.
6
Parve, “De Secte der Pidaris”, h. 271-272; Dobbin, Islamic Revivalism, h. 132
6
ketika terkadang kelompok adat membantu kelompok padri dan saling timbal
balik. Begitu juga dengan Belanda, yang terkadang saling berjabat tangan
dengan pihak kerajaan. Beberapa perjanjian terjadi seperti Perjanjian Masang.
Tapi begitu perjanjian itu telah dibuat dan disepakati, tak lama kemudian di
langgar. Pada masa ini ditandai dengan masuknya Bonjol dalam situasi
tersebut.
Bonjol menjadi pertahanan benteng kokoh yang dipagari oleh bambu
dan lima puluh ribu prajurit ahli bela diri. Tuanku Imam Bonjol yang
langsung turun tangan melatih mereka. Tuanku Imam Bonjol dalam
melaksanakan tugas dibantu oleh Tuanku Galuak. Tuanku Keluat dan Tuanku
Hitam. Dari mereka berempat inilah lahir istilah Barumpek Selo Bonjol
(Empat pemimpin Bonjol). Perpecahan mulai timbul begitu Tuanku Nan
Renceh mengunjunginya meminta pertolongan sebagai sesama Muslim.
Akhirnya Berampek Solo berubah menjadi Rajo Tigo Selo (Raja yang
bertiga) Adapun orang-orangnya yaitu Tuanku Imam, Datuk Siti, dan Datuk
Bandaro. Namun situasi semakin makin mendarurat. Dalam beberapa tahun
yaitu dari 1825-1831, akibat perang melawan Belanda, ekonomi Bonjol anjlok.
Rakyat Bonjol jatuh semiskin-miskinnya. Dan tersisa pilihan yaitu menyerah
atau melawan. Hal ini mengakibat dua datuk bersitenggang dan Datuk Siti
memilih untuk melawan. Dikarenakan dua kubu yang saling terpecah membuat
Tuanku Imam tidak tahan melihatnya dan memilih untuk melarikan diri ke
Lubuk Sikaping. Dengan larinya Tuanku Imam Bonjol ini Belanda pun
melenggang memasuki benteng tanpa perlawanan.
7
Pemicu intervansi Belanda pada perang padri yaitu Pada Maret 1831.
Belanda, yang telah berhasil menumpas Perang Jawa, mulai melakukan
serangan habis-habisan terhadap kaum Padri. Menjelang akhir Juli 1832,
Belanda mengambil-alih Agam dari tangan kaum Padri, dan pada Oktober
tahun yang sama, menundukkan benteng besar terakhir kaum Padri di
Limapuluh Kota, serta dua pemimpin terkemuka terakhir Padri, Tuanku Nan
Renceh dan Tuanku Lintau, tewas terbunuh. Meskipun peperangan kecil tetap
berlanjut di sejumlah wilayah sampai pada 1838, kaum Padri tidak pernah
mampu memulihkan kembali kekuatannya. Menjelang 1840, Perang Padri
berakhir meskipun pengaruh kaum Padri tetap bisa dirasakan.
Istilah kaum tua dan kaum muda muncul pada awal abad ke-19 M
hingga Awal abad ke-20 M. Lahirnya kaum tua dan kaum muda di
Minangkabau menurut Hamka (1982:128) yaitu terjadi pada tahun 1906 yang
mana waktu itu diadakan pertemuan tentang masalah tarekat di Padang.
8
Sebenarnya istilah kaum tua dan kaum muda hanya digunakan untuk
membedakan pemikiran yang muncul di kalangan ulama. Tampak bagaimana
perbedaan prinsip atau cara kaum tua dan kaum muda dalam melakukan
penyebaran agama Islam. Kriteria dari kaum muda dalam melakukan
pembaharuan mengandung tiga prinsip. Pertama, pemurnian agama cari segala
hal yang tidak berasal dari ajaran yang Rasulullah sampaikan. Kedua,
pembaharuan dalam pemikiran dan pemahaman ajaran agama-agama, yang
berarti Ijtihad harus disertai dan menjauhi kejuudan, Ketiga, modernisasi dalam
bidang pendidikan, social dan politik.
Selain dibidang pendidikan, kaum muda juga terjun dalam media cetak.
Hal ini dimulai pada tahun 1910, mereka menerbitkan majalah dua mingguan,
Al- Munir, di Padang, yang kemudian diikuti jurnal dan majalah suara
pembaharuan lainnya yang terseabr di beberapa daerah Minangkabau seperti
Al-Ittiqan di Maninjau Al-Bayan di Parabek, Al-Basyir di Sungayang, Al-
Imam di Padang dan Al-Munir Al-Manar yang terbit di Padangpanjang.
Meskipun semua upaya yang dilakukan kaum tua tidak bisa berjalan
semua dengan lancar untuk menandingi keberhasilan ulama kaum muda.
Maka kaum tua pun mengambil upaya yang lebih ambisius dari penguasa
surau, yaitu dengan mengubah organisasi madrasah tarbiyah Islamiyyah
menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, disingkat Perti, pada 20 Mei 1930.
Perti didirikan ulama tradisional, seperti Syaikh Abbas dari Padanglawas,
Syaikh Sulaiman al-Rasul dari Candung, dan Syaikh Muhammad Djamil
Djaho dari Padang Panjang. Dalam pertemuan mereka, selain mendirikan
Perti, mereka juga memutuskan bahwa semua surau harus dimodernkan
sesuai dengan model yang dikembangkan oleh kaum muda. Meski lagi-lagi
dengan berbagai alasan Perti tidak mampu menyaingi keberhasilan organisasi
kaum modernis, dan ia tetap merupakan organisasi yang marginal, baik di
Mingkabau maupun tingkat nasional..
Namun, kaum tua dan kaum muda tidak selalu dalam bertentangan,
ada juga saat mereka bersatu. Pada tahun 1920-an, pemerintah Belanda mulai
mengawasi dengan ketat semua aktivitas ulama kaum muda. Sebagaimana
yang telas dijelaskan kaum muda telah memberikan pengaruh yang besar
dalam kalangan masyarakat Minangkabau, dan juga mereka berhasil
membangun banyak madrasah dan sekolah diseluruh Minangkabau. Belanda
mencoba memaksakan Ordonasi Guru, dan Ordonansi Sekolah Liar di
11
Minangkabau. Hal ini mereka lakukan masing-masing pada tahun 1928 dan
1932. Penentangan ini tidak hanya muncul dari kalangan kaum muda tetapi
juga dari kalangan kaum tua. Ordonansi tersebut pada dasarnya bertujuan
mengekang surau agama dan pendidikan madrasah. Disini kaum tua dan
kaum muda bersatu menentang peraturan tersebut.
C. Gerakan Tarekat
Para penuntut ilmu Islam asal Indonesia (Asia Tenggara) yang pernah
bermukim di Makkah. Mereka membentuk satu komunitas yang sedikit
banyak terisolasi, karena kebanyakan memiliki keterbatasan tertentu dalam
berbahasa Arab. Hanya sedikit dari mereka yang mampu menuntut ilmu
keagamaan langsung dari ulama-ulama besar Haramayn, dan di antara ilmu
keagamaan Islam yang terpenting mereka tuntut adalah tasawuf dan tarekat.
Melalui mereka tarekat menyebar ke lingkungan komunitas jawi yang lebih
besar. Komunitas inilah yang kemudian menyebarluaskannya ke Indonesia.
Sehubungan dengan itu, kita dapat menyaksikan bahwa, tarekat yang
berkembang dan memperoleh banyak pengikut di Makkah pada masa
tertentu, dengan cepat mengalami perkembangan yang sama di Indonesia.
Dengan kata lain, perkembangan tarekat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan tarekat di Makkah. (Muhammad Iskandar, dkk, 2015)
12
Peran penting dari tasawuf di Indonesia tidak terlepas dari upaya dan
derap langkah para ulama-ulama tasawuf yang mengamalkan ajaran-ajaran
tasawuf. Praktek tasawuf menjadi populer di Indonesia oleh Hamzah Fanzuri
(w.1610 M) dan oleh Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630 M). Pada abad ke-17
Hamzah Fanzuri dari Pantai Barat Sumatra Barat, seorang ulama sufi yang
pertama kali memperkenalkan tarekat di wilayah Indonesia. Ia mengunjungi
13
PENUTUP
Kesimpulan
Pertentangan antara kaum tua dan kaum muda tidak hanya berkaitan
dengan masalah tarekat tetapi menyebar ke soal-soal praktek keagamaan
lain yang pada umumnya soal tersebut diamalkan oleh masyarakat
Minangkabau. Pada gerakan tarekat peran Islamisasi yang dilakukan oleh
Syekh Burhannuddin dan muridnya yang menyebar di wilayah
Minangkabau mengadopsi Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam,
khususnya dalam bentuk tarekat Syatariyyah. Konflik di kalangan
Syatariyyah antar intra dan antar tarekat. atau konflik dengan para reformis
modernis, yang para pemimpinnya kembali dari Mekkah dan
mengembangkan Wahabisme dari negara-negara Arab dalam bentuk para
pendeta dan pemuda, menjadi proses pendewasaan Islamisasi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Apria Putra & Chairullah Ahmad. (2011), Bibliografi Karya Ulama Minangkabau
Awal Abad
XX. Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda Padang: Komunitas
Suluah, (Suaka Luhung Naskah).
Azra, A. (2003). Surau: Pendidikan islam Tradisonal dalam Transisi dan
Modernisest. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
H.B, Z. (2018). Islam dan Budaya Minangkabau. Padang: Teratai Jaya.
Roni Faslah & Ahmad Khoirul Fata (2020). Islam, Adat, dan Syatariyyah di
Minangkabau, Al- Ijtihad Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, 1-19.