Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ISLAM DAN BUDAYA MINANGKABAU

ISLAM MINANGKABAU DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

AFDALUL RIFKI 2111050019


NURKHOLIZA 2111050015

Dosen Pembimbing

Dr. Asril, S. Hum. MA

ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


IMAM BONJOL PADANG1443
1443 H/ 2022 M
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Islam dan Budaya Minangkabau, dengan judul:
"Islam Minangkabau dan Gerakan Sosial Keagamaan". Selanjutnya, kami berterima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah ini, yaitu Bapak Dr. Asril, S. Hum. MA yang sudah mau
membimbing kami dalam proses perkuliahan hingga hari ini.
Kami berharap, makalah kami ini dapat memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan,
khususnya dalam ruang lingkup Islam dan Budaya Minangkabau. Tetapi di balik semua itu, kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang
dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki Oleh karena itu, kami mengharapkan segala
bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Padang, 15 Maret 2022

Kelompok 4

1
Daftar Isi

Kata Pengantar… ....................................................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................................................... 2

Bab I : Pendahuluan ................................................................................................................... 3

a. Latar
Belakang ........................................................................................................................ 3
b. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 3

Bab II : Pembahasan................................................................................................................... 5

a. Gerakan Pemurnian ........................................................................................................ 5


b. Gerakan Kaum Tua dan Muda ....................................................................................... 7
c. Gerakan Tarekat .............................................................................................................9

Bab III : Penutup ......................................................................................................................14

a. Kesimpulan ................................................................................................................. 14
b. Saran ............................................................................................................................ 14

Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 15

2
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Agama Islam dan Minangkabau adalah dua istilah yang tidak bisa dipisahkan.
Orang Minangkabau sudah pasti beragama Islam. Sehingga dirasa perlu
membahas gerakan keagamaan yang pernah terjadi di tanah Minangkabau. Oleh
karena itulah, tidak heran muncul berbagai gerakan sosial yang bergerak di bidang
keagamaan di Ranah Minang.
Pada makalah ini, dibahas mengenai gerakan pemurnian atau purifikasi dalam
kehidupan sosial keagamaan di Minangkabau. Dalam hal ini, segala pertentangan
antara Kaum Adat dan Kaum Padri menjadi titik pusat gerakan purifikasi ini.
Semua itu muncul akibat penyimpanan yang jauh dari nilai agama Islam. Lalu ada
pula pembahasan mengenai gerakan kaum tua dan muda yang masih dalam satu
lingkup yang sama, yaitu gerakan sosial keagamaan.
Selain itu, muncul pula beberapa aliran tarekat yang banyak dianut oleh
masyarakat Minang. Dalam hal ini, terdapat dua tarekat besar yang dianut oleh
masyarakat Minang, yaitu tarekat Syattariyah dan Tarekat Naqsabandiyah.
Tarekat-tarekat ini biasanya dapat ditemui di surau-surau suluk atau rumah suluk
yang menganut aliran tarekat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud gerakan pemurnian di tanah Minangkabau?


2. Bagaimanakah gerakan pemurnian terjadi di tanah Minangkabau?
3. Apakah yang dimaksud gerakan kaum tua dan muda yang terjadi di
Minangkabau dalam bidang sosial keagamaan?

3
4. Bagaimanakah gerakan kaum tua dan muda yang terjadi di Minangkabau
dalam bidang sosial keagamaan?
5. Apakah yang dimaksud dengan tarekat?
6. Apa sajakah tarekat yang yang ada di Minangkabau?

4
BAB II

Pembahasan

A. Gerakan Pemurnian

Pada abad ke-16 M Islam sudah masuk ke Minangkabau, setelah kejatuhan Malaka,
terjadilah proses sinkretisme yang berjalan cukup lama. Pada masa ini masyarakat
mengemban konsep hidup damai yaitu Adat basandi syara', syara' basandi adat ( Marwati
Djoened P, Nugroho Notosusanto, 1993 : 168). Dengan beginilah mula-mula Islam
mengadakan penyesuaian dengan struktur dan landasan masyarakat Minangkabau yang
matrilineal, mengikuti garis keturunan ibu dalam sistem kekerabatan dan hak waris. Di akhir
abad ke-18 M situasi dalam masyarakat itu antara lain ialah adanya kecenderungan yang
makin menjadi-jadi pada kaum adat, seperti perjudian, sabung ayam, minum-minuman keras
dan madat. Kebiasaan seperti ini bahkan mendapat dukungan dari golongan raja, para
bangsawan, dan para penghulu (Kuntowidjojo, 1973 : 89). Dengan demikian adat sudah
meninggalkan syara', sehingga terjadi keprihatinan para ulama.
Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang sangat dihormati, mulai meletakkan dasar
pemurnian Islam dengan mengajak masyarakat kembali kepada ajaran Al-Qur'an dan
Sunnah. Namun, pendekatan damai yang dilakukannya tidak bisa diterima oleh muridnya
yang lebih radikal. Perpecahan guru dan murid ini adalah awal sesungguhnya dari "Gerakan
Paderi". Kelompok radikal ini mendapat kekuatan baru pada tahun 1803 M., ketika tiga
ulama ; Haji Miskin ( Pandai Sikat), Haji Sumanik (dari VIII Kota) dan Haji Piobang (dari
Lima Puluh Kota) pulang dari Mekkah. Mereka pulang dengan membawa semangat Islam
yang diilhami oleh Gerakan Wahabi yang puritan. Tiga orang haji dan penyikutnya dikenal
dengan kelompok Padri. Mereka melancarkan gerakan pemurnian Islam dari segala hal yang
menodainya. Akan tetapi, gerakan mereka mendapat tantangan keras dari pihak pembela
adat dan penganut tarekat sehingga menimbulkan konflik dan peperangan.

5
Dalam pandangan Kaum Padri ini, umat Islam di Minangkabau baru sekedar menganut
Islam, tetapi belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang hakiki. Gerakan Padri itu
sendiri ada yang mengelompokkan menjadi tiga periode. Periode yang pertama yaitu 1809-
1821. Pada periode ini adalah usaha pembaharuan dalam bentuk pemurnian (pembersihan)
oleh Kaum Padri terhadap penghulu adat dan masyarakat yang menyimpang dari ajaran
Islam. Pada periode ini terjadi konflik utama antara Kaum Padri (ulama) dengan adat
(penghulu). Periode kedua pada 1821-1832. Periode ini adalah peperangan dan pertempuran
antara Padri dengan Kolonial Belanda yang dibantu oleh kaum adat. Periode ketiga pada
1832-1837. Sebagai periode terakhir dari Padri, di sini konflik terjadi antara Padri yang
berintegrasi dengan kaum adat melawan Kolonial Belanda.1
Karena Tuanku Koto Tuo menolak untuk menjadi pemimpin, maka mereka meminta
kesediaan Mensiangan, putra dari Tuanku Koto Tuo untuk bertindak menjadi pemimpin.
Pada mulanya gerakan kaum Padri dilakukan dengan jalan nasehat-nasehat melalui ceramah
agama yang diselenggarakan di surau atau masjid. Konflik terbuka dengan kaum adat
terjadi, ketika kaum adat mengadakan pesta menyabung ayam di Kampung Batu Batabuh
(Kuntowidjojo, 1973:106). Tindakan pesta maksiat tersebut mengundang kemarahan kaum
Paderi, sehingga Tuanku Koto Tuo yang sudah tua dan tidak suka akan tindakan kekerasan
pun ikut mengecam tindakan dari kaum adat.
Peristiwa itu menandai dimulainya perang Paderi melawan kaum adat. Kedua belah pihak
memiliki seragam yang khas, yaitu kaum Paderi berpakaian putih-putih dan kaum adat
berpakaian hitam-hitam. Kaum putih menentang seluruh sistem adat yang telah sejak lama
menjadi bagian dari tradisi Minangkabau pra Islam. Mereka berusaha menghapus dan
mengganti kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut dengan kebiasaan islami. Hal itu
mendapat pertentangan dari golongan adat yang ingin mempertahankan tradisi turun-
temurun itu. Dalam konflik antara kaum adat dan kaum Paderi tidak semua penghulu dari
kaum adat yang melawan dan memusuhi kaum Paderi, bahkan cukup banyak penghulu yang
berpihak kepada Paderi. Di samping itu, penghulu di Lembah Alahan Panjang mengikuti
jejak kaum Paderi. Di antara penghulu tersebut berasal dari daerah Lubuk Ambacang,
Jambak, Koto, Padang Lawas, Pasir, Mandiri, Padang Sikaduduk, Chaniago, Marapak, dan

1 Abdul
Qadir Djaelani, Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia (Jakarta, Yayasan Pengkajian Islam
Madinah Munawarah dan Bee Media,,2016) hal. 264-265

6
lain sebagainya. Penghulu yang berpengaruh di Alahan Panjang, Datuk Bandaro, merupakan
pemimpin Paderi di sana. Di daerah Tanah Datar dipimpin oleh Tuanku Pasaman, yang
kemudian bergelar Tuanku Lintau.
Di daerah Luhak Agam, para tuanku mengadakan persatuan dan kebulatan tekad untuk
memperjuangkan tegaknya syara’ dan membasmi kemaksiatan. Mereka terdiri dari : Tuanku
Nan Renceh, Tuanku Basa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas,
Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Sanang. Kedelapan ulama
ini disebut dengan Harimau Nan Salapan (Taufik Abdullah, 1991:155-156).
Di antara kedudukan kaum Paderi yang paling kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan
benteng yang cukup besar; di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan tiga gubuk
kecil. Ketika Datuk Bandaro meninggal karena terkena racun, ia digantikan oleh Muhammad
Syahab atau Pelo (Pendeto) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.

B. Gerakan Kaum Tua dan Muda

Istilah kaum muda dan kaum tua menjadi terminologi tak terpisahkan dari sejarah serta
perkembangan Islam modern di Minangkabau. Sejak era tiga orang haji (Haji Miskin, Haji
Sumanik, Haji Piobang) yang mengawali gerakan Paderi era 1800an, kemudian gerakan
pembaharuan 1900, termasuk dua arus masyarakat yang saling terpisah itu, tidak bisa lepas
dari proses perjalanan sejarah sosial suku ini. Detak dan warnanya pun masih terasa hingga
saat sekarang.
Pemisahan atau dikotomi itu sendiri sudah dimulai saat dua kelompok, kaum putih (Islam)
dan kaum hitam (adat) terbentuk melalui gerakan pemurnian yang dilancarkan kelompok
Paderi. Kondisi itu kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaharuan abad 20 yang
menghadapkan antara Kaum muda yang diidentikkan sebagai kelompok modernis melawan
kaum tua yang tradisionalis.
Pengelompokan ini melahirkan pertentangan terus menerus, yang seolah tak memiliki titik
temu atau persamaan antara satu dengan yang lain. Paradigma yang terlihat, memang seperti
demikian adanya, karena tak ada wacana serta ide atau jalan tengah yang muncul serta
mencoba menjembatani dua kutub tersebut.

7
Sosok pemadu pemikiran dua aliran tersebut lahir pada 15 Agustus 1882 di desa Air
Mancur, Padang Panjang dan wafat pada 15 Juni 1963 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia
tumbuh dan besar serta belajar langsung dengan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi
(1860-1916) selama 12 tahun, sebelum kemudian pulang ke Balai Gurah, Bukittinggi pada
1904 saat berusia 19 tahun.
Secara umum kaum tuo boleh didefinisikan sebagai ulama-ulama tradisional yang
berpegang kepada tradisi konservatif atau mempertahankan yang lama. Sesuai dengan
pengertian konservatif, ulama-ulama ini sebagaimana biasanya cuma melihat sejarah atau
masa lampau sebagai sumber inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan. Di dalam
banyak perkara, mereka lebih suka mengekalkan status quo sesuatu amalan yang telah lama
bertapak di dalam masyarakat. Namun, menurut Martin Van Bruinessen, pada masa kolonial,
kekhawatiran Belanda cukup besar dengan segala bentuk kegiatan kaum tradisionalis,
khususnya mereka yang bergabung dalam kelompok tarekat
Kaum Tuo atau dikenali sebagai 'Khalafi' yang berpegang secara umum kepada mazhab
Syafi’i berhasrat untuk memudahkan orang awam yang dirasakan kebanyakannya kurang
mampu untuk mengikuti kaedah tersebut, lalu mereka mempopulerkan cara taqlid sebagai
medium penyatuan dalam masyarakat dan juga ibadah, selain menganugerahkan kemudahan
buat masyarakat yang mayoritasnya tidak mempunyai kemampuan untuk mengkaji secara
mendalam hingga ke tahap dalil bagi sesuatu ibadah.

Hakikat Kaum Tua dan Kaum Muda

Kriteria atau hakikat kaum tua di Minangkabau ini mengandung empat macam prinsip
utama. Sedangkan kriteria dari Kaum Muda mengandung tiga prinsip utama. Pertama,
pemurnian agama dari segala hal yang tidak berasal dari ajaran yang disampaikan oleh
Rasulullah. Kedua,pembaharuan dalam pemikiran dan pemahaman ajaran agama-agama.
Dan ini berarti keharusan Ijtihad dan menjauhi kejumudan. Ketiga, modernisasi dalam
bidang pendidikan, sosial dan politik.
Hakikat kaum tua yang Pertama, bahwa dalam bidang ‘aqidah, mereka adalah penganut
aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipimpin oleh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Kedua, bahwa dalam syari’ah mereka menganut mazhab Syafi’i semata-mata.

8
Ketiga, bahwa mereka membenarkan dan merasa berkewajiban untuk mempertahankan
aliran-aliran thariqat yang mu’tabarah (sah dan boleh diamalkan, menurut penilaian
mereka). Keempat, bahwa mereka ingin tetap mempertahankan tradisi,
adat kebiasaan yang telah melekat dalam berbagai macam amalan
Pertentangan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo tidak lagi hanya terpaut dalam masalah
tarekat, tetapi merembes ke soal-soal praktek keagamaan lain yang umumnya diamalkan
oleh masyarakat Minangkabau. Debat dan polemik antara kedua kelompok ini berlansung
dalam masa yang cukup panjang, melibatkan banyak tokoh, menggunakan banyak dalil dan
bahkan menghasilkan kepustakaan yang lumayan. Terlepas dari berbagai aspek lain yang
timbul dari akibat polemik tersebut, masyarakat Minangkabau dapat memetik hikmahnya.
Hikmah tersebut antara lain, adalah berkembangnya kajian imiah keislaman, baik di
kalangan muda maupun
dikalangan tua.

C. Gerakan Tarekat

Secara bahasa, tarekat berasal dari bahasa Arab, yaitu ‫ طريقة‬, yang jamaknya adalah ‫طراءق‬.
Yang artinya adalah jalan atau petunjuk jalan atau cara, metode, sistem, mazhab, aliran,
haluan, keadaan, tiang tempat berteduh, tongkat, payung. Lalu secara terminologi, tarekat
adalah tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju
Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.2
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian
bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan
diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi yang ditandai dengan
adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan,
sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah
suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan
ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan
kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
2 Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M)

9
Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana
mayat di tangan orang yang memandikannya.
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah
laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai
berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau telah mengalami fase-fase
perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama
adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua
adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. Ketiga
adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan
Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di
seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.
Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau
yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan
kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru
Islam yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi
corak tehadap adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui
sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah "Adat basandi syara’,
Syara’ basandi Kitabullah.”
Dalam hal ini, ada beberapa gerakan tarekat yang muncul di tanah Minangkabau, yaitu
sebagai berikut:

1. Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada
abad ke 15. Tarekat ini dinisbatkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxania (Asia Tengah) dengan
nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai
tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah
tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun.

10
Tarekat ini memiliki ajaran bahwa alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad.
Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah
yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah.
Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang
berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang
Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian
sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu
pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa
cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu
semua tampak sebagai pantulan dari seorang saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya
gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termasuk dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai
huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap
(tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya.
Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf
itu berada di dalam ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap
sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya
segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
Tarekat Syatariyah di Sumatera Barat Pengembangan Islam oleh ulama di
Minangkabau secara umum menggunakan jalur tarekat, begitu oleh Syekh
Burhanuddin, sampai pada gurunya Syekh Abdur Rauf jugat memakai pendekatan
tarekat sebagai media. Peran tarekat dalam penyebaran agama Islam di Minangkabau
tidak. diragukan lagi. Pendekatan empati, rasionil, dan menonjolkan nilai-nilai moral
serta melakukan adaptasi terhadap budaya. lokal menjadi sangat ampuh dalam
Islamisasi. Tasawuf yang berkembang di Nusantara, termasuk Minangkabau sudah
melembaga dalam tarekat. Diterimanya tarekat oleh masyarakat tidak bisa dilepaskan
dari aspek historis. Sebelum Islam datang, masyarakat sudah menganut kepercayaan
yang berkaitan dengan kebatinan

11
Pengembangan Islam yang demikian pesat dan masuk jauh kepedalaman
Minangkabau dapat terjadi melalui institusi surau. Surau dapat memainkan perannya
sebagai unsur kebudayaan asli suku Melayu dan berkaitan dengan keyakinan yang
dianutnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada masa awal, umumnya bercorak
tasawuf, dalam bentuk tarekat. Tarekat Syathariyah adalah tarekat yang dipelajari dan
diamalkan di surau-surau priode awal Islam di Minangkabau. Melalui pendekatan
ajaran tarekat Syathariyah, Syeikh Burhan al-Din menanamkan ajaran Islam kepada
masyarakat Ulakan. Bahkan sampai saat ini di Ulakan Pariaman tarekat Syathariyah
masih tetap eksis dan berpengaruh besar di Minangkabau.

2. Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat ini pertama kali muncul pada abad 14 M di Turkistan. Pencetusnya
bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian
mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal
tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M. Tarekat ini mengutamakan pada
pemahaman hakikat dan tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani
yang spesifik.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke
daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Ciri yang menonjol
dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam
beribadah serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati.
Di Indonesia, pengikut tarekat ini cukup banyak. Di Pulau Sumatera pun cukup
merata. Salah satu daerah yang banyak pengikut tarekat ini adalah Sumatera Barat.
Penyebaran tarekat ini dilakukan dengan menurunkan ilmu suluk dari guru besar
kepada murid-muridnya di surau.
Selain penetapan Ramadhan, tidak ada perbedaan dalam tata cara beribadah di
Tarekat Naqsabandiyah. Seluruhnya dilaksanakan seperti yang tercantum dalam
Alquran dan hadits.
Menurut Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau
sejak tahun 1850 M (Bruinessen, 1992). Hal senada juga dijelaskan oleh Schrieke,

12
bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi merupakan mursyid pertama yang
mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada tahun 1850 M
(Schrieke, 1973). Akan tetapi pendapat Bruinessen dan Schrieke ini terbantahkan
berdasarkan naskah ijazah tarekat Naqsyabandiyah bertahun 1334 H yang diberikan
oleh Syekh Abd al-Rahman, yang merupakan khalifah dari Syekh Ibrahim Kumpulan,
kepada Syekh Muhammad Syarif melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan, dari Syekh
Abdullah Afandy, yang merupakan salah seorang khalifah dari Syekh Khalid al-Kurdi.
Pendapat Bruinessen dan Schrieke sebelumnya hampir mirip dengan hasil
penelitian terbaru dari Hadi. Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah berkembang pada
awal abad ke-19 M melalui kawasan Pantai Timur Sumatera Barat atas jasa Syekh
Ismail al-Minangkabawi. Pendapat Hadi bersandarkan pada naskah kitab al-Manhal
al-'Adhb li Dzikr al-Qalb yang menurutnya ditulis oleh Syekh Ismail al-
Minangkabawi di Riau pada tahun 1829 M. Berdasarkan temuan ini, Hadi
menyimpulkan bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau dan
mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah sejak tahun 1829 M

13
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

Dalam Islam Minangkabau, muncul berbagai jenis gerakan sosial keagamaan dalam
masyarakatnya. Semua gerakan itu muncul dari berbagai persoalan yang
melatarbelakangi semua itu. Beberapa di antara gerakan keagamaan itu ada yang
mendapat pertentangan antara satu sama lainnya. Tetapi semua itu tidak bermaksud
menimbulkan perpecahan. Yang walaupun pada awalnya konflik memang terjadi. Tetapi
kemudian masyarakat menjadi bersatu padu dalam membesarkan nama Islam dalam
Minangkabau.
Semua gerakan sosial keagamaan yang sudah pernah terjadi di masa silam masih bisa
kita rasakan dampaknya hingga saat ini. Hal itu karena masyarakat Minang menganggap
Islam adalah agama mereka. Sehingga gerakan purifikasi, gerakan kaum tua dan muda,
dan tarekat yang dimulai di masa lalu masih lestari hingga kini. Hal itu dikarenakan
semua itu didasarkan pada satu dasar yang sama, yaitu Islam sebagai agama di Ranah
Minang.

B. Saran

Mungkin hanya itulah pemaparan dalam makalah kami terkait Islam Minangkabau dan
gerakan sosial keagamaan. Dalam hal ini, kami berharap makalah ini dapat memberikan
kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Tetapi dari semua itu, kami menyadari bahwa
makalah yang kami susun masih terdapat banyak kekurangan di sana sini. Sehingga kami
memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah kami ke
depannya.

14
Daftar Pustaka

Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalid


(CET.Ke-2), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995

HB, Zulfahmi dan Rusli. 2022. Islam dan Budaya Minangkabau. Padang . UIN IB Press

Istadiyantha. 2006. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis. Solo. Dalam
http://istayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi-2006.doc diakses tanggal 9 Maret 2022.

Lathief, Sanusi. 1988. Gerakan Kaum Tua di Minangkabau. Disertasi, Jakarta: Fakultas
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.

Nova, Yosi. 2021. Penengah Kaum Muda dan Tua di Minangkabau. Media Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai