html
DIRISALAH ISLAMIYAH II
1. Khalifah Rasyidah
Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi janazahnya
dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshor berkumpul dib alai kota Bani
Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi
pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak, baik
muhajirin maupun anshor sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat
Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu
Bakar terpilih. Rupanya semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan
yang tinggi dari umat Islam,[1] sehingga masing-masing pihak menerima dan
membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah
Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut
khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk
menggantikan tugas beliau sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Tampaknya, kekuasaan yang dijalankan Abu Bakar, sebagaimana pada masa
Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda kepemerintahan, khalifah
juga melaksanakan tugas hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi
Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya
bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah
dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya
dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan
perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar ternyata diterima
masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut
dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dan pengganti Rasulullah). Ia juga
memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama
terjadi, ibu kota Syiria, Damaskus, jatuh tahun 635 M. dan setahun kemudian,
setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiria
jatuh kebawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi
diteruskan ke Mesir di bawah kepemimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dank e Irak dibawah
pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun
641 M. dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qudsiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Irak, jatuh pada tahun 637 M. dari saba peperangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada
tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab. Palestina, Syiria,
sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[2]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur
administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah
propinsi: Makkah, Madinah, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur
dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan
dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga
pekerjaan umum.[3] Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang dan
menciptakan tahun hijrah.
Di masa pemerintahan Usman ibn Affan (644-655 M), Armenia, Tunisia,
Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan
berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini. Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa paroh terakhir masa
kekhalifaannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam
terhadapnya, kepemimpinan Usman memang berbeda dengan kepemimpinan Umar.
Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan
sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35 H / 655 M, Usman dibunuh
oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap
kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam
kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah
pada dasarnya yang menjalankan roda kepemerintahan, sedangkan Usman hanya
menyandang gelar khalifah.[4] Setelah banyak keluarganya yang duduk dalam
jabatan-jabatan penting. Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya itu. Dia
tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga
tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh
kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri. Dengan demikian
bukan berarti bahwa pada masa Usman tidak ada kegiatan-kegiatan penting.
Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga yang membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib
sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun
dalam masa pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki
jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia
yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka.
Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali
sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar.[5]
Tak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan
Aisyah. Alas an mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan
mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara
zalim. Kedudukan Ali semakin lemah sebagai khalifah kemudian dijabat oleh
anaknya, Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah,
sementara Mu’awiyah semakin kuat. Maka Hasan membuat perjanjian damai.
Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu
kepemimpinan politik. Dibawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Disisi lain Mu’awiyah
juga menjadi penguasa absolute dalam Islam.
2. Khalifah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi
monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifaan Mu’awiyah diperoleh
melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mua’wiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Mu’awiyah bermaksud mencontoh kepada monarchi di Persia dan Bizantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi
baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jawaban tersebut. Dia menyebutnya
“khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa yang diangkat oleh Allah”.[6]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara
dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai
gubenur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd. Al-Malik ibn Marwan (685-705 M),
Al-Walid ibn Abd. Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan
Hasyim ibn Abd. Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali
oleh dinasti ini. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasi daerah Khurasan
samapi ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur
yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Abd. Al-Malik, dia mengirim
tentara menyebrangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawariz, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan
dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
3. Khalifah Bani Abbas
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana
disebutkan, melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah, dianamakan khalifah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-
Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-
Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H / 750 M s/d
656 H / 1258 M. selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerinthan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode;
a. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
b. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh
Turki pertama.
c. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
d. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasni Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut
juga masa pengaruh Turki kedua.
e. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif disekitar kota
Baghdad.
3. Perang Salib
Gerakan penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan
adalah peristiwa Manzikart (464 H/1071 M). tentara Alp Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara
Romawi yang berjumlah 200.000 orang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-
Akraj, Al-Hajr, Prancis dan Armenia. Peristiwa ini menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian
mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk dapat
merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah,
Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang
ingin berziarah ke Bait al-Maqdis. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan
mereka.[9] Untuk memperoleh kembali keleluasan berziarah ke tanah suci
Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di
Eropa supaya melakukan perang suci.[10] Perang ini kemudian dikenal dengan
nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode;
a. Periode Pertama; tahun 1095 M., 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Prancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel, kemudian ke Palestina.
Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini
memperoleh kemenangan besar. Setelah menaklukkan Bait al-Maqdis, tentara
Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli
(1109 M), dan Tyre (1124 M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV.
Rajanya adalah Raymond.[11]
c. Periode Ketiga; tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman,
Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke
Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Perang
Salib yang berkobar di timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam terusir dari sana. Walaupun umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerah dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka
derita bayak sekali, karena peperangan terjadi di kawasan Islam.
a. Periode Pertama (711-755 M); Spanyol berada dibawah pemerintahan para wali
yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada
periode ini stabilitas negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-
gangguan masih terjadi, baik dari dalam (perselisihan para elit penguasa dalam
perbedaan etnis dan golongan) maupun dari luar (sisa-sisa musuh Islam yang
berada di daerah-daerah di Spanyol).
c. Periode Ketiga (912-1013 M); pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai
puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Baghdad.
Abd. Al-Rahman Al-Nashir mendirikan Universitas Cordoba. Perpustakaannya
memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan
pendiri perpustakaan pada masa itu, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan
dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
d. Periode Keempat (1013-1086 M); Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh
Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al-Mulukuth
Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordoba, Toledo dan
sebagainya.
e. Periode Kelima (1086-1248 M); Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam
beberapa Negara, tapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan
Dinasti Murabithun (1086-1143) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M).
f. Periode Keenam (1248-1492); pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah
Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). peradaban kembali
mengalami kemajuan seperti zaman Abdurrahman An-Nashir, akan tetapi secara
politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang
merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir.
3. Kemajuan Peradaban
Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam
telah mencapai kejayaan, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan
pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia pada kemajuan kompleks.
Antara lain:
a. Kemajuan Intelektual b. Kemegahan Pembangunan Fisik
1) Filsafat 1) Cordova
2) Sains 2) Granda
3) Fiqih
4) Musik dan Kesenian
5) Bahasa dan Sastra
1. Kerajaan Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami
daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga
abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk
Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia
Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka
melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian ditengah-tengah
saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.[15]
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas
dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan di bidang-bidang
kehidupan yang lain, diantaranya: a) Bidang kemeliteran dan kepemerintahan, b)
Bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan c) Bidang keagamaan.
2. Kerajaan Safawi di Persia
Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya. Kerajaan
Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam
perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani.
Berbeda dari dua kerajaan Islam lainnya (Usmani dan Mughal), kerajaan Safawi
menyatakan; Syi’ah sebagai madzhab Negara. Karena itu, kerajaan ini dapat
dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik.
Di bidang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan-kemajuan
itu antara lain: a) Bidang ekonomi, b) Bidang ilmu pengetahuan, dan c) Bidang
pembangunan fisik dan seni.
3. Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan
Safawi. Jadi, diantara tiga kerajaan Islam tersebut, kerajaan inilah yang
termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak buah India.
Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah Al-Walid, dari
Dinasti Bani Umayyah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani
Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim.[16]
Kemajuan yang dicapai oleh tiga sultan pasca Akbar antara lain:
a. Kemantapan stabilitas politik
b. Bidang ekonomi
c. Bidang seni dan budaya.
Karya seni yang masih bias dinikmati sekarang dan merupakan karya seni
terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah
dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila,
dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid
berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di
Lahore.[17]
H. KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR (1700-1800 M)
1. Renaisans di Eropa
Pada awal bangkitnya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Di
hadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit
dikalahkan, terutama kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan
lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai
dinding yang membatasi gerak mereka.[21] Mereka melakukan berbagai
penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukkan lautan dan menjelajahi
benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Setelah Christoper Colombus
menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan ke
timur melalui Tanjung Harapan (1498 M), Benua Amerika dan kepulauan Hindia
segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkira
nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung
lagi pada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa
adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena
kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan
dipandang masih cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan meliter Eropa
waktu itu. Negeri Islam yang pertama kali dapat dikuasi Barat adalah negeri-
negeri Islam di Asia Tenggara dan di Anak Benua India. Sementara, negeri-
negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani,
baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.
2. Penjajahan Barat terhadap Dunia Islam
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kerajaan Mughal
adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal itu mengundang Eropa yang
sedang mengalami kemajuan untuk berdagang kesana. Di awal abad ke-17 M,
Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M, Inggris
mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M Belanda mendapatkan
izin yang sama.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang yang merupakan
daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan
Negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan
kekuasaannya. Hal ini mungkin dikarenakan, disbanding dengan Mughal, kerajaan-
kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat
ditaklukkan. Sebagaimana di India, di Asia Tenggara kekuasaan politik Negara-
negara Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika
negeri-negeri jajahan tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan asing.
3. Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan Eropa dalam teknologi meliter dan industry perang membuat
kerajaan Usmani menjadi kecil dihadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki
Usmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah
yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam, termasuk daerah-daerah yang
berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar kerajaan Usmani dalam
menghadapi serangan Eropa di Wina (1683 M) membuka mata Barat, bahwa
kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah kerajaan Usmani
berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari Barat.[22]
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-
negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri
menyebabkan membutuhkan barang-barang baku, disamping rempah-rempah.
Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasarkan hasil
industri mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik
diperlukan sekali. Akan tetapi, persoalan agama seringkali terlibat dalam
persoalan politik penjajahan Barat atas negeri-negeri Islam. Terutama perang
Salib agaknya membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan
Spanyol, karena dua Negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di
bawah kekuasaan Islam.
4. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat
Islam, bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama
merasakan hal itu diantaranya; Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama
dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan
pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya dikenal
dengan istilah “Gerakan Pembaharuan” didorong oleh dua faktor yang saling
mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang
sebagai penyebab kemunduran Islam dan membina gagasan-gagasan pembaharuan
dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama Gerakan Wahabiyah yang
dipelopori oleh Muhammad ibn Abd. Al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah
Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang
dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Yang kedua, tercermin dalam
pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke
Negara-negara Eropa untuk menimbah ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan
gerakan penerjemahan karya-karya Barat kedalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar
muslim asal India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri
melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan
dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau
lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan ini
pada mulanya banyak mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena
dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia
berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup. Gagasan-gagasan
nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan dari dari kekuasaan
penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya.
5. Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai
politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk
mewujudkan Negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam
kenyataan, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari dari
kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa
bentuk kegiatan, seperti; a) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun
perjuangan bersenjata, dan b) pendidikan serta propaganda dalam rangka
mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
Namun, sampai saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan
otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka
sendiri. Mereka itu adalah penduduk mayoritas muslim dalam Negara-negara
nasional, Kasymir di India, Moro di Filipina, dan sebagainya. Meski mereka hidup
dalam Negara mereka, namun status sebagai minoritas seringkali menyulitkan
mereka dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.
J. KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai
pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi
sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia
dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.[23] Wilayah Barat Nusantara
dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik
perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para
pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai
ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1 H), ketika
Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum
ditaklukkan Portugis (1511 M), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan
dan pelayaran. Melaui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh
pelosok Nusantara dibawah ke Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan
hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian,
Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.
Pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula
dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim. Menjelang abad ke-13
M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di
Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang
berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang
berasal dari abad ke-13 M merupakan berkembangnya komunitas Islam.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan agama Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.
2) Adanya komunitas-komunitas Islam di berbagai daerah kepulauan Indonesia.
3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[24]
b. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kabupaten Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui
kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan
Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh
Muzaffar Syah (1465-1497 M). dialah yang membangun kota Aceh
Darussalam.[27] Pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mengalami
kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim
sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh.
Setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka
oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya jauh dari laut Jawa ke utara
melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur
pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai
oleh saudagar dari berbagai negeri.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1608-1637 M). pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan
pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan
diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang menangkis
kekuatan-kekuatan Islam yang datang.
b. Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan
Demak. Kesultanan yang terletak di daerah kartasura sekarang itu merupakan
kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia
kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih
oleh kerajaan Mataram.
Sultan pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari
Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh raja Demak ketiga, Sultan Trenggono.
Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya
dikawinkan dengan anak perempuannya. Kemudian penguasa Pajang itu, menurut
Babad, dibangun dengan mencontoh Keraton Demak.
Riwayat panjang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu
memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang
dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
c. Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang
meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk
menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah
atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan
yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram (1577 M). dia
digantikan oleh puteranya, Senopati (1584) dan dikukuhkan oleh Sultan Pahang.
Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pengeran
Benawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan kekuasaan atas Pajang kepada
Senopati. Meskipun senopati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan,
diantaranya Gong Kiai Skar Delima, Kendali Kiai Macan Guguh dan Pelana Kiai
Jatayu.[32] Namun, dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu
sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.
d. Cirebon
e. Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad le-16, Cirebon masih merupakan
sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya
menempatkan seorang juru labuhan disana, bernama Pangeran Walangsungsang.
Seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika
berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah
lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa
dan Banten. Dasar pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di
Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan
raja-raja Banten.
f. Banten
Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berada dibawah kekuasaan raja-
raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi
kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebut-sebut
nama Wahenten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota
pelabuhan di ujung pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung
Jati, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi
perdagangan orang-orang Islam disana.[33]
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima
Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan
jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang
berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya.
Namun, menurut cerita Barros. Penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui
jalan damai. Sebagaimana disebut oleh sumber-sumber tradisional. Beberapa
pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh
kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang tiba-
tiba.
b. Maluku
Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan
Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke-15, sekitar tahun 1460. Raja
Ternate Vongi Tidore, memeluk agama Islam. Ia mengambil istri keturunan
ningrat dari Jawa. Di masa itu, gelombang perdagangan muslim terus meningkat,
sehingga raja menyerah pada tekanan para pedagang muslim dan memutuskan
belajar tentang Islam pada Madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja
Bulawa atas raja Cengkeh, mungkin karena ia membawa cengkeh dan yang
terakhir kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.
c. Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya
disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya
pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-
Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik
dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah
pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan
dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa
Gowa-Tallo untuk menganut Islam. Tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri
Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan
ini.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah
kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah sultan Agung. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara kerajaan
Mataram dengan VOC mulai terjadi. Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat
muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan
tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
samping itu, Banten juga menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampung dan
Palembang.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram dan Ambon sebagai pangkal atau
ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin
menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan
berhasil menggalakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol.[36] Namun, ia
mendapatkan ancaman dari Belanda yang datang ke Indonesia.
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha
perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa.
Perseroan Amesterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke
Indonesia pada tahun 1595, terdiri dari empat kapal. Melihat hasil yang
diperoleh Perseroan Amesterdam itu, banyak perseroan lain yang berdiri yang
juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC Nampak ingin
melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya yang ingin mneguasai perdagangan
Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa
kepentingannya terancam. Sistem monopoli ini bertentangan dengan sistem
tradisional yang dianut oleh masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan
kehendak dengan kekerasan makin memperkuat sikap permusuhan pribumi.
Namun, secara politis VOC dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia
dalam waktu yang cepat.
Dari sebab itulah muncul perlawanan-perlawanan dari orang pribumi untuk
mengusir Belanda dari Nusantara. Dan beberapa peristiwa perlawanan besar
terjadi tanpa mengucilkan peristiwa yang lain, yaitu: Perang Paderi di
Minangkabau, Perang diponegoro, Perang Banjarmasin, dan Perang Aceh.
2. Kairo (Mesir)
Kota Kairo dibangun pada 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh Panglima perang
Dinasti Fathimiah yang beraliran Syi’ah. Jawhar Al-Siqili, atas perintah
Fathimiah, Al-Mu’izz Lidinillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti
tersebut. Bentuk kota ini merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun pagar
tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya.
Pagar tembok ini memanjang dari Masjid ibn Thulun sampai ke Qal’at Al-Jabal.
Daerah yang dilalui oleh dinding ini sekarang disebut al-Husniyah, Bab al-Luk,
Syibra, dan Ahya Bulaq.[41]
Kota yang terletak di tepi Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan,
yaitu pada masa dinasti Fathimiah, Shalah al-Din al-Ayyubi dan di bawah Baybars
dan an-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Dinasti Fahtimiah ditumbangkan oleh
dinasti ayyubiyah yang didirikan oleh Shalah al-Din al-Ayyubi, seorang pahlawan
Islam yang terkenal dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-
lembaga yang didirikan oleh dinasti Fathimiah tetapi mengubah orientasi
keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga
baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum.
Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus-
kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar
teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain
adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.[42]
3. Isfahan (Persia)
Isfihan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan
Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy,
tempat berdirinya Syahrastan dan Yahudiyah yang didirikan oleh Buchtanashshar
atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[43]
Ketika raja Safawi, Abbas I, menjadikan isfihan sebagai ibu kota
kerajaannya, kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini
terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak
ditengah kota. Sementara dua lainnya dipinggiran kota. Kota ini ketika berada di
kekuasaan Safawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan
delapan buah pintu. Di dalam kotak berdiri banyak bangunan, seperti istana-
istana, sekolah-sekolah, masjid, menara, pasar dan ruamh-rumah yang indah,
terukir rapi dengan warna yang menarik. Masjid Syah yang didirikan oleh Abbas ,
merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak.
Disamping itu, juga ada lapangan dan tanaman yang terawatt baik dan menawan.
4. Istanbul (Turki)
Istanbul adalah ibu kota kerajaan Turki Usmani. Kota ini sebelumnya
merukan ibu kota kerajaan Romawi Timur, yang bernama Konstantinopel. Sebagai
ibu kota, di sinilah tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan
perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Bangsa Turki Usmani banyak
mengambil pelajaran etika dan politik dari bangsa Persia. Sebagai bangsa yang
berasal dari Asia Tengah, Turki memang suka berasimilasi dan senang bergaul
dengan bangsa lain. Dalam bidang kemeliteran dan kepemerintahan, kebudayaan
Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki Usmani. Namun, jauh sebelum
mereka berasimilasi dengan bangsa lain, sejak pertama mereka masuk Islam,
bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam bidang agama, ilmu, prinsip-
prinsip kemasyarakatan, hokum, huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajaan.
2. Setelah Kemerdekaan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sejak awal kebangkitan
nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan poltik
atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang
bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat; Negara Indonesia
merdeka hendaknya merupakan Negara “sekuler”, Negara yang dengan jelas
memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara
Turki oleh Mustafa Kemal. Golongan lainnya berpendapat; Negara Indonesia
merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat ini terlihat sebelum
kemerdekaan dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim.
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para
pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak memikirkan alternative “jalan
tengah” dari dua pendapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang
mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai
keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam
kerangka itulah, Departemen Agama didirikan, yang menangani berbagai macam
persoalan tentang keagamaan, antara lain: pendidikan, haji, hokum Islam,dan
MUI.