Anda di halaman 1dari 10

Makalah Sakral dan Profan

sakral dan profan tidak bisa terlepas dari diri manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial

yang serba berubah dan suka mencoba sesuatu hal yang belum diketahuinya yang biasa juga

disebut dengan trial and arror atau mencoba-coba sesuatu. Rasa ingin tahu manusia sampai

kepada sesuatu hal yang sakral atau yang dia anggap sakral. Ketika sesuatu itu di luar

kemampuannya dan mereka tidak sanggup menembusnya, lalu mereka anggap suci, maka

mereka anggaplah itu sesuatu yang sakral, namun apabila masih dapat dijangkaunya, dia

menganggap sesuatu itu biasa-biasa saja. Sikap sakral dan profan ini terus menjalar dalam

kehidupan manusia, sehingga pemahaman tentang sesuatu yang disakralkan itu menyimpang dari

ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terjadi disebabkan mereka yang beragama

ardhi (bumi) masuk ke dalam agama Islam, namun ajaran-ajaran atai ritual-ritual yang ada di

dalam agama mereka terikut dalam praktek ibadah mereka sehari-hari, ditambah lagi dengan

pengetahuan umat Islam yang kurang tentang pemahaman akidah sehingga praktek-praketk adat

yang salah yang berlaku dikalangan mereka, mereka masukkan dalam praktek ibadah mereka. 

Jadi mereka salah atau keliru dalam memandang sesuatu itu, yang profan dan anggapan mereka

adalah suci, itulah yang sakral, dan sebaliknya sesuatu yang sakral dianggap hanya profan

(duniawi) saja. Sampai saat sekarang ini sebagian orang atau masyarakat menganggap sesuatu

yang sakral itu profan (duniawi), bahkan yang nyata-nyata profan (duniawi) malah mereka

menganggapnya sakral. Penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang juga merupakan

pensakralan yang menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan ini sangat keliru sekali dan

merupakan pola piker yang salah yang harus dibetulkan. Oleh karena itu, di dalam makalah yang
tipis ini Penulis akan menjelaskan semampu daya penulis, yang mana seharusnya dianggap

sakral dan mana yang bukan sakral.

B. Sakral dan Profan

Sebelum kami menjelaskan tentang sacral dan profan ada baiknya kami mulai makalah ini

dengan sebuah contoh. Seorang polisi lalu lintas berbadan besar itu memarkir sepeda motor

besarnya di salah satu bagian perempatan jalan, menutup lalu lintas salah satu arah di kawasan

Baixa, Lisabon itu. Arah yang satu masih boleh dilewati untuk sementara, katanya. Turis-turis

berhenti, bertanya apa yang terjadi. Bukannya pejabat tinggi akan lewat dengan mobil yang

didahului petugas pembuka jalan dengan motor bersirine yang membuat lalu lintas bagian kota

yang ramai turis itu dihentikan. Yang akan lewat adalah sebuah iring-iringan orang berjalan

perlahan-lahan, sebagian membawa benda-benda religius, sebagian membawa bunga dan lilin,

dan semua menyanyikan lagu-lagu agamawi.

Prosesi religius adalah hal yang kerap dijumpai pengunjung yang datang ke Portugal, negeri

yang mayoritas penduduknya beragama Katolik itu. Prosesi sangat panjang suatu hari di bulan

Juni itu adalah untuk memperingati Tubuh Kristus. Yang membuat pengunjung menyadari

bahwa ritual ini adalah bagian penting dalam hidup keagamaan mereka adalah bahwa upacara

"disiarkan" sampai ke sudut-sudut kawasan itu lewat pengeras suara yang dipasang di lantai dua

gedung-gedung sepanjang jalan-jalan kawasan Baixa. Suara pemimpin upacara menggema di

mana-mana, membuat peserta prosesi bisa menyanyi bersama mengikuti, tanpa satu kelompok

mendahului yang lain.


Bulan Juni adalah juga saat peringatan orang-orang suci Katolik. Di Portugal itu ditandai dengan

berbagai pesta dan ritual, baik yang termasuk suci seperti prosesi Tubuh Kristus itu, serta yang

termasuk profan, seperti pesta dan parade Hari Santo Antonio pada 12 Juni. Kalau orang

mengherani apa yang menandai kekatolikan pesta itu, orang mungkin bisa menyebut bahwa

namanya yang peringatan hari Santo Antonio itu yang menandai. Dari sebuah contoh ini,

manakah yang dianggap sacral dan manapula yang profan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sakral adalah sesuatu yang keramat atau suci . [1]Sedangkan

profan adalah sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral.[2] Di sini kami tuliskan hal-hal

yang bersifat sakral dianggap profan dan yang profan dianggap sakral. Kaum sekuler berangkat

dari anggapan bahwa agama dan kehidupan duniawi tidak bisa dibaurkan. Dengan demikian,

nilai-nilai keagamaan tidak bisa digunakan untuk mengatur kehidupan duniawi. Alasannya

sangat klasik, yaitu agama bersifat sakral, sedangkan kehidupan duniawi bersifat profan.

Demikian pula sebaliknya, tidak satu pun institusi duniawi, termasuk negara, berhak mengatur

kehidupan keagamaan. Tentu saja yang dimaksud dalam hal ini adalah sisi ritual agama itu.

Dalam Islam, tidak ada pandangan tentang pemisahan kehidupan agama dari duniawi,

sebagaimana perbedaan antara sakral dan profan. Islam justru merupakan agama yang boleh

dikatakan sangat peduli pada kehidupan duniawi (yang profan?). Sebagian besar ajaran Islam

berisi cara menata kehidupan duniawi dengan tata nilai agamawi. Para intelektual Islam mana

pun pasti mengetahui itu, meskipun belum pasti menghayati pemahaman itu.[3] Ada kasus yang

terjadi di Surabaya yaitu, seorang dosen yang bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun, pada 5 Mei 2006
lalu, telah sengaja menginjak-injak lafaz Allah yang ditulisnya pada secarik kertas. Pada waktu

ia mengajar mata kuliah sejarah peradaban Islam (SPI) pada mahasiswa semester II. Di hadapan

20 mahasiswa fakultas dakwah, ia menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia.

"Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput," ujarnya. Ia lalu menuliskan

lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. "Al-

Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral," katanya setengah

berteriak, dengan mata yang sedikit membelalak.

Menurut Sulhawi, Al-Quran sebagai kalam Allah adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan Al-

Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah, dan kertas merupakan

hasil karya cipta manusia. "Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah

kalamullah secara substantif," tuturnya.[4]

Sebagian orang berpandangan bahwa perempuan telah dipenjarakan oleh dunia profan dan dunia

sacral, sehinggaga perempuan tidak bisa mengekpresikan keinginannya. Jadi tubuh perempuan

itu milik siapa? Milik perempuankah atau milik laki-laki hidung belang? Ketahuilah

sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak

menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh

perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke

dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu

dunia profan dan dunia sakral.


Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus

ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih. Dunia sakral atau

kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan

lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan

menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan

sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus

ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan

selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia

membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.[5]

Menurut Ahmad Wahib yang termasuk profane adalah Alquran dan Hadis. Sebab Alquran dan

Hadis secara material merupakan hal yang profan juga, hasil sintesa problem kemasyarakatan

dan respon umat saat itu. Namun demikian dalam Alquran dan Hadis termuat nilai-nilai tertinggi

(ultimate values) yang abadi sepanjang jaman dan tempat. Karenanya apa yang kita anut selama

ini bukanlah Islam dalam pengertian Islam menurut Tuhan, tapi merupakan Islam yang

menyejarah, Islam versi kita. Ketidak mungkinan manusia meraih Islam yang sesungguhnya

disebabkan keterbatasan manusia dalam segala hal, karena manusia yang lemah yang

serbakekurangan.[6] Adapun hal-hal yang bersifat sacral di antranya adalah perkawinan dan

hubungan seksual. Perkawinan merupakan kondisi antara dua jenis kelamin manusia yang

beradab, suatu hubungan sakral yang seharusnya dijaga dari unsur pengaruh lingkungan yang

nuansanya negatif. Orang tua dulu berkata, bahwa setiap pertemuan antara dua jenis manusia,

yang bermufakat hendak mendirikan rumah tangga, merupakan suatu niat yang beradab.

Hubungan antar mereka dijaga benar dengan rasa kasih sayang yang sangat tinggi, dan tidak
dipengaruhi oleh persoalan fisik dan biologis. Bahwa untuk mendapatkan keturunan, kita

sepertinya kembali pada nilai seperti hewan, memang sudah merupakan Ciptaan dari Yang Maha

Pencipta. Kita termasuk spesis kehidupan didalam bumi, tapi yang diberkati dengan akal,

pikiran, kebebasan menentukan keinginan yang berbeda dari makhluk yang mempunyai

kesadaran terbatas, sehingga bergerak melalui insting dan bukan intuisi.[7]

Begitu juga hubungan seksual adalah sacral. Ada orang yang mengatakan, mengapa kita harus

mandi janabah setelah melakukan hubungan seksual?, padahal Islam memandang seks sebagai

hal yang alami dan tidak ada unsur penghinaan di dalamnya? Bukankah praktek itu menunjukkan

sikap negatif yang terselubung ?

Inilah merupakan salah satu pertanyaan yang tidak setuju mengatakan bahwa hubungan seksual

adalah sakral. Pertanyaan ini dapat kita jawab bahwa masalah bersuci setelah hubungan seksual

sempurna yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, atau setelah keluarnya mani melalui

istimna’ tidak disebabkan oleh kekotoran hubungan seksual. Kewajiban bersuci setelah janabah

adalah karena ia merupakan najasah yang membebani roh; manusia perlu bersuci darinya agar ia

keluar (bebas) dari najasah. Janabah tidak menajiskan badan , namun benda yang keluar, namun

benda yang keluar dari seorang laki-laki itulah yang najis persis sebagaimana keadaan buang air

kecil . Oleh karena itu dari sisi kenajisan fisik (al-najasah al-jasadiyah), kenajisan tersebut tidak

mengenai badan secara keseluruhan pada saat terjadi janabah. Badan tetap suci kecuali tempat

janabah itu. Dan seseorang bias saja menyucikan tempat ini dengan cara yang biasa seperti

ketika ia menyucikan badannya ketika terkena najis apa pun. Tetapi, masalah bersuci dari
janabah mengandung dimensi mistik , karena ia janabah menggoncangkan keseluruhan badan

pada saat keluarnya dari badan, berbeda dengan benda-benda lain yang keluar darinya. [8]

Tujuan disyari’atkannya mandi janabah adalah: Pertama, membebaskan manusia dari perasaan

yang tidak alami yang berupa ransangan seks yang dirasakannya ketika melakukan hubungan

seks, dan seakan-akan keluar kotoran dari badan manusia setelahnya menjadikan seks terwarnai

oleh dimens I spiritual yang mengungguli dimensi materinya. Janabah merupakan hadas besar,

merupakan hadas yang menggerakkan seluruh badan, yang seakan-akan menjadikan manusia

merasa kotor meskipun dari tabi’at benda yang keluar (mani). Ini terkait dengan masalah rohani

yang mistik (mas’alah ruhiyyah iyhaiyyah). Kedua, Islam ingin menciptakan kesempatan-

kesempatan untuk memperoleh kesucian fisik. Thaharah merupakan bagian dari syari’at yang

diperintahkan oleh Allah mencakup lingkup rohani, sebab thaharah bukan hanya persoalan

menghilangkan kotoran , tetapi juga untuk “memenuhi” rohani manusia.[9]

Adapun hal-hal yang dianggap sakral seperti tradisi Tabot (kotak atau peti) yang dilaksanakan di

Bengkulu. Tradisi Tabot mengakar dari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib. Tradisi

kematian Husein ini dinamakan Tabot. Tradisi ini dimulai dengan ritual mengambil tanah dari

Pantai Nala. Kemudian duduk penja (benda yang diibaratkan potongan tangan Husein) yang

sebelumnya mengadakan ritual menjara semalam suntuk. Kemudian mengarak penja yang sudah

didudukkan di dalam Tabot yang dipikul oleh 17 kelompok dan diarak disekeliling kampong,

lalu menuju lapangan merdeka. Dan kemudian melakukan soja (penghormatan) dengan dua tabot

kecil yang statusnya di tuakan. Esoknya mengadakan sesajian khusus untuk mengarak seroban
(kain putih yang dilipat menyerupai bentuk kepala Husein) dengan nasi kejri (nasi yang dibuat

dari campuran beras dan kacang hijau, serta sesajian sayur 7 rupa).

Setelah diarak, seroban di simpan di Gerga, sesajian dikeluarkan sebagai wujud rasa syukur.

Malamnya penja kembali melakukan penghormatan. [10] Di sini juga terdapat ritual Tabot Naik

Pangkek, yaitu menyempurnakan kembali Tabot yang mereka buat dengan menyambungkan

bagian bawah dengan puncahTabot. Yang kemudian dilanjutkan dengan Tabot Tabuang, yaitu

ritual menguburkan kembali potongan-potongan tubuh Husein.[11]

Hal serupa juga terdapat dalam tata cara Tingalan Dalem Jumenengan (ulang tahun penobatan

raja) yang dilakukan setiap tanggal 2 Ruwah (sya’ban) penanggalan jawa di Keraton Surakarta

Hadiningrat, pada Pendapa Ageng Sasana Sewaka. Pada saat itu juga digelar tarian yang

disakralkan, Bhendaya Ketawang. Sebagai upaya pengukuhan otoritas raja saat dimunculkannya

aktualisasi simbolisasi ikatan perjanjian antara penguasa Mataram dan penguasa Laut Selatan,

Ratu Kidul. Dalam ritual ulang tahun itu, raja menjadi objek paling utama dan suci, dan dari

dirinyalah seluruh system berputar.

Konsep tatanan Keraton Surakarta Hadiningrat mengambil bentuk konsentris yang berdaya ghaib

dan memiliki wilayah energi. Pencapaian energi tersebut harus melalui tahapan. Semakin ke inti

kedhaton, seseorang semakin disucikan dan sebaliknya, semakin jauh dari kedhaton, ia menjadi

semakin profan. [12] Seperti halnya Mukaddimah UUD 1945 juga disakralkan oleh sebagian

orang dan mengatakan bahwa tidak boleh merubah apalagi mengganti Mukaddimah UUD dan

tidak dimungkinkan. Pemikiran yang seperti ini adalah pemikiran yang keliru, sebab UUD
adalah ciptaan manusia, sebab itu keliru membuat atau menganggapnya sakral atau keramat. Dan

juga bahwa Pendiri republic ini bukannya tidak dapat berbuat salah, akan tetapi mereka bias saja

salah dalam berbuat atau apa yang mereka tulis tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman

sekarang ini. [13]

Hal yang sama terjadi dalam kemandekan fikih. Fikih sebagai produk intelektual pada masa dan

dalam kontek tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan dan kaku. Ada tiga

penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik sampai kini.

Pertama, fikih diidentikkan dengan syari’at. Kedua, menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih.

Ketiga, tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap

memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan hokum-hukum agama. [14]Sesuatu yang sangat

sakral lagi dapat dijumpai di dalam Tarikat Naqsyabandi ketika menjelaskan adab murid

terhadap syekh. Di situ disebutkan di antaranya adalah: [15]

1. Murid harus menghormati syekhnya, lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak

akan tercapai melainkan di tangan syekh. Apabila pandangannya cenderung kepada syekh yang

lain, niscaya tertutuplah limpahan syekh syekh kepadanya dan dia tidak akan memperoleh

sesuatu dari padanyan

2. Menanggalkan ikhtiar diri dan menyatukannya dalam ikhtiar syekh dalam segala urusan baik

ibadat maupun adapt kebiasaan.


Tidak boleh mengawini seorang wanita yang syekh cenderung hendak mengawininya, dan tidak

pula boleh mengawini janda syekh, baik bercerai dengan talak maunpun bercerai mati.

Dalam tarikat juga ada namanya rabithah, yaitu menghadirkan rupa guru atau syekh ketika

berzikir di depan mata, di gambarkan di kiri dan di kanan, hingga seterusnya. [16] Dalam

masyarakat jawa yang Islam Kejawen terdapat wiri yang bernama Wirid Hidayat Jati yang

merupakan hasil karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Dia disejajaran oleh pengikutnya dengan

Nabi Muhammad dengan mengatakan pujangga penutup, sebagaimana Nabi Muhammad digelar

dengan dengan Nabi yang terakhir. [17] Baru-baru ini juga diadakan perayaan peringatan Hul ke-

82 Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan, di situ diadakan pemberian nasi berkah

kepada 1000 orang. Di antara mereka, seperti Imas, warga Pekan Baru, bahwa nasi bungkus itu

akan dibawanya pulang dan disebarkan di ladangnya. Ktanya: “kata orang nasi itu diberkahi, ada

yang mencoba disebarkan, bulan berikutnya lading itu subur dan ada yang bilang untuk obat dan

sebagainya”.[18] Demikianlah beberapa macam bentuk sakral dan profan yang dianggap sakral

oleh sebagian orang, mudah-mudahan ini dapat kita cermati bersama dan dapat kita diskusikan

bersama.

Anda mungkin juga menyukai