Anda di halaman 1dari 15

Mulla Sadra ; Filsafat Wujud

Ketika kulihat lautan, kulihat diri-Mu,


ketika kulihat sahara kulihat diri-mu,
dimanapun
aku
hadapkan
wajahku,
kulihat diri-Mu---Baba Thahir
Engkau
adalah
pikiranmu,
saudara,
selebihnya adalah tulang-tulang dan
serat-serat.
Jika Kau berpikir tentang
mawar-mawar, Engkaupun sehamparan
kebun mawar; jika Kau berpikir tentang
dedurian, Engkaulah bahan bakar bagi
tungku itu---Maulana SyanaI

A. Riwayat hidup Mulla Sadra


Mulla Sadra hidup, kira-kira tahun 979 H / 1571 M
1050 H / 1640 M di kota Syiraz Persia (menjadi Iran
tahun 1935)
dari keluarga terpandang. Ayahnya,
Khwaja Ibrahim bin Yahya, Qawwami dari keluarga
Qawwami dikenal sebagai keluarga ilmuan dan pemuka
agama.
Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya
Qawwami Syirazi dipanggil Sadra dan setelah jadi
ulama
dipanggil
Mulla
Sadra.
Digelari
Sadra
Almutaallihhin karena kedalaman pengetahuannya di
bidang ketuhanan (sebagian mengaitkan dengan
karyanya
Al-Hikmah Al-Mutaalliyah). Mengikuti
pendidikan formal---juga dididik khusus dengan
mendatangkan guru-guru diantaranya Mir Damad
seorang muallim tsalis setelah Aristoteles dan AlFarabbi---dan menguasai berbagai dasar cabang ilmu;
48

al-quraan, logika, sampai kaligrafi, gramatikal, syairsyair Persia dan Arab. Dimasanya dia telah memiliki
perpustakaan terlengkap meliputi berbagai cabang
ilmu; gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir al-quraan dan
kitab-kitab hadis---bahkan naskah penulis sangat
langkah sekalipun.
Mulla
Sadra
menamatkan
bidang
filsafat
Peripatetik, filsafat iluminasi, gnostik, logika, ilmu
kalam, fiqh, tafsir, hadis, astronomi, matematika dan
kedokteran.
Pemikiran Mulla Sadra jauh melampaui
jamannya---masa itu, umumnya ulama berasal dari
kelompok Akhbariyyin yang sangat kaku terhadap
pandangan
filosofis
yang
bersifat
spekulatif--pandangannya tentang Wahdah Al-Wujud dianggap
sesat, zindiq dan kafir.
MullaSadra kemudian
meninggalkan Syiraz dan memilih Kahak sebagai
tempat melakukan kontemplasi ruhani. Di masa ini
Mulla Sadra menulis beberapa buku terutama kitab
Magnum Opusnya. Sekitar tahun 1040 H Mulla Muhsin
Faid dan Imam Qali Khan Kasyani mengajaknya kembali
ke kota Siraz
karena ayahnya wafat. Mulla Sadra
meninggal di Irak karena sakit tahun 1050 H/1640 M
dan sampai saat ini
letak pasti kuburannya tidak
diketahui.
B. Aliran Filsafat Mulla Sadra
Mulla Sadra penggagas aliran baru dalam filsafat
Islam. Al-Hikmah Al-Mutaaliyah
menghimpun dua
aliran filsafat sebelumnya: Masyiyyin (Peripatetik) dan
Isyirakiyyin (Iluminasionisme) dan melakukan sintesis
serta penyempurnaan. Dua aliran tersebut sebelumnya
49

saling beroposisi: Peripatetik yang mendasarkan prinsip


silogisme Aristotelian yang sangat rasional dan
Suhrawardi dengan iluminasinya bahwa pengetahuan
dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa
di capai melalui proses Syuhudi dengan melakukan
elaborasi ruhani. Dalam pandangan Mulla Sadra akal
dan syuhud dua
bagian tidak
terpisahkan dan
meyakini bahwa Isyraqi tanpa argumentasi rasional
tidak memiliki nilai apapun begitupun sebaliknya.
Metode Al-Hikmah Al-Mutaaliyah memberi argumentasi
rasional,
membimbing
ilmuan
dan
intelektual
menempuh jalan ruhani dalam marifat dan pencerahan
batin---lalu
disebut
sebagai
filsuf
peripatetik,
iluminasionis sekaligus platonik Islam.
Kemunculan Mulla Sadra dengan filsafat
eksistensialis dalam islam---Asala al-wujud sebagai
prinsip metafisikanya oleh Henri Corbin dinilai suatu
revolusi dalam metafisika islam. Al-hikmah AlMutaaliyah terdiri dua istilah; Pertama, Al-Hikmah
(kombinasi
Iluminasionisme dan sufisme) yang
memandang hikmah dalam dua aspek; teoritis dan
praktis atau pengetahuan dan tindakan. Secara teoritis,
tujuan hikmah mewarnai jiwa dengan gambaran realitas
sebagai dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai
dunia objektif sedang secara praktis melakukan
perbuatan baik agar tercapai superioritas jiwa terhadap
badan dan badan tunduk kepada jiwa. Kedua, AlMutaaliyah ( tinggi, agung, atau transenden);
kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan
terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana
adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka,
50

yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas,


bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti
pandangan orang lain, sebatas kemampuan yang ada
pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata
(kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan
terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tatatertib
yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki,
dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.
Aliran filsafat Al-Hikmah Al-Mutaaliyah merupakan
sintesis---Tasawuf, Teologi dan Filsafat. Teologi dengan
karakter dialektikal-polemikal (zadali), filsafat dengan
karakter
demostratif
atau
burhani,
teosofi
iluminasionistik dan gnostik dengan karakter dzawqi.
Sintesis
ketiga aliran pemikiran ini
melahirkan
bangunan filsafat; tidak semata aksidental, melainkan
metode alternative, konseptual, dan ontologism
sehingga filsafat Mulla Sadra dianggap sebagai puncak
evolusi pemikiran filsafat sebelumnya. Tujuan utama
filsafat Mulla Sadra upaya mencapai kesempurnaan
hakiki manusia dalam konteks kehidupan sosial
masyarakat sekaligus menjelaskan secara spesifik
pandangan teodesi dan eskatologi sebagai perjalanan
ruhani
setiap manusia yang hendak mencapai
kesempurnaan melalui empat tahap intelektual manusia
yang harus dilewati mencapai kearifan tertinggi:
1. Perjalan dari mahluk menuju Tuhan (Safar min alKhalk ila al-haq); dilakukan dengan mengangkat hijab
kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi manusia
dan Tuhannya. Manusia harus melewati tahap; dari
tahap jiwa, qalb, ruh, dan berakhir pada maqsad alaqsa. Perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan
51

diri
dan
bergabung
menuju
Tuhan
dengan
mengangkat kesadarannya dari realitas mahluk lewat
pembahasan wujud dalam makna umum juga tentang
hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material,
dan substansial serta intelek;
2. Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan (Safar bi
al-haq fi alhaq); tingkat penyempurnaan teologis
karena wujudnya telah menjadi dirinya dan dengan
itu, dia melakukan penyempurnaan dalam namanama agung Tuhan;
3. Perjalanan dari Tuhan menuju Mahluk bersama Tuhan
(Safar min alhaq ila al khalq bi al-haq); Kesadaran
Tuhan menjadi kesadarannya dan menempuh
perjalanan diantara alam jabarut, malakut dan nasut,
serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada
alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Tingkat ini
meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi
pada intelek-intelek; dan
4. Perjalanan dari mahluk menjadi mahluk bersama
Tuhan (Safar min al-khalq ila al-khalq bi al-haq);
berkaitan dengan ekskatologi atau maad yang akan
terjadi pada manusia setelah kematiannya dan
dengan bukti serta argumentasi rasional.
Akal dan wahyu, ketika masih berada dalam
wacana asy-ariyah dan mutazila, menjadi dua hal yang
bertentangan.
Dalam
Al-Hikmah
Al-Mutaaliyah,
keduanya menjadi sekeping mata uang yang hanya
berebeda sisi. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla
Sadra menjangkau nash-nash dan memberinya dalildalil rasional. Mulla Sadra membuktikan bahwa wahyu
dan hakikat yang diajarkan para nabi bukan hanya
52

dapat dibuktikan secara rasional tetapi keduanya tidak


memiliki pertentangan sedikitpun. Wahyu dan akal
merupakan kesatuan dari gambaran kemanunggalan
Wujud Tuhan. Tidak sedikitpun terjadi pertentangan
antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan wahyu
yang benar adalah satu warna.
C. Filsafat Wujud
Istilah hikmah atau falsafah dimasukkan kedalam
bahasa Arab sekitar abad ke-2/8 dan abad ke-3/9 dari
kata Yunani
philosophia kemudian dalam konteks
peradaban Islam, menggunakan nama lain, seperti;
kalam, marifat dan usul al-fiqh. Tipe filsafat islam
disebut Hikmah (Arab) atau Hikmat (Persia) terjemahan
dari theosophy (inggris). Sebagian intelektual muslim
memilih
pemikiran
rasional---para
filosof
dan
mutakallimun---sebagian memilih jalan mistis tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek rasional---kaum sufi
dan ahli al-tarikah pada umumnya---sedang sebagian
lainnya lebih bersikap dogmatis dengan menyandarkan
diri pada teks-teks suci (al-Quran dan Hadis) secara
formal, tanpa interpretasi, baik yang bersifat rasional,
apalagi bersifat esoteric---terjadi di lingkungan fuqaha
atau yang disebut sebagai ulama zahir (ulama
eksoteris). W. Stace menyatakan bahwa irfan atau
mistisme berseberangan dengan prinsip logika karena
irfan bersifat paradoks.
Filsuf islam kontemporer
(Muhammad Taqi Misbah Yazdi) meyakini antara filsafat
dan irfan dua disiplin pengetahuan yang satu sama lain
memiliki penekanan dan metodologi berbeda. Filsafat
dalam ruang lingkup ilmu Husuli berjalan dengan akal
53

rasional sedang irfan dalam ruang lingkup ilmu Hudhuri


berangkat dengan kalbunya---karena itu, pembahasan
irfan
tidak berada dalam ruang lingkup konsep,
proposisi, dan alam mental. Diskursus terutama pada
dua wilayah kajian ilmiah Islam---Ilmu kalam dan
filsafat. Pertama, ilmu kalam umumnya berkisar pada
argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh,
surga-neraka, kebahagiaan dan pemderitaan, keabadian
di akhirat, kebangkitan jasmani dan safaat. Kedua,
filsafat tentang kebangkitan meliputi ruang lebih luas--bukan hanya persoalan di ilmu kalam tetapi meliputi
masa lalu, jiwa dan raga, bentuk keterikatan antara ruh,
jiwa dan raga, kemustahilan, kebangkitan setelah
ketiadaan (Iadah al-makdum) dan lain sebagainya.
Metodelogi yang melandasi bidang masing-masing;
kalam sebuah cabang ilmu berusaha membuktikan
kebenaran doktrin agama dengan
dasar nash dan
sebagian argumentasi rasional didasarkan logika dan
dialektika (zadal) sedang filsafat usaha mengungkap
kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai pijakan
utama.
Abad ke 7H, tasawuf atau irfan mencapai puncak
dengan munculnya Ibn Arabi (638 H) yang memberi
pengaruh besar terhadap dua hal utama : Pertama,
mendekatkan tasawuf dengan filsafat.
Kedua
mendekatkan
tasawuf
dengan
syariat
dengan
membangun pondasi tasawuf atau irfan melalui dua
konsep utama, Wahdah alwujud dan Tajalli---jika priode
sebelumnya irfan di rumuskan dalam bentuk sastra
pada priode IbnArabi dengan kerangka filosofis--sehingga Ibn Arabi dianggap pendiri konsep wahdah
54

alwujud---namun penggunaan kata wahdah alwujud


pertama kali digunakan oleh Ibn Taimiyah dalam
mengkritik pemikiran Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi;
wujud alam adalah Alhaqq dan hanya bisa di nisbahkan
pada Al haqq bukan pada yang lainnya. Zat alhaqq
sama sekali tidak terbatas. Dirinya tidak dibatasi oleh
apapun. Ketidak terbatasan ini dengan sendirinya
menafikan keberadaan yang lain, sebab jika ada satu
ruang yang tidak diliputinya berarti al haqq di batasi
oleh ruang tersebut. Oleh sebab itu, Ibn Arabi meyakini
bahwa perbedaan itu ada karena adanya keterbatasan,
jika keterbatasan itu diangkat, maka tidak ada lagi
perbedaan kita dengan al- haqq.
1. Konsep dan Realitas Wujud
Aliran filsafat Islam dibawa pengaruh Mulla Sadra
membedakan secara tegas antara konsep wujud dan
realitasnya. Wujud merupakan realitas satu-satunya
bagi mereka yang memiliki intelektual yang dihasilkan
dari proses iluminasi dan ketersingkapan. Wujud adalah
sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi
mungkin untuk diketahui atau wujud adalah sesuatu
yang merupakan sumber dari seluruh akibat atau
yang memungkinkan untuk mengetahui tentang
sesuatu adalah wujudnya. Secara derivatif etimologis,
wujud berasal dari akar kata wjd memiliki arti dasar
menemukan atau mengetahui sesuatu. Secara
etimologis, istilah tersebut berkaitan dengan istilah
wijdan berarti kesadaran atau pengetahuan, juga
berkaitan degan kata wajd berarti kegembiraan yang
luar biasa atau kebahagian. Istilah lain yang secara
55

filosofis memiliki makna penting, yaitu maujud yang


berarti yang ada---istilah ini di bedakan secara tegas
dengan istilah wujud sebagai tindakan mengada. Para
ahli metafisika muslim mengetahui sepetuhnya
perbedaan antara Ens dan Actus Essendi (Latin)
atau Sein dan Das sein (Jerman). Ens atau Sein
adalah bentuk partisipal dari kata wujud, yaitu maujud,
sedang Actus Essendi atau Das Sein adalah bentuk
verbal yaitu wujud.
Dalam pemikiran islam, alam tidak sinonim dengan
wujud.
Keberadaan alam dihadirkan Tuhan sebagai
realitas yang abadi, sedang maujud lainnya diciptakan
dan fana (mengalami kehancuran). Intelek manusia
mampu membedakan antara wujud dan mahiyah dari
sesuatu, bukan sebagaimana adanya secara eksternal,
dimana hanya satu objek yang maujud, tetapi di dalam
wadah pemikiran.
Pemikiran memiliki kemampuan
memahami sesuatu secara murni dan lengkap sebagai
mahiyah, dan berbeda sama sekali dari bentuk wujud.
Artinya, mahiyah dipandang pada dirinya sendiri dan
sejauh merupakan dirinya sendiri. Secara konseptual
pikiran mengkaji secara terpisah hubungan antara keapa-an dan ke-berada-an dari sesuatu yang maujud,
memahami asal-asul ontologis segala sesuatu dan
saling keterkaitan diantara wujud, mahiyah,
dan
maujud. Mengenai realitas fundamental (asalah) dari
wujud dan mahiyah, filosof muslim terbagi dua aliran;
Pertama, pendukung prinsip (asalah al-mahiyyah)
realitas fundamental adalah mahiyah sedang wujud
adalah abstraksi mental semata (Itibari) dan Kedua,
pendukung (asalah al-wujud) realitas
fundamental
56

adalah wujud, sedang mahiyah adalah abstraksi mental


semata (Itibari). Menurut Alparslan Acikgenc, aliran
pertama disebut Aliran Esensial mewakili pluralisme
ontologisme sedang aliran kedua disebut Aliran
Eksistensial mewakili monisme ontologia. Hampir tampa
kecuali, para sufi yang menganut doktrin Wahdah alWujud penganut eksistensialis-monisme karena bagi
mereka, satu-satunya realitas adalah wujud.
2. Asalah al-Wujud
Suatu objek yang konkret misalnya manusia ketika
dipikiran menjadi dua bagian; (1) kemanusiaannya atau
keberadaannya
sebagai
manusia
dan
(2)
keberadaannya sebagai sesuatu yang aktual dan
konkret. Jika menjadi proposisi dia adalah seorang
manusia dan dia ada (merupakan sesuatu yang ada).
Pernyataan pertama menunjuk kepada mahiyah
membedakan suatu objek dari lainnya sedang
pernyataan
kedua
merupakan
wujud
yang
menjadikannya aktual, nyata dan sama dengan seluruh
yang ada lainnya. Kata mahiyah digunakan dalam dua
pengertian
yaitu: pertama;
mahiyah dalam arti
khusus (bi al-mana al-khass), berkaitan dengan
jawaban terhadap peryataan apakah itu? dan kedua;
mahiyah dalam arti umum (bi al-mana al-amm)
menunjukan tentang sesuatu yang dengannya sesuatu
yang lain menjadi ada atau merupakan realitas
(haqiqah) dari sesuatu. Mahiyah dalam pengertian
umum tidak bertentangan dengan wujud---karena wujud
itu sendiri adalah mahiyah menurut pengertian ini--sedang mahiyah dalam pengertian khusus berbeda dari
57

wujud karena berkaitan dengan sesuatu konsep didalam


pikiran atau hasil abstraksi mental---mahiyah dalam
pengertian ini oleh Mulla Sadra sesuatu yang bersifat
Itibari dan menyatakan wujud sebagai sesuatu yang
asli---prinsip asalah al-wujud inilah yang mendominasi
keseluruhan sruktur filsafat mulla sadra dan menjadi
dasar bangunan bagi system metafisikanya.
Mulla Sadra melakukan revolusi fundamental
dalam metafisika islam dengan menentang pandangan
bahwa wujud tidak berkaitan dengan realitas apapun di
dunia eksternal dan menegaskan bahwa tidak ada yang
riil kecuali wujud. Wujud adalah satu satunya realitas--tidak pernah ditangkap pikiran yang hanya bisa
memahami mahiyah dan ide- ide umum. Karena
mahiyah-mahiyah hanya muncul dipikiran sehingga
hanya fenomena mental dan hanya bisa diketahui oleh
pikiran.
Di dalam Kitab Al-masyair, Mulla Sadra
menyatakan wujud sesuatu yang fundamental pada
setiap yang ada, ia merupakan realitas (hakikah) dan
segala sesuatu selainnya hanya refleksi, bayangan, atau
penyerupaan. Disamping sesuatu yang riil, wujud juga
sesuatu yang positif, jelas dan tertentu sedang
mahiyah-mahiyah bersifat samar-samar, gelap, tidak
tertentu, negatif dan tidak riil. Karena mahiyahmahiyah tidak ada pada diri mereka sendiri, maka
apapun yang mereka miliki adalah berkat kebersamaan
mereka dengan wujud. Wujud-wujud adalah riil dengan
sendirinya,
karena
merupakan
manifestasi
dari
hubungan mereka dengan realitas absolut.
3. Wahda Al-wujud
58

Yang Esa memanifestasikan diri didalam yang


beranekaragam dan yang beranekaragam didalam Yang
Esa. Terhadap keesaan wujud dan keanekaragaman
yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip keesaan
wujud dan yang maujud. Penyebaran wujud kedalam
berbagai maujudnya terdiri atas tiga tingkatan wujud,
yaitu;
1. Wujud Murni, yaitu wujud yang tidak tergantung
kepada
selain
dirinya
dan
tidak
terbatasi.
Keberadaannya mendahului segala sesuatu yang lain
dan ia ada pada dirinya sendiri, tanpa perubahan dan
pergerakan. Dia adalah ketersembunyian yang murni
dan kerahasian yang absolut, yang hanya bisa
diketahui melalui perumpamaan-perumpamaannya
dan bekas-bekasnya. Karena esensinya yang suci, ia
tidak bisa dibatasi oleh determinasi apapun, sebab
akan menjadikan wujud-nya berada dibawah kondisi
keterbatasan dan partikularisasi. Oleh karena itu,
keabsolutan ini hanya bersifat negatif, yang
mengharuskan peniadaan seluruh sifat da penilaian
dari hakikat esensinya, serta meniadakan pembatasan
dan perubahan pada sifat, nama, atau yang selain itu,
bahkan meniadakan peniadaan-peniadaan tersebut,
karena semua itu adalah konsep- konsep yang
merupakan abtraksi mental belaka. Pada tingkatan
pertama, wujud dipandang sebagai la bi-syart, yaitu
wujud dalam keadaannya yang tanpa syarat,
mengatasi setiap determinasi, bahkan sifat mengatasi
setiap determinasi. Dalam kaitan ini, di bedakan
antara wujud sebagai la bi-syart dan sebagai bi-la
syart. Menurut aliran Mulla Sadra, yang pertama
59

berkaitan dengan Realitas Absolute atau Realitas


Mutlak yang digambarkan tanpa memandang dunia
manifestasi dan determinasi, sedang yang kedua
mengacu pada Realitas Mutlak yang sama, tetapi
dengan memandang wilayah manifestasi;
2. Wujud yang keberadaannya tergantung kepada
selain dirinya. Ia merupakan wujud terbatas yang
dibatasi oleh sifat-sifat yang merupakan tambahan
pada dirinya dan disifati oleh penilaian-penilaian yang
bersifat terbatas, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, bendabenda langit, unsur-unsur serta komponen-komponen
yang
membentuk
manusia,
hewan,
tumbuh
tumbuhan, batu batuan dan lain sebagainya. Pada
tingkatan kedua, wujud dipandang sebagai bi-syart
syai, yang berkaitan dengan keadaan keadaan wujud
kosmis yang tersusun secara hirarkis, mulai dari yang
bersifat keruhanian sampai pada yang material. Di
dalam seluruh keadaan tersebut, wujud di syaratkan
oleh
determinasi-determinasi
tertentu,
yang
menyebabkannya menurun melalui mata rantai
rangkaian wujud dan mengaktualisasikan segala
sesuatu didalam lipatan wujud universal; dan
3. Wujud
Absolut;
dalam
penyebaranya,
yang
generalitasnya
jangan
dikaburkan
dengan
universalitasnya, sebab wujud adalah aktualitas yang
murni, sedang konsep universal berada dalam
potensialitas, yang membutuhkan sesuatu untuk
ditambahkan kepadanya agar ia menjadi actual dan
konkret. Disamping itu, keesaan wujud ini bukan lah
esa menurut pengertian penjumlahan. Akan tetapi, ia
merupakan realitas yang menyebar ke kuil-kuil
60

seluruh yang bersifat mungkin (hayakil al-mumkinat)


dan lembaran-lembaran seluruh mahiyah (alwah almahiyat), tanpa terikat pada deskripsi tertentu dan
tidak pula di batasi oleh batasan- batasan tertentu
dan tidak pula dibatasi oleh batasan batasan tertentu,
seperti yang abadi dan yang baru, yang lebih dulu
dan yang lebih kemudian, yang sempurna dan yang
kurang sempurna, yang menjadi sebab dan menjadi
akibat, yang substansial dan yang aksidental, serta
yang terpisah dari materi dan yang materil. Pada
tingkatan ketiga, yang memandang wujud sebagai bisyart la, Mulla Sadra menggambarkan apa yang
dalam terminology sufi di sebut sebagai al-ahadiyyah
disatu pihak, dan nafas al-rahman atau al-faid alaqdas, yang menyebabkan nama- nama dan sifat-sifat
tuhan memasuki wilayah pembedaan atau disebut
sebagai al-wahidiyyah dipihak yang lain.
4. Tasykik al-wujud
Tasykik atau gradasi pada prinsipya, tasykik berarti
menjadi lebih atau kurang atau bisa menjadi
bertambah dan berkurang. Setiap wujud mengalami
suatu pembaharuan atau perubahan terus menerus.
Karena aksiden- aksiden tergantung kepada wujud dan
bersifat sekunder terhadapnya, maka gerakan yang
terjadi pada aksiden- aksiden tidak bisa di jelaskan
secara tepat tanpa mengacu kepada gerakan pada
substansi. Gerakan yang bersifat eksistensial tersebut
dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yaitu materi
dan berakhir pada tingkatan tertinggi, yaitu Tuhan.
Mulai dari tingkatan yang terendah sampai kepada
61

tingkatan tertinggi, wujud membuka dirinya dan


memerlukan eksistensi individual yang lebih konkrit.
Alcapone, 1 Syawal 1436H
Sumber:
Dr. Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat;
Filsafat Eskatologi Mulla Sadra, Jakarta, 2012
Dr. Syaifuddin Nur, M.A, Filsafat Hikmah Mulla Sadra;
Rausyan Fikir, Yogyakarta,2012
Dr. Syaifuddin Nur,M.A, Filsafat Wujud Mulla Sadra;
Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2012
Muhammad Nur, Wahdah Al-Wujud Ibn Arabi dan Filsafat
Wujud Mulla Sadra; Makassar, 2012

62

Anda mungkin juga menyukai