Anda di halaman 1dari 10

PENGERTIAN ZIARAH

KUBUR DAN HUKUMNYA


MENURUT ISLAM FEBRUARY 28,
2013FIQIH0 COMMENTS
NOORMUSLIMA.COM- Ziarah kubur adalah mengunjungi makam keluarga,
kerabat, ataupun makam para ulama yang telah berjasa bagi perkembangan
agama Islam. Ada yang melaksanakannya setiap hari jumat, adapula menjelang
hari Raya Idul Fitri, dan ada juga pada bulan-bulan tertentu saat perayaan hari
besar. Hukum ziarah kubur adalah sunnah, artinya, barang siapa yang
melakukannya akan mendapat pahala bagi yang meninggalkannya pun tidak
berdosa. Sabda Rasulullah SAW,
“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian ke
kuburan, karena itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR.Muslim)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul wahab ziarah kubur ada 3 macam.
Yaitu,

1. Ziarah yang syar’i. Dan ini yang di syariatkan dalam Isam. Ada tiga syarat
yang harus dipenuhi.

a. Tidak melakukan safar dalam rangka ziarah. Seperti sabda Rasulullah


SAW. “ Janganlah kalian bepergian jauh melakukan safar kecuali ke tiga
masjid. Masjidku ini, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
b. Tidak mengucapkan ucapan batil.

c. Tidak mengkhususkan waktu tertentu, karena tidak ada dalilnya.


2. Ziarah Bid’ah. Ialah ziarah yang tidak memenuhi salah satu syarat diatas atau
lebih.
3. Ziarah Syirik. Pelaku ziarah ini mengsekutukan Allah, dengan berdo’a
meminta rizki pada makam si mayit yang di kunjungi, meminta keberkahan
dan kesehatan pada si mayit dan berlebihan dalam memperlakukan makam si
mayit.

Tujuan ziarah kubur sendiri adalah agar kita senantiasa mengingat kematian. Agar kita senantiasa
memperbaiki diri sebelum ajal menjemput. Lalu kita memintakan pengampunan atas dosa-dosa si mayit
pada Allah melalui do’a. Wallahu A’lam bish shahwa

Ziarah adalah salah satu praktik sebagian besar umat beragama yang memiliki
makna moral yang penting. Kadang-kadang ziarah dilakukan ke suatu tempat yang suci
dan penting bagi keyakinan dan iman yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk
mengingat kembali, meneguhkan iman atau menyucikan diri. Orang yang melakukan
perjalanan ini disebut peziarah.

Agama Buddha mempunyai empat tempat ziarah: tempat kelahiran Sang Buddha
di Kapilavastu, tempat ia mencapai Pencerahan Bodh Gaya, tempat ia pertama kali
menyampaikan pengajarannya (pembabaran) di Benares, dan tempat ia
mencapai Parinirwana di Kusinagara.

Di kerajaan Israel dan Yehuda kunjungan ke tempat-tempat pemujaan kuno tertentu


dilarang pada abad ke-7 SM, ketika ibadah dibatasi hanya kepada Yahweh di Bait Suci di
Yerusalem. Di Suriah, kuil Astarte di sumber mata air sungai Adonis bertahan hingga
tempat itu dihancurkan atas perintah Kaisar Konstantin pada abad ke-4 M.

Di Yunani, sejumlah individu pergi ke Delfi atau orakel Zeus di Dodona, dan sekali setiap
empat tahun, pada masa pertandingan Olimpiade, kuil Zeus di Olimpia menjadi tujuan
banyak peziarah dari segala penjuru dunia Helenis. KetikaAlexander Agung tiba di Mesir, ia
menghentikan seluruh usaha ekspansi besar-besarannya, sementara ia pergi bersama
sekelompok kecil bawahannya ke gurun pasir di Libya, untuk berkonsultasi dengan orakel
Ammun.
Mencermati pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi>, terutama dalam konteks pengalaman-pengalaman
ziarah yang ia jalankan, sungguh terdapat suatu keunikan, khas, dan tampak berbeda
dibanding dengan pemikiran tasawuf sufisufi lain. Tokoh sufi yang dijuluki al-syaikh al-akbar itu
adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—seorang sufi berpengaruh yang
dalam laku spiritual tasawufnya melakukan perjalanan ziarah, baik kepada guru-gurunya, ke
kota suci Mekkah, Madinah, Yerusalem, hingga ziarah ke suatu tempat yang oleh kebanyakan
orang (pengertian umum) lazim diidentikkan ke ‘makam’ atau ‘kuburan’ seseorang. Ibn ‘Arabi
bukanlah tipologi seorang sufi yang cukup mengandalkan hati (al-qalb) untuk berziarah ke
suatu tempat. Meskipun hati menurut kaum sufi merupakan organ tubuh yang disiapkan Allah
untuk melakukan kontemplasi dan penyatuan dengan Yang Mutlak, sehingga sangat mungkin
dalam melakukan ziarah ke mana pun, dapat dijangkau lewat pengalaman mistiknya, namun
Ibn ‘Arabi> melampaui persepsi yang demikian. Ia justru selain memang memfungsikan “indera
sufistiknya” untuk berkomunikasi langsung dengan Yang Ilahi, tapi juga melakukanya secara
fisikli, yaitu menempuh perjalanan ziarah yang sangat jauh, dari waktu dan tempat berbeda.
Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha menjawab teka-teki Ibn ‘Arabi> tentang apa
sebenarnya makna ziarah baginya; mengapa ia melakukan ziarah; dan dalam konteks
kehidupan beragama modern, berusaha mencari nilai relevansi pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi>
dengan zaman modern sekarang ini. Oleh karenanya, upaya untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu, sekaligus pula menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu dapat mengetahui makna
ziarah dalam ajaran tasawufnya. Setelah itu, baru mencari nilai relevansinya dengan kehidupan
beragama modern berdasarkan pengalaman-pengalaman ziarah menurut setidaknya tiga
agama besar dunia: Kristen (Katolik), Yahudi, dan Islam. Bagi Ibn ‘Arabi, ziarah mempunyai
fungsi yang sangat signifikan untuk meningkatkan kualitas kesufiannya. Di samping ziarah,
yang memang identik dengan aktivitas berkunjung kepada seseorang yang telah meninggal
atau ke tempat-tempat mulia, ia juga melakukan silaturrahmi kepada teman dan gurugurunya.
Antara ziarah dan silaturrahmi, memang terdapat perbedaan terutama bila dilihat dari objek
tujuannya, tapi Ibn ‘Arabi seringkali melakukannya secara serempak atau bersamaan. Dengan
mencermati pengalaman-pengalaman ziarah Ibn ‘Arabi>, tampak adanya dua kategori ziarah
yang ia lakukan, yaitu ziarah dalam arti fisik, seperti kunjungannya ke tanah suci Mekkah dan
ziarah ke makam kuburan. Sementara ziarah dalam arti non-fisik atau metafisik, ia lakukan
bersama makhluk-makhluk Allah yang gaib, dan termasuk pula saat ia melakukan mi’ra>j
menaiki tujuh tingkatan langit. Berdasarkan pengalaman-pengalaman inilah ziarah bagi Ibn
‘Arabi> mempunyai makna setidaknya dua hal, yakni untuk memenuhi panggilan Ilahi, yang
menurut pengakuannya, ia mendapat perintah langsung dari-Nya; dan dengan berziarah,
menjadikan kualitas kesufian Ibn ‘Arabi semakin tinggi. Pengkajian terhadap makna ziarah Ibn
‘Arabi ini juga memberikan kesadaran bahwa aktivitas ziarah merupakan fakta dan fenomena
sosial yang terjadi di semua agama. Ziarah spiritiul Ibn ‘Arabi membangunkan kesadaran umat
beragama sekarang ini, adanya ziarah yang hanya berorientasi pada bisnis dan pariwisata
(tour) semata. Sementara wisata yang lebih berorientasi pada religiusitas dan spiritual,
sangatlah minim terjadi. Hasil pengkajian, sebagaimana dipaparkan di atas, tentu memerlukan
ketekunan dalam melakukan analisa. Pelacakan terhadap ajaran-ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi yang
berkenaan dengan ziarah, tidaklah mudah dilakukan. Selain karena betapa rumit memahami
bahasa yang ia gunakan di beberapa karyanya, juga tidaklah sistematis dan terkesan acak di
lembaran-lembaran tulisannya. Untuk mengatasi problem ini, penulis menggunakan perangkat
atau unsur-unsur metode: (1) Deskripsi, yakni dengan mengutip langsung pendapat-pendapat
Ibn ‘Arabi>, (2) Interpretasi, digunakan untuk menafsir makna dari pendapatnya, dan (3)
Komparasi, yang penulis gunakan untuk membandingkan pendapatnya itu dengan tokoh-tokoh
sufi lain. Kemudian agar lebih jauh dalam memahami pemikirannya, penulis menggunakan
pendekatan sufistik dan sosio-antropologis. Pendekatan sufistik dimaksudkan untuk
menangkap secara empatik maksud dan tujuan filosofi pemikirannya tentang ziarah, yang itu
merupakan bagian dari ajaran tasawufnya. Sedangkan pendekatan sosio-antropologis
merupakan perangkat analisis yang digunakan penulis untuk mengurai fenomena ziarah
sebagai fakta yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Ibn ‘Arabi, tapi juga oleh masyarakat luas
di zaman modern. Penulis sengaja memilih pendekatan sosio-antropologis, karena hasil
penjelasan dalam penelitian ini tidak menginginkan suatu uraian bercorak teologis, yang
cenderung larut dalam perdebatan fiqhiyah soal boleh tidaknya seseorang melakukan ziarah.

A. Latar Belakang
Ziarah merupakan sebuah fenomena yang lazim dijumpai dalam masyarakat.
Masyarakat
Jawa mengenal ziarah kubur untuk mengingat/menghormati sanak saudara yang sudah
meninggal
atau menghormati tokoh-tokoh penting yang sudah meninggal, misalnya berziarah ke
makam
mantan presiden Indonesia, Bung Karno. Bagi umat Islam, mereka mempunyai
kewajiban untuk
berziarah ke Mekkah (naik haji). Umat Kristiani mengenal tradisi ziarah ke gua Maria
dan juga
ziarah ke Yerusalem. Berdasarkan fenomena tersebut, ziarah dapat dibedakan menjadi
dua yaitu
ziarah non-religius1 dan ziarah religius. Fenomena ziarah religius terjadi pada semua
agama2, hal ini
dapat dibuktikan dengan melihat setiap agama mempunyai tempat-tempat ziarah.
Namun meskipun
setiap tempat ziarah mempunyai afiliasi formal dengan tradisi agama tertentu, dalam
banyak kasus
tempat ziarah tersebut seringkali tidak hanya diziarahi oleh umat dari satu agama saja
tapi juga dari
umat beragama lainnya.3 Misalnya saja di Mesir, sudah sejak lama orang Kristen Koptik
dan
Muslim saling berbagi tokoh suci beserta makam keramat mereka. Sayyida Nafisa binti
al-Hasan,
merupakan tokoh yang sangat dihormat dan dimintai doa oleh penduduk non-Muslim di
Mesir.
Sebaliknya, banyak Muslim juga menghormati dan memohon pelbagai berkat dari santo
Koptik,
atau bahkan para imam Koptik yang masih hidup. Juga setiap awal bulan September,
para peziarah
Hindu dan Katolik di wilayah Tamil Nadu, India, datang ke situs Santo Yohanes de
Britto untuk
mengadakan festival bersama-sama, atau pergi ke Velankanni untuk menghormati
Bunda Maria
dengan pesta meriah selama seminggu.4
Pada akhir abad XX, fenomena melakukan perjalanan ziarah religius menjadi semakin
populer. Mengutip tulisan dalam artikel Bernhard Kieser, pada tahun 2006 jumlah orang
yang
melakukan perjalanan ziarah adalah 150 juta orang. Pada tahun 2007 diprediksi
jumlahnya
meningkat hingga angka 200 juta orang.5 Angka itu mencakup orang yang naik haji ke
Mekkah,
1 Ziarah yang obyek tujuannya bukan tempat-tempat keagamaan dan intinya merupakan penghormatan
kepada seorang
pribadi yang pernah mempunyai hubungan personal dengan yang bersangkutan atau kebetulan juga
menjadi tokoh-tokoh
panutan.
2 Kees de Jong, “Ziarah Menyentuh Yang Adi Kodrati”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama,
Yogyakarta: Duta
Wacana University Press, 2000, hal 267.
3 Bagus Laksana, Ziarah Kasiyo Sarkub, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 17.
4 Bagus Laksana, Ziarah Kasiyo Sarkub, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 17-18.
5 Bernhard Kieser, Berjiwa Ziarah Asli, dalam BASIS no. 9-10, tahun ke-56, 2007, hal 11.

2
yang bersemadi di Lumbini tempat kelahiran Pangeran Siddharta yang menjadi
Gautama Buddha,
serta mereka yang berziarah ke Roma dan Lourdes. Sedangkan perjalanan ziarah di
Indonesia belum
termasuk ke dalam angka itu. Padahal di Indonesia, ziarah merupakan praktik religius
yang dekat
dengan kehidupan masyarakat. Terutaman di kalangan Katolik, banyak tempat-tempat
ziarah
dibangun sebagai salah satu bentuk sarana bakti umat Katolik.
Perkembangan praktik religius ziarah terkait dengan berkembangnya devosi kepada
Bunda
Maria. Devosi berarti suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang
secara pribadi
mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi,
dicintai. Devosi
itu mencakup keterlibatan personal yang meliputi seluruh manusia, khususnya segi
emosional dan
afektif, tidak hanya terutama otak dan akal serta pemikiran.6 Dalam perjalanan sejarah,
munculnya
tempat-tempat ziarah dimulai sekitar tahun 200 ketika para martir menjadi sasaran
devosi rakyat.7
Awalnya para martir tersebut tidak menjadi sasaran devosi, mereka hanya menjadi
alasan untuk
memuji serta bersyukur kepada Allah karena apa yang Allah kerjakan melalui para
martir tersebut.
Jadi apa yang terjadi pada para martir itu mendorong umat untuk berdoa pada Allah.
Namun pada
perkembangannya, para martir dipahami sebagai sabahat Yesus Kristus, yang
mempunyai kekuatan
untuk menolong sehingga mereka menjadi sasaran devosi. Pada abad IV-VI tradisi
untuk berziarah
ke makam para martir atau membawa relikwi dari para martir menjadi sangat populer.
Relikwi
merupakan benda-benda peninggalan dari orang-orang yang meninggal atau bahkan
bagian dari
tubuh orang itu yang dipercaya mempunyai kekuatan semacam jimat.8 Dengan
diakuinya agama
Kristen sebagai agama negara pada abad IV maka zaman martir berakhir. Orang-orang
Kristen tidak
lagi dianiaya dan dibunuh, sehingga tidak ada lagi orang Kristen yang mati sebagai
martir karena
mempertahankan imannya. Selanjutnya, kehidupan devosi berkembang tidak hanya
kepada para
martir namun juga kepada orang-orang yang hidup demi Kristus dan taat pada-Nya
seperti Bunda
Maria. Pada kenyataannya, devosi pada Bunda Maria lebih menonjol dibandingkan
devosi pada
santo atau santa lainnya. Devosi pada Bunda Maria tersebut selanjutnya disalurkan
melalui ziarah.9
Makin maraknya devosi kepada Bunda Maria mendorong munculnya tempat-tempat
ziarah
di Indonesia seperti Sendangsono, Sendang Sriningsih, gua-gua Maria, yang merupakan
sarana bagi
6 C. Groenen, Mariologi Teologi & Devosi,Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal 150-151.
7 C. Groenen, Mariologi Teologi & Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal 158-159.
8 Michael Collins & Matthew A. Price, Millennium The Story of Christianity, Yogyakarta: Kanisius, 2006,
hal 91.
9 Ziarah itu sendiri sesungguhnya juga merupakan salah satu bentuk devosi, selain jalan salib, pendalaman
iman/kitab
suci, berbagai kebaktian, dsb. Lih Frans Harjawiyata (editor), Kehidupan Devosional, Yogyakarta:
Kanisius, 1993, hal
12.
3
umat berdevosi kepada Bunda Maria. Gua Maria Kerep Ambarawa merupakan salah
satu tempat
ziarah di Jawa Tengah dan di tempat inilah umat datang untuk berdevosi pada Bunda
Maria. Di
kawasan Gua Maria Kerep terdapat sarana bakti berupa dua jalur jalan salib, tempat
untuk
mengenang kisah sengsara Yesus sampai pada kematian-Nya. Jalur pertama merupakan
jalur pendek
yang terdapat di dalam kawasan Gua Maria Kerep, tempat 14 stasi perhentian jalan
salib. Sedangkan
jalur jalan salib lainnya merupakan jalur sepanjang 1,2 km yang dimulai dari pasturan
Santo Yusuf
Ambarawa dan berakhir di dekat pintu masuk Gua Maria Kerep Ambarawa. Selain rute
jalan salib,
dalam kawasan Gua Maria Kerep juga terdapat Gua Maria di mana umat biasa berdoa
sambil
meletakkan air, lilin, dan bunga di hadapan patung Bunda Maria. Di Gua Maria Kerep,
juga terdapat
sumber mata air, salib milenium, kapel Adorasi, dan taman doa. Dalam taman doa,
beberapa tempat
di tanah Palestina “dihadirkan”, seperti sungai Yordan tempat Yesus dibaptis, Kana
tempat mujizat
air diubah menjadi anggur, padang rumput luas tempat Yesus bermujizat dengan 5 roti
dan 2 ikan,
danau Galilea, serta kubur Yesus. Pembangunan taman doa ini dimaksudkan sebagai
tempat untuk
merenungkan peristiwa-peristiwa hidup Yesus. Dengan tersedianya berbagai sarana
bakti di tempat
ziarah Gua Maria Kerep, diharapkan dapat membantu devosi umat pada Bunda Maria
dan Yesus.
Pada zaman modern seperti saat ini, perkembangan teknologi seperti di bidang
transportasi,
sangat mempengaruhi segala sisi kehidupan manusia, termasuk dalam penghayatan
keagamaan.10
Ziarah yang merupakan salah satu bentuk penghayatan keagamaan turut mengalami
perubahan
seiring dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi. Pada awalnya, ziarah
dilakukan dengan
susah payah karena perjalanan yang sulit serta waktu yang lama, namun hal itu
terkadang juga
dimaksudkan agar pahala dari ziarah lebih tinggi.11 Pada saat ini, ziarah dapat dijalankan
dengan
mudah dan waktu yang relatif singkat karena kemajuan di bidang transportasi. Bahkan
karena
kemajuan itu, saat ini bermunculan agen-agen ziarah yang menawarkan satu paket
kunjungan ke
beberapa tempat (misalnya saja ziarah 9 gua Maria). Hal ini tentu saja mengandaikan
biaya yang
mahal, yang hanya terjangkau oleh kalangan ekonomi kuat. Praktik ziarah semacam ini
semakin
memperkuat kesan bahwa ziarah modern merupakan wisata rohani yang ikut memupuk
budaya
konsumtif yang pada akhirnya turut mempengaruhi pemaknaan ziarah umat.12 Ketika
umat
berziarah ke tempat-tempat yang suci di mana Bunda Maria berkarya dan mengabulkan
doa-doa,
10 Paul Budi Kleden, “Pembelajaran Solidaritas Lewat Ziarah”, dalam BASIS no 9-10, tahun ke-56, 2007,
hal 40.
11 Kees de Jong, “Ziarah Menyentuh Yang Adi Kodrati”, dalam Lima Titik Temu Agama-Agama,
Yogyakarta: Duta
Wacana University Press, 2000, hal 270.
12 Paul Budi Kleden, “Pembelajaran Solidaritas Lewat Ziarah”, dalam BASIS no 9-10, tahun ke-56, 2007,
hal 40.
4
umat seringkali datang dengan berbagai ujud-ujud. Jikalau ujud-ujud menjadi satu-
satunya motivasi
dalam perziarahan, maka tujuan tersebut dapat mendangkalkan makna dari ziarah.13
Keprihatinan
mengenai pemaknaan umat pada ziarah diungkapkan oleh Bernhard Kieser dalam
tulisannya
berjudul “Berjiwa Ziarah Asli”.14 Kieser mengatakan, seiring dengan perkembangan
zaman, praktik
ziarah pun ikut mengalami perkembangan, mulai dari cara melakukan perjalanan hingga
motivasi di
balik praktik ziarah. Namun seharusnya, yang menjadi pokok dari perjalanan ziarah
ialah bagaimana
para peziarah berjiwa ziarah asli. Yang dimaksudkan dengan berjiwa ziarah asli adalah
perubahan
dalam kehidupan peziarah. Ketika seseorang pergi berziarah, maka seharusnya orang itu
mengalami
perubahan dalam hidupnya sehingga ia menjadi tulus dan berdaya dalam dunia ini.
Berjiwa ziarah
asli artinya perubahan yang mendayakan orang untuk melakukan sesuatu bagi dunia.
Sesungguhnya, ziarah merupakan praktik religius yang dimaksudkan untuk membangun
spiritualitas umat. Tradisi Gereja Katolik mengakui bahwa ziarah dapat menguatkan
iman, ziarah
dapat membimbing umat menuju Allah, melalui ziarah umat memperoleh pengalaman
yang
kelihatan, nyata, dan terasa serta teraba tentang kerinduannya akan Allah.15 Namun
sering terjadi
bahwa dalam praktik berziarah umat menjalankannya berdasarkan kemauan dan
kebutuhan pribadi
yang dipengaruhi oleh mitos dan kebiasaan kebudayaan, yang justru bertentangan
dengan ajaran
gereja. Oleh karena itu, Paus Paulus VI menganjurkan dalam surat apostolis Marialis
Cultus (1974)
agar praktek ziarah dijauhkan dari segala takhayul dan justru makin di arahkan pada
tuntunan Injil.16
Menurut ajaran Konsili Vatikan II, ziarah yang berpusat pada devosi Maria : harus
berinspirasikan
Kitab Suci, devosi Maria harus berada dalam keharmonisan dengan liturgi gereja,
devosi itu harus
bersikap ekumenis.17 Dengan demikian diharapkan perziarahan dapat menandai
perubahan hidup
lama menjadi hidup baru, yakni cara hidup Kristiani.

Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:

1, Ketika masuk, sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah


meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajarkan
kepada para sahabat agar ketika masuk kuburan membaca,
"Semoga keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari
orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah
menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar
memberikan keselamatan kepada kami dan kamu sekalian (dari siksa)." (HR
Muslim)

2, Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :

"Janganlah kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian


duduk di atasnya." (HR. Muslim)

3, Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-


taqarrub (ibadah). Karena thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka’bah.
Allah berfirman,

"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah, Ka’bah)." (AI-Hajj: 29)

4, Tidak membaca Al-Qur’an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa


Sallam bersabda,

"Janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan


berlari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah." (HR.
Muslim)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-


Quran. Berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca
Al-Quran di kuburan adalah tidak shahih.

5, Tidak boleh memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun


dia seorang nabi atau wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak
(pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat
(yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-
orang yang zhalim." (Yunus: l06)
Zhalim dalam ayat di atas berarti musyrik.

6, Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan


mayit. Karena hal itu menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta
membuang-buang harta dengan tiada guna. Seandainya saja uang yang
dibelanjakan untuk membeli karangan bunga itu disedekahkan kepada orang-
orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat
untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru sangat membutuhkan
uluran bantuan tersebut."
Untuk lebih jelasnya mengenai hukum tabur bunga silahkan buka: hukum
tabur bunga (nyekar) menurut syar'i

7, Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Quran


atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang,

"Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan


membangun di atas-nya."

Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai


kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh’un,
lantas beliau bersabda,
"Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku." (HR. Abu Daud,
dengan sanad hasan).
Demikianlah cara-cara berziarah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada kita,
selain dari pada itu maka tentu bukan dari ajaran yang dibawa oleh baginda
Muhammad SAW

Anda mungkin juga menyukai