Anda di halaman 1dari 41

SEPUTAR

MASALAH

SHALAT JAMA
KARENA HUJAN






OLEH
M BUSROWI ABDULMANNAN

0
Pengantar
Segala puji hanya milik Alloh, sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rosululloh beserta para sahabat dan pengikut mereka yang
setia hingga akhir masa. Amma badu.
Sholat adalah ibadah yang sangat mulia, yang menjadi standar lahiriyah
tegaknya agama pada diri seorang hamba. Sebagaimana telah diketahui
bahwa suatu ibadah tidak akan diterima kecuali bila memenuhi dua syarat
yaitu ikhlash dan ittiba. Ikhlash artinya mempersembahkan ibadah tersebut
hanya untuk Alloh saja, sedangkan ittiba maknanya melaksanakannya sesuai
tata cara yang dituntunkan oleh Nabi.
Dan patut disayangkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sangat
malas menekuni ilmu agama, sehingga berbagai kesalahan yang terkait
dengan ibadah sholat ini pun terjadi dimana-mana. Disamping itu
ketidakpahaman (baca: kebodohan) ini akhirnya juga menyebabkan sebagian
sunnah (ajaran) Nabi ditinggalkan dan menjadi terasa asing di tengah ummat
Islam sendiri, Wallohul mustaaan (Alloh lah tempat kita meminta
pertolongan).
Oleh karena itulah sudah menjadi suatu keharusan bagi para imam untuk
membimbing jamaah yang dipimpinnya supaya mengetahui dan berusaha
mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang ditinggalkan manusia (As Sunan Al
Mahjuurah). Dengan memohon pertolongan dari Alloh Subhanahu wa taala
melalui risalah yang ringkas ini kami akan menyampaikan beberapa
keterangan para ulama mengenai salah satu sunnah Nabi yang ditinggalkan
manusia yaitu melakukan jamak antara maghrib dengan isyak tatkala hujan
turun. Semoga Alloh menjadikan amal ini ikhlash dan bermanfaat bagi para
hamba.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan
sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun
jamak takhir. Pada pernyataan menggabungkan salah satu sholat dengan
sholat yang lainnya yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang
boleh digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam
pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ashar dengan sholat
maghrib; (itu tidak boleh dikerjakan-pent) karena jenis sholat maghrib
berbeda dengan jenis sholat ashar, sholat ashar termasuk sholat nahariyah
(yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis
1
sholat lailiyah (yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk
dalam pengertian ini menggabungkan antara sholat Isyak dengan sholat Fajar
(shubuh-pent), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain (Syarhul
Mumti karya Syaikh Al Utsaimin, jilid 4 halaman 547. Kitab Sholat: Bab
Sholatnya orang yang mendapat udzur).
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jamak
yaitu: karena safar (bepergian), karena hujan dan karena suatu kebutuhan
tersendiri (bukan karena safar atau hujan) (lihat Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal
Kitabil Aziiz karya Syaikh Abdul Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu
Rajab cetakan I halaman 139-141).
Selain tiga sebab di atas ada juga sebab yang lain yaitu karena sakit yang
menyebabkan dia susah untuk mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah,
karena tanah sepanjang perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga
menyulitkan perjalanan ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat
keras sehingga menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa sebab yang membolehkan jamak
adalah: safar, sakit, hujan, timbunan lumpur, angin dingin yang bertiup
kencang, akan tetapi bukan berarti sebabnya hanya lima perkara ini saja,
karena itu sekedar contoh bagi pedoman umum (yang membolehkan jamak-
pent) yaitu karena disebabkan adanya al masyaqqah (kesulitan yang menimpa
orang yang hendak sholat-pent). Oleh karena itu pula seorang wanita yang
terkena istihadhah (penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara
terus menerus -pent) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur
dengan Ashar atau antara sholat Maghrib dengan sholat Isyak karena
kesulitan yang menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak
sholat. Begitu juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air
(untuk wudhu-pent) letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila
harus pergi ke sana setiap kali hendak sholat (diringkas dari Syarhul Mumti
halaman 553-559).
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendapat yang ada maka pendapat yang benar
adalah bahwasanya hukum menjamak sholat adalah Sunnah apabila memang
terdapat sebab yang membolehkannya. Hal ini disebabkan 2 alasan:

2
Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang
dikaruniakan oleh Alloh Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Taala senang
apabila rukhshohnya diambil.
Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak-pent) terkandung sikap
meneladani Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam, beliau pun melakukan
jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda
Nabi shollallohu alaihi wa sallam, Sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihat sholat yang kulakukan. (HR. Bukhori) (disarikan dari Syarhul
Mumti halaman 548-549).
Menjamak Sholat Ketika Turun Hujan
Sebagaimana telah disinggung di atas, turunnya hujan merupakan salah satu
sebab yang membolehkan (baca: hukumnya sunnah) kita menjamak sholat
Maghrib dengan sholat Isyak. Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan
yang sampai membuat pakaian yang terkena menjadi basah karena air hujan
yang jatuh banyak dan cukup deras, adapun hujan yang sedikit (baca: gerimis)
yang tidak membuat baju menjadi basah maka tidak boleh menjamak sholat
karenanya (diringkas dari Syarhul Mumti halaman 555).
Bolehnya menjamak ketika turun hujan didasari beberapa riwayat yang
bersumber dari Sahabat maupun tabiin (murid sahabat) serta tabiut tabiin
(murid tabiin) berikut ini:
Dari Nafi (seorang tabiin) dia menceritakan bahwasanya Abdulloh ibnu
Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara) menjamak antara
sholat Maghrib dengan isyak pada saat hujan turun maka beliaupun turut
menjamak bersama mereka.
Dari Musa bin Uqbah, dia menceritakan bahwasanya dahulu Umar bin Abdul
Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib dengan sholat Isyak apabila
turun hujan, dan sesungguhnya Said ibnul Musayyib (tabiin), Urwah bin
Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli ilmu) pada
zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari perbuatan
tersebut.
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, beliau menceritakan: Bahwa dahulu
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat
Zhuhur dengan Ashar dan antara sholat Maghrib dengan Isyak di kota
Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan.
Maka Ibnu Abbas pun ditanya Untuk apa beliau (Nabi) melakukan hal itu ?
3
maka Ibnu Abbas menjawab: Beliau bermaksud agar tidak memberatkan
ummatnya. (HR. Muslim dan lain-lain)
Syaikh Al Albani rohimahulloh mengatakan: (dalam perkataan Ibnu Abbas
ini -pent) Seolah-olah beliau menyampaikan bahwasanya menjamak karena
hujan adalah perkara yang sudah maruf (dikenal) di masa hidup Nabi
shollallohu alaihi wa sallam, kalaulah tidak karena latar belakang itu lalu
manfaat apa yang bisa dipetik dari penafian hujan sebagai sebab yang
membolehkan beliau untuk menjamak (Irwaul Ghalil, silakan lihat di Al
Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil Aziiz halaman 140-141, Kitab Sholat).
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Takhir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan: Yang lebih utama
adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang
pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap
lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-
orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan
cara jamak taqdim. (Syarhul Mumti halaman 563).
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat Isyak yang dijamak disyaratkan
keadaan masih hujan, adapun apabila sholat Isyak sudah dilakukan kemudian
di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu
terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (Isyak). Demikian
pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang
karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah
sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang
dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus
menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan (Disarikan
dari Syarhul Mumti halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?
Apabila hujan turun maka seorang muslim yang wajib menunaikan sholat
jamaah (baca: kaum lelaki) dibolehkan menjamak sholat (apabila dia
bersama imam di masjid -pent) atau sholat di rumahnya (karena hujan
termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri
sholat jamaah di masjid -pent).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid) walaupun jalan yang dilaluinya untuk
mencapai masjid sudah terlindungi dengan atap (sehingga tidak sulit baginya

4
menghadiri jamaah sholat Isyak nantinya ketika hujan belum reda -pent) hal
ini supaya dia tidak kehilangan (pahala) sholat berjamaah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur lain -
pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh menjamak;
karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak tersebut (karena
kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya tersebut-pent). Adapun kaum
wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh menjamak sholat karena hujan
sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan menjamak itu, dan
karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan menghadiri sholat
berjamaah. (Disarikan dari Syarhul Mumti halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda
waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan
secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup
kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak
bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut
yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah
dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat Isyak -pent)
atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang
sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (badiyah
maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena
ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah
rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan Isyak)
(Disarikan dari Syarhul Mumti halaman 567-569).
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, apabila ada kesalahan mohon segera
sampaikan kritikan dan koreksinya. Wallohu alam bish showaab.
Perhatian:
Penyebutan Maghrib dan Isyak ini adalah contoh saja, karena Zhuhur dan
Ashar pun boleh dijamak jika ada sebab yang membolehkannya, diantaranya
karena hujan.
Rujukan:
Syarhul Mumti karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, jilid 4
Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil Aziiz karya Syaikh Abdul Azhim bin
Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I
5
Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama shalat karena turun hujan
adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin
Abdurrahman berkata :

Sesungguhnya menjama antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari
turun hujan adalah
merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.). ( H. R. Al Atsram ).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman merupakan sunnah maksudnya
adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut
dianggap hadits Nabi s.a.w.
Hisyam bin Urwah telah berkata :




Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama antara
dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua
shalat tersebut Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan
Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang
dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang
menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus. (
Diriwayatkan oleh Al Atsram ).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :




Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah
menjama antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar .
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas
dikemukakan pula :


Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak
tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat
6
rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat )
shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjamanya) pada
malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya* (H.R. Bukhari).

Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini
telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits
tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama shalat, baik
taqdim maupun takhir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud
dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi
pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan
atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :


Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama shalat ketika turun hujan,
sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa.

Ada sebagian ulama yang membolehkan jamak baik dengan alasan (latar
belakang tertentu) ataupun tanpa alasan, asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat
bahwa seorang yang mukim boleh menjama? shalatnya apabila diperlukan
asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [Lihat syarh Muslim, imam
Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.]

Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah


?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam menjama? antara dhuhur dengan
ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal
itu kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa
Rasulullah saw tidak ingin memberatkan ummatnya.?[ HR. Muslim dll. Lihat
Sahihul Jami 1070.]
Pendapat ini adalah pendapat yang lemah. pendapat ini bertentangan dengan
nash-nash qathI yang menetapkan waktu-waktu shalat fardhu. Padahal
khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Quran atau dengan
hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Quran atau hadits mutawatir
serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang
hadits mutawatir bersifat qathi. selain itu nash-nash penetapan waktu shalat
7
fardhu bersifat mutlak. Sesuatu yang mutlak hanya bisa dikhususkan dengan
yang muqayyad seperti safar, hujan,dst. Sedangkan pembolehan menjamak
shalat secara mutlak (tanpa batasan tertentu) jelas menimbulkan kontradiksi
antara dua dalil.

Atas penjelasan ini, maka sikap yang seharusnya di ambil untuk kasus akhi
Rendi adalah:
1.Melaksanakan shalat margib diperjalanan, kemudian shalat isya setelah
sampai tujuan (rumah)
2.Menjamak shalat magribnya dengan dengan shalat isya diwaktu shalat
magrib (jamak taqdim). Apabila sudah masuk waktu shala isya maka dapat
melakukan jamak takhir di masjid terdekat dari rumahnya sebelum sampai
(masuk) ke rumah. Karena selama seseorang musafir belum sampai
dirumahnya maka statusnya masih safar. Apabila sampai di rumah diwaktu
isya maka tidak perlu lagi melaksanakan shalat isya. (ahkamu ash shalah hal
81)
Apa bila tidak sempat melakukan salah satu dari keduanya, yaitu untuk kasus
akhi Rendy. Maka hak rukhsah atas perjalanan yang dia lakukan telah
berakhir dengan sampainya sang musafir di rumahnya. Maka dalam hal ini
yang harus dia lakukan adalah mengqadha shalat magribnya yang tertinggal.
Caranya yaitu dengan melaksanakan shalat yang ditinggalkan (magrib, Tentu
dengan niat qadha) dan dilanjutkan dengan shalat isya. Hal ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan

Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia
baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena
dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya
Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun
hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum
8
mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau
pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu
beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat
Maghrib.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Saad r.a. dikemukakan :


:

} { :
.

Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga kami bar
menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana
dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah
s.a.w. memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan
beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan
shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah Maghrib dan
beliau pun shalat Maghrib.
)292 / 1( -




: :
"
.
)154 / 1( -
- :



,
. )1( -
9
, , - :
. )2( -
, - : -430
. )3( - ,
)167 / 43( - -







Hukum Sholat Berjamaah di Masjid Ketika Safar

Bagaimana hukum sholat berjamaah bagi bagi pria muslim di masjid ? dan
bagaimana bila ada pernyataan bahwa lebih utama sholat dirumah bersama
keluarga, serta bagaimana bila sholat berjamaah dimasjid selama safar ?

Sholat berjamaah lebih utama dibandingkan dengan munfarid, bagi laki-laki


dan perempuan. Oleh Rasulullah SAW ditegaskan bahwa tidak kurang dari 27
derajat. Berdasarkan hadits sebagai berikut.



( :



)
Dari Ibnu Umar sesungguhnya rasulullah SAW bersabda : (Shalat
berjamaah itu lebih utama dua puluh derajat dibandingkan shalat
menyendiri)H.r. Muslim, Bab Fadhlu shalatil jamaati wat tasydid fit
takhalluf anha, no. 1038.
Bahkan didalam hadits lain, selain kelipatan angka 27 itu masih ada
keutamaan lain, yaitu lebih baik lebih banyak pahalanya dan sekaligus lebih
berpengaruh terhadap kekhusukan shalat.

10
( :

:







)

Dari Ubaiy bin Kaab, ia berkata, suatu hari Rasulullah SAW mengimami
kami shalat subuh, lalu bersabda, sesungguhnya shalat seorang dengan
orang lainnya lebih banyak kebaikannya daripada shalatnya seorang diri,
dan shalatnya bersama dua orang lainnya lebih banyak kebaikannya
daripada shalatnya dengan seorang lainnya, maka lebih banyak jumlah
jamaah shalat itu lebih dicintai oleh Allah SWT H.r. Abu Daud, Bab fadhlu
shalatil jamaah, no. 467
Dengan demikian jelaslah bahwa keutamaan berjamaah ini tidak dibatasi oleh
tempat tertentu, tetapi ditentukan oleh jumlah orang shalat berjamaah.

Lebih utama di Mesjid


: () :
) : . : :

Dari Abu Hurairah R.a, ia berkata, Seorang laki-laki buta datang kepada
Nabi SAW kemudian ia berkata, Wahai Rasulullah sesungguhnya tiada
orang yang menuntunku untuk datang ke mesjid. Kemudian Rasulullah SAW
memberikan rukhsah (keringanan) kepadanya untuk shalat di rumah, akan
tetapi ketika orang itu berpaling Rasulullah SAW memanggilnya dan
bertanya, Apakah engkau mendengarkan panggilan untuk shalat (azan) ? ia
menjawab : ya, kemudian rasul bersabda,: maka jawablah azan itu H.r.
Muslim. Bab Yajibu ityanul masjid ala man samian nida, no. 1044
Berdasarkan hadits ini
) ( :



:

Sebaik-baiknya shalat seseorang itu adalah dirumahnya, kecuali shalat
wajib
Berdasarkan hadits ini jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan keutamaan
masjid sebagai tempat shalat berjamaah adalah untuk laki-laki. Perempuan
pun dapat melakukan shalat di masjid dengan seizin wali atau suaminya.
Tentu dengan tujuan untuk mendapatkan jumlah berjamaah yang lebih banyak
itu.

11
Dengan demikian, shalat berjamaah di rumah dengan keluarga lebih baik
dibandingkan shalat munfarid. Adapun pernyataan bahwa sholat berjamaah di
rumah bersama keluarga lebih utama dibanding dengan di mesjid, hal itu
benar bagi perempuan tidak benar bagi laki-laki.

Shalat di mesjid waktu safar


Sebagaimana telah kita maklumi bahwa hukum masjid itu berlaku bagi
muqim dan musafir tanpa ada perbedaan. Adapun rukhsah bagi musafir itu
berkaitan dengan shalat tidak berkaitan dengan tempat

Apakah musafir tetap shalat berjamaah di masjid? Syaikh Al-Bany ditanya:


Manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, apakah shalat di rumah
yang ia singgahi ataukah ia tetap datang ke masjid dan shalat bersama
masyarakat setempat?

Jawaban
Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi
seorang musafir untuk mendirkan shalat jum'at, begitu pula dengan kewajiban
mendirikan shalat berjamaah (di masjid). Akan tetapi shalat jamaah yang
digugurkan kewajibannya adalah shalat jamaah bersama masyarakat
setempat; sedangkan untuk sesama musafir mereka tetap wajib mendirikan shalat
berjamaah.

Adapun tentang yang mana dari pilihan itu yang lebih afdhal,maka saya
katakan bahwa yang lebih afdhal adalah yang lebih bermanfaat dan lebih
mudah bagi mereka. Dan hukum ini adalah seperti hukum shalatnya wanita di
rumah, yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah karena sabda
Nabi shalallahualaihi wa salllam

Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Akan tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa para wanita di zaman Nabi pun
bolak-balik ke masjid, dan mereka shalat di belakang Nabi shalallahualaihi
wa sallam hingga berkata sayyidah Aisyah radhiallahuanha

12
Dahulu, para wanita muslimat sering mengerjakan shalat Shubuh di
belakang Nabi, kemudian setelah itu mereka pulang dalam kegelapan
(Shubuh), mereka menutupkan pakaian yang mereka kenakan ke tubuh
mereka, dan mereka tidak dikenal kerena pekatnya gelap (awal Shubuh)

Wanita-wanita shahabiyah pada zaman nabi tetap pergi ke masjid untuk


mendirikan shalat walaupun shalat (di rumah) itu lebih baik dari mereka. Dan
hukum ini tetap berlaku.

Dari sini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa kadang-kadang di


dalam kekurangan itu muncul keutamaan. Dan di dalam keutamaan itu
kadang-kadang muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa
contoh di antaranya adalah shalatnya wanita di masjid.

Maka yang lebih afdhal bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih
afdhal lagi di dalam kamarnya (khusus). Semakin jauh dari pandangan,
semakin afdhal baginya.

Meskipun demikian para wanita di zaman Nabi banyak yang shalat di masjid,
karena mereka butuh kepada ilmu, dan ilmu tersebut tidak mungkin mereka
peroleh jika mereka shalat di rumah terus. Maka dalam keadaan seperti ini
shalatnya wanita di masjid lebih utama daripada shalatnya di rumah karena
akan mendapat manfaat yang besar berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang tidak
mereka dapatkan jika mereka
shalat di rumah. Dan keluarnya wanita seharusnya disertai dengan menjaga
adab-adab Islam, baik ketika ia berangkat, ketika kembali ke rumah, dan
ketika berada di perjalanan.

Berdasarkan hal ini, maka saya katakan: Jika seorang musafir mendapatkan
manfaat dan faidah jika shalat di masjid, maka lebih utama baginya shalat di
masjid, jika tidak maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Medi

SHALAT QASHAR DAN JAMA

13
SHALAT QASHAR
Shalat Qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Seperti shalat dhuhur, ashar dan isya.
Dalil disyariatkan shalat Qashar adalah antara lain:








101( )
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalatmu "., (QS: An-nisa: 101),
Hadis di bawah ini:


:

:

)2( )2(
.
"Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah swt., maka terimalah
shadaqahnya. (HR: Muslim).



:
) 3( )3(
Ibnu Umar berkata: saya menemani Rasulullah SAW, beliau dalam safarnya
tidak menambah atas dua rakaat begitu pula Abu Bakar, Umar dan Utsman.
(Muttafaq Alaih)
KEDUDUKAN SHALAT QASHAR.
Menurut para ulama terdapat tiga pendapat yang berkaitan dengan kedudukan
shalat Qashar.
Pertama, Pendapat yang menyatakan bahwa Qashar adalah Wajib. Pendapat
ini di ungkapkan oleh Hanafiyah. Dikatakan bahwa: diwajibkan bagi musafir
untuk melaksanakan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Tidak
boleh menambah lebih dari dua rakaat dengan sengaja. Wajib sujud sahwi
kalaupun lupa . Pendapat ini didasarkan pada hadis di bawah ini :

:
2/188 : ( ).
Shalat itu di wajibkan dua-dua, lelu ditetapkan dalam shalat safar dan di
tambah dalam shalat yang bermukim. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam riwayat lain, Allah mewajibkan shalat ketika pertama kali
mewajibkan adalah dua rakaat.














( : 189/2)
14
Allah mewajibkan shalat atas lisan nabi kalian ketika hadir (mukim) empat
rakaat dan dalam safar dua rakaat. (HR. Muslim)
Dalam riwayat At-Thabrani dengan lafadz: Rasulullah mewajibkan dua
rakaat dalam shalat safar dan ketika bermukim (hadar) empat rakaat. (Nasbu
ar-Raayah 2: 189)
Kedua, Shalat Qashar adalah sunnah muakkad. Pendapat ini di ungkap oleh
Malikiyah. Mereka beralasan dengan ayat al-Quran di atas dan hadis yang
menyatakan bahwa nabi SAW tidak pernah meninggalkan Qashar ketika
safar.
Ketiga, Shalat Qashar adalah Rukhsah (keringanan) yang boleh di pilih antara
mengambilnya atau tidak. Pendapat ini di ungkapkan oleh syafiiyyah dan
hanabilah, namun hanabilah mengatakan bahwa Qashar lebih afdhal secara
mutlaq dari pada menyempurnakannya. Dalilnya adalah:
Quran surat an-nisa: 101 menunjukkan bahwa Qashar merupakan rukhshah
pilihan antara dikerjakan maupun tidak seperti halnya rukhsah lainnya.
Hadis dibawah ini:




:
Dan juga,
. )2(
Dari ketiga pendapat imam tersebut, kemudian majelis tarjih dan tajdid
wilayah DIY, dalam buku himpunan putusan Majelis tarjih dan tajdid wilayah
Muhammadiyah setelah melihat pendapat-pendapat dan hujjah-hujjah
masing-masing ulama serta perdebatannya, menyatakan bahwa sebaiknya
musafir tidak meninggalkan Qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat
dengan orang yang mewajibkannya, dan memang Qashar inilah yang lebih
baik menurut mayoritas ulama.
Ibnu Timiyah dalam al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya.
Dia menyebutkan nukilan dari Imam Ahmad, yang tidak mengomentari
sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu
Taimiyah juga berkata: Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan,
begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini
menunjukkan bahwa dua rakaat lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas
ulama.
SAFAR SEBAGAI SARAT QASHAR
15
Shalat Qashar selalu berkaitan dengan safar. Karena itu berbagai perbedaan
pendapat mengenai shalat qashar berawal dari pengertian safar. Karena itu
perlu ditegaskan disini pengertian safar.
Definisi safar adalah adalah suatu kondisi yang biasa dianggap orang itu
safar, tidak bisa dibatasi oleh jarak tertentu atau waktu tertentu.. hal itu karena
tidak ditemukan adanya batasan dari nabi. Selama seseorang itu terpisah dari
tempat tinggalnya dan menurut ukuran orang itu sudah dianggap safar, maka
berarti dia dalam kondisi safar.
Untuk mempertegas pengertian safar, perlu di perhatikan dua istilah yang
terkait; yaitu muqim dan muwathin. Istilah muqim telah disebut dalam
definisi di atas yang berarti kebalikan dari musafir. Orang yang bertempat
tinggal pada daerah tertentu dan dia bukan dari penduduk asli maka dia
disebut muqim, namun apabila dia adalah penduduk asli maka disebut
muwathin. Sementara yang berada pada tempat bukan tempat tinggalnya,
bukan muqim dan bukan pula muwathin, maka disebut musafir.
Dengan demikian, apabila safar adalah sarat dibolehkannya qashar. Maka
selama seseorang itu bepergian pada jarak yang menurut kebiasaan
masyarakat sudah dianggap safar dan tidak bermaksud muqim meskipun
dalam waktu yang lama, maka dia berhak melakukan qashar.
Itu pendapat pertama dari para ulama yang lebih condong bahwa safar itu
mutlaq tidak terbatas jarak dan waktu. Hal ini karena batas jarak dan waktu
yang disebutkan dalam beberapa hadis tidak menunjukkan batas boleh dan
tidak bolehnya menqashar, karena hadis tersebut hanya menceritakan bahwa
nabi pernah melaksanakan dalam batas sekian atau waktu sekian, dan tidak
ada sedikitpun ketegasan bahwa jarak dan waktu tersebut adalah ketentuan.
Bahkan ibnu Mundzir mengatakan ada dua puluh pendapat dan yang paling
kuat adalah tidak ada batasan jarak selama mereka dinamakan musafir
menurut kebiasaan maka ia boleh mengqashar shalatnya. Karena kalau ada
ketentuan jarak yang mesti menjelaskan kepada kita. (al-Muhalla, 21/5)
Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang mengakuhi adanya batas
minimal dan waktu maksimal dibolehkannya qashar bagi seorang musafir.
Rasulullah saw pernah mengqashar shalat ketika perjalanannya kira-kira tiga
mil atau tiga farsakh dan enam mil arab. Dan ini merupakan batas minimal
jarak nabi melakukan qashar.






16
Artinya:dari Anas ra. Berkata: saya pernah shalat dhuhur bersama rasulullah
saw di Madinah empat rakaat, tetapi saya shalat ashar bersamanya di Dzil
Hulaifah dua rakaat. (HR. Bukhari Muslim)
Jarak antara madinah dengan Dzil Hulaifah adalah enam mil.









Apabila Rasulullah saw keluar dalam perjalanan tiga mil (atau tiga farsakh)
beliau shalat dua rakaat. (HR. Muslim)
Dalam fatwa-fatwa tarjih: Tanya jawab agama 5 disebutkan bahwa 1 farsakh
adalah kurang lebih 8 kilometer.
Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:"
Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4
burd dari Mekah ke Asfaan" (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadis mauquf)

"Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:" Qashar shalat dalam jarak
perjalanan sehari semalam"
"Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa
pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh".

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4


burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Sedangkan hadis Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah
perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau
perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4
burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini
mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi'i dan imam Ahmad
serta pengikut ketiga imam tadi.

Kemudian Rasulullah saw mengqashar shalat selama Sembilan belas hari.


Dan ini bisa dijadikan dalil batas waktu maksimal nabi melakukan Qashar.





Dari Ibnu Abbas berkata: Tatkala Rasulullah saw menaklukkan kota makkah,
beliau berada disana Sembilan belas hari dengan shalat (Qashar) dua rakaat.
(HR. Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan:
17
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: nabi tinggal disuatu daerah selama
Sembilan belas hari, selalu shalat qashar. Maka kami apabila bepergian
selama Sembilan belas hari selalu mengqshar shalat, dan apabila lebih kami
menyempurnakannya. (HR. Bukhari)
Diriwayatkan dari yahaya bin ishaq ia berkata: saya mendengar anas
berkata:saya keluar bersama nabi dari madinah ke mekkah kemudian dia
shalat dua rakaat-dua rakaat (dhuhur-ashar) hingga kami kembali ke Madinah.
Saya bertanya: apakah kamu tinggal di Makkah beberapa hari? Ia berkata;
kami tinggal selama sepuluh hari.(HR. Bukhari)
Kesimpulannya:
Tidak ada ketetapan yang meyakinkan mengenai batas jarak dan batas waktu
dibolehkannya qashar bagi seorang musafir. Karena itu, ketika seseorang
telah keluar dari rumahnya pergi ketempat lain dan tidak bermaksud untuk
bermukim di sana, berapapun jarak dan waktunya, maka dia diberi keringanan
untuk mengqashar shalat. Namun jika ada yang berpandangan bahwa jika
telah menempuh jarak 3 farsakh maka di bolehkan mengqashar shalat itu
tidak mengapa karena di dukung oleh hadis riwayat Muslim.

Menjamak Shalat Karena Hujan


Kategori: Fiqh dan Muamalah
38 Komentar // 20 Oktober 2008
Pengantar
Segala puji hanya milik Alloh, sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rosululloh beserta para sahabat dan pengikut mereka yang
setia hingga akhir masa. Amma badu.
Sholat adalah ibadah yang sangat mulia, yang menjadi standar lahiriyah
tegaknya agama pada diri seorang hamba. Sebagaimana telah diketahui
bahwa suatu ibadah tidak akan diterima kecuali bila memenuhi dua syarat
yaitu ikhlash dan ittiba. Ikhlash artinya mempersembahkan ibadah tersebut
hanya untuk Alloh saja, sedangkan ittiba maknanya melaksanakannya sesuai
tata cara yang dituntunkan oleh Nabi.
Dan patut disayangkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sangat
malas menekuni ilmu agama, sehingga berbagai kesalahan yang terkait
dengan ibadah sholat ini pun terjadi dimana-mana. Disamping itu
ketidakpahaman (baca: kebodohan) ini akhirnya juga menyebabkan sebagian

18
sunnah (ajaran) Nabi ditinggalkan dan menjadi terasa asing di tengah ummat
Islam sendiri, Wallohul mustaaan (Alloh lah tempat kita meminta
pertolongan).
Oleh karena itulah sudah menjadi suatu keharusan bagi para imam untuk
membimbing jamaah yang dipimpinnya supaya mengetahui dan berusaha
mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang ditinggalkan manusia (As Sunan Al
Mahjuurah). Dengan memohon pertolongan dari Alloh Subhanahu wa taala
melalui risalah yang ringkas ini kami akan menyampaikan beberapa
keterangan para ulama mengenai salah satu sunnah Nabi yang ditinggalkan
manusia yaitu melakukan jamak antara maghrib dengan isyak tatkala hujan
turun. Semoga Alloh menjadikan amal ini ikhlash dan bermanfaat bagi para
hamba.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan
sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun
jamak takhir. Pada pernyataan menggabungkan salah satu sholat dengan
sholat yang lainnya yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang
boleh digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam
pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ashar dengan sholat
maghrib; (itu tidak boleh dikerjakan-pent) karena jenis sholat maghrib
berbeda dengan jenis sholat ashar, sholat ashar termasuk sholat nahariyah
(yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis
sholat lailiyah (yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk
dalam pengertian ini menggabungkan antara sholat Isyak dengan sholat Fajar
(shubuh-pent), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain (Syarhul
Mumti karya Syaikh Al Utsaimin, jilid 4 halaman 547. Kitab Sholat: Bab
Sholatnya orang yang mendapat udzur).
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jamak
yaitu: karena safar (bepergian), karena hujan dan karena suatu kebutuhan
tersendiri (bukan karena safar atau hujan) (lihat Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal
Kitabil Aziiz karya Syaikh Abdul Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu
Rajab cetakan I halaman 139-141).
Selain tiga sebab di atas ada juga sebab yang lain yaitu karena sakit yang
menyebabkan dia susah untuk mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah,
karena tanah sepanjang perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga
19
menyulitkan perjalanan ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat
keras sehingga menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa sebab yang membolehkan jamak
adalah: safar, sakit, hujan, timbunan lumpur, angin dingin yang bertiup
kencang, akan tetapi bukan berarti sebabnya hanya lima perkara ini saja,
karena itu sekedar contoh bagi pedoman umum (yang membolehkan jamak-
pent) yaitu karena disebabkan adanya al masyaqqah (kesulitan yang menimpa
orang yang hendak sholat-pent). Oleh karena itu pula seorang wanita yang
terkena istihadhah (penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara
terus menerus -pent) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur
dengan Ashar atau antara sholat Maghrib dengan sholat Isyak karena
kesulitan yang menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak
sholat. Begitu juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air
(untuk wudhu-pent) letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila
harus pergi ke sana setiap kali hendak sholat (diringkas dari Syarhul Mumti
halaman 553-559).
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendapat yang ada maka pendapat yang benar
adalah bahwasanya hukum menjamak sholat adalah Sunnah apabila memang
terdapat sebab yang membolehkannya. Hal ini disebabkan 2 alasan:
Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang
dikaruniakan oleh Alloh Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Taala senang
apabila rukhshohnya diambil.
Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak-pent) terkandung sikap
meneladani Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam, beliau pun melakukan
jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda
Nabi shollallohu alaihi wa sallam, Sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihat sholat yang kulakukan. (HR. Bukhori) (disarikan dari Syarhul
Mumti halaman 548-549).
Menjamak Sholat Ketika Turun Hujan
Sebagaimana telah disinggung di atas, turunnya hujan merupakan salah satu
sebab yang membolehkan (baca: hukumnya sunnah) kita menjamak sholat
Maghrib dengan sholat Isyak. Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan
yang sampai membuat pakaian yang terkena menjadi basah karena air hujan
yang jatuh banyak dan cukup deras, adapun hujan yang sedikit (baca: gerimis)
20
yang tidak membuat baju menjadi basah maka tidak boleh menjamak sholat
karenanya (diringkas dari Syarhul Mumti halaman 555).
Bolehnya menjamak ketika turun hujan didasari beberapa riwayat yang
bersumber dari Sahabat maupun tabiin (murid sahabat) serta tabiut tabiin
(murid tabiin) berikut ini:
Dari Nafi (seorang tabiin) dia menceritakan bahwasanya Abdulloh ibnu
Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara) menjamak antara
sholat Maghrib dengan isyak pada saat hujan turun maka beliaupun turut
menjamak bersama mereka.
Dari Musa bin Uqbah, dia menceritakan bahwasanya dahulu Umar bin Abdul
Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib dengan sholat Isyak apabila
turun hujan, dan sesungguhnya Said ibnul Musayyib (tabiin), Urwah bin
Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli ilmu) pada
zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari perbuatan
tersebut.
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, beliau menceritakan: Bahwa dahulu
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat
Zhuhur dengan Ashar dan antara sholat Maghrib dengan Isyak di kota
Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan.
Maka Ibnu Abbas pun ditanya Untuk apa beliau (Nabi) melakukan hal itu ?
maka Ibnu Abbas menjawab: Beliau bermaksud agar tidak memberatkan
ummatnya. (HR. Muslim dan lain-lain)
Syaikh Al Albani rohimahulloh mengatakan: (dalam perkataan Ibnu Abbas
ini -pent) Seolah-olah beliau menyampaikan bahwasanya menjamak karena
hujan adalah perkara yang sudah maruf (dikenal) di masa hidup Nabi
shollallohu alaihi wa sallam, kalaulah tidak karena latar belakang itu lalu
manfaat apa yang bisa dipetik dari penafian hujan sebagai sebab yang
membolehkan beliau untuk menjamak (Irwaul Ghalil, silakan lihat di Al
Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil Aziiz halaman 140-141, Kitab Sholat).
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Takhir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan: Yang lebih utama
adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang
pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap
lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-
orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan
cara jamak taqdim. (Syarhul Mumti halaman 563).
21
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat Isyak yang dijamak disyaratkan
keadaan masih hujan, adapun apabila sholat Isyak sudah dilakukan kemudian
di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu
terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (Isyak). Demikian
pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang
karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah
sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang
dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus
menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan (Disarikan
dari Syarhul Mumti halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?
Apabila hujan turun maka seorang muslim yang wajib menunaikan sholat
jamaah (baca: kaum lelaki) dibolehkan menjamak sholat (apabila dia
bersama imam di masjid -pent) atau sholat di rumahnya (karena hujan
termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri
sholat jamaah di masjid -pent).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid) walaupun jalan yang dilaluinya untuk
mencapai masjid sudah terlindungi dengan atap (sehingga tidak sulit baginya
menghadiri jamaah sholat Isyak nantinya ketika hujan belum reda -pent) hal
ini supaya dia tidak kehilangan (pahala) sholat berjamaah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur lain -
pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh menjamak;
karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak tersebut (karena
kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya tersebut-pent). Adapun kaum
wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh menjamak sholat karena hujan
sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan menjamak itu, dan
karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan menghadiri sholat
berjamaah. (Disarikan dari Syarhul Mumti halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda
waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan
secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup
kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak
bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut
22
yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah
dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat Isyak -pent)
atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang
sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (badiyah
maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena
ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah
rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan Isyak)
(Disarikan dari Syarhul Mumti halaman 567-569).
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, apabila ada kesalahan mohon segera
sampaikan kritikan dan koreksinya. Wallohu alam bish showaab.
Perhatian:
Penyebutan Maghrib dan Isyak ini adalah contoh saja, karena Zhuhur dan
Ashar pun boleh dijamak jika ada sebab yang membolehkannya, diantaranya
karena hujan.
Rujukan:
Syarhul Mumti karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, jilid 4
Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil Aziiz karya Syaikh Abdul Azhim bin
Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Dari artikel Menjamak Shalat Karena Hujan Muslim.Or.Id by null

taqdim, jika pada waktu shalat yang terakhir maka disebut sebagai jamak
takhir. Sederhananya sepertiini:Dhuhur + Ashar pada waktu shalat dhuhur =
Jamak TaqdimDhuhur + Ashar pada waktu shalat Ashar = Jamak Takhir
Shalat Jamak ketika berada dalam perjalanan
1. "Nabi SAW menjamak antara maghrib dan Isya jika perjalannya berat"
(HR Bukhari dan Muslim)2. "Nabi SAW menjamak shalat Dhuhur dengan
Ashar jika berada dalam perjalanan, begitu pulabeliau SAW menjamak antara
Maghrib dan Isya" (HR Bukhari)3. "Bahwasanya ketika Nabi SAW berada
pada perang Tabuk, beliau menjamak antar dhuhur denganashar, dan maghrib
dengan isya. Dan suatu hari beliau mengakhirkan shalat kemudian beliau
23
SAW keluar dan melaksanakan shalat Dhuhur dengan Ashar secara jamak,
kemudian masuk kembali (kedalam tenda), kemudian beliau SAW keluar dan
melaksanakan shalat Maghrib dengan Isya secara jamak." (HR Muslim, Ibnu
Majah, Abu Daud, An-Nasa'i)
Dalil yang digunakan adalah:1) Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasululloh
SAW apabila beliau melakukan perjalanan sebelummatahari condong (masuk
waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan sholat zuhur
kemudianmenjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila
beliau melakukan perjalanan sesudahmatahari condong, beliau menjamak
sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru kemudian beliau berangkat.
Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau
mengakhirkan sholatmagrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika
beliau berangkat sesudah masuk waktumagrib,maka beliau menyegerakan
sholat isya dan menjamaknya dengan sholat magrib. (HaditsRiwayat Ahmad,
Abu Daud dan Tirmidzi).2)Rasululloh SAW menjamak sholat magrib dan
isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salahsatu perbuatan sahabat,
dari Nafi: bahwa Abdulloh Ibnu Umar sholat bersama para umara
(pemimpin)apabila para umara tersebut menjamak sholat magrib dan isya
pada waktu hujan. (HR Bukhori)3) Rasululloh SAW menjamak antara sholat
zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukankarena rasa takut dan
hujan. (HR Muslim)4) Adalah Rasululloh SAW dalam peperangan Tabuk,
apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau
mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu

beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak
berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar
bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian
beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib
maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya,
dan apabila beliau berangkatsetelah Maghrib maka beliau menyegerakan
Isya dan melakukan shalat Isya bersama Maghrib. (HR Tirmidzi)5) Dari
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika
berada dalam perjalanan, juga menjama antaraMaghrib dan Isya. (HR
Bukhari)Ada beberapa syarat melakukan sholat jama, yaitu:1. Bepergian
jauh dan tujuannya bukan untuk bermaksiat.2. Apabila melakukan sholat
24
berjamaah, maka imamnya harus musafir juga.3. Karena sedang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.
Misalnyaseorang dokter yang mesti melakukan operasi.Ada 2 jenis sholat
jama, yakni:1. Jama Taqdim (ada juga yg menuliskan tadim, takdim,
dst)Jama taqdim adalah menarik lebih awal waktu sholat. Jadi, apabila kita
hendak bepergian yg kira2cukup jauh di waktu Dhuhur, usai sholat Dhuhur
kita lanjutkan dengan sholat Ashar. Hal yang sama berlaku untuk sholat Isya,
yang dilakukan di saat Magrib.Yang tidak diperbolehkan dijama taqdim
adalah Dhuhur di waktu Subuh, ataupun Magrib di waktuAshar. Selain itu
tidak boleh menjama Ashar dg sholat Jumat (di hari Jumat).Untuk
melaksanakan sholat jama taqdim, maka ada hal-hal yg mesti diperhatikan:a.
Kerjakan dulu sholat Dhuhur baru Ashar (atau Magrib dulu baru Isya). b. Niat
jama dilakukan saat hendak sholat Dhuhur atau Magrib. Dengan demikian,
tidak sah jika niat jama dilakukan saat sholat Ashar atau Isya.c. Dilakukan
menyambung, dalam artian, tidak melakukan sholat sunnah setelah sholat
Dhuhur atauMagrib.2. Jama Takhir (ada juga yg menulis tahir, taqhir, dst)Jama
takhir kebalikan dari poin 1. Dengan demikian, kita mengulur sholat di
waktu berikutnya.

Berdasarkan poin 1, maka kita bisa simpulkan bahwa jama takhir itu berarti
sholat Dhuhur & Ashar diwaktu Ashar, dan sholat Maghrib & Isya di waktu
Isya.Hal yg tidak diperbolehkan adalah Isya di saat Subuh dan Ashar di saat
Maghrib.Untuk melaksanakan sholat jama takhir, maka ada hal-hal yg mesti
diperhatikan:a. Niat jama tetap dilakukan di saat sholat Dhuhur atau
Magrib. b. Kita masih berada dalam perjalanan pada saat Ashar atau
Isya.Khusus untuk sholat jama takhir, kita mesti mendahulukan waktu sholat
yg terakhir. Sebagai contoh, jika kita jama takhir Dhuhur dan Ashar, maka
kita sholat Ashar dahulu barulah sholat Dhuhur.Tata cara sholat jama sama
dengan sholat biasa.Shalat Subuh tidak boleh diqashar atau dijamak.
Sedangkan shalat Maghrib hanya bisa dijamak denganIsya dan tidak boleh
diqashar. Mereka yang memenuhi syarat, boleh sekaligus menjamak
danmengqasar sementara kita bisa menggabung jama' dan qasar
1
1

25
Di dalam bukunya, As-Shalah (hal 181), Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar menyatakan
bahwa Rasululloh SAW pernahmelakukan gabungan jama dan qashar sekaligus.
Pendapat ini juga merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Haruskah shalat jamak mathor (menjamak shalat karena hujan)


dilakukan di masjid jami, bolehkah di tempat seperti basecamp atau di
rumah bersama keluarga?
Jawaban :
Menjamak sholat karena hujan hanyalah diterapkan pada sholat jama'ah di
masjid atau di tempat-tempat yang biasa dipakai untuk sholat jama'ah. Hal itu
dimaksudkan agar para jama'ah tidak perlu repot-repot pulang dan balik lagi
ke masjid untuk menghadiri sholat jam'ah berikutnya dalam keadaan hujan
lebat, yang kadang diiringi dengan petir atau banyaknya lumpur di jalanan.
Dan ini tidak dialami oleh seseorang yang berada di rumah bersama
keluarganya. Oleh karena itu, menjamak sholat karena hujan di dalam rumah
bersama keluarga hukumnya tidak boleh, karena alasan dibolehkannya
menjamak dua sholat di masjid karena hujan tidak terdapat di dalam rumah.
Ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi pernah menjamak shalat
tanpa sebab, bagaimana praktiknya sekarang?
Jawaban :
Hadist yang dimaksud adalah hadist Ibnu Abbas ra, :
- -
.

Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata : Rasulullah menjamak shalat Zhuhur dan
'Ashar serta shalat Maghrib dan 'Isya' di Madinah tanpa adanya rasa takut dan
tidak juga hujan dan dalam hadis Waki berkata : Saya bertanya Ibnu
Abbas, kenapa beliau demikian itu? Dia menjawab : Agar umatnya tidak
merasa berat (HR. Muslim)
Para ulama masih berbeda pendapat tentang maksud dari hadist di atas, tetapi
yang jelas, kita tidak dianjurkan untuk menjamak sholat tanpa ada sebab,
kecuali dalam masalah yang benar-benar darurat, seperti ketika melakukan
operasi, jika ditinggal untuk sholat akan menyebabkan kematian pasien.
Begitu juga sebagian ulama membolehkan bagi yang menderita sakit berat
untuk menjamak sholat.

26
Ketika hujan turun pada saat shalat berjamaah di masjid, manakah
yang lebih baik antara menjamak shalat dan tidak?
Jawaban :
Ketika turun hujan pada sholat berjama'ah di masjid, jika hujannya deras,
maka sebaiknya imam menjama sholat. Hal ini berdasarkan beberapa atsar
sahabat diantaranya adalah sebagai berikut :
1/ Dari Nafi', " Abdullah bin 'Umar ra, jika para umara' menjamak shalat
Maghrib dan 'Isya' karena alasan hujan, dia pun ikut menjamak bersama
mereka (Hadist Shahih Riwayat Baihaqi )
2/ Dari Hisyam bin Urwah: "Ayahnya, Urwah, Sa'id bin Musyyab, dan Abu
Bakar bin 'Abdurrahman bin al-harits bin Hisyam bin Mughairah al-
Makhzumi, mereka semua pernah manjamak shalat Maghrib dan 'Isya' pada
suatu malam yang diguyur hujan. Mereka menjamak kedua shalat dan tidak
ada yag mengingkari hal tersebut." (Hadist Shahih Riwayat Baihaqi )
3/ Dari Musa bin 'Uqbah : 'Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah manjamak shalat
Maghrib dan 'Isya' jika turun hujan. Bahwasannya Sa'id bin Musayyab,
Urwah bib Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan para syaikh pada zaman
itu pernah mengerjakan sholat bersama mereka dan tidak ada yang
mengingkari hal tersebut." (Hadist Shahih Riwayat Baihaqi )
Akan tetapi jika hujannya hanya rintik-rintik dan tidak membasahi baju, dan
jalan tidak becek, maka sebaiknya tidak dijama.
MAKNA DAN HUKUM QASHAR
Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami
Download PDF
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (dhuhur, Ashar dan Isya)
menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mujamul Washit hal
738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Quran, As Sunnah dan Ijma. (lihat
Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/165).
Allah Taala berfirman:

27
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
(QS. an Nisaa: 101).
Dari Yala bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul
Khaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: Jika kamu
takut diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman?. Sahabat
Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu
itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah
kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut. (HR. Muslim dan Abu
Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat
melalui lisan Nabimu Shalallahu Alaihi Wassalam empat rakaat apabila
hadhar (mukim) dan dua rakaat apabila safar. (HR. Muslim, Ibnu Majah,
Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu anhu berkata:Shalat safar (musafir) adalah dua
rakaat, shalat Jumat adalah dua rakaat dan shalat Ied adalah dua
rakaat. (HR.Ibnu Majah dan An Nasai dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: Aku menemani Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah
atas dua rakaat sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar
radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua rakaat
sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau
tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, kemudian aku
menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah
atas dua rakaat sampai wafat. Dan Allah Taala telah berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu. (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu : Kami pergi bersama Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka

28
beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.
(HR. Bukhari dan Muslim).
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-,
karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi
seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa
disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan
batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan
dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas.
(lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Maad, Ibnul Qayyim 1/481,
Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath
Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau
batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita
mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar
80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan
Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah
meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke
rumahnya. (Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya
melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas radhiallahu anhu: Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam di kota Madinah empar rakaat dan di Dzul Hulaifah (luar
kota Madinah) dua rakaat. (HR. Bukhari, Muslim dll).
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat.
Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat:
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada
batasan waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sadi, Syaikh Bin Biz,
Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa
seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia
29
mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia
berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu
dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu
dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-
dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari
mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan
belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu
anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.
(Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam
tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya
mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk
kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah
perantauan tersebut. (lihat Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwaul
Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).
SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat
nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah
yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan badiyah) maupun yang
lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi
Wassalam shalat delapan rakaat pada hari penaklukan kota Makkah atau
Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyariatkan adalah meninggalkan
(tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan badiyah) saja ketika
safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma
bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib
setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku
shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan
menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai
saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam
dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai
30
wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau
tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, kemudian aku
menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas
dua rakaat sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu
anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat.
Dan Allah Taala telah berfirman: Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik
bagimu. (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Maad, Ibnul
Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al
Bassam 2/223-229. Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu lainnya seperti shalat malam,
witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan
tahiyyatul masjid- dan tathawwuutlat adalah tidak mengapa dilakukan dan
bahkan tetap disyariatkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.
JAMA
Menjama shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar
atau Maghrib dg Isya) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh
seseorang melakukan jama taqdim dan jama takhir. (lihat Fiqus Sunnah
1/313-317).
Jama Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur,
Maghrib dan Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama Taqdim harus
dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh
terbalik.
Adapun Jama Takhir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan
dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu
Ashar, Maghrib dab Isya dikerjakan dalam waktu Isya.Jama Takhir boleh
dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang
afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh
Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur,
jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

31
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama shalatnya
adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat
tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll),
dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim
bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :Sebagian Imam (ulama) berpendapat
bahwa seorang yang mukim boleh menjama shalatnya apabila diperlukan
asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan. (lihat Syarah Muslim, imam
Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam menjamaara Dhuhur dengan Ashar dan antara
Maghrib dengan Isya di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat
lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas
beliau menjawab:Bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam tidak ingin
memberatkan umatnya. (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami 1070).
MENJAMA JUMAT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama antara shalat Jumat dengan shalat Ashar
dengan alas an apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada
keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama
antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama antara Jumat dan
Ashar, dan yang ada adalah menjama antara Dhuhur dan Ashar dan antara
Maghrib dan Isya. Jumat tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena
sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan
dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan
dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu
dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: Barangsiapa membuat
perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari
padanya (tidak berdasar) maka tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam
riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.
(HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya
masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama
dengan shalat lain. (Lihat Majmu Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
32
JAMA DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak ada kelaziman antara jama dan qashar. Musafir disunahkan untuk
mengqashar shalat dan tidak harus menjama, yang afdhal bagi musafir yang
telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah
mengqashar saja tanpa menjama sebagaimana dilakukan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji wada,
yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama (lihat Sifat haji Nabi
Shalallahu Alaihi Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu Alaihi
Wassalam pernah melakukan jama sekaligus qashar pada wkatu perang
Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ).
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam selalu melakukan jama sekaligus
qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah
181.Pendapat ini merupakan fatwa para ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz
bin Baz). Jadi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sedikit sekali
menjama shalatnya karena beliau Shalallahu Alaihi Wassalam
melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/308).
MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjamaah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila
seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti
shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila ia shalat bersama-
sama musafir maka shalatnya di qashar (dua rakaat). Hal ini didasarkan atas
riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin
Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu
aku bertanya:Kami melakukan shalat empat rakaat apabila bersama kamu
(penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-
sama musafir) maka kami shalat dua rakaat? Ibnu ABbas radhiallahu
anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam). (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih.
Lihat Irwaul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia
mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan
shalat mereka sampai selesai (empat rakaat), namun agar tidak terjadi
kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya
bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
33
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah
dia (imam) salam dari dua rakaat. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi
imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu Alaihi Wassalam berkata:
Sempurnakanlah shalatmu (empat rakaat) wahai penduduk Makkah!
Karena kami adalah musafir. (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu Alaihi
Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat
rakaat setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan
Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya
dan dia shalat empat rakaat (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa
karena hukum qashar adalah sunnah muakkadah dan bukan wajib. (lihat
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
SHALAT JUMAT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jumat bagi musafir,
namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat
Jumat maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jumat bersama mereka.
Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafii, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu
Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu Syar
Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar
(bepergian) tidak shalat jumat dalam safarnya, juga ketika haji wada, beliau
SAW tidak melaksanakan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat
Dhuhur yang di jama dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama
Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal
73). Demikian pula para Khulafa Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu
anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang
setelah mereka apabila safar tidak shalat Jumat dan menggantinya dengan
Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku
tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun
mengqashar shalat dan tidak shalat Jumat.
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua
tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jumat.

34
Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma
(kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg
tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Di ambil dari materi Kajian Majelis Taklim dan Dakwah Husnul Khotimah
Masjid An Nut Jagalan Malang, pengasuh Al Ustadz Abdullah Shaleh Al
Hadromi.
Pertanyaan :
Aswb. Misalnya kita dalam perjalanan pulang dari safar dan tidak sempat
shalat magrib. Saat tiba dirumah sudah masuk waktu shalat isya. Apakah
shalat magribnya tetap dijamak takhir walaupun sudah tiba dari safar?
Syukron ustadz (Rendy, Banjarmasin)
Jawaban :
Wassalamu alaikum wr. Wb akhi Rendy yang dirahmati Allah SWT.
Shalat adalah ibadah mahdhah yang telah Allah SWT tetapkan secara tauqifi
(fixed) tatacaranya.
Salah satu adalah waktu pelaksanaannya. Waktu shalat (wajib) ini ditetapkan
berdasarkan hadist-hadist mutawatir (ahkamu ash shalah hal.82). hal ini juga
dipertegas dengan firman Allah:






Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.(QS. An Nisa: 103)
Berkenaan tentang ayat ini Ibnu abbas menyatakan bahwa maksudnya adalah
shalat wajib/mafrudhah (Ibnu Katsir 2/403).
Dengan melakukan pengkajian terhadap hadist-hadist Nabi maka
ditetapkanlah waktu-waktu shalat wajib. Waktu shalat zhuhur bermula dari
sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-
bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut, Waktu shalat ashar
bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan -dan sedikit
lebih panjang daripadanya-dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu
seukuran dua kali panjangnya, Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari
terbenam, Waktu shalat Isya bermula sejak awan merah tenggelam sampai
fajar terbit dan Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit,
yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan
makan dan minum, smapai remang-remang siang.
Atas dasar inilah maka pengalihan waktu shalat pada waktu yang lain
memerlukan dalil yang menjelaskannya. Termasuk dalam hal ini adalah
35
pengabungan (jamak) dua shalat dalam satu waktu. Yaitu dzuhur dengan
ashar dan magrib dengan isya. Maka dalam hal ini hanya ada 4 sebab yang
memboleh dilakukan jamak (baik jamak taqdim maupun takhir). Empat
sebab tersebut adalah: wuquf di Arafah, saat menghabiskan waktu sampai
melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika bepergian yang menempuh
jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat, dan kala turun hujan.
Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan
menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh
menjama shalat adalah hadits yang meriwayatkan:

Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama shalat ketika beliau berada di
Arafah dan di
Muzdalifah.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama shalat ketika sedang
bepergian, adalah dari Ibnu Abbas:


Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama antara shalat
Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya,
dan beliau pun menjama antara shalat Maghrib dengan shalat Isya.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari
Nabi s.a.w.
dikemukakan :



Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong
(tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau
menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama antara shalat
Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang
beliau masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat
Ashar tiba, lalu beliau menjama antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar.
Dan bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau masih berada di
rumahnya, maka beliau manjama antara shalat Maghrib dengan Isya serta
bilamana waktu shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di
rumahnya, maka beliau pun menaiki
36
hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah beliau
(dari kendaraannya) lalu menjama antara keduanya (Maghrib dan Isya).
Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama yang dihubungkan atau
di latar-belakangi oleh adanya bepergian.
Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama shalat karena turun hujan
adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin
Abdurrahman berkata :

Sesungguhnya menjama antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari
turun hujan adalah
merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.). ( H. R. Al Atsram ).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman merupakan sunnah maksudnya
adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut
dianggap hadits Nabi s.a.w.
Hisyam bin Urwah telah berkata :



Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama antara
dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua
shalat tersebut Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan
Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang
dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang
menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus. (
Diriwayatkan oleh Al Atsram ).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :

Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah
menjama antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar .
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas
dikemukakan pula :


Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak
tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat
rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat )
37
shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjamanya) pada
malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya* (H.R. Bukhari).
Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini
telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits
tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama shalat, baik
taqdim maupun takhir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud
dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi
pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan
atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :

Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama shalat ketika turun hujan,
sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa.
Ada sebagian ulama yang membolehkan jamak baik dengan alasan (latar
belakang tertentu) ataupun tanpa alasan, asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat
bahwa seorang yang mukim boleh menjama? shalatnya apabila diperlukan
asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [Lihat syarh Muslim, imam
Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.]
Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam menjama? antara dhuhur dengan
ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal
itu kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa
Rasulullah saw tidak ingin memberatkan ummatnya.?[ HR. Muslim dll. Lihat
Sahihul Jami 1070.]
Pendapat ini adalah pendapat yang lemah. pendapat ini bertentangan dengan
nash-nash qathI yang menetapkan waktu-waktu shalat fardhu. Padahal
khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Quran atau dengan
hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Quran atau hadits mutawatir
serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang
hadits mutawatir bersifat qathi. selain itu nash-nash penetapan waktu shalat
fardhu bersifat mutlak. Sesuatu yang mutlak hanya bisa dikhususkan dengan
yang muqayyad seperti safar, hujan,dst. Sedangkan pembolehan menjamak
shalat secara mutlak (tanpa batasan tertentu) jelas menimbulkan kontradiksi
antara dua dalil.

38
Atas penjelasan ini, maka sikap yang seharusnya di ambil untuk kasus akhi
Rendi adalah:
1.Melaksanakan shalat margib diperjalanan, kemudian shalat isya setelah
sampai tujuan (rumah)
2.Menjamak shalat magribnya dengan dengan shalat isya diwaktu shalat
magrib (jamak taqdim). Apabila sudah masuk waktu shala isya maka dapat
melakukan jamak takhir di masjid terdekat dari rumahnya sebelum sampai
(masuk) ke rumah. Karena selama seseorang musafir belum sampai
dirumahnya maka statusnya masih safar. Apabila sampai di rumah diwaktu
isya maka tidak perlu lagi melaksanakan shalat isya. (ahkamu ash shalah hal
81)
Apa bila tidak sempat melakukan salah satu dari keduanya, yaitu untuk kasus
akhi Rendy. Maka hak rukhsah atas perjalanan yang dia lakukan telah
berakhir dengan sampainya sang musafir di rumahnya. Maka dalam hal ini
yang harus dia lakukan adalah mengqadha shalat magribnya yang tertinggal.
Caranya yaitu dengan melaksanakan shalat yang ditinggalkan (magrib, Tentu
dengan niat qadha) dan dilanjutkan dengan shalat isya. Hal ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan



Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia
baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena
dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya
Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun
hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum
mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau
pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu
beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat
Maghrib.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Saad r.a. dikemukakan :
{ : :

. }


Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga
39
kami baru
menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal
itu sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan
orang-orang mukmin dari peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha
Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Bilal (agar
menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan beliau pun
shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan
shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah
Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib. (www.konsultasi.wordpress.com)
Yogyakarta, 1 April 2010
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

HANYA UNTUK KALANGAN SENDIRI

40

Anda mungkin juga menyukai