Anda di halaman 1dari 5

Menurut pengertian bahasa, al-fail yang berarti yang bekerja, yang aktif atau yang melakukan suatu pekerjaan.

Menurut istilah al-fail dapat diketahui seperti berikut: 1. Menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimiy tentang al-fail yaitu: . Terjemahnya: Al-fail adalah isim yang mar yang padanya bersandar fiil yang maklum dan sempurna atau semacamnya yang disebut sebelumnya dan menyebutkan siapa yang melakukan pekerjaan itu atau dimana posisinya. 2. Menurut Hanafi Bik tentang al-fail yaitu: Terjemahnya: Al-Fail adalah isim yang marfu di mana terletak dari padanya sesuatu fiil yaitu dari huruf tsulatsiy yang sewazan dengan al-fail. Berdasarkan kepada kedua pendapat tersebut di atas, diketahui bahwa al-fail itu adalah isim yang marfu, baik yang marfu bi al-ammah, al-alif, maupun al- wawi, khususnya al-fail yang berasal dari isim yang zhahir. Di samping itu, juga al-fail terdapat pada amir yang mustatir maupun pada amir yang muttashil fiy mahalli rafin. Untuk itu perlu dikemukakan seperti berikut: Al-Fail yang berasal dari isim yang zhahir Berbicata tentang al-fail yang berasal dari isim yang zhahir, maka kedudukannya dalam irab adalah marfu dan disebut juga isim yang murab. Jadi yang diamaksudkan adalah isim yang zhahir yang bertindak selaku fail dan itulah yang dibahas sebagai isim fail dalam murab. Seperti dikemukakan bahwa jumlah filiyah itu terdiri atas fiil dan fiil sebelum dikaitkan dengan marfu. Hal ini dapat dikemukakan seperti berikut: Apabila dilihat semua contoh tersebut, maka masih mudah menyebutnya, karena rangkaian kata-katanya masih terdiri atas fiil yang lazim yang tidak membutuhkan maful bih. Jika suatu rangkaian kalimat dalam bahasa Arab sudah terdiri atas fiil, fail, dan maful jelas sudah menimbulkan kesulitan menentukan fail dan maful bih sebab kadang-kadang fail itu ditulis sesudah maful bih. Sehubungan dengan isim yang zhahir selaku fail dan juga isim yang murab, maka sudah tentu dipentingkan qaedah seperti berikut: Jika fail dan maful tidak dapat dikenal walaupun keduanya isim yang zhahir, maka yang ditentukan sebagai fil adalah yang dekat dengan fail. Yang dimaksud dalam makalah ini sebagai keduanya isim yang zhahir adalah fail dan mafulnya. Jadi bukan isim yang berfungsi sebagai al-tabiiy li al-marfu, baik sifat, naat, badal, takid dan athaf bayan. Untuk mengetahui keduanya, maka dikemukakan contoh seperti berikut: Apabila dianalisis semua kalimat tersebut, maka didapati kalimat yang ada fail dan mafulnya dan didapati juga kalimat yang hanya terdiri atas fail tanpa maful bih, walaupun ada yang panjang kalimatnya. Ini satu faktor penyebab adalah terletak fiilnya apakah ia lazim atau mutaddiy. Namun penulis juga tetap mempertimbangkan faktor failnya karena ia yang aktif. Di samping itu dimaksudkan juga mengahidari persamaannya dengan mubtada-nyayang khabarnya terdiri atas jumlah filiyyat, yang kadang-kadang di dalamnya terdiri atas isim yang maful bih. Bahkan mubtada-nyabisa dari isim yang mumar. Sepeti contoh di bawah ini:

Pada kalimat tersebut fail yang disebutkan dinyatakan bahwa kalimat tersebut terdiri atas mubtada dan khabar Jika fail itu isim yang zhahir, kalimat tersebut diawali dengan lalu diikuti dengan fiil, kemudian diikuti dengan kata Kalimat tersebut tidaklah lengkap kecuali kalimat diikuti dengan maful bih. Apabila sudah terdapat maful bih, maka kalimat tersebut termasuk di dalam katagori jumlah filiyyat yang terdiri atas fiil, fiil, dan maful bih. Juga fail-nya adalah isim yang murab yang dimaksudkan dalam point ini. Contoh di bawah ini: Masih di sekitar al-fail yang terdiri atas isim zhahir, masih tetap di dapati menurut kaidah bahasa Arab tetapi mafulnya adalah ditaqdimkan, baik isim zhahir maupun amir yang muttashil fiy mahalli nashb. Jadi failnya pasti tanpak disebutkan. Apa yang disebutkan, lebih jelas maka diperinci di bawah ini: 1) Mafulnya adalah isim yang zhahir Apabila ditelusuri kitab-kitab yang berbahasa Arab maupun di dalam Alquran sendiri, ternyata didapati kalimat atau ayat yang mafulnya ditaqdimkan, sedangkan failnya dikemudiankan, khususnya kedua-duanya adalah isim yang zhahir. Untuk itu diperlakukan kaidah bahasa Arab seperti berikut: a) Kalimat tersebut diawali dengan dan qarinahnya dapat dimengerti tentang maksudnya. Contoh di bawah ini: b) Terdapat di dalam kalimat tersebut kata dan dapat diketahui maksudnya. apabila ada dhamir yang kembali kepada mafulnya. Ini tentu diketahui juga maksudnya. Contoh berikut ini: Ini bukanlah berarti semua kalimat yang sama pola dan jumlah hurufnya adalah maful bih yang muqaddam semua. Maksudnya bahwa jika amirnya itu ternyata kembali kepada maful bih muqaddam, maka fail wajib ditakhirkan, karena ada juga amir yang kembali kepada al-fail. Contoh seperti ini didapati juga di dalam al-Quran surah Hud ayat 45 yang berbunyi: Dalam ayat tersebut ternyata dhamirnya kembali kepada al-fail, sehingga al-fail tersebut tetap disebut lebih awal, yaitu al-fail sesudah fiil, kemudian maful bih.. Mafulnya adalah isim dhamir yang muttashil Kalau kita kembali melihat pembahagian dhamir yang muttashil itu, maka didapati dhamir yang muttashil fiy mahalli nashb. Jika ia berfungsi selaku al-maful bih, maka ia wajib ditaqdimkan jika failnya tersendiri isim yang zhahir. Jika hal itu tidak dilakukan demikian maka menimbulkan kekacauan di dalam pengucapan bahasa Arab. Walaupun sebenarnya dhamir itu dapat berfungsi sebagai maful bih muakhkhar tetapi al- fail harus isim dhamir yang muttashil fiy mahall raf. Jika ada dhamir yang munfashil mendahuluinya, maka ia juga tetap maful bih sebagai khabar dari mubtada-nya. Contohnya masing-masing dapat dilihat seperti berikut ini: 2) Al-Fail yang berasal dari isim yang dzahir Yang masyhur dibahas selaku al-fail yang mabniy adalah isim dhamir, baik yang mustatir maupun yang muttashil fiy mahalli raf. Juga kadang-kadang terambil dari seperti Menyangkut tentang al-fail dalam dhamir, maka yang dimaksudkan adalah di mana terdapat al-fail tersebut sebelum suatu kalimat diuraikan lebih lanjut. Dibawah ini diuraikan seperti

berikut: a) Pada amir yang Muttashil fiy Mahalli Raf Kalau berbicara masalah jumlah filiyyat maka kalimat tersebut di awali dengan fiil, kemudian al-fail yang sering dimaksudkan adalah berasal dari isim yang zhahir. Namun demikian bahwa hal itu berlaku juga pada isim yang amir. Salah sebuah contohnya, dapat dilihat pada kalimat di bawah ini: Dalam kitannya dengan maful bih, dapatlah dikatakan bahwa semua al-fail yang berasal dari amir muttashil fiy mahalli rafin adalah ditaqdimkan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut: . : : : : . . : : : Pada contoh tersebut apabila dikemukakan setiap failnya yaitu ,untuk amir yang mutakallim. ,,dan kawan-kawannya untuk amir yang mukhathab. , , untuk gaib untuk gaib yang jama wanita. untuk mukhatabat. Untuk mengenal lebih mendalam al-fail yang ada pada amir muttashil fiy mahalli raf tersebut, maka dapat dilihat melalui uraian di bawah ini: , . . Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa semua amir yang disebutkan fiy mahalli raf adalah berfungsi selaku al-fail. Semuanya disebut al-fail yang mabniy. b) Pada dhamir yang mustathir Jika dhamir yang mustatir itu disebut selaku al-fail, maka ia kembali kepada isim atau pada dhamir yang berfungsi sebagai mubtada. Namun, al-fail tersebut itu, tetap disebut lebih awal sebelum disebutkan mafuulnya jika ia menghendaki maful bih. Adapun mengenai mafuulnya, dapat dijelaskan secara mendetail menurut dhamir itu. Jika yang dhamir muttashil fiy mahalli raf yang berfungsi sebagai al-fail maka mafulnya dapat diambil atau terjadi pada isim yang zhahir yang manshubb atau isim yang dhamir fiy mahalli nashb. Untuk jelasnya dapat dilihat contoh berikut: (1) Jika dhamirnya dhamir yang mustatir selaku al-fail ada dua kemungkinan mafulnya serta posisi al-fail itu sendiri yaitu: (2) Jika ia kembali dhamir yang munfashil (3) Jika ia kembali kepada dhamir yang munfashil yang berfungsi sebagai mubtada, maka alfail tersebut tetap disebut lebih awal sebelum mafulnya, apakah ia isim yang zhahir ataupun isim yang amir. Hal ini dapat diberikan contoh seperti berikut: (4) Jika ia tidak kembali kepada dhamir yang munfashil Jika dhamir yang mustatir tidak kembali kepada isim atau amir yang munfashil selaku mubtada. Maka ia dhamir mustatir itu langsung berfungsi selaku al-fail yang disebut kemudian jika al-fail itu tidak didahukui oleh dan fiil fail-nya diikuti oleh namun yang harus berfungsi sebagai maful bih adalah dhamir yang munfashil fiy mahalli nashb. Untuk jelasnya maka dapat dilihat pada contoh berikut: , , , Kesimpulannya bahwa apabila dhamir yang munfashil itu berfungsi sebagai maful bih, maka didahulukan jika tidak dahului oleh dan fiil-nya disertai oleh baik fail-nya amir yang mustatir maupun fiil yang mabniy fi mahalli raf dari dhamir yang muttashil , , dan

Dengan demikian tidak boleh disebut sebagai suatu dhamir yang al-maful bih bagi yang munfashil fiy mahalli raf seperti berikut: , , 3) Al-Fail yang berasal dari isim yang Mubham Yang dimaksud oleh pemakalah selaku al-fail dalam makalah ini adalah al-fail yang muncul selain dari isim yang zhahir dan isim dhamir seperti yang telah dibahas pada bahagian terdahulu. Kenyataannya bahwa ada isim yang marifat yang sring muncul sesudah fiil yaitu isim isyarat dan isim maushul. Bahkan ia memiliki suatu keistimewaan jika dibanding dhamir yang muttashil fi mahalli rafin. Bahkan menurut penulis bahwa isim tersebut dapat mengikuti posisi isim zhamir dalam posisinya selaku al,faiil. Isim yang dimaksudkan adalah seperti berikut: a) Isim isyarat Diketahui bahwa isim isyarat itu adalah suatu alat yang digunakan menunjuk sesuatu yang digunakan khususnya terhadap yang amir zhahir. Ia merupakan ashf bayan terhadap isim zhahir tersebut jika ia sama-sama dalam keadaan yang marifat. Dengan demikian ia juga dapat berfungsi selaku al-fail dapat mengikuti posisi isim yang diterangkannya atau yang ia tunjukinya sehingga dapat diketahui: b) Al-fail itu didahulukan Al-fail itu didahulukan atau berdiri sendiri jika ia tidak disertai oleh al-maful bih dari isim yang zhahir atau selain isim amir. Berikut ini diketahui seperti berikut: . . . . c) Al-Maful itu didahulukan Al-Maful bih itu didahulukan jika ia amir muttashil fiy mahalli nashb. Begitu pula yang lainnya sebagaimana yang berlaku pada al-maful bih muqaddam lainnya. Berikut ini dikemukakan contoh-contohnya: . , d) Isim Maushil Oleh Mushthafa M. Nuriy, memasukkan isim maushil itu sebagai isim yang dapat berfungsi sebagai al-fail. Bahkan Sayyid Ahmad al-Hasyimiy memasukkan isim maushul itu serupa dengan al-Isytigal. Ini berarti pula isim maushul tersebut dapat berfungsi sebagai al-fail yang di-takhir-kan sebab memang ia berbeda dengan isim amir yang muttashil fiy mahalli raf, sehingga posisinya dapat menyamai isim zhahir dalam hal al-fail, baik disertai dengan fiil saja maupun disertai dengan maful bih saja. Menyangkut hal seperti ini, maka dapat dilihat pada contoh berikut: , ........... e) Isim maushul di-takhir-kan sebagai al-fail Isim maushul tersebut walaupun bukan isim zhahir tetapi ia dapat menempati posisi isim zhahir. Hal itu sudah tentu berbeda dengan Isim amir, khusunya yang muttashil fiy mahalli raf. Untuk jelasnya maka dikemukakan contoh berikut ini: , Keterangan lebih lanjut menyangkut isim maushul selaku al-fail dalam mabniy dapat dilihat dari penjelasan George Merry dalam menguraikan isim maushul tersebut yang berbunyi: .... _ Surga Makalah

Kepustakaan: Mahmud Yunus, Kamus Arab-Inadonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur'an, 1973. Sayyid Ahmad al-Hasyimiy, Qawaid al-Asasiyyat li al-Lugat al-Arabiyyat, Mishr: Saadat, 1936. M /1355. H. Hanafi Bik, Kitab Qawaid al-Lugat al-Arabiyyat Li ullab al-Madaris al-anawiyyat, Surabaya : Syarikat Maktabat Nabhan Wa Auladuhu, t.th. Ibn Aqil, Baha al-Din, Syrah Ibni Aqil Ala Alfiyyat Ibni Malik, Jilid. I, Juz. II,Beirut: Dar al-Fikr, 1989. George Merry, Mujam Qawaid al-Lughat al-Arabiyyat Fiy Jadwalin wa Lughatin, Libnan Beirut: Sanat Riyadh al-Shulh, 1989. Mustafa M. Nuri, Pelajaran Qawaid Elementary II, Cet.I, Ujung Pandang: Lembaga Bahasa IAIN Alauddin, 1976.

Anda mungkin juga menyukai