Anda di halaman 1dari 11

I L M U T AJ W I D ( 1 0 ) | I M AL A H , I S M A M , S AK T A H , T AS - H I L , N AQ L ,

B AD AL D A N S H I L AH
Bacaan Gharib dalam Al-Qur’an (Imalah, Ismam, Saktah, Tas-hil, Naql

Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur sahabat Ali bin
Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs). Sedangkan sanad yang
berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan kepada Abu Bakar bin
Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama yang masyhur pada masa tabi’in banyak yang
pernah berguru kepada Imam Ashim, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin
Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’ bin Abi Rabah. Diantara
murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah yang paling masyhur dan
menjadi perawi utama.

Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa
pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari
Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama pada
musim-musim haji.

Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah
Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan
samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz,
arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-bacaan yang
dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah.

Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs dengan Imam
qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut penjelasan
tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :

1. Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz َ‫ ﺃَﻣَﺎﻝ‬yaitu ً‫ ﺃَﻣَﺎﻝَ – ﻳَﻤِﻴْﻞُ – ﺇِﻣَﺎﻟَﺔ‬yang
artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’. Bacaan imalah
banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada lafadz-
lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: ‫ ﻫُﺪَﻯ‬،‫ ﺳَﺠٰﻰ‬،‫ ﺍﻟﻀُّﺤٰﻰ ﻗَﻠٰﻰ‬, . Sedangkan pada
riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca imalah yaitu pada lafadz
‫ ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬dalam QS. Hud: 41 :
ٌ‫ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﺭْﻛَﺒُﻮﺍْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺠْﺮﻯٰﻬَﺎ ﻭَﻣُﺮْﺳٰﻬَﺎٓ ۚ ﺇِﻥَّ ﺭَﺑِّﻰ ﻟَﻐَﻔُﻮﺭٌ ﺭَّﺣِﻴﻢ‬

Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah, yaitu
bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada lafadz yang
berwazan ‫ ﻓُﻌﻠﻰ‬،‫ ﻓِﻌﻠﻰ‬،‫ ﻓَﻌﻠﻰ‬, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti halnya
bunyi suara “re” pada kata “mereka”.

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “ ‫ ” ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬diantaranya adalah untuk membedakan


antara lafadz “ ‫ ” ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬yang artinya berjalan di darat dengan lafadz “ ‫ ” ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬yang
artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan bahwa lafadz “
‫ ” ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬berasal dari lafadz “ ‫ ” ﺟَﺮٰﻯ‬yang artinya berjalan atau mengalir dan lafadz
tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun berjalan di atas
lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut (air) tidak stabil
seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil dan besar atau terhempas
angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “ ‫ ” ﻣَﺠْﺮٰﻯﻬَﺎ‬tersebut di- Imalahkan.

1
2. Isymam
Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan bibir atau
mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat pada lafadz “ ‫ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨَّﺎ‬
” yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti halnya
mengucapkan lafadz “ ‫ ” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨُﻨَﺎ‬sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi antara
mengucapkan lafadz “ ‫ ” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨَّﺎ‬dengan mengucapkan “ ‫” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨُﻨَﺎ‬. Dengan kata lain, asal
dari lafadz “ ‫ ” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨَّﺎ‬adalah lafadz “ ‫” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨُﻨَﺎ‬. Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm
utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana
letak dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah
jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti
lafadz asal.

Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup
lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs,
hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni mengidghamkan dua huruf
yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “ ‫ ” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨَّﺎ‬dapat
difahami berasal dari lafadz “ ‫ ” ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻣَﻨُﻨَﺎ‬yang terdapat dua nun yang diidharkan, nun yang
pertama di rafa’kan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang pertama dirafa’kan karena
termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil nawashib” maupun jawazhim.

3. Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz َ‫ – ﺳُﻜُﻮْﺗًﺎ ﻳَﺴْﻜُﺖُ – ﺳَﻜَﺖ‬yang artinya
diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah berhenti
sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS.
Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah
sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ‫ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬,
sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila dilihat
dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz ‫ ﻗَﻴِّﻤَﺎ‬sehingga arti kalimatnya menjadi rancu
atau kurang sempurna.

Lafadz ‫ ﻗَﻴِّﻤَﺎ‬bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz

‫ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬, melainkan menjadi hal atau maf’ul bihnya lafadz lafadz ‫ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬. Apabila lafadz ‫ﻗَﻴِّﻤَﺎ‬
menjadi na’atnya lafadz

‫ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang
bengkok serta lurus ”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi :
“Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan
menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata ‫ ﻗَﻴِّﻤًﺎ‬dinashabkan
sebagai hal (penjelas) dari kalimat ‫ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬, sedang Az-Zamakhsyari berpendapat
bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” ُ‫“ ﺟَﻌَﻠَﻪ‬. Berbeda juga
dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata ‫ ﻗَﻴِّﻤًﺎ‬itu badal mufrad dari badal jumlah “
‫“ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻋِﻮَﺟًﺎ‬. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari ‫ ﻗَﻴِّﻤًﺎ‬,
sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat
sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun
diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.

Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ُ‫ ﻣِﻦْ ﻣَﺮْﻗَﺪِﻧَﺎ ﺳﻜﺘﺔ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦ‬. Menurut Ad-
Darwisy lafadz ‫ ﻫٰﺬَﺍ‬itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz ُ‫ ﻣَﺎ ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦ‬. Berbeda
halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz ‫ ﻫٰﺬَﺍ‬itu na’at dari ِ‫ﻣَﺮْﻗَﺪ‬,
sedangkan ‫ ﻣَﺎ‬sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu lafadz ‫ ﺣﻖ‬atau ‫ ﻫٰﺬَﺍ‬.

2
Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat.
Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari
kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami.
Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan
membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan,
sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.

Adapun lafadz ْ‫ ﻣَﻦ‬dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ٍ‫ ﻣَﻦْ ﺳﻜﺘﺔ ﺭَﺍﻕ‬dan lafadz ْ‫ﺑَﻞ‬
dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat َ‫ ﺑَﻞْ ﺳﻜﺘﺔ ﺭَﺍﻥ‬adalah untuk menjelaskan fungsi ْ‫ﻣَﻦ‬
sebagai kata tanya dan fungsi ْ‫ ﺑَﻞ‬sebagai penegas dan juga untuk memperjelas
idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya
dibaca idgham, namun karena lafadz ْ‫ ﻣَﻦ‬dan ْ‫ ﺑَﻞ‬dalam kalimat ٍ‫ ﻣَﻦْ ﺳﻜﺘﺔ ﺭَﺍﻕ‬dan َ‫ﺑَﻞْ ﺳﻜﺘﺔ ﺭَﺍﻥ‬
mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf
saktah.

Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada akhir
QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa dipakai
untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-Taubah tidak
terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah: 28-29
dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah ْ‫ ﻣَﺎﻟِﻴَﻪ‬dan ha’ fi’il َ‫ ﻫَّﻠَﻚ‬.

4. Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau
menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ah artinya
membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs hanya ada
satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44

ٌّ‫… ﻭَﻟَﻮْ ﺟَﻌَﻠْﻨٰﻪُ ﻗُﺮْﺀَﺍﻧًﺎ ﺃَﻋْﺠَﻤِﻴًّﺎ ﻟَّﻘَﺎﻟُﻮﺍ۟ ﻟَﻮْﻟَﺎ ﻓُﺼِّﻠَﺖْ ﺍٰﻳٰﺘُﻪُۥٓ ۖ ﺀَﺍَﻋْﺠَﻤِﻰٌّ ﻭَﻋَﺮَﺑِﻰ‬

Alasan lafadz ٌّ‫ ﺀَﺍَﻋْﺠَﻤِﻰ‬dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu dan
berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat melafadzkannya,
sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).

5. Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz ‫ ﻧَﻘَﻞَ – ﻳَﻨْﻘِﻞُ – ﻧَﻘْﻠًﺎ‬yang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu lafadz
ُ‫ ﺑِﺌْﺲَ ﺍﻟْﺎِﺳْﻢ‬pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz ُ‫ ﺍﻟْﺎِﺳْﻢ‬adalah karena
adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang mengapit
lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung dengan kata
sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya
atau membacanya.

6. Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal disini
adalah mengganti huruf

hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya. Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam
Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat Hafs yaitu :

Badal ‫ ﺀ‬dengan ْ‫) ﻱ ( ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤٰﻮٰﺕِ ﺍﺋْﺘُﻮْﻧِﻲ‬

3
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh
sesudah hamzah washal dengan alif layyinah ( ‫) ﻯ‬. Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4,

… ٍۢ‫… ﺃَﻡْ ﻟَﻬُﻢْ ﺷِﺮْﻙٌۭ ﻓِﻰ ﭐﻟﺴَّﻤٰﻮٰﺕِ ۖ ﭐﺋْﺘُﻮﻧِﻰ ﺑِﻜِﺘَٰﺐ‬

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( ۖ ِ‫ﻓِﻰ ﭐﻟﺴَّﻤَٰﻮَٰﺕ‬
) maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ ( ‫ ) ﻓِﻰ ﭐﻟﺴَّﻤٰﻮٰﺕْ ۖ ﺍِﻳْﺘُﻮﻧِﻰ‬sedangkan apabila
dibaca washal tidak ada perubahan.

Badal ‫ ﺹ‬dengan ُ‫ﺼۜﻂ‬


ُ ْ‫ ﺱ ( ﻭَﻳَﺒ‬dan ً‫) ﺑَﺼْۜﻄَﺔ‬

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam

qira’ah termasuk Imam Ashim mengganti ‫ ﺹ‬dengan

‫ ﺱ‬pada lafadz ُ‫ ﻭَﻳَﺒْﺼُۜﻂ‬dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz ً‫ ﺑَﺼْۜﻄَﺔ‬dalam QS. Al-A’raf :
69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ُ‫ ﺑَﺴَﻂَ – ﻳَﺒْﺴُﻂ‬.

Sedangkan pada lafadz ٍ‫ ﺑِﻤُﺼَﻴْﻄِﺮ‬dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ‫ ﺹ‬tetap dibaca
shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan menyesuaikan
sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’. Adapun pada
lafadz َ‫ ﭐﻟْﻤُﺼَۣﻴْﻄِﺮُﻭﻥ‬dalam QS. At-Thur : 37, huruf ‫ ﺹ‬boleh tetap dibaca shad dan boleh
dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ُ‫ ﺳَﻴْﻄَﺮَ – ﻳُﺴَﻴْﻄِﺮ‬,
kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai
sifat isti’la’.

7. Shilah
Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’ dlamir
tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dlamir
ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’ kecuali Ibnu
Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf lemah
(ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan ha’ dlamirnya,
contoh ِ‫ ﺑِﻪ‬،ُ‫ ﻟَﻪ‬, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’ dlamir
tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca pendek, contoh ،ُ‫ﻣِﻨْﻪ‬
ِ‫ ﺇِﻟَﻴْﻪ‬.

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca panjang
walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat ‫ ﻭَﻳَﺨْﻠُﺪْ ﻓِﻴْﻪٖ ﻣُﻬَﺎﻧًﺎ‬dalam QS. Al-
Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya dengan Ibnu
Katsir, yakni membaca shilah ha’ ( ٖ‫) ﻓِﻴْﻪ‬. Karena diketahui bahwa ha’ termasuk huruf
lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’ berharakat kasrah, maka sebagai
ganti dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha’, sehingga
menjadi ‫ ﻓِﻴْﻬِﻲ‬. Dalam literatur orang Arab sendiri jarang sekali ditemui wawu mati yang
diawali kasrah.

Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz ٖ‫ ﻓِﻴْﻪ‬dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ ـﻪ‬berasal dari lafadz َ‫ ﻫُﻮ‬dan ketika
disambung dengan lafadz ْ‫ ﻓِﻲ‬akan menjadi َ‫ ﻓِﻴْﻬُﻮ‬, namun karena ha’ dlamir tersebut
diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat
ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa

4
wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi ‫ ﻓِﻴْﻬِﻲ‬dan huruf
mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah lafadz ٖ‫ ﻓِﻴْﻪ‬. Ada juga yang
menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada lafadz ٖ‫ ﻓِﻴْﻪ‬dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah
ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan
konteks ayat yang menghendaki dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.

Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz tersebut
diantaranya terdapat pada lafadz ْ‫ ﻳَﺮْﺿَﻪُ ﻟَﻜُﻢ‬dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan dibaca
pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ْ‫ ﻳَﺮْﺿَﻪُ ﻟَﻜُﻢ‬dan lafadz-lafadz sejenisnya
adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu madnya
sesudah ha’ dlamir.

Lain halnya dengan lafadz ُ‫ ﻋَﻠَﻴْﻪ‬dalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’ dlamir yang
dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait dengan asbabun nuzul
ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia kepada Nabi dan berjihad
di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur
(rif’ah). Dan penempatan harakat dammah pada lafadz ُ‫ ﻋَﻠَﻴْﻪ‬memberikan nuansa
kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan keberadaan
lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan dan keluhuran.
Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’ dlamir tersebut disebut sebagai ha’
rif’ah (ha’ keluhuran).

BACAAN- BACAAN LAIN YANG DIANGGAP GHARIB

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang
dianggap gharib, akan tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara
membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang ketika waqaf ( ‫ ﻗﺼﺮ‬dan
‫)ﻣﺪ‬

Lafadz ( ‫) ﺍَﻧَﺎ‬

Sebab-sebab lafadz ‫ ﺍَﻧَﺎ‬dibaca pendek ketika washal ( َ‫ ) ﺍَﻥ‬kecuali lafadz َّ‫ ﺍَﻧَﺎﺳِﻲ‬, ‫ ﺍَﻧَﺎﺑُﻮْﺍ‬, َ‫ﺍَﻧَﺎﺏ‬
َ‫ ﺍﻟْﺎَﻧَﺎﻣِﻞ‬, , adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat seperti
halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga, apabila ada isim
yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka suaranya akan terlihat
janggal, sehingga ditambahkanlah alif supaya suara nun tetap sebagaimana asal
lafadznya.

Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada lafadz
tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara membacanya
hampir sama dengan lafadz ‫ ﺍَﻧَﺎ‬yaitu lafadz ‫ ﻟٰﻜِﻨَّﺎ‬pada QS. Al-Kahfi : 38, yakni apabila
lafadz ‫ ﻟٰﻜِﻨَّﺎ‬dibaca washal maka nun harus dibaca pendek( َّ‫) ﻟٰﻜِﻦ‬,sedangkan apabila
dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang ( ‫) ﻟٰﻜِﻨَّﺎ‬. Hal ini karena lafadz ‫ ﻟٰﻜِﻨَّﺎ‬berasal
dari lafadz ‫ ﺃﻧﺎ‬dan lafadz ‫ ﻟﻜﻦ‬.

Lafadz ‫ ﻗَﻮَﺍﺭِﻳْﺮَﺍ‬،‫ ﺍﻟﻈُّﻨُﻮْﻧَﺎ‬،‫ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻟَﺎ‬

Sebagian ulama qurra’ membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat tanwin,


sedangkan qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat tanwin pada

5
lafadz-lafadz tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada lafadz-lafadz tersebut, qira’ah
Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan alif atau dibaca panjang, sedangkan tidak
menyertakan (membaca) alif atau dibaca pendek apabila huruf terakhir lafadz-lafadz
tersebut diwashalkan. Hal ini disebabkan karena mencantumkan alif pada lafadz-lafadz
tersebut adalah mengikuti rasm utsmani dan juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam
sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tetap
mencantumkan alif tidak ditanwin. Sedangkan lafadz ‫ ﺍﻟﺴﺒﻴﻼ‬،‫ ﺍﻟﺮﺳﻮﻻ‬،‫ ﺍﻟﻈﻨﻮﻧﺎ‬walaupun bukan
termasuk jama’, namun lafadz-lafadz tersebut disesuaikan dengan sya’ir yang pada
akhir ba’itnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz
tersebut tetap dibaca panjang ketika waqaf dan dibaca pendek ketika washal.

Lafadz ‫ ﻣﺎﻟﻚ‬pada QS. Al-Fatihah: 4 dan ‫ ﻣﻠﻚ‬pada QS. An-Nas: 2

Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada lafadz ‫ﻣﺎﻟﻚ‬
dalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain membaca tanpa
alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca dengan alif (panjang) adalah
karena ada kaitannya dengan lafadz ‫ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻟﻤﻠﻚ‬pada QS. Ali Imran: 26 yaitu ‫ﻗﻞ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻟﻤﻠﻚ‬
dan bukan tanpa alif yaitu ‫ ﻣﻠﻚ ﺍﻟﻤﻠﻚ‬juga karena lafadz ‫ ﻣﺎﻟﻚ‬berarti dzat yang memiliki,
sedangkan lafadz ‫ ﻣﻠﻚ‬berarti tuan atau penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz ‫ﻣﻠﻚ‬
‫( ﺍﻟﻨﺎﺱ‬tanpa alif) yang artinya Tuhan manusia dan hal itu tidak sesuai dengan makna
untuk kata hari pembalasan ‫ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬.

Jadi, lafadz ‫ ﻣﺎﻟﻚ‬pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ‫ ﻣﻠﻚ‬pada QS. An-Nas: 2 tidaklah
sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya sehingga
dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qira’ah selain Imam Ashim
dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek ( ‫) ﻣﻠﻚ‬.

2. Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada ‫ ﺽ‬dalam lafadz ‫ﺿﻌْﻒ‬

Lafadz ‫ ﺿﻌْﻒ‬pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat tersebut
adalah merupakan masdar dari lafadz ‫ ﺿﻌُﻒ – ﻳﻀﻌَﻒ‬sehingga beberapa Imam qira’ah
berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu murid Imam
Ashim) membaca dlad pada lafadz ‫ ﺿﻌْﻒ‬dengan fathah, sedangkan sebagian Imam
qira’ah yang lainnya dengan dammah.

Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz

‫ ﺿﻌْﻒ‬dengan fathah dan dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz
‫ ﺿﻌُﻒ – ﻳﻀﻌَﻒ‬mempunyai dua masdar yaitu lafadz ‫ ﺿَﻌْﻒ‬dan lafadz ‫ ﺿُﻌْﻒ‬, seperti halnya
lafadz ‫ ﻓﻘﺮ‬yang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz ‫ ﻓَﻘْﺮ‬dan lafadz ‫ ﻓُﻘْﺮ‬. Sehingga
menurut qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ‫ ﺿﻌْﻒ‬boleh dibaca fathah dan boleh
dibaca dammah.

6
Bacaan Gharib Lengkap Saktah, Tashil, Isymam, Naql, Imalah, Badal dan Shilah Dalam
Al-Qur'an - Kali ini kita akan membahas bacaan-bacaan gharib yang ada dalam al-
qur'an, untuk mengingat ilmu tajwid lainnya, artikel tersebut kita hanya membahas
sekilas dan beberapa contoh mengenai bacaan gharib, pada kesempatan kali ini kita
akan membahas sedikit lebih banyak mengenai pengertian Tentang Saktah, Tashil,
Isymam, Naql, Imalah, Badal dan Shilah Dalam Al-Qur'an.

Gharib berasal dari bahasa Arab ‫(غرب‬ghorban) - ‫( يغرب‬yaghribu) - ‫( غربا‬ghoroba) yang


berarti pergi mengasingkan diri, bacaan yang asing atau aneh dalam bacaan al-Qur’an
dan sukar dipahami dalam membacanya. Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi
atau samar, sedangkan menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu
penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya
permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat
dalam Al-Qur’an.

Dikatakan bacaan asing karena dalam membacanya tidak sesuai dengan kaidah
bacaan pada umumnya. Ketepatan pada gharib adalah kemampuan siswa dalam
menguasai materi gharib yaitu materi yang berisi bacaan al-Qur’an yang bacaanya
asing atau aneh. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib (tersembunyi/samar)
dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs diantaranya adalah : Saktah, Tashil, Isymam,
Naql, Imalah, Badal dan Shilah.

Pembahasan Lengkap Tentang Saktah, Tashil, Isymam, Naql, Imalah, Badal dan Shilah
Dalam Al-Qur'an

Saktah

1. Bacaan Gharib Saktah

Yang di maksud saktah adalah berhenti sejenak tanpa ambil nafas, sehingga suaranya
terdengar terputus tetapi tidak menarik nafas. Adapun di dalam al-Qur'an biasanya
saktah ditandai dengan (‫ )ﺳﻛﺗﺔ‬dan kadang-kadang juga dengan (‫ )ﺱ‬saja. Di dalam al-
Qur'an bacaan saktah ada pada 4 tempat, yakni:
 Surah al-Kahfi ayat 1dan 2: ‫ع َوجَا قَيِّ ً۬ما‬ ِّ ‫'(ۥ‬iwaja-qoyyima)
 Surah Yasin ayat 52: ‫ه ٰـذَا‬
َ ۗ‫( ِّمن َّم ۡرقَ ِّدنَا‬mimmarqodina-hada)
 Surah al-Qiyamah ayat 27: ‫اق‬ ً۬ ‫( َوقِّي َل َم ۡن َر‬waqilaman-rooqin)
 Surah al-Muthaffifiin ayat 14: َ‫َّل بَ ۡل َران‬ ۖ َّ ‫( ك‬kallaa bal-roona)

2. Bacaan Gharib Tashil

Cara membaca dua hamzah yang berjejer, hamzah pertama dibaca biasa sedangkan
hamzah yang kedua disederhanakan, cara membacanya adalah ditengah-tengah
antara huruf Hamzah dan Ha, jadi lafadz yang keluar tidak seperti huruf Hamzah dan
juga tidak seperti huruf Ha tetapi ditengah-tengah kedua huruf tersebut. (samar-samar).
Di dalam al-Qur'an bacaan tashil hanya ada pada 1 tempat, yaitu:
 Surah Fushshilaat ayat 44: ‫ى‬ ۗ ً۬ ‫( َء ۠ا ۡعج َِّم ً۬ى َوع ََر ِّب‬a a'jamiyyu wa'arobi)

3. Bacaan Gharib Isymam

Isymam di baca dengan mengisaratkan bibir seolah-olah sedang mengeluarkan kata


"nu" namun tanpa suara, ketika mentasydidkan nun. Jadi ketika membaca nun yang
ditasydid bibir harus mencucu, Dalam al-Qur'an bacaan ini hanya terdapat pada 1
tempat, yakni:
 Surat Yusuf ayat 11: ‫( َل ت َ ۡأ َمنَّا‬latakmannuna)

7
4. Bacaan Gharib Naql

Adalah membaca lam sukun (‫" )ﺃﻝ‬al" diganti dengan harakat huruf hamzah sesudahnya
ۡ dibuang,
"i" sehingga menjadi (‫" )ﺃﻝ‬ali" kemudian huruf hamzah kasrah "i" dari kata "‫"ﭐﺳﻡ‬
sehingga berbunyi (lismu) kemudian dihubungkan dengan "‫ﺱ‬ ۡ
َ ‫ "ﺑِﺋ‬maka menjadilah
bacaan (bi'sa lismu). Dalam al-Qur'an, ayat yang mesti dibaca naql hanyalah ada pada
1 tempat, yakni:
 Surah al-Hujurat: 11: ‫ِّسم‬ َ ‫( بِّ ۡئ‬biksalismu)
ۡ ‫س ٱِل‬

5. Bacaan Gharib Imalah

Secara bahasa IMAALAH berarti miring, sedangkan menurut Istilah adalah


menyondongkan (suara ) fathah ke arah kasroh dan ( suara ) alif ke arah
yaa. maksudnya ialah suara fathah condong ke arah kasroh, sehingga keluar bunyi
mendekati huruf " e " dalam kata sate. Dalam al-Qur'an, lafadz yang dibaca dengan
metode ini ada pada 1 tempat, yakni:

1. Surat Hud ayat 41: ‫َم ۡج ۪ر ٰٮهَا‬ (majreha)

6. Bacaan Gharib Badal

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal disini
adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya. Diantaranya
mengganti ‫ ء‬dengan ‫ ﻱ‬dan mengganti ‫ ﺹ‬dengan ‫ﺱ‬

 ِّ ‫س ٰم ٰو‬
QS. Al-Ahqaf 4: ‫ت ائْت ْونِّ ْي‬ َّ ‫( فِّي ال‬fisamawatuni)
 QS. Al-Baqarah 245: ‫( َو َيبْصط‬wayabsut)
 QS. Al-A’raf 69: ‫ص َطة‬ ْ َ‫( ب‬basthotun)

7. Bacaan Gharib Shilah

Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’ dlamir
tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dlamir
ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat).

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca panjang
walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat ‫ َﻭ َﻳ ْخﻠُ ْد ﻓِﻳ ْٖﻪ ُﻣ َﻬﺎﻧًﺎ‬dalam QS. Al-
Furqan : 69

Kaidah Bacaan Gharib Khusus Lainnya

Selain 7 macam bacaan gharib diatas (Saktah, Tashil, Isymam, Naql, Imalah, Badal dan
Shilah) masih banyak bacaan gharib lain yang perlu kita perhatikan, sebagiannya
adalah sebagai berikut:
 Ha'-nya dibaca dhommah. ‫ٱّلل‬ َ َّ ‫علَ ۡيه‬
َ (Q.s. Al-Fath: 10).
 Ha'nya dhommah dan pendek ketika washol ‫س ٰٮ ِّنيه‬ َ ‫( أَن‬disambung).(Q.S. al-Kahfi: 63).
ۡ
 Qaf-nya mati, ha-nya kasrah dan pendek. ‫( َويَتَّق ِّه‬Q.S. An-Nur: 52).
 Ha'-nya dhommah dan pendek ۗ ۡ‫( َي ۡرضَه لَكم‬Q.S. Az-Zumar: 7).
 Lam-nya kasrah, Ha'-nya kasrah dan pendek ‫( َوقِّي ِّل ِّهۦ‬Q.S. Az-Zukhruf: 88).
 Ha'-nya dibaca pendek, sebab bukan Ha' dhomir (kata ganti), ‫( َما نَ ۡفقَه‬Q.S. Hud:
91), ‫( فَ َوٲ ِّكه‬Q.S. al-Mu'minun: 19), demikian juga lafadz ‫يَنت َ ِّه‬.
 Fa'-nya dibaca pendek, َ‫( فَ ِّك ِّهين‬Q.S.al-Muthaffifiin: 31), demikian juga lafadz: َ‫فَ ِّر ِّحين‬
 Kaf-nya dibaca fathah. ‫ڪل‬ َ ‫( َوه َو‬Q.S. an-Nahl: 76).

8
 Pada waktu membaca ba-nya kedua lafadz berikut, hendklah berhati-hati jangan
sampai salah membaca harakat dan panjang pendeknya. ‫( َو َربَ ٰـٰٓٮِٕبڪم‬Q.S. an-Nisa:
23), َّ‫( َجلَ ٰـ ِّبي ِّب ِّهن‬Q.S. al-Ahzab: 59).
 Lam-nya yang kedua dibaca kasrah. َ‫( ِّل ۡلعَ ٰـ ِّل ِّمين‬Q.S. Ar-Ruum: 22).
 Mim-nya dibaca kasrah ۗ‫( يَ ۡو ِّمٮِٕذ‬Q.S. Hud: 66) dan (Q.S. al-Ma'arij: 11).
 Dzal-nya fathah,sedang nun-nya dhommah. ‫ن‬ ِّ ‫( أ َ ِّرنَا ٱلَّذَ ۡي‬Q.S. Fushshilat: 29).
 Dal-nya fathah dan Nun-nya kasroh. ‫ن‬ ِّ ‫( َخ ٰـ ِّلد َۡي‬Q.S. Al-Khasyr: 17).
 Dhod-nya boleh dibaca fathah atau dhommah. Dalam 1 ayat ada 3 kata, apabila yang
awal dibaca fathah, maka semuanya harus dibaca fathah, dan apabila yang pertama
dibaca dhommah, maka semuanya harus dibaca dhommah. ‫( ض َۡع ً۬ف‬Q.S. ar-Ruum: 54).
ً۬
 Lam-nya (‫ )إِّل‬tanwin, kemudian di idh-ghaomkan pada wawu ketika washol (sambung).
ً۬ ً۬ ً۬
Lafadh (‫ ) ِّإل‬ini bermakna qorobah bukan ististna. ‫( ِّإل َو َل ِّذ َّمة‬Q.S. at-Taubah: 8 dan 10).
 Ta-nya dibaca fathah dan tanpa ( َ‫(من‬, ِّ ‫( ت َ ۡج ِّرى ت َ ۡحتَهَا‬Q.S. at-Taubah: 100).
 Dibaca panjang 2 ketukan, ‫( أولَ ٰٮه َما‬Q.S. al-Isra': 5), ۡ‫( ِِّلولَ ٰٮهم‬Q.S. al-A'raf: 38-39),
demikian juga lafadz (‫ول‬ َ ‫)ِل‬
ِّ dengan ( ‫)ٱل‬ ۡ
 Hamzahnya pendek. ۡ‫سأ ْو ِّريكم‬ َ (Q.S. Al-A'raf: 145).
 Wawu-nya dibaca pendek. ‫ت‬ ۖ ً۬ ‫( ِّمن تَفَـٰو‬Q.S. al-Mulk: 3).
 َ‫ڪ ٰوة‬ َّ ْ‫( َو َءاتَوا‬Q.S.al-Baqarah:277) dan (Q.S. at-Taubah: 5 dan 11), (Q.S.al-Hajj: 41),
َ ‫ٱلز‬
Ta-nya fathah, wawu-nya dhommah ketika washol (sambung), dan mati ketika waqof
(berhenti). Ini fi'il Madhi (kata lampau) bukan fi'il 'Amr (kata perintah).
Demikianlah penjelasan mengenai Saktah, Tashil, Isymam, Naql, Imalah, Badal dan
Shilah Dalam Al-Qur'an yang kami harapkan semoga dapat membantu teman-teman
yang sedang dalam belajar ya. Sekian penjelasaan dari sumber dan terimaksih atas
kunjungan teman-teman semua

Dalam kaidah membaca al-Qur'an, ada perubahan cara membaca dengan


pola tertentu, ada juga yang tidak menggunakan pola tertentu, sebagaimana
dalam grammer bahas Inggris ada yang disebut regular verb dan irregular
verb. Perubahan cara baca yang tidak beraturan ini juga dikenal dalam
metode qira'ah Imam Ashim yang banyak dipakai kaum Muslim di
Indonesia, kaidah ini dinamakan Gharib.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas
pada masa pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya
cetakan Al-Qur’an dari Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu
penyebarannya terutama pada musim-musim haji.
Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan
menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan
khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya
permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib
(tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs diantaranya
adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, dan Naql.

Jenis Bacaan Spesial


1. Saktah (diam, tidak bergerak)
Ialah berhenti sejenak tanpa bernafas. Adapun tanda saktah yang terdapat
dalam al-Qur'an biasanya dengan (‫ )سكتة‬dan kadang-kadang juga dengan
(‫ )س‬saja.
Di dalam al-Qur'an bacaan saktah ada pada 4 tempat, yakni:
1. Surah al-Kahfi ayat 1dan 2: ‫ۥ ِع َوج َۜا قَ ِي ً۬ما‬
2. Surah Yasin ayat 52: ‫ِمن َّم ۡرقَ ِدنَ ۜاۗ َه ٰـذَا‬
3.Surah al-Qiyamah ayat 27: ‫اق‬ ً۬ ‫َو ِقي َل َم ۡۜن َر‬
4. Surah al-Muthaffifiin ayat 14: َ‫ك ََّّلۖ َب ۡۜل َران‬

9
2. Tashil (memberi kemudahan, keringanan atau menyederhanakan)
Cara membaca dua hamzah yang berjejer, hamzah pertama dibaca biasa
sedangkan yang kedua disuarakan antara hamzah dan alif (samar-samar).
Di dalam al-Qur'an bacaan tashil hanya ada pada 1 tempat, yaitu:
ۗ ً۬ ‫َء ۠ا ۡعج َِم ً۬ى َوع ََر ِب‬
1. Surah Fushshilaat ayat 44: ‫ى‬

3. Isymam (mencampurkan).
Adalah mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan bibir
atau mengangkat dua bibir (mecucu - Jawa).
Dalam al-Qur'an bacaan ini hanya terdapat pada 1 tempat, yakni:
1. Surat Yusuf ayat 11: ‫ََل ت َ ۡأ َمنَّا‬

4. Naql (memindah)
Adalah membaca lam sukun (‫" )أل‬al" diganti dengan harakat huruf hamzah
sesudahnya (i) "i" sehingga menjadi (‫" )أل‬ali" kemudian huruf hamzah
kasrah (i) "i" dari kata "‫"ٱسم‬
ۡ dibuang, sehingga berbunyi (lismu) kemudian
ۡ
dihubungkan dengan "َ‫ "بِئس‬maka menjadilah bacaan (bi'sa lismu).
Dalam al-Qur'an, ayat yang mesti dibaca naql hanyalah ada pada 1 tempat,
yakni:
َ ‫بِ ۡئ‬
1. Surah al-Hujurat: 11: ‫س ٱِل ِۡسم‬

5. Imalah (memiringkan atau membengkokan)


Cara merubah bacaan "RO" menjadi "RE" (seperti "E" dalam kata sate).
Dalam al-Qur'an, lafadz yang dibaca dengan metode ini ada pada 1 tempat,
yakni:
1. Surat Hud ayat 41: ‫َم ۡج ۪ر ٰٮهَا‬

Kaidah Bacaan Khusus Lainnya


Disamping hal-hal tersebut di atas, ada hal-hal lain yang juga harus
diperhatikan oleh qari' agar ia terhindar dari kesalahan membaca, karena
beberapa kata berikut agak berbeda lafadz dengan yang umum diketahui,
sebagai unsur kehatian-hatian, diantaranya adalah:
1. Shad-nya dibaca sin. ‫صط‬ ۜ ‫( َويَ ۡب‬Q.S. Al-Baqarah: 245).dan ‫ص َط ً۬ ۖة‬ ۡۜ َ‫( ب‬Q.S. Al-
A'raf: 69)
2. "S" nya boleh dibaca shad boleh juga sin. َ‫( ۡٱلمص َۡي ِطرون‬Q.S. Athur: 37).
3. Shadnya tetap dibaca shad ‫( بِمص َۡي ِطر‬Q.S. Al-Ghosiyah: 22).
4. Ha'-nya dibaca dhommah. َ‫ٱّلل‬ َّ ‫علَ ۡيه‬
َ (Q.s. Al-Fath: 10).
5. Ha'nya dhommah dan pendek ketika washol َ‫( أنس ٰٮ ِنيه‬disambung).(Q.S.
al-Kahfi: 63).
6. Qaf-nya mati, ha-nya kasrah dan pendek. ‫( َويَت َّ ۡق ِه‬Q.S. An-Nur: 52).
7. Ha'-nya dhommah dan pendek ۗ ۡ‫( َي ۡرضَه لَكم‬Q.S. Az-Zumar: 7).
8. Lam-nya kasrah, Ha'-nya kasrah dan pendek ‫( َو ِقي ِل ِهۦ‬Q.S. Az-Zukhruf:
88).
9. Ha'-nya dibaca pendek, sebab bukan Ha' dhomir (kata ganti), ‫َما‬
‫( نَ ۡفقَه‬Q.S. Hud: 91), ‫( فَ َوٲ ِكه‬Q.S. al-Mu'minun: 19), demikian juga lafadz ‫يَنت َ ِه‬.
10. Fa'-nya dibaca pendek, َ‫( ف ِك ِهين‬Q.S.al-Muthaffifiin: 31), demikian juga
lafadz: َ‫فَ ِر ِحين‬
11. Kaf-nya dibaca fathah. ‫ڪل‬ َ ‫( َوه َو‬Q.S. an-Nahl: 76).
12. Pada waktu membaca ba-nya kedua lafadz berikut, hendklah berhati-
hati jangan sampai salah membaca harakat dan panjang
pendeknya. ‫( َو َر َب ٰـٰٓ ِٕٮبڪم‬Q.S. an-Nisa: 23), َّ‫( َجلَ ٰـ ِبي ِب ِهن‬Q.S. al-Ahzab: 59).

10
13. Lam-nya yang kedua dibaca kasrah. َ‫( ِل ۡلعَ ٰـ ِل ِمين‬Q.S. Ar-Ruum: 22).
14. Mim-nya dibaca kasrah ۗ‫( يَ ۡو ِم ِٕٮذ‬Q.S. Hud: 66) dan (Q.S. al-Ma'arij: 11).
15. Dzal-nya fathah,sedang nun-nya dhommah. ‫( أَ ِرنَا ٱلَّذَ ۡي ِن‬Q.S. Fushshilat:
29).
16. Dal-nya fathah dan Nun-nya kasroh. ‫( َخ ٰـ ِلد َۡي ِن‬Q.S. Al-Khasyr: 17).
17. Dhod-nya boleh dibaca fathah atau dhommah. Dalam 1 ayat ada 3
kata, apabila yang awal dibaca fathah, maka semuanya harus dibaca fathah,
dan apabila yang pertama dibaca dhommah, maka semuanya harus dibaca
dhommah. ‫( ض َۡع ً۬ف‬Q.S. ar-Ruum: 54).
‫ا‬
18. Lam-nya (َ‫ ) ِإل‬tanwin, kemudian di idh-ghaomkan pada wawu ketika
‫ا‬ ً۬
washol (sambung). Lafadh (َ‫ )إِل‬ini bermakna qorobah bukan ististna. ‫إَِلا َو ََل‬
ً۬
‫( ِذ َّمة‬Q.S. at-Taubah: 8 dan 10).
19. Ta-nya dibaca fathah dan tanpa (‫ ت َ ۡج ِرى تَ ۡحتَهَا‬,(َ‫( ِمن‬Q.S. at-Taubah: 100).
20. () dibaca panjang 2 ketukan, ‫( أول ٰٮهما‬Q.S. al-Isra': 5), ۡ‫( ِِلولَ ٰٮهم‬Q.S. al-
A'raf: 38-39), demikian juga lafadz (َ‫)ِلول‬ ِ dengan ( ‫)ٱل‬ َۡ
21. Hamzahnya pendek. ‫( سأ ْو ِريك َۡم‬Q.S. Al-A'raf: 145).
22. Wawu-nya dibaca pendek. ۖ‫( ِمن تَفَـٰو ً۬ت‬Q.S. al-Mulk: 3).
23. َ‫ڪ ٰوة‬ َّ ْ‫( َو َءاتَوا‬Q.S.al-Baqarah:277) dan (Q.S. at-Taubah: 5 dan 11),
َ ‫ٱلز‬
(Q.S.al-Hajj: 41), Ta-nya fathah, wawu-nya dhommah ketika washol
(sambung), dan mati ketika waqof (berhenti). Ini fi'il Madhi (kata lampau)
bukan fi'il 'Amr (kata perintah).

11

Anda mungkin juga menyukai