Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

THAHARAH DARI HADATS


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : Hidayatur Rachman, S.E.I., M.Pd.I.

Oleh Kelompok 1 :
1. Khalid Abdurrahman 18.02.0089
2. Muhamad Muhdi 18.02.0036
3. Hamdan Khaeroni 18.02.0025
4. Muhammad Ridwan 18.02.0042
5. Irpan Abdul Maula 18.02.0088

KELAS PARALEL SEMESTER III


PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-
QUDWAH DEPOK
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wasshalatu wassalamu „ala Rasulillah, Puji syukur kehadirat


Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Thaharah dari Hadats ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Fiqih Ibadah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang bersuci dari hadats bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ustaz Hidayatur Rachman, S.E.I.,


M.Pd.I. selaku dosen mata kuliah Fiqih Ibadah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 13 September 2019

Kelompok 1

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... ......... 0

KATA PENGANTAR...................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................3

 A. Latar Belakang................................................................................. 3
 B. Rumusan Masalah............................................................................ 3
 C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 4
 1. Pengertian Thaharah dan Hadats...................................................... 4
 2. Macam-Macam Hadats..................................................................... 5
 3. Cara Bersuci dari Hadats.................................................................. 6
 Wudhu.......................................................................................6
o Syarat Wudhu............................................................... 8
o Rukun Wudhu............................................................... 9
o Sunnah Wudhu..............................................................12
o Hal-hal yang membatalkan wudhu............................... 17
 Mandi Janabah.......................................................................... 18
o Rukun dan sunnah mandi janabah................................ 18
 Tayammum............................................................................... 23
o Syarat-Syarat yang Membolehkan Tayammum........... 24
o Rukun Tayammum....................................................... 27
o Sunnah Tayammum...................................................... 28
o Hal yang membatalkan Tayammum............................. 30

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 33


 A.Kesimpulan....................................................................................... 33
 B. Saran................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 34

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pembahasan fiqih, secara umum selalu diawali dengan uraian


tentang thaharah. Secara khusus, dalam semua kitab atau buku fiqih ibadah
selalu diawali dengan thaharah. Hal ini tidak lain karena
thaharah (bersuci) mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan dengan ibadah.

Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya,


dalam melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu
berada dalam keadaan bersih lagi suci, baik dari hadats besar maupun hadats
kecil, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan dalam beribadah, mulai
dari pakaian, tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharah
dengan ibadah ibarat dua sisi mata uang, dimana antara satu sisi dengan sisi
lainnya tidak dapat dipisahkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian thaharah dari hadats ?


2. Apa saja macam-macam hadats ?
3. Bagaimana cara bersuci dari hadats ?.

C. Tujuan Penulisan

1. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah


2. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai thaharah dari hadats
3. Memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh Syari‟at Islam dan
mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari.

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Thaharah dan Hadats

Secara etimologi thaharah berarti bersih dari kotoran-kotoran yang


bersifat inderawi atau maknawi. Secara terminologi thaharah adalah
terangkatnya hadats dengan air atau debu suci yang diperbolehkan dan
hilangnya najis. Sedangkan thaharah menurut kesepakatan kaum muslimin
berarti hilangnya sifat (kotor) yang ada di badan. Hukum sifat ini adalah
mencegah seseorang unfuk melaksanakan shalat dan sebagainya. Ungkapan
yang digunakan dalam hadats adalah lrtifa' (terangkat) karena ia bersifat
maknawi sedangkan untuk najis digunakan kata ialah (menghilangkan) karena
ia bersifat inderawi. Sementara istilah izalah tidak digunakan kecuali pada
sesuatu yang bersifat inderawi.1

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh lima imam kecuali An-
Nasa‟i yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

‫الص ََلةِ الطُّ ُه ْوُر‬


َّ ‫اح‬ ِ
ُ َ‫م ْفت‬
“Kunci shalat adalah bersuci.”

Istilah kunci harus didahulukan karena dialah yang dijadikan


pembuka. Maka yang sesuai adalah memulainya dengan pembahasan bersuci,
karena bersuci dari hadats dan kotoran merupakan syarat sahnya shalat.
Sementara syarat sesuatu harus mendahuluinya.

Al-Ghazali di dalam kitab Al-Ihya‟ berkata : Allah SWT berfirman, “Tetapi


Dia hendak membersihkan kamu.” (Qs. Al-Maa‟idah [5]:6). Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy‟ari, dia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda,

ِ ‫الطُّ ُهور َشطْر ا ِإليم‬


‫ان‬ َْ ُ ُ ْ
“Bersuci adalah bagian dari Iman.”
1
Abdullah Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),
hlm. 124.

4
Thaharah memiliki empat tingkatan :

1. Membersihkan sisi lahiriah dari hadats dan najis.

2. Membersihkan anggota tubuh dari dosa dan kesalahan.

3. Membersihkan hati dari perilaku yang tercela.

4. Membersihkan yang tersembunyi dari sesuatu selain Allah.

Ini adalah puncak tertinggi bagi orang yang memiliki mata batin yang
kuat, maka ia dapat sampai kepada maksud tersebut. Adapun orang yang buta
mata hatinya, maka ia tidak dapat memahami peringkat-peringkat tersebut
kecuali hanya peringkat yang pertama saja.

Hadats berasal dari bahasa Arab yang artinya suatu peristiwa, sesuatu
yang terjadi, sesuatu yang tidak berlaku. Sedangkan dalam istilah adalah
keadaan tidak suci bagi seseorang sehingga menjadikannya tidak sah dalam
melakukan ibadah.2

2. Macam-macam Hadats

Hadats ada dua macam, yaitu Hadats Kecil dan Hadats Besar.
a. Hadas Kecil
Yaitu keadaan seseorang tidak suci, dan supaya ia menjadi suci
maka ia harus berwudu, dan apabila tidak ada air maka diganti dengan
tayamum. Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhadats kecil adalah :
 Karena keluar sesuatu dari dua lubang, yaitu qubul dan dubur
 Karena hilang akalnya, yang disebabkan mabuk, gila atau sebab
lainnya seperti tidur
 Persentuhan antara kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan
mahramnya tanpa ada batas yang menghalanginya
 Karena menyentuh kemaluan, baik kemaluan sendiri ataupun
kemaluan orang lain dengan telapak tangan atau jari

2
Ibid., hlm. 125-126

5
b. Hadas Besar
Yaitu keadaan seseorang tidak suci, dan supaya ia menjadi suci
maka ia harus mandi besar. Apabila tidak ada air maka diganti tayamum.
Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhadats besar ialah :
 Karena bertemunya dua kelamin laki-laki dengan perempuan
(jima‟ atau bersetubuh), baik keluar mani ataupun tidak
 Karena keluar mani, baik karena bermimpi atau sebab lain
 Karena haid, yaitu darah yang keluar dari perempuan sehat yang
telah dewasa pada setiap bulannya
 Karena nifas, yaitu darah yang keluar dari seorang ibu sehabis
melahirkan
 Karena wiladah, yaitu darah yang keluar ketika melahirkan
 Karena meninggal dunia, kecuali yang meninggal dunia dalam
perang membela agama Allah, maka dia tidak dimandikan.3

3. Cara Bersuci dari Hadats

Kaum muslim sepakat bahwa bersuci secara hukum ada dua macam;
bersuci dari hadats dan bersuci dari najis. Mereka pun sepakat bahwa bersuci
dari hadats terbagi tiga bagian : wudhu, mandi janabah, dan tayammum sebagai
pengganti keduanya, dalilnya adalah ayat tentang wudhu (Q.s. al-Maidah [5] :
6) yang mencakup semuanya, sekarang kita mulai dengan wudhu.
a. Wudhu
Kata wudhu (‫)الوضوء‬
ُ –dengan huruf waw yang dhommah- dalam
bahasa Arab, berasal dari kata al-wadha'ah (‫اءة‬
َ‫ض‬ َ ‫)الو‬
َ yang bermakna al-hasan
(‫ )الحسن‬yaitu kebaikan, dan juga bermakna an-nadhzafah (‫ )النظافة‬yaitu

kebersihan. Selain itu, dikenal pula dalam fiqih istilah wadhuu (‫)الوضوء‬
َ

3
Kementrian Agama RI 2014, Buku Siswa Fikih Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 Madrasah
Tsanawiyah VII, (Jakarta : Kementrian Agama, 2014) hlm. 5-6

6
dengan mem-fathah-kan huruf waw, yang bermakna air yang digunakan
untuk berwudhu.
Sedangkan pengertian wudhu dalam fiqih, para ulama
mendefinisikannya dengan beberapa redaksi berbeda, di antaranya:
Ibnu Maudud al-Maushuli al-Hanafi, seorang ulama bermazhab Hanafi,
mendefinisikan wudhu sebagaiamana berikut:

‫وصة‬
َ ‫ص‬ َ ‫الم ْس ُح َعلَى أَ ْع‬
ُ ‫ضاء َم ْخ‬ َ ‫الغَ ْسل َو‬
Membasuh dan menyapu pada anggota badan tertentu.

Ad-Dirdir al-Maliki, seorang ulama bermazhab Maliki,


mendefinisikan wudhu sebagaiamana berikut:

َ ‫ َو ِى َي األَ ْع‬- ‫صة‬


‫ضاءُ األَ ْربَ َعةُ َعلَى َو ْجو‬ َ ‫ص ْو‬ َ ‫طه َارة َماىِيَّة تَتَ َعلَّ ُق بِأ‬
ُ ‫َعضاء َم ْخ‬ َ
‫ص ْوص‬ ُ ‫َم ْخ‬
Bersuci dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu
yaitu 4 anggota badan dengan tata cara tertentu.

Al-Khathib asy-Syirbini, seorang ulama bermazhab Syafi‟i,


mendefinisikan wudhu sebagaimana berikut :
ِ
‫صة‬
َ ‫ص ْو‬ َ ‫استِ ْع َمال ال َْماء فِي أَ ْع‬
ُ ‫ضاء َم ْخ‬
ِ
ْ ‫صة ُم ْفتَتَ َحة بِالنِّ يِّة أ َْو ُى َو‬
َ ‫ص ْو‬ُ ‫أَفْ َعال َم ْخ‬
‫ُم ْفتَتَ ًحا بِالنِّ يِّ ِة‬
Beberapa perbuatan tertentu yang dimulai dari niat, yaitu penggunaan air
pada anggota badan tertentu dimulai dengan niat.

Manshur bin Yunus al-Buhuti, seorang ulama bermazhab


Hanbali, mendefinisikan wudhu sebagaimana berikut:

‫س‬ُ ْ‫الرأ‬
َّ ‫ان َو‬ ِ ‫(و ِىي الْوجوُ والْي َد‬
َ َ َْ َ َ ‫ض ِاء األَ ْربَ َع ِة‬
َ ‫استِ ْع َمال َماء طَ ُهور فِي األَ ْع‬ ْ
‫بِأَ ْن يَأْتِ َى بِ َها ُم َرتَّبَةً ُمتَ َوالِيَةً َم َع‬ ‫رع‬
ِ ‫الش‬ َّ ‫صة فِي‬ َ ‫ص ْو‬
ِ ِ ِّ
ُ ‫والر ْج ََلن) َعلَى ص َفة َم ْخ‬
‫ض‬ِ ‫بَاقِي الْ ُف ُرْو‬

7
Penggunaan air yang suci pada keempat anggota tubuh yaitu wajah,
kedua tangan, kepala, dan kedua kaki; dengan tata cara tertentu sesuai
dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan bersama dengan
fardhu-fardhu wudhu lainnya.
Dari beberapa definisi di atas, setidaknya titik temunya adalah
bahwa wudhu merupakan ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats
kecil dengan menggunakan media air atas beberapa anggota tubuh. Di
mana ibadah itu kemudian ada yang menjabarkannya melalui satu sisinya,
yaitu dengan menyebutkan caranya seperti membasuh dan mengusap. Dan
ada pula yang menjabarkan secara langsung rukun-rukunnya, seperti niat,
tertib, dan lainnya.
Disamping itu, dari definisi di atas juga dipahami bahwa wudhu
bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan anggota tubuh secara fisik
dari kotoran, melainkan juga sebuah ritual ibadah yang telah ditetapkan
tata aturannya lewat wahyu (syara‟) dari Allah swt. 4
Syarat Wudhu, Syarat adalah ketentuan yang wajib dilakukan
sebelum praktek ibadah dilakukan. Terkait syarat wudhu, para ulama
membedakannya menjadi dua jenis: syarat wajib dan syarat sah. Maksud
dari syarat wajib wudhu adalah syarat-syarat yang apabila terpenuhi pada
diri seseorang, maka wudhu itu hukumnya menjadi wajib. Adapun syarat
sah adalah hal-hal yang apabila belum terpenuhi, maka wudhu itu
hukumnya menjadi tidak sah.

Adapun syarat wajib wudhu sebagaimana berikut:


1. Muslim.
2. Aqil atau berakal.
3. Baligh.
4. Terhentinya hal-hal yang meniadakan wudhu seperti haid dan nifas.
5. Keberadaan air mutlak yang cukup, dengan volume minimal satu
mud (0,688 liter/688 ml) sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Dari Anas ra berkata: bahwa Rasulullah saw berwudlu dengan satu
4
Isnan Ansory, Lc., MA, Wudhu Rasulullah SAW menurut empat mazhab, (Jakarta Selatan :
Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm. 7-9

8
mud air dan mandi dengan satu sha‟ hingga lima mud air. (HR.
Bukhari Muslim).
6. Mampu menggunakan air.
7. Masuknya waktu ibadah yang mensyaratkan wudhu, khusus bagi
wanita yang mendapati istihadhah dan kasus semisal.
8. Adanya hadats.
9. Sampainya dakwah Nabi saw.

Sedangkan syarat sah wudhu sebagaimana berikut:


1. Ratanya air membasahi anggota wudhu.
2. Tidak adanya penghalang di kulit seperti lilin, lemak, adonan, tanah,
lem, cat, karet, atau benda apapun yang menjadi penghalang
basahnya bagian anggota wudhu dari air.
3. Berhentinya penyebab hadats, dengan demikian maka orang yang
berwudhu sambil kencing misalnya, maka hukum wudhu'nya tidak
sah. Demikian juga orang yang sudah selesai buang air tapi belum
beristinja', kalau dia berwudhu' maka hukum wudhu'nya tidak sah.
4. Ilmu tentang wudhu.
5. Halalnya air. Syarat ini hanya diajukan oleh Hanbali saja dalam
pandangan resmi mazhab.5

Rukun wudhu, Pentingnya kita mempelajari masalah rukun


wudhu ini sebenarnya untuk mengukur apakah wudhu kita dianggap sah
atau tidak. Ketika ada pertanyaan apakah wudhu kita sah atau tidak maka
jawabannya cukup dengan cara melihat pada rukun wudhu saja. Jika
semua rukun wudhu terpenuhi dalam artian dilaksanakan semua rukun
wudhunya ketika berwudhu maka wudhunya sudah dianggap sah. Jadi
intinya rukun wudhu ini adalah sesuatu yang harus ada atau wajib kita
lakukan ketika berwudhu. Sah atau tidaknya wudhu kita itu bergantung
pada terpenuhi atau tidaknya rukun wudhu tersebut.6

5
Ibid., hlm. 20-21
6
Muhammad Ajib, Lc., MA, Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi‟iy, (Jakarta Selatan : Rumah
Fiqih Publising, 2019) hlm. 9

9
         

 .....        

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-
Maidah: 6)
Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan empat rukun wudhu yang
disepakati para ulama, yaitu: membasuh wajah, membasuh tangan hingga
siku, mengusap kepala, dan membasuh kaki hingga mata kaki.
Namun, di samping ayat ini, dalam berbagai kesempatan Nabi
saw juga memberikan tambahan ritual, yang dapat dikatakan menjadi salah
satu sumber perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menghukumi
praktik tambahan itu. Apakah dimaksudkan sebagai rukun yang wajib
dilakukan atau sebagai keutamaan yang hukumnya sunnah. 7
Rukun Wudhu menurut empat madzhab,
1. Madzhab Hanafi
Imam Ibnu Maudud al-Maushili (w. 683 H), seorang
ulama bermazhab Hanafi, dalam kitab matan-nya; Mukhtar al-Fatwa,
yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab Hanafi, menetapkan
praktik wudhu dari sisi rukunnya sebagaimana berikut:

،‫س‬ ِّ ‫ َوَم ْس ُح ُربُ ِع‬،‫ َوغَ ْس ُل الْيَ َديْ ِن َم َع ال ِْم ْرفَ َق ْي ِن‬،‫ غَ ْس ُل ال َْو ْج ِو‬:ُ‫ضو‬
ِ ْ‫الرأ‬ ُ ‫َوفَ ْر‬
.‫الر ْجلَْي ِن َم َع الْ َك ْعبَ ْي ِن‬
ِّ ‫َوغَ ْس ُل‬
Fardhu wudhu adalah: membasuh wajah, membasuh tangan dan juga
kedua siku, mengusap seperempat kepala, dan membasuh kaki dan
juga kedua mata kaki.

2. Madzhab Maliki

7
Isnan Ansory, Lc., MA, Wudhu Rasulullah SAW menurut empat mazhab, (Jakarta Selatan :
Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm. 21-22

10
Imam Abu an-Naja al-„Asymawi (w. Sebelum Abad 10
H), seorang ulama bermazhab Maliki, dalam kitab matan-nya; Matan
al-„Asymawiyyah, yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab
Maliki, menetapkan praktik wudhu dari sisi rukunnya sebagaimana
berikut :

‫ َوغَ ْس ُل اليَ َديْ ِن‬،‫الو ْح ِو‬ ِ ِ ‫فَأ ََّما فَ راىِض الو‬


َ ‫ النِّ يَّةُ ع ْن َد غَ ْس ِل‬:‫س ْب َعة‬ َ َ‫ض ْوء ف‬ ُ ُ ُ َ
،‫الر ْجلَْي ِن إلى ال َك ْعبَ ْي ِن‬ ِّ ‫ وغَ ْس ُل‬،‫س‬ َّ ‫ َوَم ْس ُح َج ِم ْي ِع‬،‫المرفَ َق ْي ِن‬
ِ ْ‫الرأ‬ َ ‫إِلى‬
.‫ فَ َه ِذهِ َس ْب َعة‬.‫ك‬ ُ ‫ والتَّ ْدلِْي‬،‫َوال َف ْوُر‬
‫ك إِ ْن َكا َن‬ َ ِ‫ك أَ ْن تُ َخلِّ َل َش ْع َر لِ ْحيَت‬ َ ‫ك في غَ ْس ِل َو ْج ِه‬ َ ‫ب َعلَْي‬ ِ ِ
ُ ‫لَك ْن يَج‬
ِ ِ ِ ِ
‫ب‬ ُ ‫ َو إِ ْن َكا َن َكث ْي ًفا فَ ََل يَج‬،ُ‫َش ْع ُر اللِّ ْحيَة َخف ْي ًفا تَظ َْه ُر البَ ْش َرةُ تَ ْحتَو‬
‫ك أَ ْن تُ َخلِّ َل‬ َ ْ‫ك في غَ ْس ِل يَ َدي‬ َ ‫ب َعلَْي‬ ِ َ ِ‫ وَك َذل‬،‫ك تَ ْخلِ ْي لُ َها‬
ُ ‫ك يَج‬ َ َ ‫َعلَْي‬
.‫الم ْش ُهوِر‬ َ ‫َصابِ َع‬
َ ‫ك َعلَى‬ َ‫أ‬
Adapun fardhu wudhu, ada 7: (1) (2) Niat saat membasuh wajah, (3)
Membasuh kedua tangan sampai kedua siku, (4) Mengusap seluruh
kepala, (5) Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, (6)
Faur/muwalah, (7) Tadlik/menggosok.
Namun wajib atasmu saat membasuh wajah melakukan takhlil pada
jenggotmu yang tipis, di mana kulitnya tampak terlihat. Adapun jika
jenggotmu tebal, maka tidak wajib takhlil. Begitu juga wajib atasmu
melakukan takhlil pada ruas-ruas jari, sebagaimana pendapat yang
masyhur.

3. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Syuja‟ al-Ashfahani (w. 593 H), seorang ulama
bermazhab Syafi‟i, dalam kitab matan-nya; al-Ghayah wa at-Taqrib,
yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab Syafi‟i, menetapkan
praktik wudhu dari sisi rukunnya sebagaimana berikut:

11
‫ النية عند غسل الوجو وغسل الوجو‬:‫وفروض الوضوء ستة أشياء‬
‫وغ سل اليدين مع المرفقين ومسح بعض الرأس وغسل الرجلين إلى‬
‫الكعبين والترتيب على ما ذكرناه‬
Fardhu wudhu ada 6: (1) Niat saat membasuh wajah, (2) Membasuh
wajah, (3) Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (4)
Mengusap sebagian kepala, (5) Membasuh kedua kaki dan juga
kedua mata kaki, (6) Tertib anggota wudhu sebagaimana telah
disebutkan.

4. Madzhab Hanbali
Imam Mar‟i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H), seorang
ulama bermazhab Hanbali, dalam kitab matan-nya; Dalil ath-Thalib
li Nail al-Mathalib, yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab
Hanbali, menetapkan praktik wudhu dari sisi rukunnya sebagaimana
berikut:

‫ غسل الوجو ومنو المضمضة واالستنشاق وغسل اليدين‬:‫وفروضو ستة‬


‫مع المرفقين ومسح الرأس كلو ومنو األذنان وغسل الرجلين مع‬
‫الكعبين والترتيب والمواالة‬
Fardhu wudhu ada 6: (1) Membasuh wajah termasuk madhamadhah
dan istinsyaq, (2) Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (3)
Mengusap seluruh kepala termasuk kedua telinga, (4) Membasuh
kedua kaki dan juga kedua mata kaki, (5) Tertib, dan (6) Muwalah.

Sunnah Wudhu, Para ulama sepakat bahwa tafsir dan


penjelasan atas tata cara wudhu sebagaimana diperintahkan di dalam al-
Qur‟an, terdapat pada sunnah-sunnah Rasulullah saw. Apakah sunnah
tersebut berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya.
Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam proses pemilahan
hukum-hukum fiqih atas setiap detail tata cara wudhu Rasulullah saw

12
tersebut. Yaitu antara tata cara yang dihukumi wajib sebagai syarat sahnya
ibadah wudhu, atau semata dihukumi sunnah yang dianjurkan.
Sunnah Wudhu menurut empat madzhab,
1. Madzhab Hanafi
Imam Ibnu Maudud al-Maushili (w. 683 H), seorang
ulama bermazhab Hanafi, dalam kitab matan-nya; Mukhtar al-Fatwa,
yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab Hanafi, menetapkan
praktik wudhu dari sisi sunnahnnya, sebagaimana berikut:
“Sunnah-sunnah wudhu: membasuh kedua tangan sampai
kepergelangan tangan sebanyak tiga kali sebelum mencelupkan
tangannya ke dalam wadah air bagi yang baru bangun dari tidur,
membaca tasmiyyah di awal wudhu, bersiwak, madhmadhah,
istinsyaq, mengusap seluruh kepala dan kedua telinga dengan satu
usapan air, takhlil jenggot dan ruas jari, membasuh tiga kali.”

2. Madzhab Maliki
Imam Abu an-Naja al-„Asymawi (w. Sebelum Abad 10
H), seorang ulama bermazhab Maliki, dalam kitab matan-nya; Matan
al-„Asymawiyyah, yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab
Maliki, menetapkan praktik wudhu dari sisi sunnahnnya,
sebagaimana berikut:
“Sedangkan sunnah-sunnah wudhu, ada 8: (1) Membasuh kedua
tangan sampai pergelangan, (2) Madhmadhah, (3) Istinsyaq, (4)
Istintsar; yaitu membuang air yang dimasukkan ke dalam hidup, (5)
Mengusap kepala dengan membalikkannya dari belakang, (6)
Mengusap sisi luar dan dalam telinga, (7) Mengusap telinga dengan
air yang baru, dan (8) Tertib.
Adapun fadhilahnya (anjuran di bawah kualitas sunnah), ada 7: (1)
Tasmiyyah, (2) Berwudhu di tempat yang suci, (3) Meminimalkan
penggunaan air, (4) Meletakkan wadah air di atas tangan kanan, (5)
Basuhan kedua dan ketiga, jika telah sempurna pada basuhan

13
pertama, (6) Memulai usapan kepada dari arah depan, (7) Bersiwak.
Wallahua’lam.”

3. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Syuja‟ al-Ashfahani (w. 593 H), seorang ulama
bermazhab Syafi‟i, dalam kitab matan-nya; al-Ghayah wa at-Taqrib,
yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab Syafi‟i, menetapkan
praktik wudhu dari sisi sunnahnnya, sebagaimana berikut:
“Dan sunnah-sunnahnya ada 10: (1) Tasmiyyah, membasuh kedua
telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air,
madhamadhah, istinsyaq, membasuh sisi dalam dan luar telingan
dengan air yang baru, takhlil jenggot yang tebal, takhlil ruas-ruas
jari tangan dan kaki, mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas
yang kiri, melakukan wudhu tiga kali-tiga kali, dan muwalah.”

4. Madzhab Hanbali
Imam Mar‟i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H), seorang
ulama bermazhab Hanbali, dalam kitab matan-nya; Dalil ath-Thalib
li Nail al-Mathalib, yang menjadi salah satu rujukan dalam mazhab
Hanbali, menetapkan praktik wudhu dari sisi sunnahnnya,
sebagaimana berikut:
“Sunnah wudhu ada 18: (1) Menghadap kiblat, (2) Bersiwak, (3)
Membasuh telapak tangan 3 kali, (4) Mendahulukan madhmadhah
dan istinsyaq sebelum membasuh wajah, (5) Memperbanyak hirupan
air dalam madhmadah dan istinsyaq, kecuali bagi orang yang
berpuasa, (6) Menekan anggota wudhu yang dibasuh (dalk), (7)
Memperbanyak basuhan di wajah –hingga ke sisi luar dan dalam-,
(8) Takhlil jenggot yang tebal, (9) Takhlil ruas-ruas jari, (10)
Membasuh telinga dengan air yang baru, (11) Mendahulukan
anggota wudhu yang kanan atas kiri, (12) Melebihkan wilayah
basuhan (tahjil), (13) Basuhan kedua dan ketiga, (14) Senantiasa
berniat hingga wudhu selesai, (15) Berniat saat membasuh telapak

14
tangan, (16) Membaca niat secara sirr, (17) Membaca dua kalimat
syahadat setelah berwudhu dengan menghadapkan wajah ke langit,
(18) Mandiri dalam berwudhu, tanpa bantuan orang lain.”

Ringkasan rukun dan sunnah wudhu (perbandingan


madzhab), Dari praktik wudhu Rasulullah saw di atas, terdapat beberapa
praktik yang disepakati oleh para ulama terkait status hukumnya. Apakah
sebagai kewajiban yang menjadi sebab sah atau tidaknya wudhu. Maupun
sebagai anjuran yang hukumnya sunnah dan jika ditinggalkan tidak
menyebabkan wudhu menjadi batal.
Disamping itu, ada pula beberapa praktik yang diperselisihkan
hukumnya antara wajib dan sunnah.
Wajib/rukun/fardhu wudhu : Setiap praktik wudhu yang jika tidak
dilakukan sebagian atau semuanya, maka
wudhunya tidaklah sah.
Sunnah wudhu : Setiap praktik wudhu yang jika tidak
dilakukan sebagian atau semuanya, maka
wudhunya tetap sah.
Berikut ringkasan hukum beragam praktik wudhu berdasarkan
perbandingan 4 mazhab.
4 Madzhab
No. Praktik Wudhu
Hanafi Maliki Syafi'i Hanbali
1 Niat Sunnah Wajib Wajib Wajib
2 Basmalah Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
3 Cuci telapak tangan Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
4 Bersiwak Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
5 Kumur, Istinsyaq, Istintsar Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
6 Basuh Wajah Wajib Wajib Wajib Wajib
7 Takhlil Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
8 Basuh Tangan Wajib Wajib Wajib Wajib
Wajib Wajib Wajib Wajib
9 Usap Kepala
Min ¼ Seluruh Sebagian Seluruh
10 Basuh Telinga Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
11 Basuh Kaki Wajib Wajib Wajib Wajib
12 Kanan Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
13 Tahjil Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah

15
4 Madzhab
No. Praktik Wudhu
Hanafi Maliki Syafi'i Hanbali
14 Tiga Kali Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
15 Dalk Sunnah Wajib Sunnah Sunnah
16 Muwalah Sunnah Wajib Sunnah Wajib
17 Tertib Sunnah Wajib Wajib Wajib
18 Doa Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
19 Shalat Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
Hanafi Maliki Syafi'i Hanbali
4 wajib, 8 wajib, 6 wajib, 10
TOTAL
15 11 13 wajib, 9
sunnah sunnah sunnah sunnah

Dari 19 praktik wudhu di atas, tampak bahwa para ulama


menyepakati 4 praktik yang dihukumi sebagai rukun yang wajib
dilakukan. Mereka juga menyepakati 7 praktik yang dihukumi sunnah.
Dan 8 praktik yang diperselisihkan, antara wajib dan sunnah.
Praktik wudhu yang disepakati wajib adalah:
1. Membasuh wajah.
2. Membasuh tangan hingga siku.
3. Mengusap kepala.
4. Membasuh kaki hingga mata kaki.
Sedangkan 7 praktik yang disepakati sunnah, adalah:
1. Bersiwak sebelum wudhu.
2. Takhlil.
3. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas kiri.
4. Ghurrah muhajjalin.
5. Tiga kali basuhan.
6. Berdoa setelah wudhu.
7. Shalat sunnah setelah wudhu.
Adapun ke-8 praktik yang diperselisihkan hukumnya antara wajib dan
sunnah, adalah:
1. Niat.
2. Tasmiyyah atau membaca basmalah.
3. Cuci tangan sebalum wudhu.

16
4. Madhmadhah, istinsyaq, dan istintsar.
5. Membasuh telinga.
6. Dalk atau menggosok badan.
7. Muwalah.
8. Tertib.8

Hal-hal yang membatalkan wudhu, landasannya adalah


Firman Allah SWT :

...         ...

“...atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan...”


(Qs. Al-Maidah [5]: 6)
Dan sabda Nabi SAW:

َّ ‫ث َحتَّى يَتَ َو‬


َ‫ضأ‬ َ ‫َح َد‬ ّٰ
ْ ‫ص ََل َة َم ْن أ‬
َ ‫َال يَ ْقبَ ُل اللّو‬
“Allah tidak menerima shalat orang yang berhadats sehingga dia
berwudhu.”

Dalam masalah ini para ulama sepakat batalnya wudhu karena


kencing, buang air besar, kentut, madzi, dan wadhi karena shahihnya atsar
yang menerangkan hal itu kala keluar dalam keadaan sehat, ada tujuh hal
yang utama yang diperselisihkan antara lain :
1. Najis yang keluar dari tubuh
2. Tidur
3. Menyentuh perempuan
4. Menyentuh kemaluan
5. Memakan sesuatu yang dipanaskan api (dipanggang)
6. Tertawa dalam shalat
7. Mengusung mayit dan hilang akal.9

8
Ibid., hlm. 24-34
9
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 70

17
b. Mandi Janabah
Dalam bahasa Arab, mandi janabah disebut dengan ghusl
janabah (‫ )غسل الجنابة‬atau biasa disingkat dengan al-ghusl (‫)الغسل‬. Secara

bahasa istilah al-ghusl memiliki makna menuangkan air ke seluruh tubuh.

Sedangkan istilah janabah (‫ )الجنابة‬bermakna jauh (‫)البُ ْعد‬, lawan

ِ
َ ‫)ض ُّد‬. Di mana istilah janabah dalam fiqih dipakai untuk
dari dekat (‫القرابَة‬

menunjukkan kondisi seseorang yang keluar air maninya atau telah


melakukan hubungan suami istri. Dan disebut jauh, karena seseorang itu
junub; menjauhi shalat, masjid, dan membaca al-Quran.

Dalam trandisi lisan bangsa Indonesia, mandi janabah sering


juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Di mana mandi ini merupakan
tatacara ritual yang bersifat ta‟abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats
besar.
Sedangkan secara istilah, mandi didefinisikan sebagaimana berikut:
ِ ِ ِْ
ُ ‫است ْع َمال َماء طَ ُه ْور فى َج ِم ْي ِع الْبَ َدن َعلَى َو ْجو َم ْخ‬
ُ ِ‫صوص ب‬
‫ش ُرْوط َوأ َْرَكان‬

“Memakai air yang suci pada seluruh badan dengan tata cara tertentu
dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”10

Rukun dan sunnah mandi janabah, Para ulama sepakat bahwa


tafsir dan penjelasan atas tata cara mandi janabah sebagaimana
diperintahkan di dalam al-Qur‟an, terdapat pada sunnah-sunnah Rasulullah
saw. Apakah sunnah tersebut berupa perkataan, perbuatan, atau
ketetapannya.
Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam proses pemilahan
hukum-hukum fiqih atas setiap detail tata cara mandi janabah Rasulullah
saw tersebut. Yaitu antara tata cara yang dihukumi wajib sebagai syarat

10
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., Mandi Janabah Rasulullah SAW menurut 4 Mazhab, (Jakarta
Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm. 6-7

18
sahnya ibadah mandi janabah, atau semata dihukumi sunnah yang
dianjurkan.
Terkait detail pandangan ulama tersebut, berikut beberapa
praktik mandi janabah dari aspek hukum, yang tertulis dalam kitab-kitab
fiqih matan empat mazhab.
Rukun dan sunnah mandi janabah menurut empat madzhab :

1. Madzhab Hanafi
Imam Burhanuddin al-Marghinani (w. 593 H), seorang
ulama bermazhab Hanafi, yang kitab matan-nya menjadi rujukan
mazhab Hanafi, menetapkan praktik mandi janabah dari sisi rukun
dan sunnahnnya, sebagaimana berikut:

“Fardhu mandi janabah adalah (3 hal): madhmadhah


(berkumur-kumur), istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung),
dan membasuh seluruh badan.”

Sunnah-sunnahnya: membasuh kedua tangan dan


kemaluan sebelum mandi, menghilangkan najis pada tubuhnya jika
ada, berwudhu seperti wudhu hendak shalat dengan mengakhirkan
basuhan kaki, menumpahkan air ke kepala dan ke seluruh tubuhnya
sebanyak tiga kali basuhan, lalu menjauhi tempat mandinya dan
membasuh kakinya. Dan tidak diharuskan atas wanita untuk
melepaskan ikatan rambutnya (menguraikan rambutnya yang
panjang), jika dirasa air telah sampai kepada dasar-dasar
tumbuhnya rambut.”

2. Madzhab Maliki
Imam Abu an-Naja al-„Asymawi (w. Sebelum Abad 10
H), seorang ulama bermazhab Maliki, yang kitab matan-nya menjadi
salah satu rujukan dalam mazhab Maliki, menetapkan praktik mandi
janabah dari sisi rukun dan sunnahnnya, sebagaimana berikut:
“Bab tentang fardhu mandi janabah, sunnah-sunnahnya,
dan fadhoilnya. Fardhu mandi ada lima: niat, membasuh seluruh

19
tubuh dengan air, dalku (menggosok badan), fawr (muwalah), dan
menyela-nyela rambut.
Sedangkan sunnahnya ada empat: mencuci tangan
terlebih dahulu (sebelum mandi) sampai pergelangan, madhmadhah,
istinsyaq, mengusap daun telinga.

Adapun fadhoilnya ada enam: membersihkan najis yang


ada pada tubuh, berwudhu sebelum mandi, membasuh bagian
teratas sebelum bagian bawah, membasuh kepala sebanyak tiga kali
(sebelum mandi), mambasuh bagian yang kanan sebelum bagi yang
kiri, meminimalkan air sembari menyempurnakan basuhan.
Wallahua’lam.”

3. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Syuja‟ al-Ashfahani (w. 593 H), seorang ulama
bermazhab Syafi‟i, yang kitab matan-nya menjadi salah satu rujukan
dalam mazhab Syafi‟i, menetapkan praktik mandi janabah dari sisi
rukun dan sunnahnnya, sebagaimana berikut:
“Fardhu mandi janabah ada tiga: niat, membersihkan
badan dari najis, dan mengalirkan air ke seluruh rambut dan
permukaan kulit.
Dan sunnah-sunnahnya ada lima: tasmiyyah, berwudhu
sebelum mandi, gosokan tangan di atas badan (dalk), muwalah, dan
mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas yang kiri.”
4. Madzhab Hanbali
Imam Abu an-Naja al-Hijawi (w. 968 H), seorang ulama
bermazhab Hanbali, yang kitab matan-nya menjadi salah satu
rujukan dalam mazhab Hanbali, menetapkan praktik mandi janabah
dari sisi rukun dan sunnahnnya, sebagaimana berikut:
“Dan standar cukupnya (sah) mandi janabah adalah
berniat, kemudian membaca tasmiyyah, dan membasuh seluruh
badang dengan sekali basuhan

20
Adapun mandi janabah yang sempurna: berniat,
kemudian membaca tasmiyyah, mencuci kedua tangan tiga kali, dan
mencuci anggota tubuh yang terkotori najis, berwudhu, menyiram
kepala tiga kali dengan menyela-nyela kepala, membasuh seluruh
tubuh tiga kali, melakukan dalk (menggosok badan dengan tangan),
mendahulukan anggota tubuh yang kanan, dan membasuh kedua
kaki di tempat lain.

Ringkasan rukun dan sunnah mandi janabah


(perbandingan madzhab), dari praktik mandi janabah Rasulullah saw di
atas, terdapat beberapa praktik yang disepakati oleh para ulama terkait
status hukumnya. Apakah sebagai kewajiban yang menjadi sebab sah atau
tidaknya mandi janabah. Maupun sebagai anjuran yang hukumnya sunnah
dan jika ditinggalkan tidak menjadikan mandi janabah menjadi batal.
Di samping itu, ada pula beberapa praktik yang diperselisihkan
hukumnya antara wajib dan sunnah.
Wajib/rukun/fardhu mandi janabah : Setiap praktik mandi janabah
yang jika tidak dilakukan
sebagian atau semuanya, maka
mandi janabahnya tidaklah sah.
Sunnah mandi janabah : Setiap praktik mandi janabah
yang jika tidak dilakukan
sebagian atau semuanya, maka
mandi janabahnya tetap sah.

Berikut ringkasan hukum beragam praktik mandi janabah


berdasarkan perbandingan 4 madzhab.
4 Madzhab
No. Praktik Wudhu
Hanafi Maliki Syafi'i Hanbali
1 Niat Sunnah Wajib Wajib Wajib
2 Basmalah Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
3 Mencuci Tangan Sunnah Sunnah Sunnah Wajib
Menghilangkan Najis
4 Sunnah Sunnah Wajib Sunnah
dan Kotoran
5 Wudhu Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah

21
Madhmadah dan
6 Wajib Sunnah Sunnah Wajib
Istinsyaq
Meratakan Air ke
7 Wajib Wajib Wajib Wajib
Seluruh Tubuh
8 Menyela-nyela Rambut Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
9 Menyiram Kepala Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
10 Mendahulukan Kanan Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
11 Dalk Sunnah Wajib Sunnah Sunnah
12 Membasuh 3 Kali Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
13 Muwalah Sunnah Wajib Sunnah Sunnah
Hanafi Maliki Syafi'i Hanbali
2 wajib, 4 wajib, 3 wajib, 5 wajib,
TOTAL
11 9 11 8
sunnah sunnah sunnah sunnah
SUNNAH-SUNNAH LAINNYA
14 Tertutup Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
15 Doa Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah
16 Shalat Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah Sunnah

Dari 13 praktik mandi janabah di atas, tampak bahwa para


ulama menyepakati 1 praktik yang dihukumi sebagai rukun mandi yang
wajib dilakukan. Mereka juga menyepakati 7 praktik yang dihukumi
sunnah. Dan 5 praktik yang diperselisihkan, antara wajib dan sunnah.

Praktik mandi janabah yang disepakati wajib adalah:


1. Ta‟mim bisyrah atau meratakan air ke seluruh tubuh.

Sedangkan 10 praktik yang disepakati sunnah, adalah:


1. Mencuci tangan sebelum mandi.
2. Menghilangkan najis dan kotoran sebelum mandi.
3. Berwudhu sebelum mandi.
4. Menyela-nyela rambut saat mandi.
5. Mengawali basuhan dengan menyiram kepala.
6. Mendahulukan anggota tubuh sebelah kanan.
7. Membasuh 3 kali.
Adapun ke-5 praktik yang diperselisihkan hukumnya antara
wajib dan sunnah, adalah:
1. Niat.

22
2. Tasmiyyah atau membaca basmalah.
3. Madhmadhah dan Istinsyaq.
4. Dalk atau menggosok badan.
5. Muwalah.11

c. Tayamum
Secara bahasa, makna kata tayammum itu ada beberapa
terjemah, antara lain :
▪ Al-Qashdu (‫ )القصد‬: artinya adalah bertujuan atau yaitu bermaksud
▪ At-Ta'ammud (‫ )التع ّمد‬: artinya adalah melakukan sesuatu dengan sengaja
▪ At-Tawakhi (‫ )التوخي‬: artinya membayangkan sesuatu

Sedangkan secara istilah syar‟i, beberapa ulama dari masing-


masing mazhab menuliskan definisi tayammum sesuai dengan apa yang
mereka tetapkan di masing-masing mazhab.
1. Mazhab Al-Hanafiyah : Mengusap wajah dan kedua tangan
dengan tanah yang mensucikan.
2. Mazhab Al-Malikiyah : Thaharah dengan tanah yang tercakup
di dalamnya mengusap wajah dan
kedua tangan dengan niat.
3. Mazhab Asy-Syafi‟iyah : Menyampaikan tanah ke wajah dan
kedua tangan sebagai ganti dari
wudhu atau mandi, atau sebagai ganti
dari anggota wudhu dengan syarat-
syarat khusus.
4. Mazhab Al-Hanabilah : Mengusap wajah dan kedua tangan
dengan tanah yang suci dengan
ketentuan yang khusus.

Thaharah dengan tayammum ini hanya khusus berfungsi untuk


menjawab masalah hadats kecil atau hadats besar saja, dimana karena

11
Ibid., hlm. 19-27

23
berhadats itu seseorang terhalang dari melakukan shalat dan beberapa
ibadah lainnya.

Sedangkan dalam masalah menghilangkan najis, meski bisa


disucikan dengan menggunakan tanah, namun tidak diistilahkan dengan
tayammum.

Mensucikan bagian tubuh atau pakaian yang terkena air liur


anjing memang disyaratkan harus dicuci tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah. Namun penggunaan tanah dalam mensucikan najis anjing
tidak disebut dengan tayammum.12

Syarat-Syarat yang Membolehkan Tayammum,


1. Niat
Jumhur ulama berpendapat bahwa niat adalah syarat
tayammum,
karena niat merupakan ibadah yang tidak dapat dipahami secara akal
(logika). Sementara Zufar berkata dengan pendapatnya yang sangat
janggal, "Sesungguhnya niat tidak termasuk syarat tayammum
karena memang pada dasarnya tayammum tidak membutuhkan niat."
Juga, diriwayatkan dari Al Auza'i, dan Hasan bin Hay, hanya saja
pendapat ini
dho'if (lemah).

2. Upaya Mencari Air


Imam Malik dan Syafi‟i mensyaratkan adanya upaya
mencari air, sementara Abu Hanifah tidak mensyaratkannya.

Sebab perbedaan pendapat: Sebuah pertanyaan apakah


orang yang tidak mendapatkan air tanpa adanya usaha untuk
mencarinya terlebih dahulu masuk dalam kategori orang yang tidak
mendapatkan air? atau orang yang telah berusaha mencari air
kemudian ia tidak mendapatkannya, maka ia dapat disebut sebagai
orang yang tidak mendapatkan air?
12
Ahmad Sarwat, Lc., MA, Tayammum, (Jakarta Selatan : Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm 9-
11

24
Yang benar adalah ketika seseorang merasa yakin
mengenai ketiadaan air baik setelah berusaha mencarinya terlebih
dahulu ataupun tidak maka ia termasuk dalam kategori orang yang
tidak mendapatkan air. Adapun bagi orang yang hanya menduga-
duga, maka ia tidak termasuk orang yang tidak mendapatkan air,
karena itulah, pendapat Malik yang menyatakan harusnya
mengulang-ulang pencarian pada satu tempat adalah lemah, yang
kuat adalah mencari di awalnya saja ketika tidak ada keyakinan
mengenai ketiadaan air.

3. Masuk waktu
Sebagaian ulama mensyaratkan telah masuknya waktu
(shalat), ini adalah pendapat Malik dan Syafi‟i. Sebagian yang lain
tidak mensyaratkannya, ini adalah pendapat Abu Hanifah, ahlu
zhahir, dan Ibnu Sya'ban yang termasuk pengikut Imam Malik.

Sebab perbedaan pendapat: Pertanyaan, "Apakah zhahir


makna ayat tentang wudhu menunjukan bahwa wudhu dan
tayammum tidak bisa dilakukan kecuali setelah masuknya shalat?
Sesuai firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan sholat... " (Qs.Al Maa'idah [5]: 6)

Ayat ini mewajibkan wudhu atau tayammum ketika telah


diwajibkan untuk melakukan shalat, dan itu terjadi apabila telah
masuk waktunya, artinya hukum wudhu dan tayammum sama
dengan shalat (yakni, sebagaimana masuknya waktu adalah syarat
sahnya shalat, maka ia pun merupakan syarat sahnya wudhu dan
tayammum).

Hanya saja syariat telah memberikan kekhususan untuk


wudhu, maka hanya tayammum yang tetap pada hukum asal, jadi
makna ayat di atas adalah ketika kalian hendak shalat, demikian pula
seandainya tidak ada kalimat yang dibuang dalam ayat ini niscaya
yang dipahami hanyalah wajibnya wudhu dan tayammum ketika
hendak melakukan shalat, bukan berarti keduanya tidak sah apabila

25
dilakukan sebelum masuk waktu, melainkan apabila diqiyaskan
dengan shalat, karena itu yang paling tepat dikatakan: Sesungguhnya
sebab perbedaan pendapat disini adalah pengqiyasan tayammum
terhadap shalat.

Yang tepat qias ini lemah, karena mengqiaskannya kepada


wudhu lebih kuat, maka renungkanlah niscaya akan anda dapatkan
bahwa pendapat ini lemah (yakni pendapat yang menyatakan bahwa
diantara syarat sahnya adalah masuknya waktu dan menjadikannya
sebagai ibadah yang terkait dengan waktu), karena menentukan
waktu dalam satu ibadah adalah sesuatu yang membutuhkan dalil
sam'i (didapat dari pendengaran [ucapan], bukan penglihatan
[perbuatan]).

Bisa saja pendapat ini diterima manakala ada harapan akan


didapatkannya air sebelum masuk waktu, jadi masalahnya bukan
karena tayammum merupakan ibadah yang tekait dengan waktu,
melainkan masalahnya adalah apakah tidak adanya air itu tidak bisa
ditetapkan kecuali setelah masuknya waktu? Apakah di awal waktu,
tengahnya atau di akhirnya?.

Akan tetapi ada beberapa kondisi dimana manusia dengan


keyakinannya tidak mungkin secara tiba-tiba bisa mendapatkan air
sebelum masuk waktu.

Ditambah lagi kalau pun ada air secara tiba-tiba maka


yang wajib kepadanya adalah membatalkan tayammum dan bukan
menentukan tidak sahnya dari awal.

Adanya air secara tiba-tiba bisa terjadi ketika masuk


waktu shalat dan setelahnya, lalu kenapa hukum ketika masuk waktu
dibedakan dengan hukum sebelumnya? (maksudnya mengapa
sebelum masuk waktu tidak sah dan setelah masuk waktu menjadi
sah).

Ini semua tidak bisa dipertanggung jawabkan kecuali


apabila disertai dengan dalil, ini pun memberikan konsekwensi

26
bahwa tayammum tidak bisa dilakukan kecuari di akhir waktu,
renungkanlah!13

Rukun Tayammum
Ada dua versi tata cara tayammum yang berbeda di tengah para
ulama. Perbedaan itu terkait dengan jumlah tepukan apakah sekali tepukan
atau dua kali. Dan juga perbedaan dalam menetapkan batasan tangan yang
harus diusap.

Perbedaan ini didasarkan pada ta'arudh al-atsar (perbedaan nash)


dan juga perbedaan dalam menggunakan qiyas.

1. Cara Pertama

Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah dalam qaul jadidnya


mengatakan bahwa tayammum itu terdiri dari dua tepukan. Tepukan
pertama untuk wajah dan tepukan kedua untuk kedua tangan hingga
siku.

Dari Abi Umamah dan Ibni Umar radhiyallahuanhuma


bahwa Nabi SAW bersabda, "Tayammum itu terdiri dari dua
tepukan. Tepukan pada wajah dan tepukan pada kedua tangan
hingga siku.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Meski ada yang mengatakan hadits ini dhaif namun bahwa


siku itu juga harus terkena tayammum tidak semata-mata didasarkan
pada hadits ini saja.

Dalil lainnya adalah karena tayammum itu pengganti


wudhu. Ketika membasuh tangan dalam wudhu diharuskan sampai
ke siku maka ketika menepuk tangan di saat tayammum siku pun
harus ikut juga.

2. Cara Kedua

Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah termasuk juga


pendapat Asy-syafi'iyah dalam qaul qadimnya tayammum itu hanya

13
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) hlm. 138-141

27
terdiri dari satu tepukan saja yang dengan satu tepukan itu diusapkan
ke wajah langsung ke tangan hingga kedua pergelangan tidak sampai
ke siku.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW : “Dari Ammar


radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW berkata tentang
tayammum,"Satu kali tepukan di wajah dan kedua tangan”. (HR.
Ahmad dan Ashabus-sittah)

Di dalam hadits ini memang tidak secara tegas disebutkan


batas tangan yang harus diusap. Ketegasan batasan itu justru terdapat
di dalam hadits lain yang sudah disinggung sebelumnya.

Dari Ammar radhiyallahuanhu berkata, "Aku mendapat


janabah dan tidak menemukan air. Maka aku bergulingan di tanah
dan shalat. Aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW dan beliau
bersabda" Cukup bagimu seperti ini : lalu beliau menepuk tanah
dengan kedua tapak tangannya lalu meniupnya lalu diusapkan ke
wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz lainnya disebutkan :
Cukup bagimu untuk menepuk tanah lalu kamu tiup dan
usapkan keduanya ke wajah dan kedua tapak tanganmu hingga
pergelangan. (HR. Ad-Daruquthuny)

Sunnah Tayammum
Ada beberapa hal yang disunnahkan dalam bertayammum,
antara lain :
1. Membaca Basmalah

Umumnya para ulama berpendapat bahwa disunnahkan


bagi mereka yang melakukan tayammum untuk membaca basmalah
sebelumnya, sebagaimana disunnahkan sebelum berwudhu‟. Namun
ada juga yang berpendapat hukumnya wajib.
Mereka yang berpendapat bahwa membaca basmalah itu
sunnah hukumnya, dalam detailnya berbeda juga :
a. Mazhab Al-Hanafiyah

28
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan, cukup dengan
ِ ‫سم‬
lafadz yang singkat saja, yaitu ‫الل‬ ِ ِ‫ب‬

Dengan nama Allah

b. Mazhab Al-Malikiyah
Sedangkan dalam pandangan Mazhab Al-Malikiyah,
bacaan basmalah itu hukumnya fadhilah bukan sunnah.
Fadhilah dalam pandangan mazhab ini mirip dengan sunnah,
tetapi levelnya lebih di bawahnya.

c. Mazhab Asy-Syafi‟iyah
Mazhab Asy-Syafi‟iyah menyebutkan disunnahkan
membaca basmalah dengan lengkap, yaitu :

ِ ‫الرِح‬
‫يم‬ َّ ‫حم ِن‬
َ ‫الر‬
ِ ‫سم‬
َّ ‫الل‬ ِ ِ‫ب‬

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha


Penyayang

d. Mazhab Al-Hanabilah
Dan yang paling berbeda adalah Mazhab Al-
Hanabilah, dimana mereka mewajibkan bacaan basmalah
sebelum tayammum dikerjakan.
2. Tertib

Yang dimaksud dengan tertib dalam tayammum adalah


mengerjakannya secara urut dan tidak terbolak-balik. Seharusnya
mengusap wajah terlebih dahulu baru kemudian mengusap tangan.

Bagi Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, tertib


urutan ini bukan menjadi sebuah keharusan, hanya menjadi sunnah
saja.

Sedangkan dalam pandangan Mazhab Asy-Syafi‟iyah dan


Al-Hanabilah, tayammum harus dilakukan dengan urut dan tertib,
tidak boleh terbolak-balik urutannya, seperti halnya wudhu‟. Bila
sampai terbolak-balik, maka hukum tayammum itu tidak sah.

29
3. Berkesinambungan

Dalam istilah ilmu fiqih, berkesinambungan dalam


tayammum artinya dalam mengusap anggota tayammum yang satu
ke anggota yang lain dilakukan dengan tidak diputus dengan
pekerjaan yang lain di luar tayammum. Dan istilah aslinya dalam
bahasa Arab adalah al-muwalat (‫) المواالت‬.

Bagi Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi‟iyah,


berkesinambungan ini hukumnya sunnah. Artinya, bila tidak
berkesinambungan, tidak merusak tayammum. Misalna ada orang
yang baru mengusap wajah, lalu diputus untuk membaca SMS dan
membalasnya, atau melakukan up date di facebook, maka hukum
tayammumnya tetap sah.

Sedangkan dalam pandangan Mazhab Al-Malikiyah dan


Al-Hanabilah, berkesinambungan itu hukumnya wajib. Bila tidak
dikerjakan maka akan merusak sahnya tayammum.

Mazhab Asy-Syafi‟iyah dalam qaul qadim memfatwakan


bahwa berkesinambungan itu hukumnya wajib dan bukan sunnah.

Hal yang membatalkan Tayammum


Sebagaimana wudhu', tayammum juga bisa batal bila seseorang melakukan
sesuatu yang membuatnya batal. Hal-hal yang dapat membatalkan
tayamumm antara lain :

1. Segala Yang Membatalkan Wudhu‟

Segala yang membatalkan wudhu‟ sudah tentu


membatalkan tayammum. Sebab tayammum adalah pengganti dari
wudhu‟. Maka segala yang membatalkan wudhu secara otomatis
menjadi hal yang juga membatalkan tayammum.

2. Ditemukannya Air

30
Bila ditemukan air maka tayammum secara otomatis
menjadi gugur. Yang harus dilakukan adalah berwudhu dengan air
yang baru saja ditemukan.

Yang jadi masalah bila seseorang bertayammum lalu


shalat dan telah selesai dari shalatnya tiba-tiba dia mendapatkan air
dan waktu shalat masih ada. Apa yang harus dilakukannya ?

Para ulama mengatakan bahwa tayammum dan shalatnya


itu sudah sah dan tidak perlu untuk mengulangi shalat yang telah
dilaksanakan. Sebab tayammumnya pada saat itu memang benar
lantaran memang saat itu dia tidak menemukan air. Sehingga
bertayammumnya sah. Dan shalatnya pun sah karena dengan bersuci
tayammum. Apapun bahwa setelah itu dia menemukan air
kewajibannya untuk shalat sudah gugur.

Namun bila dia tetap ingin mengulangi shalatnya


dibenarkan juga. Sebab tidak ada larangan untuk melakukannya. Dan
kedua kasus itu pernah terjadi bersamaan pada masa Rasulullah
SAW.

Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata,


“Bahwa ada dua orang bepergian dan mendapatkan waktu shalat tapi
tidak mendapatkan air. Maka keduanya bertayammum dengan tanah
yang suci dan shalat. Selesai shalat keduanya menemukan air. Maka
seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan
yang satunya tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah
SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka Rasulullah SAW
berkata kepada yang tidak mengulangi shalat, "Kamu sudah sesuai
dengan sunnah dan shalatmu telah memberimu pahala". Dan kepada
yang mengulangi shalat"Untukmu dua pahala". (HR. Abu Daud dan
An-Nasa‟i)

3. Hilangnya Penghalang

Bila halangan untuk mendapatkan air sudah tidak ada


maka batallah tayammum. Misalnya ketika sedang shalat yang

31
bersucinya dengan tayammum, tiba-tiba ditemukan cara untuk
mendapatkan air dari dalam sumur. Maka shalat yang sedang
dikerjakan batal dengan sendirinya.

Penghalang yang di atas sudah kita bicarakan, seperti takut


hilangnya barang-barang kalau harus pergi jauh mencari air, atau
resiko terancam binatang buas, atau adanya ancaman musuh,
memang semua itu bisa dijadikan syarat dibolehkannya tayammum.

Akan tetapi ketika penghalang-penghalang itu sudah tidak


lagi ada, secara otomatis tayammum tidak lagi diperkenankan. Yang
harus dikerjakan saat itu adalah berwudhu dengan air yang sudah
bisa didapat, lalu kembali melakukan shalat kembali, asalkan waktu
shalatnya masih ada.14

14
Ahmad Sarwat, Lc., MA, Tayammum, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm.
42-51

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadats dibedakan menjadi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil disucikan dengan wudhu dan tayammum dengan keadaan tertentu.
Sedangkan hadats besar disucikan dengan mandi janabah dan tayammum
dengan keadaan tertentu .

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari
makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini
dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

33
DAFTAR PUSTAKA

Al Bassam, Abdullah Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram 1. Jakarta:


Pustaka Azzam.

Kementrian Agama RI. 2014. Buku Siswa Fikih Pendekatan Saintifik Kurikulum
2013 Madrasah Tsanawiyah VII. Jakarta: Kementrian Agama

Ansory, Lc., MA, Isnan. 2018. Wudhu Rasulullah SAW menurut empat mazhab.
Jakarta Selatan : Rumah Fiqih Publishing

Ansory, Lc., MA, Isnan. 2018. Mandi Janabah Rasulullah saw Menurut 4
Mazhab. Jakarta Selatan : Rumah Fiqih Publishing

Ajib, Lc., MA, Muhammad. 2019. Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi‟iy. Jakarta
Selatan : Rumah Fiqih Publishing

Rusyd, Ibnu. 2006. Bidayatul Mujtahid Jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam

Sarwat,, Lc., MA, Ahmad. 2018. Tayammum. Jakarta Selatan : Rumah Fiqih
Publishing

34

Anda mungkin juga menyukai