Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH DOSEN PENGAMPU

Ulumul Qur’an Muhammad Amin

Nasikh wal Mansukh

Oleh
Kelompok V

Ahmad : 180105010050
Andi Muhammad Nur : 180105010046
Najib Mahfuzh : 180105010171

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Nasakh wal Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran
yang wajib diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah
dalam memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui Nasikh wa
Mansukh dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam
menentukan hukum.
Meskipun demikian, pendapat tentang konsep ini dalam ushul fiqih dan
studi qur’an masih debatable dan menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kontroversi tentang teori naskh ini mencuat menjadi isu yang tak kunjung
berakhir. Oleh karena itu, Muhammad Amin Suma berpendapat bahwa di antara
kajian Islam tentang hukum (fiqih dan ushul fiqih), yang sampai saat ini masih
debatable dan kontroversial adalah persoalannaskh, terutama ketika dihubungkan
dengan kemungkinan adanya naskh antar ayat-ayat Al-Qur’an.
Oleh karena itulah penulis akan mencoba mengulas dan membahas tentang
Nasikh dan Mansukh dengan mengkaji seputar Pengertian Nasikh wal mansukh ,
macam-macam nasikh wal mansukh didalam al-Qur’an, pendapat ulama terkait
nasih wal mansukh, hikmah adanya nasikh wal mansukh, dan syubhat terkait
nasikh wal mansukh.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini:
1. Apa yang dimaksud Nasikh wal mansukh?
2. Apa saja macam-macam Nasikh wal mansukh?
3. Bagaimana pendapat ulama terkait Nasikh wal mansukh?
4. Apa hikmah dengan adanya Nasikh wal mansukh?
5. Apakah ada syubhat terkait adanya Nasikh wal mansukh?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pengertian dari Nasikh wal mansukh
2. Mengetahui jenis dari Nasikh wal mansukh
3. Mengetahui pendapat ulama tentang Nasikh wal mansukh
4. Mengetahui hikmah dibalik Nasikh wal mansukh
5. Mengetahui syubhat tentang Nasikh wal mansukh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh wal Mansukh


Nasakh wal Mansukh terdiri atas dua suku kata yaitu Nasakh dan Mansukh
1. Pengertian Nasakh
Pengertian Nasakh secara bahasa merujuk kepada dua arti. Yang pertama
adalah penghapusan. Diantaranya terdapat dalam surah Al-Hajj ayat 52:

‫ﻓَـ ﻴَـ ْﻨ َﺴ ُﺦ ا ﱠ ُ َﻣ ﺎ ﻳـُ ْﻠ ِﻘ ﻲ اﻟ ﱠﺸ ْﻴ ﻄَﺎ ُن ﰒُﱠ ُﳛْ ِﻜ ُﻢ ا ﱠ ُ آ َ ﺗِ ِﻪ‬


Artinya: “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya” (QS Al-Hajj:52)
Nasakh dapat juga berarti penggantian, sebagaimana yang terdapay surah An-
Nahl ayat 101:

‫و َ◌ إِ َذ ا ﺑَ ﱠﺪ ﻟْ ﻨَ ﺎ آﻳَﺔً َﻣ َﻜ ﺎ َن آﻳَ ٍﺔ‬


Artinya: “dan jika Kami menjadikan suatu ayat sebagai ganti dari ayat yang
lain” (QS. An-nahl:101)1
Adapun al-Zarkasyi berpendapat An-Naskh bisa diterjemahkan kedalam
empat makna, yaitu bermakna al Izalah (menghilangkan/menghapus) sesuai
Qs Al-hajj:52, At tabdiil (mengganti) seperti dalam Qs An-Nahl:101, bisa
berarti at Tahwil (merubah), dan juga berarti an Naql (memindah).2
Terjadi perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin
dalam mendifiniskan nasakh secara terminologis. Cakupan nasakh menurut
mutaqaddimin diantaranya:
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelum hukum yang ditetapkan
kemudian
b. Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat umum oleh hukum khusus
yang datang setelahnya.
c. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara
terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas

1
Imam Jalaludin As-Suyuthi. Ulum Al-Qur’an. Surakarta: Indiva Pustaka. h 175
2
Badrudin Az Zarkasyi, al Burhan fiUlum alQur’an (Kairo: Darul Hadits, 2006), h. 347

2
pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun
interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang
bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk men ggugurkan dan menghilangkan hukum
yang pertama.3 Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup
nasakh dengan beberapa syarat, baik yang menasakh maupun yang
dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab)
syara` yang datang kemudian”4
2. Pengertian Mansukh
Mansukh secara bahasa adalah (isim maf’ul) adalah sesuatu yang dibatalkan,
dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.5 Mansukh adalah hukum yang
di hapuskan.Contohnya adalah ayat waris dan hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya menghapus hukum wasiat untukkedua orang tua dan kerabat.6
B. Pembagian dan Macam-macam Nasakh
Berikut ini macam-macam nasakh yaitu:
1. Pertama, Naskh Alquran bi al Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya
naskh, telah sepakat adanya naskh Alqurandengan al Qur’an, dan itu-pun
telah terjadi menurut mereka. Salah satu contohnya adalah ayat ‘iddah satu
tahun di-nasakh-kan dengan ayat ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
2. Kedua, Naskh Alquran bi as Sunnah. Naskh yang jenis ini terbagi dua yaitu:
a. Naskh Alquran dengan sunnah ahadiyah (hadits ahad). Jumhur ulama
berpendapat hadis ahad tidak bisa me-naskh-kan al Qur’an, karena
Alquran adalah nash yang mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada
praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadis ahad adalah nash yang
bersifat zhanni. Maka tidak sah menghapus suatu yang sudah diketahui
dengan suatu yang bersifat dugaan/diduga

3
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, (Bandung :
Mizan, 2004), hlm. 143.
4
Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa alMansukh min
al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi 1982), hlm. 52. Lihat juga Muhammad
Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar alThabi`ah al-Muhammadiyyah,
1984), hlm. 22-26
5
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 108.
6
Manna’Al-Qaththan,Dasar-dasar ilmu al-Qur’an(Jakarta timur : Ummul Qura,2017),hlm365.

3
b. Naskh Alquran dengan sunnah mutawatir. Para ulama berbeda pendapat;
dimana Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat
membolehkannya. Karena keduanya dianggap wahyu. Dasar
argumentasi mereka adalah firman Allah

ُ ‫ﻮﺣﻰ َﻋﻠﱠ َﻤﻪُۥ َﺷ ِﺪ‬


‫ﻳﺪ ٱﻟْ ُﻘ َﻮ ٰى‬ َ ُ‫إِ ْن ُﻫ َﻮ إِﱠﻻ َو ْﺣ ٌﻰ ﻳ‬
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya
hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. (Qs. An-Najm: 4-5).
Sementara Al Syafi’i, Dzahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang
lain menolak naskh seperti ini dengan dalil firman Allah SWT.

ِ ْ<َ ‫ﻣ ﺎ ﻧَـ ْﻨ ﺴ ﺦ ِﻣ ﻦ آﻳ ٍﺔ أَو ﻧـُ ْﻨ ِﺴ ﻬ ﺎ‬


‫ت ِﲞَ ْ ٍﲑ ِﻣ ﻨْـ َﻬ ﺎ أ َْو‬ َ ْ َ ْ َْ َ
‫ِﻣ ﺜْ ﻠِ َﻬ ﺎ‬
Artinya; “Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami
melupakannya (kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih
baik atau sebanding dengannya”. (Qs. al Baqarah: 106).
Dari dalil ini disimpulkan bahwa as Sunnah tidaklah lebih baik
daripada Alquran juga tidak sebanding dengannya.7
3. Nasakh as Sunnah bi al Qur’an
Jumhur ulama membolehkan naskh seperti ini. Salah satu contohnya
adalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh Sunnah, kemudian
ketetapan ini di-nasakh-kan oleh Alquran dalam firman Allah swt

ْ ‫ﻚ َﺷ ﻄْ َﺮ ا ﻟْ َﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ‬
‫اﳊَ َﺮ ِام‬ َ ‫ﻓَـ َﻮ ِّل َو ْﺟ َﻬ‬
Artinya: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (Qs al-
Baqarah: 144)
4. Nasakh as Sunnah bi as Sunnah
Dalam bagian ini naskh terbagi pada empat macam, yaitu:
a. Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir,

7
Abdul Rahman Malik. Abrogsi dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Jurnal Studi Al-Qur’an. 2016. H 10-11

4
b. Nasakh sunnah ahad dengan sunnah ahad,
c. Nasakh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir,dan
d. Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.

Tiga macam nasakh yang pertama diatas dihukumi boleh. Adapun


macam yang keempat para ulama berbeda pendapat seperti dalam
permasalahan nasakh Alquran dengan sunnah ahad, dimana Jumhur ulama
tidak memperbolehkannya.

Kemudian nasakh yang terjadi dalam Alquran juga mempunyai tiga


macam bentuk, yakni nasakh at tilawah wa al hukmi ma’an, nasakh al hukmi
duna at tilawah, dan nasakh at tilawah duna al hukmi, berikut penjabarannya:
1. Bacaan dan hukumnya dinasakh secara bersamaan:
Contoh dari Nasakh ini yaitu sebagaimana dalam sebuah hadist Aisyah
berkata, “termasuk diantara ayat-ayat yang diturunkan kepada kami: ‫ﻋﺸﺮ رﺿﻌﺎت‬

‫( ﻣﻐﻠﻮﻣﺎت‬sepuluh kali susuan yang dikenal). Kemudian ayat ini dinasakh dengan

lima kali susuan. Ketika Rasulullah saw wafat ayat-ayat itu masih dibaca
sebagai bacaan Al-Qur’an. (HR Bukhari Muslim). 8
Menurut pendapat yang adzhar (paling jelas), tilawah ayat ini telah di-
naskh-kan beserta hukumnya menjelang wafat Rasulullah S.A.W. wafat.
sehingga ayat tersebut tidak ditemukan dalam mushaf utsmani.
2. Hukumnya di Nasakh namun bacaannya tidak
Contohnya adalah menasakh ayat masa iddah satu tahun dalam Surah
al-Baqarah:240 dengan ayat iddah empat bulan sepuluh hari dalam al-
Baqarah:234. Hukum iddah dengan satu tahun sudah di nasakh akan tetapi
tilawah atau bacaannya masih ada di dalam Al-Qur’an. Nasakh macam ini
sedikit ditemukan dalam Al-Qur’an, namun ada juga orang yang belebihan
menetapkan nasakh seperti ini:
Naskh macam ini setidaknya mempunyai dua hikmah:
a. Karena Alquran firman Allah, dan membacanya mendapat pahala,
maka ditetapkan tilawahnya.
b. Agar mengingat tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus9

8
Op.cit Imam Jalaludin As-Suyuthi, h. 180
9
al Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah: Maktabah Wahbah, Tt.), h 231

5
3. Penghapusan Tilawahnya namun hukumnya tetap berlaku
Contoh dari nasakh ini adalah ayat rajam yang awalnya terbilang ayat
al-Qur’an. Kemudian ayat ini dinyatakan telah dinasakh-kan bacaannya
sedangkan hukumnya tetap berlaku. 10 ayat rajam berbunyi:

‫اﻟﺸﻴﺦ واﻟﺸﻴﺨﺔ إذا زﻳﻨﺎ ﻓﺎرﲨﻮﳘﺎ اﻟﺒﺘﺔ ﻧﻜﺎﻻً ﻣﻦ ﷲ وﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ‬


Artinya: “Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya
itu dengan pasti”. Ini termasuk ke dalam surat al Baqarah.11
Kemudian Nasakh juga ada yang disertai dengan pengganti dan yang tidak disertai
dengan pengganti. Nasakh dengan penggantinya terkadang lebih ringan, sebanding,
dan terkadang berat.

1. Nasakh tanpa pengganti


Contoh dari nasakh ini adalah penghapusan keharusan bersedekan sebelum
menghadap Rasulullah, sebagaimana firman Allah dalam surah Mujadilah:12
ِ َ ‫اﻟ ﱠﺮﺳ‬ ‫ َﺟ ﻴْـ ﺘُ ُﻢ‬Yَ ‫آﻣ ﻨُﻮا إِ َذ ا‬ ِ‫ﱠ‬
‫ﲔ ﻳَ َﺪ ْي َﳒْ َﻮا ُﻛ ْﻢ‬َ ْ َ‫ﻮل ﻓَـ َﻘ ّﺪ ُﻣ ﻮا ﺑ‬ ُ َ ‫َ أَﻳـﱡ َﻬ ﺎ ا ﻟ ﺬ‬
َ ‫ﻳﻦ‬
ِ ِ ِ
‫ﻴﻢ‬
ٌ ‫ﻮر َرﺣ‬ ٌ ‫ﻓَ ِﺈ ْن َﱂْ َﲡ ُﺪ وا ﻓَ ِﺈ ﱠن ا ﱠ َ َﻏ ُﻔ‬ ۚ ‫ﻚ َﺧ ْﲑٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ﻃْ َﻬ ُﺮ‬ َ ‫َﺻ َﺪ ﻗَ ﺔً ۚ َذٰ ﻟ‬
Artinya:” Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Mujadilah:12)
Kemudian ayat tersebut dinasakh oleh ayat setelahnya:

ٍ ِ
‫ب‬َ gَ ‫َﺻ َﺪ ﻗَ ﺎت ۚ ﻓَ ِﺈ ْذ َﱂْ ﺗَـ ْﻔ َﻌ ﻠُﻮا َو‬ ‫ﲔ ﻳَ َﺪ ْي َﳒْ َﻮا ُﻛ ْﻢ‬ َ ْ َ‫أَأَ ْﺷ َﻔ ْﻘ ﺘُ ْﻢ أَ ْن ﺗُـ َﻘ ّﺪ ُﻣ ﻮا ﺑ‬
ِ ‫وأ‬
‫َﻃ ﻴﻌُ ﻮا ا ﱠ َ َو َر ُﺳ ﻮﻟَ ﻪُ ۚ َوا ﱠ ُ َﺧ ﺒِ ﲑٌ ِﲟَﺎ‬ َ‫ﺼ َﻼ ةَ َوآ ﺗُﻮا اﻟ ﱠﺰَﻛ ﺎ ة‬
‫ﻴﻤ ﻮا اﻟ ﱠ‬ ِ
َ ُ ‫ا ﱠ ُ َﻋ ﻠَ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَ ﺄَﻗ‬
‫ﺗَـ ْﻌ َﻤ ﻠُﻮ َن‬
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. “ (Qs Mujadilah:13)

10
Ibid. al Qaththan, h 231
11
Op.cit Imam Jalaludin As-Suyuthi, h 25

6
2. Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan
Contoh nasakh ini terdapat dalam surah Al-Baqarah 187:
‫ﱃ ﻧِ َﺴ ﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ‬ ِ
ُ َ‫اﻟﺼ ﻴَ ِﺎم اﻟ ﱠﺮﻓ‬
ٰ َ ِ‫ﺚ إ‬ ِ ۚ
ّ َ‫◌ أُﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَ ﻴْـ ﻠَ ﺔ‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu” (Qs al-Baqarah: 187)
Ayat tersebut menasakh-kan ayat sebelumnya yaitu:

‫ﻳﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـ ْﺒ ﻠِ ُﻜ ْﻢ‬ ِ‫ﱠ‬


َ ‫ﺐ َﻋ ﻠَ ﻰ ا ﻟ ﺬ‬
ِ
َ ‫ﺎم َﻛ َﻤ ﺎ ُﻛ ﺘ‬
ِ
ُ َ‫اﻟﺼ ﻴ‬
ّ ‫ﺐ َﻋ ﻠَ ْﻴ ُﻜ ُﻢ‬
ِ
َ ‫آﻣ ﻨُﻮا ُﻛ ﺘ‬
َ ‫ﻳﻦ‬
ِ‫ﱠ‬
َ ‫َ أَﻳـﱡ َﻬ ﺎ ا ﻟ ﺬ‬
‫ﻟَ َﻌ ﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـ ﺘﱠـ ُﻘ ﻮ َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs
al-Baqarah: 183)
3. Nasakh dengan pengganti yang sepadan.
Contohny adalah menasakh-kan menghadap baitul maqdis untuk solat
kemudian berpindah menghadap Ka’bah sebagaimana dalam firman Allah:

ْ ‫ﻚ َﺷ ﻄْ َﺮ ا ﻟْ َﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ‬
‫اﳊَ َﺮ ِام‬ َ ‫َو ْﺟ َﻬ‬ ‫ﻓَـ َﻮ ِّل‬
Artinya: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (Qs al-Baqarah: 144)
4. Nasakh dengan ganti yang lebih berat.
Contohnya adalah menasakh-kan hukuman penjara di rumah dalam firman
Allah:

‫ﺎﺳ ﺘَ ْﺸ ِﻬ ُﺪ وا َﻋ ﻠَ ْﻴ ِﻬ ﱠﻦ أ َْرﺑـَ َﻌ ﺔً ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ۖ ﻓَ ِﺈ ْن‬


ْ َ‫ﻓ‬ ‫ِﻣ ْﻦ ﻧِ َﺴ ﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ‫ْ ﺗِ ﲔ ا ﻟْ َﻔ‬s
َ‫ﺎﺣ َﺸ ﺔ‬ َ َ ‫اﻟﻼ ِﰐ‬‫َو ﱠ‬
ِ ‫ا ﻟْ ﺒ ـ ﻴ‬ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ِﰲ‬ ِ ‫َﺷ ِﻬ ُﺪ وا‬
‫ت أ َْو َﳚْ َﻌ َﻞ ا ﱠ ُ َﳍُ ﱠﻦ‬ ُ ‫ﺎﻫ ﱠﻦ ا ﻟْ َﻤ ْﻮ‬ُ ‫ﻳـَ ﺘَـ َﻮ ﻓﱠ‬ ‫ﻮت َﺣ ﱠ ٰﱴ‬ ُُ ُ ‫ﻓَ ﺄ َْﻣ ﺴ ُﻜ‬
‫َﺳ ﺒِ ًﻴﻼ‬
Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai
Allah memberi jalan lain kepadanya.” (Qs an-Nisa:15)
Ayat tersebut dinasakh-kan dengan hukuman yang lebih berat yaitu rajam:

7
ٌ‫ِِ َﻤ ﺎ َرأْ ﻓَ ﺔ‬y ‫ْ ُﺧ ْﺬ ُﻛ ْﻢ‬zَ ‫اﺣ ٍﺪ ِﻣ ﻨْـ ُﻬ َﻤ ﺎ ِﻣ ﺎ ﺋَ ﺔَ َﺟ ْﻠ َﺪ ةٍ ۖ َوَﻻ‬ ِ ‫اﻟ ﱠﺰاﻧِﻴ ﺔُ و اﻟ ﱠﺰ ِاﱐ ﻓَ ﺎﺟ ﻠِ ُﺪ وا ُﻛ ﱠﻞ و‬
َ ْ َ َ
ٌ‫ُ َﻤ ﺎ ﻃَ ﺎﺋِ َﻔ ﺔ‬y‫ِﰲ ِد ﻳ ِﻦ ا ﱠِ إِ ْن ُﻛ ﻨْـ ﺘُ ْﻢ ﺗُـ ْﺆ ِﻣ ﻨُﻮ َن ِ} ﱠِ َو ا ﻟْ ﻴَـ ْﻮ ِم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ ۖ َو ﻟْ ﻴَ ْﺸ َﻬ ْﺪ َﻋ َﺬ َا‬
‫ﲔ‬ ِِ ِ
َ ‫ﻣ َﻦ ا ﻟْ ُﻤ ْﺆ ﻣ ﻨ‬
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nur:2)
C. Urgensi dan Hikmah adanya Naskh-Mansukh

Bagi seorang Fuqaha, ushuliyyin, dan mufassirin, mengethui nasikh wal


masnukh di dalam Al-Qur’an terdapat urgensitas yang sangat besar. Sehingga
dalam menentukan hukum tidak keliru. Karena banyak atsar yang menganjurkan
agar mengetahui ilmu nasakh. Seperti riwayat tentang Ali ibn Thalib yang pernah
bertanya kepada seorang qadhi (hakim):” apakah anda mengetahui dan
mansukh?” kemudian hakimitu menjawab “tidak”, lalu ali berkata “kamu bisa
celaka dan kamu-pun mencelakai orang lain”12

Ada beberapa hikmah di balik keberadaan naskh-mansukh,yaitu:

a. Menjaga kemaslahatan-kemaslahatan para hamba


b. Perkembangan tatanan syariat hingga ketingkatan sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia
c. Sebagai ujian bagi mukallaf (yang di bebani tanggung jawab- manusia),
apakah mau menjalankan atau tidak.
d. Bertujuan untuk memberikan kebaikan kepada umat manusia (kaum muslimin)
dan meringankan beban mereka.Sebab,apabila naskh berpindah ke
kondisiyang lebih berat,berarti ada tambahan pahala,dan jika beralih ke
kondisi yang lebih ringan,berarti ada kemudahan di dalamnya.13
D. Kontroversi an-Nasakh dalam Al-Qur’an

Ada beberapa kontroversi yang terjadi terkait an-Nasakh diantaranya:

1. Golongan Yahudi

12
Op.cit al-Qaththan h. 255
13
.Ibid.Manna’Al-Qaththan, h 376

8
Golongan yahudi tidak menerima keberadaan an-Nasakh, karena nasakh
mengandung konsep bada’, sedangkan bada’ adalah muncul setelah
tersembunyi. Menurut mereka nasakh adakalanya tanpa hikmah, dan itu sangat
mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karea suatu hikmah, tetapi hikmah itu
muncul setelah sembunyi, yakni sebelumnya tidak nampak oleh Allah dan
demikian tidak mungkin bagi Allah.
Pendapat golongan yahudi ini mendapat kritik, sebenarnya masing-
masing nasikh dan mansukh telah diketahui oleh Allah terlebih dahulu, ilmu
Allah tentang nasakh bukan baru muncul. Allah membawanya dari satu hukum
kepada hukum dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap milik-Nya. Jadi
jumhur ulama mengatakan cara berdalil yahudi keliru dan salah.14
2. Kalangan Syi’ah Rifdhah
Kalangan ini sangat berlebihan dan bahkan memperluas ruang lingkup
dalan menetapkan nasakh. Mereka seperti kebalikan dari yahudi, karena
menurut mereka bada’ adalah suatu yang mungkin bisa terjadi bagi allah.
Untuk menguatkan argumentasi mereka, maka merkea mengemukakan kata-
kata yang mereka sandarkan keada Ali ibn Thalib, Ja’far al Shadiq dan Musa
ibn Ja’far. Mereka juga menggunakan dalil al-Qur’an untuk menguatkan
argumen mereka. Adapun dalilnya yaitu:

ِ َ‫ﺖ ۖ و ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻩُ أُ ﱡم ا ﻟْ ِﻜ ﺘ‬
‫ﺎب‬ ِ
َ ُ ‫ﳝَْ ُﺤ ﻮ ا ﱠ ُ َﻣ ﺎ ﻳَ َﺸ ﺎءُ َوﻳـُ ﺜْ ﺒ‬
Artinya; “Allah menghapus dan menetapkan apa yang ia kehendaki, dan di
sisinya umm al kitab” (Qs. al Ra’ad:39)
Adapun tanggapan terkait argumen dari syi’ah rifdhah adalah, mereka
salah memahami ayat yang mereka jadikan dalil (al- Ra’ad:39), karena
pemahaman ayat itu sebenarnya adalah Allah menghapus yang dipandang
perlu dihapus dan menetapkan penggantiny jika penetapan itu mengandung
maslahah. Allah mengubah syari’at dan ciptaan-Nya yang ia hendaki, yang
sesuai dengan ilmu, kehendak dan hikmah-Nya, ilmu Allah tidak berubah dan
tidak berganti-ganti, yang mengalami perubahan adaah yang ma’lum.
Dua pendapat yang bertolak dari paham keliru terkait bada’, hanya saja
Syia’ah Rafidhah memungkinkan terjadi bada’ pada Allah, sedangkan yahudi

14
Ibid.Manna’Al-Qaththan, h 368

9
tidak mengakui nasakh karna bisa timbul bada’. Bada mempunyai dua arti,
pertama: menampakkan setelah tersembunyi, kedua: munculnya pemikiran
baru setelah sebelumny tidak terlintas. Jadi, dari dua definisi tersebut nampak
jelas perbedaan antara bada’ dengan hakikat nasakh. Sebab Allah mengetahui
nasikh dan mansukh sejak zaman azali. Sebelum hukum-hukum itu diturunkan
kepada manusia
3. Abu Muslim al Ashfahani
Menurutnya nasakh secara akal dapat saja terjadi, tapi menurut syara’
nasah tidak bisa terjadi. Sebelum muncul Abu muslim al Ashfaani, ulama
membolehkan menetapkan ayat-ayat mana yang nasikh dan mana yang
mansukh. Bahkan ketika itu ada yang berlebihan. Kemudian setelah muncul
Abu muslim, dia menyatakan pendapatnya, bahwa nasakh sama sekali tidak
membatalkan (menghapus ayat al-Qur’an). Ia hanya membatalkan segi-segi
pengertian, karena menurutnya berlawanan dengan firman Allah berikut:

‫ﻳﻞ‬ِ ِِ ِ ‫ﲔ ﻳَ َﺪ ﻳْ ِﻪ‬
ِ ْ َ‫ﺎﻃ ﻞ ِﻣ ْﻦ ﺑ‬
ِ ‫ْﺗِ ِﻴﻪ ا ﻟْ ﺒ‬s ‫َﻻ‬
ٌ ‫َوَﻻ ﻣ ْﻦ َﺧ ْﻠ ﻔ ﻪ ۖ ﺗَـ ْﻨﺰ‬ ُ َ َ
ٍ ‫ﲪ‬
‫ﻴﺪ‬ َِ ‫ِﻣ ﻦ ﺣ ِﻜ ﻴ ٍﻢ‬
َ ْ
Artinya: “tiada kebatilan apapun didalam Al-Qur’an baik yang datang dari
depan yang datang dari belakang. Al-Quran diturunkan oleh Allah yang maha
bijaksana lagi terpuji”. (Qs. al Fushshilat:42)
Atas dasar dalil berikut ini abu muslim lebih suka menyebut kata nasakh
dengan istiah lain , yakni takhsish (menghususkan). Abu muslim juga
menyatakan bahwa al Qur’an tidak disentuh oleh pembatalan.
Komentar ulama terhadap pendapat abu muslim, menurutnya nasakh
secara logika dapat saja tejadi, tetapi tidak menurut syara’. Sebenanrya Abu
muslim juga keliru memahami ayat fushshilat:42, karena maksud ayat itu
adalah al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yng membatalkan dan tidak
datang pula sesudahya sesuatu yang membatalkan dan tidak datang pula
sesudanya sesuatu yang membatakannya. Dan juga yang menjelaskan kata
“Bathil” pada ayat itu adalah lawan dari “al Haqq” (kebenaran).
4. Jumhur Ulama

10
E. Pendapat Ulama Tentang Nasakh
Pendapat Ulama tentang Nasakh-Mansukh dan Dalil-Dalilnya Secara
umum Nasakh secara akal bisa terjadi & secara Sam`i/Syar`i telah terjadi.
Pendapat Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Nasakh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun
bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala
hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-
Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya
apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika
Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia
kehendaki? kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmat-Nya
terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa
yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama
dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan
keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba
pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu
dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.15
Banyak ulama juga telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat
Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya nasakh syari’at menurut akal dan
syara”. 16
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at
telah sepakat atas bolehnya (nasakh, secara akal) dan terjadinya (secara
syari’at)”.17
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an;
nasakh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan nasakh Sunnah Ahad
dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka

15
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Ushul Fiqih, h.45
16
Al-Baji, Ihkamul Fushul, h: 391
17
Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi, At-Tahrir bi Syarhit Taisir .h.181

11
penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada
dalil untuknya”.18
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para
sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa
syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at
yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa nasakh telah terjadi
pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai
dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (nasakh menurut akal)”. Syaikh
Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya
menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin
Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H.
Nasakh adalah sesuatu yang dapat diterima secara akal dan telah terjadi
pula dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah boleh
saja memerintahkan sesuatu pada satu waktu dan melarangnya pad
waktu lain.
b. Nash-nash al Qur’an sunnah menunjuk pada kebolehan naskah dan
terjadinya

‫َو إِ َذ ا ﺑَ ﱠﺪ ﻟْ ﻨَ ﺎ آﻳَﺔً َﻣ َﻜ ﺎ َن آﻳَ ٍﺔ‬


Artinya:” dan apabila kami mengganti sesuatu ayat ditempat yang lain” (Qs. an
Nahl:101)

‫ت ِﲞَ ْ ٍﲑ ِﻣ ﻨْـ َﻬ ﺎ أ َْو ِﻣ ﺜْ ﻠِ َﻬ ﺎ‬


ِ ْ<َ ‫ﻣ ﺎ ﻧـَ ْﻨ ﺴ ْﺦ ِﻣ ﻦ آﻳ ٍﺔ أَو ﻧـُ ْﻨ ِﺴ ﻬ ﺎ‬
َ ْ َ ْ َ َ
Artinya: “apa saja yata yang kami nasakh-kan, atau kami melupakannya (kepada
manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya” (Qs.
al Baqarah:106)

18
Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun
Nazhir,h.127

12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pengertian Nasakh secara bahasa merujuk kepada dua arti. Yang pertama
adalah penghapusan. Adapun al-Zarkasyi berpendapat An-Naskh bisa
diterjemahkan kedalam empat makna, yaitu bermakna al Izalah
(menghilangkan/menghapus) sesuai Qs Al-hajj:52, At tabdiil (mengganti) seperti
dalam Qs An-Nahl:101, bisa berarti at Tahwil (merubah), dan juga berarti an Naql
(memindah).Pengertian MansukhMansukh secara bahasa adalah (isim maf’ul)
adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
Mansukh adalah hukum yang di hapuskan.Contohnya adalah ayat waris dan
hukum-hukum yang terdapat di dalamnya menghapus hukum wasiat untukkedua
orang tua dan kerabat

naskh yang terjadi dalam Alquran juga mempunyai tiga macam bentuk,
yakni nasakh tilawah dan hukumnya (naskh at tilawah wa al hukmi ma’an),
nasakh hukum sedangkan tilawahnya tetap (naskh al hukmi duna at tilawah), dan
nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap (naskh at tilawah duna al hukmi).
Kemudian Nasakh juga ada yang disertai dengan pengganti dan yang tidak disertai
dengan pengganti. Nasakh dengan penggantinya terkadang lebih ringan,
sebanding, dan terkadang berat.

Ada beberapa hikmah di balik keberadaan nasakh-mansukh yaitu menjaga


kemaslahatan hamba, mengembangkan tatanan syariat ketingkat sempurna sesuai
perkembangan dakwah, dan sebagai ujian bagi para mukallaf, Pendapat Ulama
tentang Nasakh-Mansukh, yaitu pertama Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi
& secara Sam`i/Syar`i telah terjadi, kedua Bahwa nasakh tidak mungkin terjadi
secara akal maupun Sam`i/ Syar`I, dan yang ketiga Nasakh itu menurut akal
mungkin terjadi tetapi menurut syara` dilarang.

B. Saran
Diharapkan agar pembaca dapat mencari referensi-referensi yang lebih
banyak agar bisa mebandingakn hasil pemikiran para ulama terkait nasakh dan
mansukh.

13
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Imam Jalaludin. Ulum Al-Qur’an.Surakarta. Indiva Pustaka.

Al-Qaththan, Manna. 2017. Dasar-dasar ilmu al-Qur’an. Jakarta timur.Ummul


Qura

Fauzan, Noor Rahman. 2014. Urgensi Nasih-Mansukh dalam legislasi hukum


Islam. UNISNU jepara. Jurnal Studi Hukum Islam.

Malik, Abdul Rohman. 2016. Abrogasi Dalam Al-Quran: Studi Nasikh dan
Mansukh. UIN Syarif Hidayatullah. Jurnal Studi Al-Qur’an.

Ulama’I, Hasan Asyari. 2016. Konsep Nasikh dan Mansukh Dalam Alquran. UIN
Walisongo Semarang.Jurnal Didaktika Islamika

14

Anda mungkin juga menyukai