Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN

Permasalahan Hadis, jika diurai, meliputi banyak hal, dari mulai otentisitas
yang banyak digugat oleh orientalis, melebar pada pentransmisian (isnad), sejarah
perubahan tradisi verbal pada kodifikasi menjadi teks hadis, hingga pada problem
understanding dan meaning. Problem ini menempati posisi penting sekaligus
secara substantive memberi spirit, reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai
pemahaman dan penafsiran hadis.
Pemahaman ini kemudian dicoba untuk dicarikan solusinya oleh para
pemerhati hadis dan ilmuwan hadis yang mencoba memahami matan hadis
dengan berbagai metode. Salah satunya adalah Yusuf al-Qaradawi , yang
mencoba menawarkan metode memahami hadis dalam karyanya yaitu pertama
memahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al- Qur’an al-Karim, Kedua
mengumpulkan hadis-hadis dalam satu objek, ketiga menggabungkan atau
mentarjih antara hadis-hadis yang kontradiktif, keempat memahami hadis-hadis
dengan berpedoman pada sebab, hubungan dan tujuannya, kelima membedakan
antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan permanen hadis, keenam
membedakan antara hakikat dan majas dalam memahami hadis, ketujuh
membedakan antara yang gaib dan yang nyata, kedelapan mengkonfirmasi
pengertian kata-kata hadis. Sehingga, hadis-hadis Nabi saw. haruslah dipahami
secara benar dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang
dilakukan oleh orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan muslim yang mulai
berbeda pendapat dalam memaknai dan memahami hadis-hadis itu sendiri.
Selain itu di kalangan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia juga
banyak terjadi perbedaan dalam memahami sunah. Hal itu dapat dilihat melalui
prilaku masyarakat sehari-hari yang menyatakan bahwa perbuatan yang mereka
lakukan merupakan Sunah Nabi saw. berdasarkan dalil yang mereka pegang. Oleh
sebab itu penyatuan pemahaman umat menjadi pusat perhatian penulis yang terus
diberikan solusi untuk mencerahkan pemahaman umat tentang hakikat As-Sunnah
yang satu sehingga penerapan ajaran Islam yang sebenarnya dapat terwujud.
Dalam kitab Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah Nabawiyah yang ditulis
Yusuf al-Qaradawi menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti
dikarenakan pemahaman Yusuf al- Qaradawi tentang hadis memiliki makna yang
berbeda yaitu hadis dipahami sebagai sebuah penafsiran praktis terhadap al-
Qur’an, implementasi realistis, dan juga implementasi ideal Islam. Selain itu
dalam memahami hadis Yusuf al-Qaradawi memberikan metode-metode yang
unggul sehingga umat dapat memahami hadis dengan benar.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis tertarik untuk membuat
makalah tentang metode memahami As-Sunnah dengan benar sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya, hal ini guna
mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang makna As-Sunnah yang
sejatinya.

II. PEMBAHASAN

Dr. Yusuf al Qordhowi di dalam kitabnya yang berjudul kaifa nata’āmal


ma’a al sunnah al nabawiyah membecirakan tentang bagaimana seharusnya kita
dalam mengamalkan al Sunnah sebagai sumber kedua setelah al Quran di dalam
Islam, pada awal kitabnya beliau membicarakan tentang kedudukan al Sunnah di
dalam Islam.

1. Kedudukan sunnah di dalam Islam


Al Quran al Karim merupakan tanda yang agung dan mukjizat yang besar
bagi Muhammad saw, Al Quran merupakan sumber yang pertama
yang qot’i dengan ketetapannya dari awal hingga akhir. Dan sunnah datang
sebagai sumber yang kedua setelah al quran sebagaimana firman Allah [ ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا‬
‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم‬ ِ َ‫( ] إِلَيْك‬al Nahl: 44), maka Rasul adalah penjelas bagi al
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬
quran dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa sunnah adalah tafsir ‘amaly bagi al
Quran, dan praktek yang nyata bagi Islam, Nabi saw adalah penjelas al Quran dan
gambaran Islam.
Ummul mukminin ‘Aisyah ra telah memahami arti ini dengan
pengetahuan dan kepandaian beliau yang mendalam, serta kehidupan beliau
bersama Rasulullah, beliau juga telah menggambarkan hal tersebut dengan
gambaran yang cemerlang dan dalam tatkala beliau ditanya tentang akhlaq Nabi
saw beliau menjawab: akhlaq nabi adalah al Quran.
Sunnah sebagai manhaj yang sempurna
Manhaj ini adalah manhaj yang mencakup kesempurnaan bagi kehidupan
manusia, dalam dimensi panjang, lebar dan dalam. Yang dimaksud panjang adalah
rentan waktu yang mencakup dari kelahiran hingga kematian bahkan sejak janin
sampai setelah wafatnya. Adapaun yang dimaksud lebar adalah rentangan
horizontal yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia sehingga hidayah nabi
senantiasa menyertainya. Sedangkan yang dimaksud dalam adalah yang berkaitan
dengan kedalaman kehidupan manusia yang mencakup tubuh, akal, dan ruh,
meliputi lahir batin, serta ucapan, perbuatan dan niatnya.
Sunnah juga bisa dikatakan sebagai manhaj yang bersifat tengah-tengah,
karena sifat dari manhaj ini adalah keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal
dan hati, antara akhirat dan dunia, dan seterusnya. Itulah sebabnya Rasulullah
menyatakan ketidak senangannya kepada tiga orang yang menyatakan tentang
ibadah beliau.
Diantara ciri-ciri yang lain adalah bahwa manhaj ini bersifat kemudahan,
keringanan dan kelapangan

2. Kewajiban kaum muslim terhadap sunnah


Jadi Sunnah adalah manhaj yang terinci untuk kehidupan manusia baik
individu maupun kelompok (masyarakat). Oleh karena itu kewajiban seorang
Muslim terhadap Sunnah adalah memahaminya dengan segala ciri-cirinya yang
komprehensif, seimbang, dan penuh kemudahan serta prinsip-prinsip ketuhanan
yang kokoh kemanusiaan yang medalam dan aspek-aspek budi pekerti luhur yang
semuanya sudah jelas. Hal ini juga yang mengharuskan setiap Muslim untuk
senantiasa memahami Sunnah dengan sebaik-baiknya dan mengamalkannya
dalam aspek hukum dan moralnya.

3. Pondasi pokok dalam beramal dengan sunnah


Dalam beramal dengan Sunnah hendaknya berpegang pada:
1. Meneliti dengan seksama keshahihan hadis
Meneliti hadis dengan seksama dengan acuan yang telah ditetapkan oleh
para ahli hadis yang dipercaya yang meliputi sanad dan matannya. Dalam hal
ini setiap peneliti dapat merujuk pada pendapat para ahli hadis yang telah
berpengalaman dalam hal ini. Ilmu hadis dapat disamakan dengan ilmu ushul
al-Fiqh untuk fiqh
2. Pemahaman yang bagus mengenai Sunnah
Memahami nash-nash nabawi dengan benar yang sesuai dengan bahasa
(arab), konteks hadis, serta asbab al Wurud dan juga dalam kaitannya dengan
nash-nash al-Quran dan hadis yang lain, dan daam kerangka prinsip-prinsip
umum serta tujuan universal Islam
3. Terbebasnya nash dari menyelisihi yang lebih kuat
Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertantangan dengan yang lebih
kuat baik dari al Quran atau hadis-hadis lain yang jumlahnya lebih banyak
atau lebih shahih

Sunnah yang Dijadikan Patokan di Bidang Tasyri’ dan Dakwah


Al Sunnah adalah sumber kedua setelah al Quran di dalam Islam di
bidang tasyri’ dan dakwah. Akan tetapi sunnah yang dapat dijadikan sebagai
landasan tentunya Sunnah yang benar-benar datang dari Nabi dengan derajat
shahih atau hasan.

Menolak Hadis-hadis Shahih sama dengan Menerima Hadis Palsu


Apabila menerima hadis maudlu’ atau palsu serta menisbahkannya kepada
Nabi merupakan sesuatu yang slah, bodoh dan berbahaya.menerima hadis-hadis
yang dipalsukan merupakan perbuatan “memasukkan sesuatu yang bukan dari
agama ke dalam agama” sedangkan menolak hadis shahih adalah perbuatan
mengeluarkan sesuatu dari agama.

Menolak hadis shahih akibat pemahaman yang keliru


Diantara berbagai penyakit atau bencana yang dihadapi oleh Sunnah
adalah sebagian manusia membaca hadis secara tergesa-gesa kemudian mendapati
sebuah makna dalam keraguannya yang dijadikannya untuk menafsirkan hadis
tersebut, dan apabila makns tersebut tidak sesuai dengan akalnya maka ia segera
menolak hadis tersebut. Padahal apabila ia mau merenungkan baik-baik maka dia
akan mendapati bahwa maknanya tidaklah demikian.
Di dalam bukunya Yusuf al Qordhowi juga membahas mengenai
kedudukan Sunnah sebagai sumber fiqih dan dakwah. Mengenai hal ini beliau
menyatakan bahwa:
1. Al Sunnah di Bidang Fiqih dan Penetapan Hukum Syariat
Al Sunnah adalah sumber kedua dalam penetapan hukum fiqih dan syariat,
karena itu pembahasan tentang al-Sunnah sebagai dasar serta dalil bagi
hukum-hukum syariat dilakukan secara luas dalam semua kitab ushul al
Fiqh pada semua madhab.
Semua ahli fiqih berpegang pada al Sunnah.
Di sini kami dapat menegaskan bahwa semua ahli fiqih dari semua madhab
baik yang diikuti maupun tidak, baik yang masih ada atau sudah tidak ada
semua sepakat bahwa harus berpegang pada al Sunnah sebagai sumber
hukum.
Keharusan mengaitkan antara hadis dan fiqih
Para Fuqoha’ diharuskan mendalami ilmu hadis sebagaimana ahli hadis
diharuskan mengetahui ilmu fiqih dengan baik. Oleh karena itu Yusuf al
Qordhowi menyerukan kepada ahli fiqih dan ahli hadis untuk menutup celah
pemisah antara keduanya karena kebanyakannya orang yang sibuk dengan
fiqih tidak mengetahui seluk beluk hadis dengan baik dan tidak mendalami
ilmunya terutama ilmu jarh wa al ta’dil. Bahkan di dalam kitab-kitab fiqih
terdapat hadis yang sangat dhaif, maudlu’ dan yang tidak diketahui asal-
usulnya sama sekali.
2. Al Sunnah di Bidang Dakwah dan Penyuluhan Keagamaan
Al Sunnah al Nabawiyah adalah sumber yang tidak akan mengering atau
harta karun yang takkan habis untuk diambil dan dikutip oleh para da’i
dalam khutbahnya ketika berkhutbah. Dalam kitab-kitab hadis banyak sekali
bahan yang dapat digunaka seorang da’i sebagai bekalnya serta kekayaan
intelektualnyadalam berdakwah.
Hendaknya seorang da’ mengambil hadis dari dua kitab shahih kemudian
kitab-kitab sunan yang empat dan lain-lain yang telah dinyatakan sebagai
hadis shahih.
Berhati-hati ketika berdalil dengan hadis
Merupakan sesuatu yang penting adalah kehati-hatian seorang dai ketika
menyebutkan sebuah hadis yang dijadikan sebagai dalil. Sebagian orang
memang sering terkecoh oleh kemasyhuran suatu hadis serta seringnya ia
disebut-sebut dalam kitab hadis maupun ucapan-ucapan, lalu ia mengira
bahwa itu sudah cukup untuk dapat diterima.
Menilai periwayatan hadis dho’if dalam kitab al Targhib wa al Tarhib
Menurut al Qordhowi penyebab lakunya hadis dho’if adalah ucapan
sebagian orang yang menyatakan bahwa mayoritas ulama membolehkan
periwayatan hadis yang lemah dalam hal-hal fadhoil amal dan lain
sebagainya yang tidak berkaitan dengan kelima hukum syariat yaitu halal,
haram, wajib, makruh, mustahab. Tentang hal tersebut al Mundziri menulis
dalam bukunya muqoddimah buku Targhib wa al Tarhib: “Para
ulamamembiarkan praktik meringankan persyaratan hadis yang menyangkut
soal targhib dan tarhib sedemikian hingga banyak dari mereka menyebutkan
hadis yang maudhu’ tanpa menjelaskan mengenai yang demikian itu

III. KESIMPULAN
Buku ini memang perlu dibaca oleh segenap kaum Muslimin, agar kita
bisa bisa memahami dan mengamalkan al Sunnah dengan baik. Buku ini tidak
hanya untuk para ulama ahli hadis saja melainkan ulama ahli fiqih dan para pakar
agama Islam juga harus membaca dan mempelajarinya dan tidak lepas juga para
dai dan mubaligh yang selalu menyiarkan al Sunnah di dalam khutbahnya agar di
dalam dakwahnya tersebut para dai dan mubaligh tidak mencampur aduk antara
hadis yang shahih dengan hadis yang dhoif bahkan yang bukan hadis. Namun
demikian bukan berarti buku tersebut tidak memiliki kesalahan dan kekurangan
melainkan kita juga harus tetap kritis terhadap buku tersebut.

Anda mungkin juga menyukai