A. PENDAHULUAN
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan
dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena
pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme.
Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai
kebenaran tertinggi.
Secara logika, antara idealisme dan realisme tidak bisa dipertentangkan. Sebab, pencetus
idealisme (Plato) adalah murid dari pencetus realisme (Socrates). Jika demikian, apakah
mungkin Plato seorang idealis yang juga realis? Dengan pertanyaan lain, apakah Sokrates yang
realis juga seorang idealis? Apa sesungguhnya hakekat ide dan riil atau materi itu?
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat
dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan.
Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang
ada itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata
lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).
Dalam konteks pendidikan, paham ini mencita-citakan pemikiran atau ide tertinggi.
Secara kelembagaan institusional, maka pendidikan akan didominasi oleh fakultas atau jurusan
filsafat dan pemikiran pendidikan. Di ranah pendidikan dasar, akan didominasi oleh konsep-
konsep dan pengertian-pengertian secara devinitif tentang segala sesuatu. Tetapi, menurut
psikologi perkembangan peserta didik terdapat tahap-tahap perkembangan pemikiran siswa.
Metode yang digunakan oleh aliran idealisme adalah metode dialektik, syarat dengan
pemikiran, perenungan, dialog, dan lain-lain. Kurikulum yang digunakan dalam aliran idealisme
adalah pengembangan kemampuan berpikir, dan penyiapan keterampilan bekerja melalui
pendidikan praktis.
Evaluasi yang digunakan dalam aliran idealisme adalah dengan evaluasi esay. Dimana
evaluasi esay ini sangat efektif dalam proses belajar mengajar dan dalam meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam mengerjakan soal.
Idealisme merupakan suatu aliran yang mengedepankan akal pikiran manusia. Sehingga
sesuatu itu bisa terwujud atas dasar pemikiran manusia. Dalam pendidikan, idealisme merupakan
suatu aliran yang berkontribusi besar demi kemajuan pendidikan. Hal tersebut bisa dilihat pada
metode dan kurikulum yang digunakan. Idealisme mengembangkan pemikiran peserta didik
sehingga menjadikan peserta didik mampu menggunakan akal pikiran atau idenya dengan baik
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba
menguraikan lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan aliran filsafat idealisme.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan problematika di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa paradigma idealisme dalam menentukan kebenaran dan apa ide tertinggi itu?
2. Bagaimana implikasi idealisme dalam pendidikan, khususnya jika ditinjau dari tujuan,
kurikulum, metode dan evaluasi?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini ditulis
dengan tujuan:
1. mengetahui paradigma berfikir aliran filsafat idealisme dalam menentukan kebenaran dan
maksud dari ide tertinggi tersebut.
2. Mengetahui implikasi idealisme terhadap pendidikan, jika ditinjau dari tujuan pendidikan,
kurikulum, metode pembelajaran dan evaluasi pendidikan secara umum.
D. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang (Sejarah) Aliran Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato.
Plato menyatakan bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya.
Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide
sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda
itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang
sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh
semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan,
maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain
itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling
setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam.
Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.
Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh
Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi
transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru.
Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh
subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk
meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul
berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru
tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai
tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya
memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk
menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada
individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu
menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-
menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai
sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi
keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan
dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat
kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan
pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh
tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada
pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran
modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-
1753), Immanuel Kant (1724-1804) dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam
pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835-
1909) yang menggagas Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad
XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara lain: J.
Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan agama,
karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari
realitas.
2. Jenis-jenis Idealisme
a. Idealisme Subyektif (Immaterialisme) :
Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya atau ide-
idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek
pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi
hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang filosof
dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan immaterialisme.Baginya, ide
adalah 'esse est perzipi' (ada berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu
dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang melakukan persepsi. Segala yang riil adalah
akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut.
Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal
yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak
Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide. Berkeley
menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif
yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan
adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide.Tak mungkin ada benda atau
persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akal atau si yang
tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa
yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.
a. Idealisme Obyektif
Platomenamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti
Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu, untuk berada, harus bersandar kepada suatu
akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan. Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan
atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu
alam essensi, formatau ide.
Plato:dunia dibagi dalam dua bagian.
a)Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti itu,
yakni yang kongkrit, temporal dan rusak, bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia
penampakkan saja.
b)Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensiyang abadi.
Konsep manusiamengandung realitasyang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang.
Dikenalnyabenda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang
abadi.
Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual
adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya
riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung
dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra,
hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide adalah contoh yang transenden dan
asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut.
Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan
akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara
waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan
pengetahuan. Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup
dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut
kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind).
Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik
ataumutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang
diobyektifkan. Alam adalahAkal yang Mutlak(absolute reason) yang mengekpresikan dirinya dalam
bentuk luar. Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam waktu dan pengalaman
manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu
harus berwatak pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan
lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan
pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.
c. Idealisme Personal
Personalismemuncul sebagai protesterhadap meterialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi
seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas itu termasuk dalam
personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan
hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu. Kelompok personalis berpendapat bahwa
perkembangan terakhir dalam sains modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan
pengakuan yang selau bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap
mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik.
Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan
kemerdekaan manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun
begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap
alam ini. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau
lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir.Realitas adalah masyarakat
perseorangan yang juga mencakup Zat yang tidak diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan
dalam masyarakat manusia. Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam masyarakat
individu. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya dengan personalitas
tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada adanya Tuhan), ia memberi dasar metafisik
kepada agama dan etika.
3. Tokoh-tokoh Idealisme
a. Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya
sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami
sehari-hari.
b. Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya
sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat
idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal
murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
c. Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
1) Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan
hati.
2) Manusiabesarkarena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit
dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan
mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu
digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat
konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka
satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia
akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran,
walaupun bersifat abstrak.
3) Filsafatbisamelakukanapa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan
itu terletak pada iman.Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara
sempurna.Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
d. J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-
1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya
disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte:
manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut,
manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk
membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
e. F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798
M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis
Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau
indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif.
Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal
(gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi
sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar.
Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan
bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada
perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya saling
berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja,
melainkan antara keduanya.
f. G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor.
Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu
roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam
intinya ide (berpikir).
b) Epistimologi-idealisme:
Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika mereka. Ketika
idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa
teori mengetahui (epistemologi)nya pada dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental
mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas
tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai
tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran. Berdasarkan itu, maka
dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar,
tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gerald Gutek
mengatakan ;
In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that are
preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover the
ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is essentially a process
of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind. What is to
be known is already present in the mind.
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk mengetahui dapat
dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk
dan telah ada dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan
ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya
mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan memikirkan kembali
ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang
akan diketahui sudah ada dalam pikiran. Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan.
Beberapa penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang
secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan
Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian.
Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut
idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang
mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam
semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus ditolak
karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren
dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman.
Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik.
Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan
mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam menggumuli
kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari
idealisme.
c) Aksiologi-idealisme:
Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat raya
ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan
mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar
Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai
bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik
kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri manusia, berada
pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi dan
baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan
yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam
kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri
mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin
mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan
paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna
sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak
pada "peniruan" Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral
Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.
Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri
Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan diri dengan
Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya. Berkaitan
dengan hal tersebut, Gutek mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan
pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu
sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.
d) metafisika-idealisme: secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan
rohaniah yang lebih berperan.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa Idealisme merupakan salah
satu aliran filsafat yang mempunyai paham bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami
dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Tokoh –tokoh dalam idealisme diantaranya yaitu: Rene
Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1804), F. W. S.
Schelling (1775-1854), dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran
pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Haris yang
menggagas journal of speculative philosophy.
Implikasi filsafat idealisme dalam pendidikan adalah sebagai tujuan untuk membentuk
karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.Kurikulum,
pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh
pekerjaan. Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan
yang lain), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan. Peserta didik bebas untuk
mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan
dasarnya.Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja
sama dengan alam.
Daftar Pustaka
REALISME
A. Aliran Realisme
Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato
mengembangkan aliran realisme yang menekankan pada pengetahuan dan nilai. Ilmuwan
membawa paham realisme pada abad 21, ilmuwan realisme beranggapan bahwa realitas yang
ada tidak bergantung pada apa yang kita ketahui dan metode ilmiah adalah cara yang terbaik
untuk mendapatkan deskripsi yang akurat dari apa itu dunia dan bagaimana kerjanya. Untuk
menjelaskan dan untuk menggunakan penemuan ilmiah, kita harus menyusun suatu teori. Untuk
meningkatkan penelitian ilmiah, kita dapat meninjau kembali dan menyaring teori-teori kita
sehingga lebih akurat terhadap realitas.
Realisme merupakan suatu aliran dalam ilmu pengetahuan. Aliran
realisme mempersoalkan obyek pengetahuan manusia. Aliran realisme memandang bahwa obyek
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Contohnya bagaimana kursi itu ada karena
ada yang membuatnya, begitu juga dengan adanya alam yang berarti ada yang membuat. Tetapi
kaum realis tidak mempercayai adanya ruh karena yang ada hanyalah jiwa. Kaum realis
berpendapat bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian.
1. Epistemologi Realisme
Dalam perspektif epistemologi aliran realisme menyatakan bahwa hubungan antara
subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan pengetahuan
tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek.
Pemahaman subjek dengan demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).
Realis mempercayai pengetahuan yang didapatkan berasala dari hal-hal nyata yang ada di
sekitar manusia, bukan berasal dari pemikiran manusia. Dan pengetahuan manusia yang
dipengaruhi oleh alam bukan alam yang dipengaruhi oleh alam..
Manusia dapat mengetahui suatu objek melalui indra dan akal fikiran mereka. Proses
mengetahui terdiri dari dua tahap yaitu perasaan dan gambaran. Pertama, orang yang mengetahui
melihat objek dan panca indra merekam data di dalam pikiran seperti warna, ukuran, berat atau
bunyi. Pikiran memilah data ke dalam suatu sifat yang selalu muncul dalam objek. Dengan
mengidentifikasi sifat-sifat yang dibutuhkan manusia membentuk konsep dari benda dan
mengenalinya ke dalam kelas-kelas tertentu. Klasifikasi ini akan membuat manusia memahami
bahwa objek atau benda membagi sifat tertentu dengan anggota lain dalam satu kelompok tetapi
tidak dengan objek dari kelompok yang berbeda.
2. Ontologi Realisme
Menurut Smith , bagi kaum realis, realitas berhubungan dengan apa yang disebut filsuf
sebagai ‘alam’ atau pola invarian dalam realitas yang memberikan berbagai macam contoh yang
tidak terbatas dari berbagai macam hal. Seperti menjelaskan berbagai macam partikel
menggunakan satu atau beberapa bentuk sumum, membuat ilmu menjadi mungkin.
Loux menyatakan bahwa realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan bentuk-
bentuk abstrak yang terhubung dengan gaya acuan. Pada akhirnya realis menerima pendapat
yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA, termasuk fisika memberikan kriteria
utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut, pertanyaan “ Semesta seperti apa yang ada disana?”
adalah pertanyaan empiris yang harus dijawab oleh fisikawan : semesta tersebut dibutuhkan
untuk memformulasikan teori fisika terbaik yang ada.
Realisme secara ontologi diartikan bahwa semua benda di alam ini tidak ada yang
mempunyai roh.
3. Aksiologi Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Dalam pendidikan tidak hanya
berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman nilai.
Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme menyatakan bahwa nilai bersifat absolut, abadi
namun tetap mengikuti hukum alam yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa mata pelajaran
yang dilaksanakan disekolah pada intinya adalah untuk menerangkan realitas objektif dunia,
sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada kajian-kajian ilmu kealaman atau
sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa melalui sains lah realitas itu tergelar secara
objektif dan menantang manusia untuk memahaminya ( Orsnstein , 2008:168).
B. Jenis-Jenis Realisme
Aliran realisme dibagi menjadi dua yaitu realisme rasional dan realisme alam (Musdiani,
2011). Aliran realisme rasional yang berasal dari Aristoteles dibagai menjadi dua yaitu :
1. Realisme klasik
Realisme klasik berasal dari pandangan Aristoteles. Menganggap bahwa segala sesuatu yang ada
berdasarkan hal yang nyata. Aristoteles menganggap bahwa setiap benda ada tanpa adanya roh.
2. Realisme religius
Realisme ini berasal dari pandangan Thomas Aquina, yaitu filsafat agama Kristen yang lebih
dikenal dengan aliran Thomisme. Aliran ini menganggap bahwa jiwa itu penting walaupun tidak
nyata seperti badan. Sehingga aliran ini mempercayai bahwa jiwa dan badan diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan didapat dari wahyu, berpikir dan pengalaman. Aturan-
aturan keharmonisan alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan yang harus dipelajari.
Aliran realisme alam atau realisme ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan alam.
Aliran realisme ini bersifat skeptis dan eksperimental. Aliran ini menganggap bahwa alam
semesta itu nyata dan yang mempelajarinya adalah ilmu pengetahuan bukan ilmu filsafat. Tugas
ilmu pengetahuan adalah menyelidiki semua isi alam sedangkan tugas ilmu filsafat adalah
mengkoordinasi konsep-konsep dan penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam. Menurut aliran ini alam bersifat tetap. Meskipun ada perubahan di alam
namun perubahan tersebut sesuai dengan hukum-hukum alam yang sudah berlaku sehingga alam
semesta terus berlangsung dengan teratur.
DAFTAR RUJUKAN
Adisasmita, Yusuf. 1989. Hakekat, Filsafat dan Peranan Pendidikan Jasmani dalam
Masyarakat. Jakarta: Departmenen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Merrill, Gary H. 2010. Ontological realism : Methodology or misdirection?. North Carolina State
University and Ontolytics : IOS Press
Ornstein, Allan C, & Levine, Daniel U. 2008. Foundation of Education. Boston: Houghton Mifflin
Company
Musdiani. 2011. Aliran-Aliran dalam Filsafat. Journal Visipena, (Online), Volume II. Nomor 2. Juli
– Desember 2011, (http://ejournal.stkipgetsempena.ac.id ), diakses 25 September 2015
Metafisika Pragmatisme
Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep
kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada
kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam
pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan
kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah.
Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para
pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu
tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu
diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat
yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam
pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun
di banyak pengetahuan.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis
dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-
penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama
menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan
yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di
masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan
meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam
waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan
tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat
diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William
James.
1. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah
dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan.
Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan
pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas,
kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak?
Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang
ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan
pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak.
Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di
sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda.
Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan
kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis
kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view,
membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya
pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses
penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang
ada adalah serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-
view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur
yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-
pendidikan/ ( diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB )
2.1 Latarbelakang Eksistensialisme.
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme
berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab
pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada
dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan
sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat
individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut
manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan
komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat
Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab
pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”.
Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau
cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme.
Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah
materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut
idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme
penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya,
bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu
bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna
keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya,
pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan;
mulai dari apakah kebebasan itu ? bagaimanakah manusia yang bebas itu ? eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan
diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk
bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan
yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasab eksistebsialis : sejauh mana kebebasan
manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme
mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini
kebebasan adalah satu-satunya unuversalitas manusia. Maka, batasab kebebasan setiap individu
adalah kebebasan indovidu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada
yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang
berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya
di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme
apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah
filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah
eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan
eksistensialisme ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu
oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan l’etre – pour – soi
(berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi keberadaan yang an –sich, ada yang bulat,
padat, baku, dan tertutup. Entre – en – soi menaati prinsip what it is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah
ditentukan oleh adanya. Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan
perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alas an
apa pun, tanpa alas an yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang
mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki prinsip identitas karena
adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung
jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat,
bukan imam diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa;
bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadran
prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian.
Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah
kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan
apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre
seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah
kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai
diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein
tersusun dari dad dan sein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan
tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu
tidak hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dubentuk dengan
tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan)
dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif
dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh
pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak
ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep metafisika adalah
sementara.
2.2 Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1. Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu
pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat
perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan
tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan
kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi
untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-
pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai
pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan
untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan
mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya
sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus
menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai
dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
3. Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena
keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua
potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang
spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada
kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada
pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang
disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting
daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi
tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak,
pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya
mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan
para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran
dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-
tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum
eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa
harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya
dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus
dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang
diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah
harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
d. Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian
dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada
penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita
memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang
mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses
edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan
memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti
bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog.
Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian
membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus
menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti
gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas
agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama
dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang
pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-
temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta. Ar-
ruzzmedia.
yunifiwinda.blogspot.com 4:53 AM
Oleh Resti sanggraini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak peradaban umat manusia.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai
tata yang jelas.
Menurut esensialisme pendidikan harus bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji
kemanusiaan yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah payah
selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji
dalam perjalanan waktu.
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok
dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam
filsafat yakni idealism dan realism.
kebebasannya, dan ia memerlukan disiplin orang dewasa untuk membantu dirinya sebelum
sendiri dapat mendisiplinkan dirinya.
Manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya
mengandung makna pendidikan bahwa generasi perlu belajar untuk mengembangkan diri
setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial.
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.
Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam
masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
Mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu
cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa,
kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan tidak
pernah merupakan pemberian.
Esensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-
4. Tipe epsitimologis realisme
Teori menilai menurut idealisme.
Menyatakan bahwa hukum-hukum efesiensi adalah hukum kosmos, nila-nilai yang
terkandung di dalamnya dalah ;
Teori menilai idelaisme modren
Teori sosial idealisme
Teoti estetika
Teori menilai menurut realisme
Menyatak bahwa sumber-sumber pengalaman manusia terletak pada keteraturan lingkungan
hidupnya. Teori ini melahirkan :
Estetika derteminisme
Teori sosial realisme
Teori estetika
B. Peranan sekolah
Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui
suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui
oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat
untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan,
jadi Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
C. Peranan aliran esensialisme
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak peradaban umat manusia.
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok
dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam
filsafat yakni idealism dan realism.
1. Pandangan Antilogi Esensialisme
2. Pandangan Epistemologi Esensialisme
3. Approach idealisme pada pengetahuan.
4. Tipe epsitimologis realisme
Peranan sekolah
Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-
prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah
suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berfikir
secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis, pertimbangan, dan
perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk
pemecahan masalah yang dihadapi.[1] Progresivisme juga merupakan pandangan hidup yang
mempunyai sifat-sifat:
1. Fleksibel ( Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin tertentu )
2. Curious ( Ingin mengetahui, ingin menyelidiki )
3. Toleran dan open-minded ( Mempunyai hati terbuka )
Aliran progresivisme memiliki sifat-sifat umum yaitu:
a. Sifat Negatif
Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progresivisme menolak otoritarisme dan
absolutisms dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan
epistemologi.
b. Sifat Positif....
Positif dalam arti, bahwa progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan
alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia sejak ia lahir – man's
natural powers. Terutama yang dimaksud adalah kekuatan kekuatan manusia untuk terus-
menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-
kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam.
Progresivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk
mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia¬rahasia alam, sanggup
menguasai alam. Namur disamping keyakinan-keyakinan tersebut ada juga kesangian dimana
apakah manusia itu sendiri mampu belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi
meskipun demikian progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat
menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.[2]
B. Progresivisme dalam sejarah[3]
Secara historis, progresivisme ini telah muncul pada abad ke-19, namun
perkembangannya secara pesat bare terlihat pada awal abad ke-20, terutama di negara
Amerika Serikat.
Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oleh filsafat abad 19 yang dianggapnya kurang kondusif dalam melahirkan manusia-
manusia yang sejati. Dalam kesejarahannya, progersivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat
pragmatisme seperti Charles S. Pierce, William James dan John Dewey dan eksprimentalisme,
seperti Prancis Bacon. Tokoh lain yang memicu lahimya aliran ini adalah John Locke dengan
ajaran tentang teori kebebasan politiknya dan J.J Rousseau dengan keyakinannya bahwa
kebaikan berada dalam dirt manusia dan telah dibawanya sejak lahir dan ialah yang mesti
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Tuhan menganugerahkan
manusia freedom sebagai suatu kapasitas yang akan menggerakkan manusia untuk memilih
dan menetapkan mana perbuatan yang baik dan bajik dan mana yang tidak baik dan tidak bajik
untuk dirinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimulai sejak zaman
renaisance juga turut ambit bagian dalam membentuk pole fikir manusianya. Munculnya aliran
progresivisme ini pun merupakan salah satu2.
jawaban atas berbagai persoalan yang berkenaan dengan problem pendidikan sebagai upaya
menjadikan manusia sebagai manusia sejatinya.
C. Tokoh-Tokoh Progresivisme[4]
1. William James (11 Januari 1842 - 26 Agustus. 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik,
barns mempunyai fungsi biologic dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi
otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan
alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan
menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2. John Dewey (1859 - 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekakan pada anak
didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas.
Filsafat yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan
sesuatu yang tak dapat direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia.
Sekolah mesti membuat siswa sebagai warga negara yang lebih demokratik, berpikir bebas dan
cerdas. Bagi Dewey ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan barn. Pendidikan
dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan problem, Dewey
mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut : sadari problem yang
ada, definiskan problem itu, ajukan sejumlah hipotesis untuk memecahkannya,uji telik
konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat pengalaman silam, alami dan tes solusi yang
paling memungkinkan.
3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Hans Vaihinger Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan
obyeknya tidak mungkin dibuktikan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam
bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu
sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah
dianggap benar, asal orang tabu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang
berguna saja.
Dalam aliran progresif ini Proses belajar mengajar di kelas ditandai dengan beberapa
hal antara lain :
Guru merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa.
Selain membaca buku siswa juga diharuskan berinteraksi dengan alam misalnya melalui
kerja lapangan atau lintas alam.
Guru membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa untuk
berpikir.
Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun pemahaman
sosial.
Kurikulum menekankan studi alarm dan siswa dipajankan (exposed) terhadap
perkembangan barn dalam saintifik dan sosial.
Pendidikan sebagai proses yang terns menerus memperkaya siswa umuk tumbuh,
bukan sekedar menyiapkan siswa untuk kehidupan dewasa. Para pendidik aliran ini
sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal : (1) guru yang
otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3) pembelajaran pasif
dengan mengingat fakta (4) filsafat empat tembok, yakni terisolasinya pendidikandari
kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat
untuk menanamkan disiplin pada siswa.
BAB III
KESIMPULAN
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada mass kini mungkin tidak benar di
mass mendatang. Pendidikan hares terpusat pada anak bukan memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya: George Axtelle, William O.
Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff. Progresivisme merupakan
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat: Fleksibel, Curious, Toleran dan open-minded
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dab kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu
sendiri. Aliran progresivisme juga memiliki sifat¬sifat umum yaitu Sifat Negatif dan Sifat Positif.
Inti dari proses pendidikan bagi aliran progresivisme ini terdapat pada anak didik, karma anak
didik dalam konsepnya merupakan manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang
akan berkembang berdasarkan kondisi pendidikan. Aliran ini beranggapan bahwa belajar
merupakan proses yang bertumpu pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif dan
dinamis sebagai potensi dasar manusia dalam memecahkan berbagai masalah dalam
kehidupannya. Jadi, aliran ini sangat menjunjung tinggi individualitas anak didik, selain itu juga
is menjunjung tinggi sikap sosialitas, sehingga corak aktivitas pembelajaran yang ditonjolkan
lebih pada kooperasi dari pada kompetisi.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Melalui lembagai dan proses pendidikan, rekonstruksionisme ingin merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Adapun implikasi aliran ini dalam dunia pendidikan diantaranya yaitu: misi sekolah adalah
untuk meningkatkan rekonstruksi sosial, pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan
aturan sosial yang ideal, kurikulum sekolah tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas
maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai karena semua budaya dan nilai-nilai yang
berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum, guru harus menunjukkan rasa
hormat yang sejati atau ikhlas terhadap semua budaya baik dalam memberi pelajaran maupun
dalam hal lainnya.
B. Saran
Setelah mempelajari aliran rekonstruksionisme, maka sebagai calon guru PMTK
seharusnya mampu memahami dan kelak mampu menerapkannya. Seorang guru harus
mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi, seorang guru
harus membantu peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkan. Guru
juga harus mampu mendorong peserta didik untuk dapat berpikir tentang alternatif-alternatif
dalam memecahkan masalah di kehidupan modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran rekonstrusionisme .html
[2] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung , Alfabeta, 2009)
[3] http://filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme1.html
[4] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz media, 2010) hal. 118-
119
[5] Drs. Muhammad As Said, M. Pd. Filsafat Pendidikan Islam ( Barabai ; STAI Al-
Washliyah Barabai,2009) hal. 93
[6] Drs. H. M . Alwi Kaderi, Filsafat Pendidikan, ( Banjarmasin, 2011 ) hal. 125
[7] M. Djumberansyah Indar. Filsafat pendidikan. (Surabaya, Abditama, 1994). Hal 139
[8] http:// filsafat-rekonstruksionisme.html
[9] George Knight. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud
Arif. (Yogyakarta, Gama Media, 2007). Hal 185-190
[10] Prof. Dr. H. Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Filsafat Dan Pendidikan (Yogyakarta, Ar-
ruzz Media, 2010) hal 119
[11] Hadi Syamsul, Rukiyah, 2009, Filsafat Pendidikan rekonstruksionalisme, ( online )
( Http/ Syamsul Hadi. Blogsport. Com.) diakses 4 juni 2012.