Anda di halaman 1dari 50

FILSAFAT PENDIDIKAN IDEALISME

A. PENDAHULUAN
      Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan
dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena
pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme.
Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai
kebenaran tertinggi.
Secara logika, antara idealisme dan realisme tidak bisa dipertentangkan. Sebab, pencetus
idealisme (Plato) adalah murid dari pencetus realisme (Socrates). Jika demikian, apakah
mungkin Plato seorang idealis yang juga realis? Dengan pertanyaan lain, apakah Sokrates yang
realis juga seorang idealis? Apa sesungguhnya hakekat ide dan riil atau materi itu?
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat
dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan.
Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang
ada itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata
lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).
Dalam konteks pendidikan, paham ini mencita-citakan pemikiran atau ide tertinggi.
Secara kelembagaan institusional, maka pendidikan akan didominasi oleh fakultas atau jurusan
filsafat dan pemikiran pendidikan. Di ranah pendidikan dasar, akan didominasi oleh konsep-
konsep dan pengertian-pengertian secara devinitif tentang segala sesuatu. Tetapi, menurut
psikologi perkembangan peserta didik terdapat tahap-tahap perkembangan pemikiran siswa.
Metode yang digunakan oleh aliran idealisme adalah metode dialektik, syarat dengan
pemikiran, perenungan, dialog, dan lain-lain. Kurikulum yang digunakan dalam aliran idealisme
adalah pengembangan kemampuan berpikir, dan penyiapan keterampilan bekerja melalui
pendidikan praktis.
Evaluasi yang digunakan dalam aliran idealisme adalah dengan evaluasi esay. Dimana
evaluasi esay ini sangat efektif dalam proses belajar mengajar dan dalam meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam mengerjakan soal.
Idealisme merupakan suatu aliran yang mengedepankan akal pikiran manusia. Sehingga
sesuatu itu bisa terwujud atas dasar pemikiran manusia. Dalam pendidikan, idealisme merupakan
suatu aliran yang berkontribusi besar demi kemajuan pendidikan. Hal tersebut bisa dilihat pada
metode dan kurikulum yang digunakan. Idealisme mengembangkan pemikiran peserta didik
sehingga menjadikan peserta didik mampu menggunakan akal pikiran atau idenya dengan baik
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.  Dalam makalah ini, penulis akan mencoba
menguraikan lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan aliran filsafat idealisme.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan problematika di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa paradigma idealisme dalam menentukan kebenaran dan apa ide tertinggi itu?
2.      Bagaimana implikasi idealisme dalam pendidikan, khususnya jika ditinjau dari tujuan,
kurikulum, metode dan evaluasi?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini ditulis
dengan tujuan:
1.      mengetahui paradigma berfikir aliran filsafat idealisme dalam menentukan kebenaran dan
maksud dari ide tertinggi tersebut.
2.      Mengetahui implikasi idealisme terhadap pendidikan, jika ditinjau dari tujuan pendidikan,
kurikulum, metode pembelajaran dan evaluasi pendidikan secara umum.

D. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang (Sejarah) Aliran Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato.
Plato menyatakan bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya.
Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide
sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda
itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang
sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh
semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan,
maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain
itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling
setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam.
Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.
Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh
Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi
transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru.
Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh
subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk
meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul
berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru
tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai
tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya
memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk
menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada
individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu
menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-
menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai
sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi
keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan
dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat
kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan
pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh
tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme dengan penekanannya  pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada
pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran
modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-
1753), Immanuel Kant (1724-1804) dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam
pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835-
1909) yang menggagas Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad
XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara lain: J.
Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan agama,
karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari
realitas.

2. Jenis-jenis Idealisme
a. Idealisme Subyektif (Immaterialisme) :
Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya atau ide-
idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek
pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi
hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang filosof
dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan immaterialisme.Baginya, ide
adalah 'esse est perzipi' (ada berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu
dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang melakukan persepsi. Segala yang riil adalah
akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut.
Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal
yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak
Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide. Berkeley
menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif
yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan
adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide.Tak mungkin ada benda atau
persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akal atau si yang
tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa
yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.

a. Idealisme Obyektif
Platomenamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti
Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu, untuk berada, harus bersandar kepada suatu
akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan. Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan
atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu
alam essensi, formatau ide.
Plato:dunia dibagi dalam dua bagian.
a)Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti itu,
yakni yang kongkrit, temporal dan rusak, bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia
penampakkan saja.
b)Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensiyang abadi.
Konsep manusiamengandung realitasyang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang.
Dikenalnyabenda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang
abadi.
Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual
adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya
riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung
dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra,
hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide adalah contoh yang transenden dan
asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. 
Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan
akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara
waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan
pengetahuan. Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup
dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut
kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind).
Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik
ataumutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang
diobyektifkan. Alam adalahAkal yang Mutlak(absolute reason) yang mengekpresikan dirinya dalam
bentuk luar.  Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam waktu dan pengalaman
manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu
harus berwatak pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan
lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan
pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.
c. Idealisme Personal
Personalismemuncul sebagai protesterhadap meterialisme mekanik dan idealisme monistik.  Bagi
seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas itu termasuk dalam
personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan
hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu. Kelompok personalis berpendapat bahwa
perkembangan terakhir dalam sains modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan
pengakuan yang selau bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap
mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik.
Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan
kemerdekaan manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun
begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap
alam ini. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau
lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir.Realitas adalah masyarakat
perseorangan yang juga mencakup Zat yang tidak diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan
dalam masyarakat manusia. Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam masyarakat
individu. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya dengan personalitas
tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada adanya Tuhan), ia memberi dasar metafisik
kepada agama dan etika.

3. Tokoh-tokoh Idealisme
a.    Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya
sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami
sehari-hari.
b.    Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya
sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat
idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal
murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
c.    Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
1)    Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan
hati.
2)        Manusiabesarkarena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit
dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan
mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu
digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat
konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka
satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia
akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran,
walaupun bersifat abstrak.
3)        Filsafatbisamelakukanapa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan
itu terletak pada iman.Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara
sempurna.Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
d.    J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-
1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin.   Filsafatnya
disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte:
manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut,
manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk
membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
e.    F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798
M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis
Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau
indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif.
Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal
(gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi
sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar.
Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan
bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada
perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya saling
berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja,
melainkan antara keduanya.
f.    G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor.
Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu
roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam
intinya ide (berpikir).

4.      Esensi Aliran Idealisme


Idealisme termasuk aliran filsafat pada abad modern. Idealisme berasal dari bahasa
Inggris yaitu Idealism dan kadang juga dipakai istilahnya mentalism atau imaterialisme.
Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibnez pada mula awal abad ke-18.
Leibniz memakai dan menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, secara bertolak belakang
dengan materialisme Epikuros. Idealisme ini merupakan kunci masuk hakekat realitas.
Idealisme diambil dari kata ide yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme dapat
diartikan sebagai suatu paham atau aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya
dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Menurut paham ini, objek-objek fisik
tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.
Ada pendapat lain yang mengatakan, idealisme berasal dari bahasa latin idea, yaitu
gagasan, ide. Sesuai asal katanya menekankan gagasan, ide, isi pikiran, dan buah mental.
Terdapat aliran filsafat yang beranggapan, yang ada yang sesungguhnya adalah yang ada dalam
budi, yang hadir dalam mental. Karena hanya yang berbeda secara  demikian yang sempurna,
utuh, tetap, tidak berubah dan jelas. Itu semua adalah idealisme.
William E. Hocking, seorang penganut idealisme modern, mengungkapkan bahwa,
sebutan ”ide-isme” kiranya lebih baik dibandingkan dengan idealisme. Hal itu benar, karena
idealisme lebih berkaitan dengan konsep-konsep “abadi” (ideas), seperti kebenaran, keindahan,
& kemuliaan daripada berkaitan dengan usaha serius dengan orientasi keunggulan yang bisa
dimaksudkan ketika kita berucap, “Dia sangat idealistik”.
Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi
sebagaimana gagasan-gagasan atau ide-ide. Alam fisik ini tergantung dari jiwa universal atau
Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari jiwa tersebut.
Inti dari Idealisme adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran, akal-pikir
atau kedirian daripada sebagai suatu penekanan pada objek-objek & daya-daya material.
Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi, &
bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat
yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa (mind). Hal itu sangat berlawanan dengan
materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata ada,  sedangkan akal-pikir (mind)
adalah sebuah fenomena pengiring.
Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah :
a)        Ontologi-idealisme :
     Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan
aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan
manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah
badannya bayangan atau penjelmaan.
 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu
saja.
         Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap
sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide
itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
     George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealism adalah dunia penampakan yang
ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap melalui kecerdasan akal
pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting
daripada dunia empiris indrawi.8 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih
dulu ada dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi.
Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah telah mempunyai ide tentang
kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki. Metafisika
idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan. Uraian di atas
dapat dipahami bahwa meskipun idealism berpandangan yang terfokus pada dunia ide yang
bersifat abstrak, namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi.
Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam
tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama
adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada dalam
tataran ide.

b)        Epistimologi-idealisme:
     Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika mereka. Ketika
idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa
teori mengetahui (epistemologi)nya pada dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental
mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas
tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai
tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran. Berdasarkan itu, maka
dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar,
tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gerald Gutek
mengatakan ;
In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that are
preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover the
ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is essentially a process
of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind. What is to
be known is already present in the mind.
     Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk mengetahui dapat
dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk
dan telah ada dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan
ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya
mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan memikirkan kembali
ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang
akan diketahui sudah ada dalam pikiran. Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan.
Beberapa penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang
secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan
Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian.
Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut
idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang
mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam
semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus ditolak
karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren
dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman.
Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik.
Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan
mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam menggumuli
kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari
idealisme.

c)        Aksiologi-idealisme:
     Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat raya
ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan
mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar
Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai
bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik
kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri manusia, berada
pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi dan
baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan
yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam
kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri
mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin
mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan
paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna
sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak
pada "peniruan" Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral
Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.
     Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri
Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan diri dengan
Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya. Berkaitan
dengan hal tersebut, Gutek  mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan
pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu
sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.

d)       metafisika-idealisme: secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan
rohaniah yang lebih berperan.

e)        humanologi-idealisme: jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya


kemampuan memilih.
Demikian kemanusiaan merupakan bagian dari ide mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang
berpikir sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis
yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti
tesisnya itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya
menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.
      Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel dialektika. Proses itulah yang menjadi
keterangan untuk segala kejadian. Proses itu berlaku menurut hukum akal. Jadi semua yang riil
bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil. Maksudnya luasnya rasio sama dengan
luasnya realitas, sedangkan realitas menurut Hegel adalah proses pemikiran (ide).
Prinsip-prisip Idealisme :
a)      Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide
(spirit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagianya harus dipandang sebagai
suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan.Dunia adalah suatu totalitas,
suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.
b)      Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan
hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
c)      Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih
tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu
hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau
sukma.Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
d)     Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa,
spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang mengandung
kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idealisme bercorak spiritual, maka kebanyaakan kaum
idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa dari kejadian
alam semesta ini.

5.      Idealisme Dalam Pendidikan


Aliran idealisme terbukti cukup banyak  berpengaruh dalam dunia pendidikan. William
T. Harris adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di
Amerika Serikat. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang
melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis
sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekedar kebutuhan alam semata.
       Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi
kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada
akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan
tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia.
Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan
sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi sebagai:
1)        Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana atau
fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya lewat materi-materi
dalam aktifitas pembelajaran.
2)        Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa. Artinya, seorang guru itu
harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.
3)        Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai
potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik
dari segi materi dan yang lainnya.
4)        Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru
harus mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru
yang lain.
5)        Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial
yaitu kemampuan dalam hal berinteraksi dengan anak didik.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih
memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran
yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual. Sedangkan implikasi Aliran
Idealisme dalam Pendidikan yaitu :
1)   Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta
kebaikan sosial.
2)   Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk
memperoleh pekerjaan.
3)   Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain),
tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
4)    Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
5)   Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama
dengan alam.
Implementasi Idealisme dalam Pendidikan:
1)      Pendidikan bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada
tujuan yaitu dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.
2)      Pendidikan adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita,
nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan sosial.
3)      Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan
suatu spirit intelektual guna membangun masyarakat yang ideal.
4)      Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang
diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama.
5)      Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat
tetap dan tidak menerima perkembangan.
6)      Peranan pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta didik dengan hakekat-
hakekat dan pengetahuan yang tepat.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa Idealisme merupakan salah
satu aliran filsafat yang mempunyai paham bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami
dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Tokoh –tokoh dalam idealisme diantaranya yaitu: Rene
Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1804), F. W. S.
Schelling (1775-1854), dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran
pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Haris yang
menggagas journal of speculative philosophy.
Implikasi filsafat idealisme dalam pendidikan adalah sebagai tujuan untuk membentuk
karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.Kurikulum,
pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh
pekerjaan. Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan
yang lain), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan. Peserta didik bebas untuk
mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan
dasarnya.Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja
sama dengan alam.

Daftar Pustaka

Barnadib, Imam. (1988). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP.


Ihsan , A. Fuad. (2010).  Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Knight, George R. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.
Tafsir, Ahmad. (2000). Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN FISIKA
September, 2015

REALISME
A.                Aliran Realisme
Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato
mengembangkan aliran realisme yang menekankan pada pengetahuan dan nilai. Ilmuwan
membawa paham realisme pada abad 21, ilmuwan realisme beranggapan bahwa realitas yang
ada tidak bergantung pada apa yang kita ketahui dan metode ilmiah adalah cara yang terbaik
untuk mendapatkan deskripsi yang akurat dari apa itu dunia dan bagaimana kerjanya. Untuk
menjelaskan dan untuk menggunakan penemuan ilmiah, kita harus menyusun suatu teori. Untuk
meningkatkan penelitian ilmiah, kita dapat meninjau kembali dan menyaring teori-teori kita
sehingga lebih akurat terhadap realitas.
Realisme merupakan suatu aliran dalam ilmu pengetahuan. Aliran
realisme mempersoalkan obyek pengetahuan manusia. Aliran realisme memandang bahwa obyek
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Contohnya bagaimana kursi itu ada karena
ada yang membuatnya, begitu juga dengan adanya alam yang berarti ada yang membuat. Tetapi
kaum realis  tidak mempercayai adanya ruh karena yang ada hanyalah jiwa. Kaum realis
berpendapat bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian.

1.                  Epistemologi Realisme
Dalam perspektif epistemologi aliran realisme menyatakan bahwa hubungan antara
subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan pengetahuan
tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek.
Pemahaman subjek dengan demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).
Realis mempercayai pengetahuan yang didapatkan berasala dari hal-hal nyata yang ada di
sekitar manusia, bukan berasal dari pemikiran manusia. Dan pengetahuan manusia yang
dipengaruhi oleh alam bukan alam yang dipengaruhi oleh alam..
Manusia dapat mengetahui suatu objek melalui indra dan akal fikiran mereka. Proses
mengetahui terdiri dari dua tahap yaitu perasaan dan gambaran. Pertama, orang yang mengetahui
melihat objek dan panca indra merekam data di dalam pikiran seperti warna, ukuran, berat atau
bunyi. Pikiran memilah data  ke dalam suatu sifat yang selalu muncul dalam objek. Dengan
mengidentifikasi sifat-sifat yang dibutuhkan manusia membentuk konsep dari benda dan
mengenalinya ke dalam kelas-kelas tertentu. Klasifikasi ini akan membuat manusia memahami
bahwa objek atau benda membagi sifat tertentu dengan anggota lain dalam satu kelompok tetapi
tidak dengan objek dari kelompok yang berbeda.

2.                  Ontologi Realisme
Menurut Smith , bagi kaum realis, realitas berhubungan dengan apa yang disebut filsuf
sebagai ‘alam’ atau pola invarian dalam realitas yang memberikan berbagai macam contoh yang
tidak terbatas dari berbagai macam hal. Seperti menjelaskan berbagai macam partikel
menggunakan satu atau beberapa bentuk sumum, membuat ilmu menjadi mungkin.
Loux menyatakan bahwa realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan bentuk-
bentuk abstrak yang terhubung dengan gaya acuan. Pada akhirnya realis menerima pendapat
yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA, termasuk fisika memberikan kriteria
utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut, pertanyaan “ Semesta seperti apa yang ada disana?”
adalah pertanyaan empiris yang harus dijawab oleh fisikawan : semesta tersebut dibutuhkan
untuk memformulasikan teori fisika terbaik yang ada.
Realisme secara ontologi diartikan bahwa semua benda di alam ini tidak ada yang
mempunyai roh.

3.                  Aksiologi Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Dalam pendidikan tidak hanya
berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman nilai.
Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme menyatakan bahwa nilai bersifat absolut, abadi
namun tetap mengikuti hukum alam yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa mata pelajaran
yang dilaksanakan disekolah pada intinya adalah untuk menerangkan realitas objektif dunia,
sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada kajian-kajian ilmu kealaman atau
sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa melalui sains lah realitas itu tergelar secara
objektif dan menantang manusia untuk memahaminya ( Orsnstein , 2008:168).

B.            Jenis-Jenis Realisme
Aliran realisme dibagi menjadi dua yaitu realisme rasional dan realisme alam (Musdiani,
2011). Aliran realisme rasional yang berasal dari Aristoteles dibagai menjadi dua yaitu :
1.      Realisme klasik
Realisme klasik berasal dari pandangan Aristoteles. Menganggap bahwa segala sesuatu yang ada
berdasarkan hal yang nyata. Aristoteles menganggap bahwa setiap benda ada tanpa adanya roh.
2.      Realisme religius
Realisme ini berasal dari pandangan Thomas Aquina, yaitu filsafat agama Kristen yang lebih
dikenal dengan aliran Thomisme. Aliran ini menganggap bahwa jiwa itu penting walaupun tidak
nyata seperti badan. Sehingga aliran ini mempercayai bahwa jiwa dan badan diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan didapat dari wahyu, berpikir dan pengalaman. Aturan-
aturan keharmonisan alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan yang harus dipelajari.
            Aliran realisme alam atau realisme ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan alam.
Aliran realisme ini bersifat skeptis dan eksperimental. Aliran ini menganggap bahwa alam
semesta itu nyata dan yang mempelajarinya adalah ilmu pengetahuan bukan ilmu filsafat. Tugas
ilmu pengetahuan adalah menyelidiki semua isi alam sedangkan tugas ilmu filsafat adalah
mengkoordinasi konsep-konsep dan penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam. Menurut aliran ini alam bersifat tetap. Meskipun ada perubahan di alam
namun perubahan tersebut sesuai dengan hukum-hukum alam yang sudah berlaku sehingga alam
semesta terus berlangsung dengan teratur.

C.                Implikasi Realisme dalam Pembelajaran Fisika


Realis menyatakan bahwa (1) Terdapat dunia nyata dari objek yang tidak dibuat oleh
manusia (2) pikiran manusia dapat mengetahui tentang dunia yang nyata dan (3) pengetahuan
adalah petunjuk yang paling reliabel dengan individu dan kebiasaan sosial. Dengan prinsip-
prinsip ini kita dapat menentukan implikasi realisme dalam pendidikan.
Pendekatan mengajar  dalam aliran realisme mengarah pada tujuan, dalam evaluasi tes
yang digunakan lebih cenderung pada tes objektif dari pada tes subjektif. Tes dilakukan untuk
mengukur kualitas belajar, menyajikan fakta secara jelas dan masuk akal agar dipahami oleh
siswa. Paham realisme mengedepankan pengorganisasian yang baik dalam hal perencanaan
pembelajaran seperti penggunaan kirikukulum, silabus dan RPP (Adisasmita, 1989:60)
Dalam kelas realis tanggung jawab utama guru adalah untuk membawa ide-ide siswa
tentang dunia ke dalam kesesuaian dengan realitas dengan kemampuan seperti
membaca,menulis, atau menghitung pada subjek seperti sejarah matematika atau sains yang
didasarkan pada kewenangan dan keahlian pengetahuan .Meskipun mereka mengapresiasi murid-
murid secara emosional dengan baik sebagai manusia yang rasional, realis menekankan pada
pembelajaran kognitif dan penguasaan subjek meteri. Guru-guru realis menentang kegiatan non
akademik ke dalam sekolah yang bertentangan dengan tujuan utama sebagai pusat disiplin
penyelidikan akademik.
Realis percaya bahwa mempelajari kurikulum yang tersusun adalah cara paling efektif
mempelajari realitas. Penyusunan subjek materi seperti yang dilakukan ilmuwan dan pelajar
adalah metode yang sesuai untuk mengelompokkan objek sebagai contoh pengalaman manusia
dapat disusun menjadi sejarah. Seorang siswa fisika mempelajari besaran berdasarkan
pengelompokannya yaitu besaran pokok dan besaran turunan. Realis memperoleh pengetahuan
tentang realitas melalui sistem inkuiri ke dalam subjek-subjek tertentu
Dalam mata pelajaran fisika , paham realisme lebih banyak menggunakan metode-
metode yang memungkinkan siswa melakukan percobaan-percobaan sehingga pada akhirnya
siswa akan memperoleh pengetahuan . Demonstrasi-demonstrasi di laboratorium juga sering
menjadi metode pembelajaran yang dianggap sangat efektif dalam memberikan pengetahuan
kepada siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator, memberikan serangkaian ide dasar, dan
kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan subjek atau bahan ajar
yang sedang di laksanakan. Aktifitas diskusi juga sangat penting dalam kegiatan kelas bagi
penganut aliran Realisme. ( Ornstein, 2008:168).
Sebagai contoh bagaimana guru fisika yang berorientasi filsafat realis menjelaskan
hukum Issac Newton dalam gerak. Pertama, guru akan membantu siswa menempatkan Newton
dalam konteks sejarah sains dan mendiskusikan kontribusi ilmunya. Kedua, guru mungkin
mengilustrasi hukum gerak di demostrasi laboratorium. Ketiga, murid-murid mediskusikan
demonstrasi dan kerangka berfikir ilmiah secara umum dari hal yang diilustrasikan. Akhirnya
murid-murid diberi tes untuk menunjukkan pemahaman mereka tentang hukum gerak newton.

DAFTAR RUJUKAN
Adisasmita, Yusuf. 1989. Hakekat, Filsafat dan Peranan Pendidikan Jasmani dalam 
Masyarakat. Jakarta: Departmenen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Merrill, Gary H. 2010. Ontological realism : Methodology or misdirection?. North Carolina State
University and Ontolytics : IOS Press
Ornstein, Allan C, & Levine, Daniel U. 2008. Foundation of Education.  Boston: Houghton Mifflin
Company

Musdiani. 2011. Aliran-Aliran dalam Filsafat. Journal Visipena, (Online), Volume II. Nomor 2. Juli
– Desember 2011,  (http://ejournal.stkipgetsempena.ac.id ), diakses 25 September 2015

ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME


DALAM PENDIDIKAN
 By aris muhtarom in SOSIOLOGI

 November 21, 2015


Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti


tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini
bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima
sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis
yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat
bagi hidup praktis”.

Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut


kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini
kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis.
Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang
sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin
sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi
masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka
konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.

Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan


walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada
tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala
intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.

Metafisika Pragmatisme

Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi


pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara
keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang
memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran
untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James
tentang pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism
tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda
pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting
untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan
fakta-fakta.

Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat


pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode
dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh
karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai upaya-upaya
penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman
menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.

Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan


suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu
memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute
dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi
mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi
bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya
berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar.
Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat
diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima
kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah
mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah
mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.

Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep
kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada
kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam
pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan
kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah.
Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para
pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu
tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu
diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat
yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam
pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun
di banyak pengetahuan.

Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan


fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan
betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita
percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang ita
percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir
menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-
benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang
sama sekali mesti dilupakan.

Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme

Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William


James dan John Dewey.

1. William James (1842-1910 M)


William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr.
ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang
kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan
intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam
kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari
manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa
belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab berbagai
masalah yang berkenaan dengan kehidupan.

Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to


Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism
(1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita
anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam
prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah
kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar
dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh
poengalaman berikutnya.

Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada


kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh
pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya,
jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.

Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau


keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa
gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang
tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara
yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu
relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab
tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang
perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan
kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.

James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang


mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang
Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab
terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey.
Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut:
Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran
umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme,
individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan
kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.

2. John Dewey (1859-1952 M)


Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan
pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey
adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk
memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur
kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan
manusiawi.

Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas


filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak
boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak
ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh
karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-
norma dan nilai-nilai.

Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis
dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-
penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama
menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan
yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di
masa depan.

Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan
meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam
waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan
tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat
diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William
James.
1. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :

1. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme


Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama
dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis
kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti
menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di


antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya
mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih
mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin
terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya
ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq
yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah
dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu
manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al
Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya
terhadap peraturan Al Khaliq ini.

Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah
dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.

2. Kritik dari segi metode pemikiran


Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan
Metode Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang
pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-
ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.

3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri


Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan
kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Ide ini keliru dari tiga sisi.

Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan


kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan
praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan
kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang
dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan
realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia,
tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran
ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi
kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan
manusia .

Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran


sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar
tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan
kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi
instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya,
tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme
berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .

Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai


dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan
masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain,
kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme
itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh
waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka,
pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang
dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.

Implementasi Aliran Filsafat Pragmatisme

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek


didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh
karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari
pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di
sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia
belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan
lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan
disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa
mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang
berkembang menjadi sarana keberhasila.
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan
masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni
yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.

2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan.
Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan
pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas,
kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak?
Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang
ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.

3. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat  anak-anak dan
pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak.
Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di
sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda.
Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan
kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.

4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis
kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view,
membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya
pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses
penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang
ada adalah serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-
view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur
yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan


cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama
terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung
jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya
bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya
membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir
secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133)
bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan
pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

 Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan


pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
 Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme
merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan
kompleks untuk tumbuh.
 Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji
yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa
ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar
sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
 Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah
metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode
pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan
dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar),
metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan,
bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif,
sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-
sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh
siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
 Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi
dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan
kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai
pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang
pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari
sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi  kesempatan untuk
terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada.
Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.

KESIMPULAN

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti


tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William
James dan John Dewey.

Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga


memiliki kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat
ini. Kekeliruan pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1)
kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, (2) kritik dari segi metode
pemikiran, dan (3) kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.

Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang


mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan
untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur
terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.

Daftar Pustaka

Damsar.2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.Jakarta : Kencana Media


Prenada Group

http://filsafatpendidikanpragmatisme.blogspot.co.id/ ( diakses pada tanggal 25


September 2015 pukul 13.00 WIB )

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-
pendidikan/ ( diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB )

BAB II. PEMBAHASAN

2.1  Latarbelakang Eksistensialisme.
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme
berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab
pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada
dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan
sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat
individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut
manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan
komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat
Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab
pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”.
Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau
cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme.
Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah
materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut
idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme
penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya,
bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu
bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna
keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya,
pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan;
mulai dari apakah kebebasan itu ? bagaimanakah manusia yang bebas itu ? eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan
diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk
bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan
yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasab eksistebsialis : sejauh mana kebebasan
manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme
mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini
kebebasan adalah satu-satunya unuversalitas manusia. Maka, batasab kebebasan setiap individu
adalah kebebasan indovidu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada
yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang
berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya
di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme
apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah
filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah
eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan
eksistensialisme ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu
oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan l’etre – pour – soi
(berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi keberadaan yang an –sich, ada yang bulat,
padat, baku, dan tertutup. Entre – en – soi menaati prinsip what it is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah
ditentukan oleh adanya. Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan
perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alas an
apa pun, tanpa alas an yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang
mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki prinsip identitas karena
adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung
jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat,
bukan imam diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa;
bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadran
prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian.
Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah
kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan
apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre
seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah
kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai
diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein
tersusun dari dad dan sein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan
tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu
tidak hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dubentuk dengan
tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan)
dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif
dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh
pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak
ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep metafisika adalah
sementara.

2.2   Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1.      Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu
pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat
perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan
tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan
kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2.      Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi
untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-
pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai
pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan
untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan
mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya
sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus
menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai
dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.

3.      Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena
keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.

a.       Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua
potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang
spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada
kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

b.      Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada
pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang
disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting
daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi
tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak,
pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya
mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan
para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran
dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-
tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum
eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa
harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya
dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus
dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang
diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah
harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

c.       Proses belajar mengajar.


Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari
pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan
pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan
proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau
pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan
seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri
pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang
akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri,
sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi.
Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang
tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

d.      Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian
dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada
penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita
memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang
mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses
edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan
memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti
bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog.
Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian
membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus
menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti
gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas
agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama
dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang
pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-
temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.

BAB III. PENUTUP

Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia.


Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita.  Jika manusia
mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. tujuan pendidikan adalah
memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru
adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai
motivator dan fasilitator

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.


Bernadib, Imam. 1976. Filsafat pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.

Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta. Ar-
ruzzmedia.

J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga. Widya Sari.

Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME

yunifiwinda.blogspot.com 4:53 AM
Oleh Resti sanggraini

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Esensialisme    
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak peradaban umat manusia.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
      

kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai
tata yang jelas.
Menurut esensialisme pendidikan harus bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji
      

ketangguhannya, dan kekuatannya sepanjang


Masa sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya / sosial adalah nilai-nilai
      

kemanusiaan yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah payah
selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji
dalam perjalanan waktu.

          Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok
dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam
filsafat yakni idealism dan realism.

Sejarah Lahirnya Aliran Esensialisme


Esensialisme muncul pada zaman Renaissance, ia memberikan dasar berpijak pada
pendidikan yang penuh flexibilitas dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir
esensialisme, karena timbul di zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan ciri modern.
Aliran muncul sebagai reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis, abad pertengahan.
Maka disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta,
yang memenuhi tuntutan zaman.
Dasar Filosofis filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialime dalam melakukan gerakan pendidikan bertumpu pada mazhab filsafat
idealisme dan realisme, meskipun kaum idealisme dan kaum realisme berbeda pandangan
filsafatnya, mereka sepaham bahwa :
Hakikat yang mereka anut makna pendidikan bahwa anak harus menggunakan
      

kebebasannya, dan ia memerlukan disiplin orang dewasa untuk membantu dirinya sebelum
sendiri dapat mendisiplinkan dirinya.
Manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya
      

mengandung makna pendidikan bahwa generasi perlu belajar untuk mengembangkan diri
setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial.

Karakteristik Filsafat Pendidikan Esensialisme


Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh Welli am.c.Bagley adalah
sebagai berikut :
Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang
      

memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.
Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam
      

masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
Mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu
      

cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa,
kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan tidak
pernah merupakan pemberian.
Esensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-
      

sekolah pesaingnya (progressive) memberikan sebuah teori yang lemah.

1.     Pandangan Antilogi Esensialisme


Ontologi filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu
pada hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena itu, hal
pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik adalah pemahaman sebagai makhluk spiritual dan
mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan idealistik. Pendidikan bertujuan untuk
membimbing peserta didik menjadi makhluk yang berkepribadian, bermoral, serta mencita-
citakan segala hal yang serba baik dan bertaraf tinggi.
  Sentesa ide idealisme ddan realisme tentang hakekat realita berarti esensialisme mengakui adanya
realisme objek si sampimg konsep-konsep.
  Aliran esensialisme di pengaruhi penemuan-penemuan ilme pengetahuan modren
  Penafsiran spirituan atas sejarah.
  Pahan makrokosmos dan mikrokosmos
Paham makrokosmos adalah keseluruah semetanya dalam suatu disain dan kesatuan menurut
teori kosmologi. Paham mikrokosmos alah sebagian tunggal suatu fakta yang terpisah
keseluruhan, baik tingkat umum probadi manusai maupun lembaga.     

2.     Pandangan Epistemologi Esensialisme


Aspek epistemologi yang perlu diperhatikan halam pendidikan adalah pengetahuan
hendaknya bersifat ideal dan spiritual, yang dapat menuntun kehidupan manusia pada kehidupan
yang lebih mulia. Pengetahuan semacam itu tidak semata-mata terikat kepada hal-hal yang
bersifat fisik, tetapi mengutamakan yang bersifat spiritual. Sedangkan aspek aksiologi
menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap dan idealistik. Artinya, pendidik hendaknya
tidak menjadikan peserta didik terombang-ambing oleh hal-hal yang bersifat relative atau
temporer (Imam Barnadib, 2002). Ontologi dari filsafat pendidikan realisme bahwa pendidikan
itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh
tanpa reduksi.
Dalam bidang epistemologi, bahwa pengetahuan adalah hasil yang dicapai oleh proses
mana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah perpaduan
antara pengamatan, pemikiran, dan keseimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap
objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan
produk dari seberapa jauh pendidik dapat mempelajari secara ilmiah emperis mengenai peserta
didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.
      Konstaversi jasmaniah dan rohaniah peebedaan idealisme dan realisme.
      Idelaisme alah manusai  mengetahui sesuatu hanya di dalam melakui ide, rohaniah sedangkan
realisme adalah manusia mengetahui sesuatu realita di dalam jasmani dan rohani.
3.     Approach idealisme pada pengetahuan.
      Personalisme adalah manusai bahagia dan rasio tuhan yang maha sempurna.
      Approach personalsme adalah manusai tidak mungkin mengetaui sesuatu hanya dengan
kesadaran jiwa tampa adanya pengalaman.
      Bagi hegel adalah mental tercemin pada hukum logika  (mikrokosmos) hukum alah
(makrokosmos) hukum dealitika berfikir, hukum perkembangan sejarah dan kebudayaan
manusai (teori dinamis)

Realisme adalah  menafsirkan manusai dalam rangka hukum alam. Cara menafsirkan


manusai dalam realisme di bedakan atas :
  Menurut teori associstionisme
Teoti ini membicarakan bahwa jiwa adalah pengindaraan dan pengamatan.
  Menurut teori beavioristik.
Kehidupan menal tercermin  pada tingkah laku. Hukum beavioristik  adalah bahwa manusai
di tentukan semata-mata oleh hukum. Hukum idealisme adalah bahwa manusia seluruhnya di
tentukan oleh hukum-hukum rohani.
  Menurut teori conectionisme
Semua makhluk hidup termasuk  manusia terbentuk tingkah lauknya oleh pola-pola
hubungan anatara sirmulasi dan respon kurikulum sangat mengutamakan proses.

4.     Tipe  epsitimologis realisme
Teori menilai menurut idealisme.
Menyatakan bahwa hukum-hukum efesiensi adalah hukum kosmos, nila-nilai yang
terkandung di dalamnya dalah ;
  Teori menilai idelaisme modren
  Teori sosial idealisme
  Teoti estetika
Teori menilai menurut realisme
Menyatak bahwa sumber-sumber pengalaman manusia  terletak pada keteraturan lingkungan
hidupnya. Teori ini melahirkan :
  Estetika derteminisme
  Teori sosial realisme
  Teori estetika
B. Peranan sekolah
 

Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui
suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui
oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat
untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan,
jadi Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
C. Peranan aliran esensialisme
 

         Sebagai sako guru dalam kebudayaan modren


         Sebagai pemeliharaan kebdayaan (warisan kebudayaan)

D. Fungi pemeliharaan kebudayaan


 

Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,


agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
Membina sikap jiwa  untuk menjunjung tinggi  dan menyesuaikan diri terhadap hukum-
hukum dan kebenaran yang di temukan manusia alaram.
Hukum harus di pahami dalam konteks dan kebudayaan.

BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak peradaban umat manusia.
          Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok
dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam
filsafat yakni idealism dan realism.
1.      Pandangan Antilogi Esensialisme
2.      Pandangan Epistemologi Esensialisme
3.      Approach idealisme pada pengetahuan.
4.      Tipe  epsitimologis realisme

Peranan sekolah
Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-
prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.

Peranan aliran esensialisme


Sebagai sako guru dalam kebudayaan modren
Sebagai pemeliharaan kebdayaan (warisan kebudayaan)

Fungi pemeliharaan kebudayaan


Membina sikap jiwa  untuk menjunjung tinggi  dan menyesuaikan diri terhadap hukum-hukum
dan kebenaran yang di temukan manusia alaram.
Hukum harus di pahami dalam konteks dan kebudayaan.

Kritik dan saran


Dalam pembuatan makalah ini kami banyak menemukan kendala, karena pengetahuan
kami yang masih kurang, untuk itu kami meminta kritik dan saran yang sifatnya membangan,
semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
Daftar pustaka
Zen.zulhendri.filsafat pendidikan.unp.2010
http://kongsodewo.blogspot.com/2012/01/aliran-filsafat-pendidikan-
esensialisme.html
Idi Abdullah, Jalaluddin. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Fadliyanur. Aliran Esensialisme. http://www.blogspot.com/05/2008
http://pendidikan-infogue.com/aliran-aliran pendidikan.
http://www.pak guru online pendidikan.net/buku tua pak guru dasar
Kppd/htme//top.
http://one.indosskripsi.com / aliran-aliran pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah
suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berfikir
secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis, pertimbangan, dan
perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk
pemecahan masalah yang dihadapi.[1] Progresivisme juga merupakan pandangan hidup yang
mempunyai sifat-sifat:
1.      Fleksibel ( Tidak kaku, tidak menolak perubahan,dan tidak terikat oleh dokrin tertentu )
2.      Curious ( Ingin mengetahui, ingin menyelidiki )
3.      Toleran dan open-minded ( Mempunyai hati terbuka )
Aliran progresivisme memiliki sifat-sifat umum yaitu:
a.       Sifat Negatif
Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progresivisme menolak otoritarisme dan
absolutisms dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan
epistemologi.
b.      Sifat Positif....
Positif dalam arti, bahwa progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan
alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia sejak ia lahir – man's
natural powers. Terutama yang dimaksud adalah kekuatan kekuatan manusia untuk terus-
menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-
kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam.
Progresivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk
mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia¬rahasia alam, sanggup
menguasai alam. Namur disamping keyakinan-keyakinan tersebut ada juga kesangian dimana
apakah manusia itu sendiri mampu belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi
meskipun demikian progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat
menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.[2]
B.     Progresivisme dalam sejarah[3]
Secara historis, progresivisme ini telah muncul pada abad ke-19, namun
perkembangannya secara pesat bare terlihat pada awal abad ke-20, terutama di negara
Amerika Serikat.
Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oleh filsafat abad 19 yang dianggapnya kurang kondusif dalam melahirkan manusia-
manusia yang sejati. Dalam kesejarahannya, progersivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat
pragmatisme seperti Charles S. Pierce, William James dan John Dewey dan eksprimentalisme,
seperti Prancis Bacon. Tokoh lain yang memicu lahimya aliran ini adalah John Locke dengan
ajaran tentang teori kebebasan politiknya dan J.J Rousseau dengan keyakinannya bahwa
kebaikan berada dalam dirt manusia dan telah dibawanya sejak lahir dan ialah yang mesti
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Tuhan menganugerahkan
manusia freedom sebagai suatu kapasitas yang akan menggerakkan manusia untuk memilih
dan menetapkan mana perbuatan yang baik dan bajik dan mana yang tidak baik dan tidak bajik
untuk dirinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimulai sejak zaman
renaisance juga turut ambit bagian dalam membentuk pole fikir manusianya. Munculnya aliran
progresivisme ini pun merupakan salah satu2.
jawaban atas berbagai persoalan yang berkenaan dengan problem pendidikan sebagai upaya
menjadikan manusia sebagai manusia sejatinya.
C.    Tokoh-Tokoh Progresivisme[4]
1.      William James (11 Januari 1842 - 26 Agustus. 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik,
barns mempunyai fungsi biologic dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi
otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan
alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan
menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.      John Dewey (1859 - 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekakan pada anak
didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas.
Filsafat yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan
sesuatu yang tak dapat direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia.
Sekolah mesti membuat siswa sebagai warga negara yang lebih demokratik, berpikir bebas dan
cerdas. Bagi Dewey ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan barn. Pendidikan
dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan problem, Dewey
mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut : sadari problem yang
ada, definiskan problem itu, ajukan sejumlah hipotesis untuk memecahkannya,uji telik
konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat pengalaman silam, alami dan tes solusi yang
paling memungkinkan.
3.      Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Hans Vaihinger Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan
obyeknya tidak mungkin dibuktikan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam
bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu
sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah
dianggap benar, asal orang tabu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang
berguna saja.
Dalam aliran progresif ini Proses belajar mengajar di kelas ditandai dengan beberapa
hal antara lain :

 Guru merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa.
 Selain membaca buku siswa juga diharuskan berinteraksi dengan alam misalnya melalui
kerja lapangan atau lintas alam.
 Guru membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa untuk
berpikir.
 Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun pemahaman
sosial.
 Kurikulum menekankan studi alarm dan siswa dipajankan (exposed) terhadap
perkembangan barn dalam saintifik dan sosial.
 Pendidikan sebagai proses yang terns menerus memperkaya siswa umuk tumbuh,
bukan sekedar menyiapkan siswa untuk kehidupan dewasa. Para pendidik aliran ini
sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal : (1) guru yang
otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3) pembelajaran pasif
dengan mengingat fakta (4) filsafat empat tembok, yakni terisolasinya pendidikandari
kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat
untuk menanamkan disiplin pada siswa.

D.    Dasar Filosofis Progresivisme


Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan -kemajuan yang telah dicapai oleh
manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu
pengetahuan berdasarkan tata logic dan sistematisasi berfikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas
pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan
masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi
kehidupannya dalam masyarakat.
Ilmu pengetahuan diperoleh manusia dari proses interaksinya dengan berbagai realita,
baik melalui pengalaman langsung ataupun tidak langsung. sebagai pragmatisme, aliran ini
memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bermanfaat, karena pengetahuan itu
adalah saran bagi kemajuan manusia.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan disini sangat dinamis dan berubah sesuai dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah bukti nyata suatu
kemajuan manusia dalam menjalani kehidupan. Semakin banyak ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dihasilkan oleh manusia maka semakin maju pulalah suatu masyarakat.
Aliran ini memandang, bahwa yang rill adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan
dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Manusia adalah makhluk fisik yang berevolusi secara
biologic, social dan psikologis dan karena itu manusia terus menerus akan berkembang ke arah
yang lebih baik dan pengembangan, karena memang ia adalah organisms yang aktif, yang
secara terus menerus merekonstruksi, menginterpretasi dan mereorganisasikan kembali
berbagai pengalamannya, sehingga manusia akan selalu menemukan pengetahuan untuk,
kemajuan dirinya tanpa henti. Jadi, manusia sesuatu yang hakikatnya ini akan selalu menunjuk
ke arah kemajuan. Esensi kemanusiaan adalah semangat untuk mengadakan perubahan-
perubahan menuju kemajuan-kemajuan. Dan oleh karena itu, lembaga pendidikan mestilah
berfungsi sebagai wahana penumbuhkembangan days kreafivitas subjek didiknya agar memiliki
kemampuan dalam mengatasiberbagai problem diri dan masyarakatnya, sehingga memiliki
semangat mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang berguna bagi pengembangan diri
dan masyarakatnya progresivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu
ingin mencari tabu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu
pandangan atau pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris.
[5]
Untuk merealisasikan harapan tersebut, mendasarkan diri pada prinsip¬prinsip dasar
progresivisme oleh George F. Kneller, dapat dirincikan menjadi enam yaitu:
1.      Pendidikan harus lebih "aktif' dan berkaitan dengan minat anak Progresivisme menekankan
perlunya memusatkan pendidikan pada anak sebagaimana adanya. Anak sebagai suatu
keutuhan pribadi mempunyai dunianya sendiri yang mesti dihormati dan dijadikan pangkal tolah
untuk kegiatan pendidikan. Sekolah mesti berpusat pada anak sehingga proses belajar dan
bahan atau mated belajar tidak hanya ditemukan oleh guru melainkan didasarkan pada minat
dan kebutuhan anak sendiri.
2.      Belajar melalui pemecahan masalah mesti menggantikan cars belajar yang menekankan
penerimaan beban jadi. Bagi progresivisme pengetahuan merupakan alat untuk menangani
situasi yang terus menerus dimunculkan oleh gerak pewbahan hidup. Bermakna, maka kits
mesti dapat berbuat sesuatu dengan pengetahuan tersebut.
3.      Pendidikan mesti merupakan beban hidup sendiri dan bukan hanya suatupersiapan untuk
hidup. Semua hidup yang dinalar merupakan suatukegiatan belajar karena hal itu melibatkan
penafsiran dan penataankembali pengalaman.
4.      Peranan guru lebih sebagai pendamping dan penasehat daripada sebagai penentu pokok
Minas dan kebutuhan anak didiklah yang mesti menjadi pokok tentang apa yang semestinya
mereka pelajari. Anak-anak mesti dibimbing untuk merencanakan kegiatan belajar mereka.
Guru menyediakan fasilitas dengan memberikan pengetahuan danpengalamannya yang lebih
luas untuk mereka gunakan, dan apabila mengalami kemacetan guru perlu menolong.
5.      Sekolah mesti mendorong adanya kerjasama di antara murid-murid dan bukan persaingan.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan mendapatkan kepuasannya terbesar
dari hubungan-hubungan mereka satu sama lain.
6.      Demokrasi memungkinkan dan mendorong adanya pencaturan bebas gagasan dan pencaturan
macam-macam pribadi yang merupakan syarat penting untuk pertumbuhan. Bagi kaum
progresif kerjasama dan demokrasi merupakan pengalaman yang dijalani bersama, sepetti
dinyatakan oleh Dewey: "suatu demokrasi itu lebih daripada sekedar suatu bentuk
pemerintahan. Demokrasi pertama-tama merupakan suatu bentuk kehidupan bersama; suatu
pengalaman komunikatif yang digabungkan.”[6]
E.     Pemikiran Progresivisme Tentang Pendidikan
Asas pokok aliran ini adalah bahwa manusia selalu tetap survive terhadap semua
tantangan kehidupannya yang secara praktis akan senantiasa mengalami kemajuan. Oleh
karena itu aliran ini selalu memandang bahwa pendidikan tidak lain tidak bukan adalah proses
perkembangan, sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk senantiasa memodifikasi
berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai
perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat.
Aliran progresivisme sangat memberikan penghargaan yang tinggi terhadap
individualisms anak didik, namun ia juga menjunjung tinggi sikap sosialitas, sehingga corak
aktivitas pembelajaran yang ditonjolkan lebih pada kooperasi dari kompetisi. Progresivisme juga
menempatkan pengajaran bahasa asing keno dan modern sebagai suatu yang dibutuhkan bagi
subjek didik sekolah tingkat menengah pertama, sebab hanya dengan cara demikian pars
subjek didik akan dapat mengenal dunia secara baik dan luas.[7]
F.     Keyakinan-Keyakinan progresivisme tentang pendidikan
Istilah progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan
pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara
harmonis dan sistematis dalam hal mendidik.Keyakinan¬keyakinan yang didasarkan pada
sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatism, instrumentalisme, dan
eksperimentalisme.
Progresivisme sebagai filsafat dan progresifisme sebagai pendidikan eras sekali
hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey
memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasanya tentang pendidikan, serta
mempraktekkannya disekolah-sekolah yang ia dirikan Menurut Dewey tujuan umum pendidikan
ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikanya lebih mengutamakan bidang studi
yang berguna atau langsung bisa dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan
keterampilan.Progresivisme tidak menghendaki adanya mats pelajaran yang diberikan secara
terpisah, melainkan hams diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu
terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak
menghindar, dari perubahan, tidak terikat le suatu dokrin tertentu, bersifat ingin tabu, toleran,
berpandangan luas serfs terbuka.[8]
G.    Berbagai Kritik atas Progresivisme9
Terdapat beberapa poin yang menjadi sasaran yang banyak dikritik terkait dengan
konsep pendidikan yang ditawarkan oleh progresivisme, yaitu:
1.      Konsep pertumbuhan
Berdasarkan aktivitas diri anak merupakan konsep yang kabur. Progresivisme seperti
yang kits Bat menekankan pendidikan yang yang berpusat pada anak. Menurut aliran ini
aktivitas did si anak akan membawa kearah pertumbuhan dan perbaikan diri mereka. Tetapi
spa artinya pertumbuhan atau perbaikan ini kalau progresivisme menolakadanya suatu tujuan
akhir tertentu dari proses aktivitas diri anak, tanpa adanya tujuan akhir tertentu tentang konsep
pertumbuhan, kemajuan, ataupun perbaikan menjadi suatu konsep yang kabur dan tidak jelas
untuk diukur tingkat keberhasilannya. Membandingkan dengan pengalaman yang lalu saja
belumlah cukup untuk melihat apakah, suatu langkah merupakan pertumbuhan, kemajuan, dan
perbaikan.
2.      Prinsip bahwa anak hares dididik sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka sendiri serts
guru hanya berfungsi sebagai pendamping merupakan prinsip yang tidak realistis. Kesadaran,
pengertian dan rasa tanggung jawab anak mengalami perkembangan. Secara realistis, kits
tidak bisa mengharapkan tingkat kesadaran, pengertian, dan tanggung, jawab yang sama dari
seorang anak kelas 11 SD dengan anak mahasiswa semester V suatu perguruan tinggi.
Seorang mahasiswa semester lebih dapat diharapkan mengetahui spa yang menjadi
minat dan kebutuhannya sehingga memungkinkan untuk diberikan kebebasan mamilih isi dan
cara pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, dan kebutuhannya. Akan tetapi, seorang
anak kelas 11 SD, kemampuannya untuk membedakan mana hakiki dan yang tidak benar
merupakan hasil pemikiran prang dewasa. Kedewasaan berfikir seseorang tidak mungkin
dipaksakan.
Kedewasaan merupakan hasil disiplin yang perlu ditanamkan dan tanpa bantuan dari
seorang yang sudah dewasa tak mungkin bisa tercapai. Disiplin diri rupanya tidak mungkin
dipelajari sendiri oleh anak. Bantuan dari luar untuk penanaman disiplin diri tersebut mutlak
diperlukan.
3.      Pernyataan progresivisme bahwa cara belajar dengan memecahkan masalah yang secara
langsung dialami oleh anak merupak caara belajar yang paling efektif tidak berlaku secara
mutlak. Tidak dapat disangkal bahwa secara psikologis anak akan tertarik untuk mempelajari
hal-hal yang secara langsung dialami sebagai penunjang kebutuhannya atau membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi, apakah pemenuhan kebutuhan dan
pemecahan masalah yang secara defacto dihadapi anak pada waktu dan tempat tertentu itu
memang merupakansesuatu yang secara objektif cukup penting serta alran berpengaruh besar
bagi kemampuan oelajar anak tersebut tidak dapat diprediksi. Melatih anak untuk melatih aktif
mencari pemecahan masalah yang dihadapinya dengan menggunakan khazanah pengetahuan
dan keterampilan yang dimilikinya memang merupakan sesuatu hal yang positif untuk
pendidikan.
4.      Tidak ads kaftan langsung antara sistem pendidikan progresif dengan demikrasi. Dengan
menekankan pentingaya kebebasan bagi anak untuk berekspresi dan mengembangkan diri
sesuai dengan minat dan bakatnya serta pentingnya pengaturan kehidupan sekolah secara
demokratis, progresivisme memang menunjang perkembangan sistem demokrasi dalam
masyarakat. Akan tetapi, penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi bukanlah monopoli sistem
pendidikan progresif. Perlu diingat bahwa aliran-aliran filsafat pendidikan yang lain seperti
perenialisme dan esensialisme yang oleh progresivisme dicap konservatifpun menghargai dan
memperjuangkan nilai-nilai demokrasi. Masalahnya adalah bahwa konsep demokrasi itu sendiri
mengandung pengertian yang lugs dan memungkinkan adanya macam-macam penafsiran dari
sistem pemikiran yang berbeda-beda

BAB III
KESIMPULAN
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada mass kini mungkin tidak benar di
mass mendatang. Pendidikan hares terpusat pada anak bukan memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya: George Axtelle, William O.
Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff. Progresivisme merupakan
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat: Fleksibel, Curious, Toleran dan open-minded
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dab kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu
sendiri. Aliran progresivisme juga memiliki sifat¬sifat umum yaitu Sifat Negatif dan Sifat Positif.
Inti dari proses pendidikan bagi aliran progresivisme ini terdapat pada anak didik, karma anak
didik dalam konsepnya merupakan manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang
akan berkembang berdasarkan kondisi pendidikan. Aliran ini beranggapan bahwa belajar
merupakan proses yang bertumpu pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif dan
dinamis sebagai potensi dasar manusia dalam memecahkan berbagai masalah dalam
kehidupannya. Jadi, aliran ini sangat menjunjung tinggi individualitas anak didik, selain itu juga
is menjunjung tinggi sikap sosialitas, sehingga corak aktivitas pembelajaran yang ditonjolkan
lebih pada kooperasi dari pada kompetisi.

[1] Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan Islam. ( Pekanbaru: LSFK2P.2005), hal. 161-162


[2]Zuhairi dkk. Filsafat Pendidikan Islam. ( Bumi Aksara. Jakarta : 2008 ) hal.20-21
[3]Muhmidayeli.Op,Cit. hal. 162-165
[4]http://pojokyudhapradana.blogspot.com/2010/01/aliranaliran-pendidikan-dalam-filsafat.htm
[5] Muhmidayeli. Op,Cit. Hal 166-168
[6] Ismail Thoib. Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam.( Jakarta: Genta
Press.2008) hal.87- 95
[7] Muhmidayeli. Op.Cit. hal: 168-169
[8] www.docstoc.com/docs/55959688/aliran-aliran-dan-landasan-pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Aliran Rekontruksionisme


Rekonstrusionisme di pelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930 yang
ingin membangun masyarakat baru, masyrakat yang pantas dan adil.[1]
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivme, gerakan ini lahir
didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.[2]
Selain itu, mazhab ini juga berpandangan bahwa pendidikan hendaknya memelopori
melakukan pembaharuan kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih
baik.karena itu pendidikan harus mengembangkan ideology kemasyarakatan yang demokratis.
Alasan mengapa rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat
sekarang ini.Dalam aliran rekonstruksionisme berusaha menciptakan kurikulum baru dengan
memperbaharui kurikulum lama.
Progresivisme pendidikan didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus terpusat
pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang studi.ini berkelanjutan pada
pendidikan rekonstruksionisme yaitu guru harus menyadarkan sipendidik terhadap masalah-
masalah yang dihadapi manusia untuk diselesaikan, sehingga anak didik memiliki kemampuan
memecahkan masalah tersebut.[3]
B.     Pengertian Aliran Rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme merupakan suatu aliran
yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu
berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam, kedua aliran tersebut
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Meskipun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran ini tidaklah sama dengan prinsip
yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam
pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam
kebudayaan lama (regressive road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu,
aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar
sesama manusia atau agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan
seluruh lingkungannya.Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru. Untuk tujuan tersebut diperlukan kerja sama antarumat manusia.[4]
Aliran          rekonstuksionisme bercita-cita uutuk  mewujudkan dan melaksanakan
sinthesa atau perpaduan ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan
seni modern didalam suatu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan bangsa-
bangsa sedunia.[5]
Rekonstruksinalisme mencita-citakan terwujudnya sutu dunia baru, dengan kebudayaan
baru dibawah suatu kedaulatan dunia, dalam control mayoritas umat manusia.Dengan  kata
lain perkataan aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang menghendaki  agar anak
didiknya dapat dibandingkan kemampuaannya untuk secara kontruktif menyesuaikan diri
dengan tuntutan perubahan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya  pengaruh dari
ilmu pengetahuaan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti anak didik akan tetap berada
dalam suasana aman dan bebas.[6]

Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita untuk


mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman atau
subordinate dari kedaulatan dan otoritas internasional.[7]

C.    Tokoh-tokoh Aliran Rekonstruksionisme


Aliran filsafat Rekonstruksionisme dipelopori oleh Goerge Count dan Harold Rugg
pada 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang
pantas dan adil.Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif
Dewey; dan ini menjelaskan mengapa aliran Rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat
pragmatism. Meskipun mereka banyak terinspirasi pemikiran Theodore Brameld, khususnya
dengan beberapa karya filsafat pendidikannya, mulai dari ‘Pattern of Educational Philosophy
(1950), Toward recunstucted Philosophy of Education (1956), dan Education of power
(1965).[8]

D.    Prinsip-Prinsip Aliran Rekonstruksionisme


1.      Masyarakat dunia sedang dalam kondisi  Krisis , jika praktik- praktik yang ada  sekarang  tidak
dibalik,maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran.
Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan
global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, poliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme
sempit, dan penggunaan teknologi yang ‘sembrono’  dan tidak bertanggung jawab telah
mengancam dunia kita sekarang dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi segera
mungkin. Persoalan-persoalan tersebut menurut kalangan rekonstruksionisme, berjalan
seiring dengan tantangan totalitarisme modern, yakni hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
dalam masyarakat luas dan meningkatnya kedunguan fungsional penduduk dunia.
Singkatnya, dunia sedang menghadapi persoalan-persoalan sosial, militer dan ekonomi pada
skala yang terbayangkan. Persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut sudah sedemikian
beratnya sehingga tidak dapat lagi diabaikan.
2.      Solusi efektif satu-satunya bagi pesoalan- pesoalan dunia kita  adalah penciptaan social yang
menjagat.
Kerjasama dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang
berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya.
Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-
kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam
beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan
sebuah sistem nilai dan mentalitas politik yang dianut di era kuda dan andong.Menurut
rekonstruksionisme, umat manusia sekarang hidup dalam masyarakat dunia yang mana
kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang.
Dalam masyrakat ini, sangat mungkin muncul penghayal karena komunitas internasional
secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan
material menuju ke tingkat dimana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap paling
penting. Dunia semasa itu, orang-orang berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih
baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
3.      Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi  tatanan sosial.
Sekolah-sekolah yang merefleksikan nilai-nilai sosial dominan, menurut
rekonstruksionisme hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi
yang sekarang ini mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara
mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi baru. Tugas mengubah peran
pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai
kemampuan memusnahkan diri.Kalangan rekontruksionis di satu sisi tidak memandang
sekolah sebagai memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial seorang diri. Di sisi
lain, mereka melihat sekolah sebagai agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan
seluruh masyarakat, karena ia menyantuni anak-anak didik selama usia mereka yang paling
peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem
sosial dan agitator utama perubahan sosial.
4.      Metode-metode pengajaran  harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis  yang bertumpu
pada kecerdasan ‘ asali’  jumlah mayoritas  untuk merenungkan  dan menewarkan solusi  yang
paling valid  bagi persoalan –persoalan umat manusia.
Dalam pandangan kalangan rekonstruksionisme, demokrasi adalah sistem politik yang
terbaik karena sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di
ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk
memilih di antara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
Brameld menggunakan istilah pemihakan defensif untuk mengungkapkan posisi
(pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yang kontroversial. Dalam
menyikapi ini, guru membolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dan yang tidak setuju
dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di
sisi lain, guru jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mengungkapkan
dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Di luar ini, guru harus berupaya agar
pendirian-pendiriannya diterima dalam skala seluas mungkin. Tampaknya telah diasumsikan
oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu sedemikian clear-cut (jelas-
tegas) sehingga sebagian besar akan setuju terhadap persoalan-persoalan dan solusi-solusi
jika dialog bebas dan demokratis diizinkan.
5.      Jika pendidkan formal adalah   bagian yang tak terpisahkan dari  solusi social  dalam krisis dunia
sekarang , maka ia harus  secara  aktif mengerjakan perubahan social.[9]

E.     Pandangan rekonstruskionisme dan penerapannya dibidang pendidikan


Pandangan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme terhadap pendidikan yaitu
pertama kita harus mengetahui pengertian dari filsafat.Yangmana filsafat merupakan induk dari
segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu khusus.Menurut pendapat Runes (1971:235), bahwa
filsafat adalah keterangan rasional tentang sesuatu yang merupakan prinsip umum yang
kenyataannya dapat dijelaskan dengan membedakan pengetahuan rasional dan pengetahuan
empiris (sains).
Filsafat bagi pendidikan adalah teori umum sehingga dapat menjadi pilar bagi bangunan
dunia pendidikan yang berusaha memberdayakan setiap pribadi warga negara untuk mengisi
format kebudayaan bangsa yang didinginkan dan diwariskan.Aliran rekonstruksionisme adalah
sepaham dengan aliran perenialisme dalam tindakan mengatasi krisis kehidupan modern.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual
yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma
yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.[10]
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu
dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh
golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi
kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat
tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme,
aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal
sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani.Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang
bebas dan berdiri sendiri, sarna dengan azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan
suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya
manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan
lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, sementara itu kenyataan bathin segera
diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah
kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa
prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak, Tuhan adalah
aktualitas murni yang sama sekalisunyi dan subtansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa
bergantung padii ilmt pengetahuan.Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke
arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan
ilmu pendidikan. Yang mana pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhirnya akan
dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran
yang dihasilkan (anak didik).
F.     Teori pendidikan rekonstruksionisme
1.      Tujuan Pendidikan
a.       Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk
melakukan   perubahan sosial,     ekonomi dan politik dalam masyarakat.
b.      Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan ”insinyur-insinyur”
sosial,    warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah
masyarakat masa kini.
c.       Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang
masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan
mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi
masalah tersebut.
2.      Metode pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan
programatik untuk perbaikan.Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah,
analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.
3.      Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan
masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi
umat manusi, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik
sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-
proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
      Pelajar
Siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat
masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan
untuk membangun masyarakat masa depan.
      Pengajar
Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi
umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga
mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan
perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk
menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:
1)   Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru
yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-
kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2)   Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan   lembaga
utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3)   Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
4)   Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara bijaksana
dengan   cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5)   Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan
kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan
kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana
manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
6)   meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur
administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.[11]

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Melalui lembagai dan proses pendidikan, rekonstruksionisme ingin merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Adapun implikasi aliran ini dalam dunia pendidikan diantaranya yaitu: misi sekolah adalah
untuk meningkatkan rekonstruksi sosial, pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan
aturan sosial yang ideal, kurikulum sekolah tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas
maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai karena semua budaya dan nilai-nilai yang
berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum, guru harus menunjukkan rasa
hormat yang sejati atau ikhlas terhadap semua budaya baik dalam memberi pelajaran maupun
dalam hal lainnya.
B.     Saran
Setelah mempelajari aliran rekonstruksionisme, maka sebagai calon guru PMTK
seharusnya mampu memahami dan kelak mampu menerapkannya. Seorang guru harus
mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi, seorang guru
harus membantu peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkan. Guru
juga harus mampu mendorong peserta didik untuk dapat berpikir tentang alternatif-alternatif
dalam memecahkan masalah di kehidupan modern ini.

DAFTAR PUSTAKA

Mudyahardjo, Redja, 1995, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada.


Jalaludin, 2010, Filsafat Penddidian Manusia, Filsafat Dan Pendidikan, Yogyakarta:
Ar-ruzz.
Sadulloh, Uyoh, 2009, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:  Alfabeta.
As Said, Muhammad, 2009, Filsafat Pendidikan  Islam, Barabai: STAI Al- Washliyah
Barabai.
Indar, M. Djumberansyah,1994, Filsafat pendidikan, Surabaya: Karya Abditama.
Knight, George,2007, Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan
Mahmud Arif, Yogyakarta:Gama Media.
http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran rekonstrusionisme .html
http://filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme1.html
http:// filsafat-rekonstruksionisme.html

[1] http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran rekonstrusionisme .html
[2] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung , Alfabeta, 2009)
[3] http://filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme1.html
[4] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz media, 2010) hal. 118-
119
[5] Drs. Muhammad As Said, M. Pd. Filsafat Pendidikan  Islam ( Barabai ; STAI Al-
Washliyah Barabai,2009) hal. 93
[6] Drs. H. M . Alwi Kaderi, Filsafat Pendidikan, ( Banjarmasin, 2011 ) hal. 125
[7] M. Djumberansyah Indar. Filsafat pendidikan. (Surabaya, Abditama, 1994). Hal 139
[8] http:// filsafat-rekonstruksionisme.html
[9] George Knight. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud
Arif. (Yogyakarta, Gama Media, 2007). Hal 185-190
[10] Prof. Dr. H. Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Filsafat Dan Pendidikan  (Yogyakarta, Ar-
ruzz Media, 2010) hal 119
[11] Hadi Syamsul, Rukiyah, 2009, Filsafat Pendidikan rekonstruksionalisme, ( online )
( Http/ Syamsul Hadi. Blogsport. Com.) diakses  4 juni 2012.

Anda mungkin juga menyukai