FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2023 LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
a. Filsafat Pendidikan Idealisme
Filsafat pendidikan idealisme adalah pandangan tentang pendidikan yang berakar pada filsafat idealisme. Idealisme adalah pandangan filsafat yang menekankan bahwa realitas yang sebenarnya terletak pada ide, pikiran, atau kesadaran, dan bahwa ide-ide ini memiliki eksistensi yang lebih penting daripada materi fisik. Dalam konteks pendidikan, idealisme mengemukakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk mengembangkan dan mendorong potensi mental, moral, dan spiritual individu. Pendidikan dipandang sebagai suatu proses untuk memperluas pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran akan ide-ide yang universal dan kebenaran yang abadi. Beberapa tokoh dalam sejarah filsafat yang berkontribusi pada pemikiran idealisme dalam pendidikan antara lain: Plato: Plato merupakan filsuf Yunani kuno yang menyatakan bahwa pendidikan harus mengarah pada pengembangan karakter moral, intelektual, dan spiritual. Menurutnya, pendidikan ideal mempersiapkan individu untuk mencapai kebenaran mutlak dan menyadari keadilan dalam masyarakat. Immanuel Kant: Kant berpendapat bahwa pendidikan ideal harus mendorong perkembangan akal budi (reason) dan moralitas. Dia menekankan pentingnya pendidikan untuk menghasilkan individu yang otonom dan memiliki kemampuan untuk berpikir secara bebas. Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Hegel menyatakan bahwa pendidikan harus mengarahkan individu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang realitas absolut atau apa yang disebutnya sebagai "Geist" (roh). Baginya, pendidikan adalah proses di mana individu memahami dan mengembangkan diri mereka sendiri dalam konteks sejarah dan keberadaan sosial. Pendidikan idealisme menekankan nilai-nilai intelektual, moral, dan spiritual dalam membentuk individu yang lebih baik secara keseluruhan. Hal ini berbeda dengan pandangan-pandangan lain yang mungkin lebih menekankan pada aspek praktis, teknis, atau material dalam pendidikan. b. Filsafat Pendidikan Realisme Pada hakikatnya, lahirnya realisme sebagai aliran filsafat sebagai sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu pihak dan empirisme John Lock di pihak lain. Realisme kadang-kadang disebut sebagai neorasionalisme. “John Lock memandang bahwa tidak ada kebenaran dari metafisik dan universal”. Dia percaya bahwa sesuatu bisa dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman indrawi, pada sifat induksi John Locke mengingkari adanya kebenaran akal. Realisme adalah satu dari aliran yang ada di klasik, yang selalu didasarkan pada seorang nama besar yaitu Aristoteles, ia memandang dunia ini dari segi materi. Semua hal yang berada di hadapan kita itu ialah sesuatu yang nyata tidak dapat terpisah dari alam pikiran kita, tetapi akan menimbulkan pemikiran melalui upaya yang selektif mengenai setiap pengalaman kemudian melalui pemanfaatan kegunaan pikiran. Sehingga, realitas berada pada wujud alamiah, sehingga bisa dikatakan segala sesuatu berada pada wujud alamiah, kemudian bisa di katakan semua hal dapat berpindah dari alam. Pandangan mengenai kehidupan, realisme berpendapat jika kehidupan fisik, mental, moral dan spiritual biasanya dapat ditandai atau terlihat di alam. Dengan demikian itu terlihat bahwa realisme sebenarnya akan cenderung mengatakan sesuatu adalah sesuatu dalam dirinya sendiri daripada sesuatu yang seharusnya. Maka dari itu di kembangkannya sumber daya manusia ini, realisme tersebut berangkat dari bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Kata realisme, sesuatu bisa dikatakan hebat ketika itu nyata kemudian ada dengan cara substantif. Suatu teori bisa dikatakan benar jika terdapat kesesuaian antara harapan, bisa diamati kemudian substantif. Sekolah percaya. Jika ada keterkaitan antara sifat dalam dunia. Objek yang akan diketahui ialah ada dalam dirinya, bukan hasil dari persepsi kemudian bukan pula hasil pengolahan akal dari manusia. Dunia ini ada sebelum pikiran menyadarinya kemudian dunia ada ketika pikiran tidak lagi menyadari. Sehingga, kata realisme, ada ataupun tidaknya kesadaran dalam pikiran manusia, alam akan tetap nyata kemudian nyata pula di dalam hukum. Bila realisme dapat berkaitan dengan pembelajaran sebagai suatu pencarian ilmu pengetahuan pada realisme bisa ditekankan kepada pendalaman masalah-masalah empiris pada manusia yang sifatnya parsial kasuistis. Akan tetapi tidak juga memungkiri potensi pragmatis pada manusia, tapi memandang pada pragmatis di sini hanyalah bentuk instrumen guna kecintaan terhadap alam, kendati demikian faktor objektif pada manusia akan mengetahui kebenaran didalam bentuk kurang deduktif akan menjadi perhatian. Peningkatan didalam SDM akan memfokuskan pada peningkatan dalam pendekatan ilmiah bersifat induktif. Aliran realisme mengungkapkan objek pada pengetahuan yang diketahui nyata ternyata ada didalam diri sendiri. Kemudian objek ini tidak tergantung pada pengetahuan, persepsi, atau pemikiran. Pemikiran dan di dunia luar terintegrasi, tetapi interaksi ini tidak akan berpengaruh pada sifat dunia. Karena dunia ini ada sebelum pikiran menyadari kemudian semuanya terlihat nyata setelah pikiran terhenti menyadarinya Aliran realisme adalah salah satu didalam aliran filsafat yang sistematis pemikirannya selalu berbeda dengan sistematis pemikiran yang ada dalam idealisme seperti yang sugah sebelumnya. Realisme merupakan aliran filosofis aliran ini percaya bahwa objek indera kita itu adalah nyata dan benar-benar ada. Segala sesuatu ada, dan keberadaannya tidak tergantung pada pengetahuan serta persepsi pada pemikiran yang ada dalam diri manusia. Aliran realisme percaya bahwa adanya alam semesta terjadi secara independen dari pemikiran (objektif). Hingga pada abad ke-17, aliran realisme itu telah diterima oleh masyarakat. Filsuf realis menafsirkan bahwa dunia sebagaimana keadaanya, tidak seperti yang dipikirkan maupun diinginkan. Para filosof menekankan bahwa realisme ialah ada pada dunia luar yang telah berdiri sendiri. Seperti pada aliran yang ada dalam filsafat lain, sistem pemikiran/gagasan/maupun teori pada filsafat umum para filosof realisme dapat menjadi implikasi pada sistem pemikiran/gagasan/teori oleh mereka mengenai pendidikan. Hal inilah yang dapat kita kaji didalam uraian berikut ini. Pertama, harus dinyatakan aliran realisme adalah aliran filsafat yang sangat luas kemudian beragam. Dari salah satu sisi, realisme mencakup materialisme, dan di sisi yang lain, realismepun dapat mencakup pandangan yang lebih dekat dengan idealisme objektif. Realisme adalah aliran dari filsafat yang mempunyai berbagai wujud.
c. Filsafat Pendidikan Fragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika yang terkenal dalam kurun satu abad terakhir. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mencerminkan dengan kuat sifat-sifat kehidupan di Amerika. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu yang dipandang memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu, kebenaran sifatnya menjadi relatif dan tidak mutlak. Sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka, konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua. Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Yakni, menengahi pertikaian antara idealisme (spekulatif) dan empirisme (kritis) serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat (George R. Knight, 1982). Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal. Pragmatisme sebagai aliran filsafat dikembangkan pertama kali di Amerika. Filsuf pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan pemikiran pragmatisme adalah Charles S. Peirce yang menekankan tentang aktifitas dan tujuan manusia dalam memperoleh pengertian dan pengetahuan. Pragmatisme Peirce ini kemudian dikenal dengan eksperimentalisme. Salah satu sumbangsih penting pemikiran Peirce terhadap filsafat adalah teori tentang arti. Teori arti menurut pendapat Peirce, berkaitan dengan teknik untuk menjelaskan pikiran, dengan cara menempatkan pikiran dalam ujian eksperimental dan mengamati hasilnya (Mustansyir, 2013:61). Selanjutnya, filsafat ini dikembangkan oleh William James yang dikenal dengan filsafat pragmatisme praktikalisme (James,. W., 1914:26, Perry, R.B., 1911). Selain itu, ada juga nama tokoh George Herbert Mead, yang nanti teorinya dinamakan dengan Interaksionisme Simbolik. (Soeprapto, 2002; Albertine Minderop, 2005: 95) Pemikir Amerika lainnya yang sangat lekat dengan filsafat pendidikan pragmatisme adalah John Dewey. Dewey memiliki pandangan yang kemudian disebut instrumentalisme. Pengalaman (experience) merupakan kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. (Dewey. 2004). Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai Pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. (Sadulloh, 2009:123) Dalam kajian ini fokus pada pada sosok John Dewey (1859 – 1952) sebagai salah satu aktor penting filsafat pendidikan pragmatisme yang nantinya mempengaruhi filsafat pendidikan progresivisme dikemudian hari (Muis Sad Iman 2004: 62). Aliran progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme John Dewey yang menyatakan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. (George R. Knight, 1982;66) Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekakan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". (Simpson & Jackson, 2003 23-27). Progresivisme mempersiapkan anak masa kini disbanding masa depan yang belum jelas. Bagi Dewey pendidikan adalah proses dari kehidupam dan bukan persiapan masa yang akan datang. (Glassman, M. 2001)
d. Filsafat Pendidikan Nasionalis (Pancasila)
Filsafat berasal dari kata Philosophy yang secara epistimologis berasal dari philos atau phileinyang yang artinya cinta dan shopia yang berarti hikmat atau kebijaksanaan. Secara epistimologis bermakna cinta kepada hikmat atau kebijaksanaan (wisdom) (Sutrisno, 2006). Pancasila juga merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan acuan intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha-usaha keilmuan dapat terbangun ke dalam sistem filsafat yang kredibel. Menurut Abdulgani (dalam Ruyadi, 2003), Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan Notonagoro (dalam Ruyadi, 2003) menyatakan bahwa Filsafat Pancasila memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari Pancasila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri yang membedakannya dengan sistem filsafat lain. Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Notonagoro (dalam Ganeswara, 2007) menyatakan bahwa hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya, hakikat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Secara lebih lanjut, hal ini bisa dijelaskan bahwa yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial adalah manusia. Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut Titus (dalam Kaelan, 2007) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistemology, yaitu: a. tentang sumber pengetahuan manusia; b. tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; dan c. tentang watak pengetahuan manusia. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama oleh “The Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis-nya Pancasila. Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkis piramidal. Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan 1. Prinsip-Prinsip Filsafat Pancasila Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri. b. Kausa Formalis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal). c. Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka. d. Kausa Finalis, maksudnya berhubungan dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi: a. ke-Tuhanan, yaitu sebagai kausa prima; b. kemanusiaan, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial c. kesatuan, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri; d. kerakyatan, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong; dan d. keadilan, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
e. Analisis Pelaksanaan (A,B, C, B) Di Sekolah (Dengan Menggunakan
BMB3) Kualitas tampilan kehidupan manusia diwarnai oleh dinamika perilaku dalam bentuk BMB3. Dengan demikian kualitas BMB3 itu sendiri akan secara langsung mewarnai kualitas tampilan kehidupan yang dimaksudkan. Dinamika BMB3 tersebut berlangsung dengan proses sebagai berikut (Prayitno, 2021) :
1. B-Berpikir (Luas, Cerdas, dan Berasas)
Yaitu mengaitkan suatu hal dengan hal lainnya dalam keadaan atau kondisi tertentu, sehingga diperoleh pemahaman, pemahaman tersebut dapat terarah pada pemecahan masalah atau solusi atau mencapai tujuan tertentu. Berpikir yang dikehendaki adalah yang berdasarkan asas kebenaran. Tanpa menggunakan asas kebenaran maka berpikir itu akan menghasilkan pemahaman yang salah, tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Kebenaran adalah kesesuaian antara makna suatu konsep atau fakta dengan rujukannya. 2. M – Merasa (Secara Laras dan Terkemas) Yaitu respon emosional pada diri individu terhadap perangsang yang diterima. Merasa dalam kondisi positif maupun negatif tampilan perilakunya mestinya laras dan terkemas, artinya warna perilaku yang ditampilkan kondisinya lurus, tidak menyimpang dari kebenaran, dan tampilan perilaku itu terkemas, artinya tersusun rapi sehingga enak dilihat 3. B – Bersikap (Dengan Mawas, Mawas Diri dan Antar Lintas) Yaitu kondisi yang terdahulu ada pada diri individu (predisposisi) terkait dengan keadaan atau perangsang tertentu yang mengandung arah untuk berbuat. Mawas artinya memperhatikan dengan teliti lengkap dan sebaik- baiknya kondisi yang ada.
Misalnya bersikap ingin menjumpai seseorang, maka harus
diperhatikan/dipertimbangkan apakah orang yang ditemui itu layak untuk ditemui dan bagaimana cara menemuinya dengan sebaik- baiknya. Mawas yang dimaksudkan itu juga bermakna mawas diri. Artinya kondisi diri sendiri juga harus diperhatikan atau dipertimbangkan. Dalam sikap ingin menemui seseorang itu harus diperhatikan diri sendiri, apakah menemui dengan cara-cara ataupun syarat apa saja untuk dapat/boleh menemuinya. 4. B – Bertindak (Berkualitas dan Tangkas) Yaitu apa yang dilakukan secara nyata oleh individu yang bersikap positif atau negatif terkait dengan keadaan atau perangsang tertentu yang mengenai dirinya. Berkualitas artinya hasil perbuatan itu positif sesuai dengan nilai, norma dan moral yang berlaku, serta hasilnya positif. Tangkas artinya mandiri, tidak malu-malu, lancar dengan cara-cara tepat dan tidak mencenderai siapapun. 5. B – Bertanggung Jawab (Sampai Tuntas) Yaitu melakukan sesuatu di atas kebenaran, apa yang dilakukan adalah benar, tujuan dan caranya adalah baik dan menguntungkan semua pihak, diri sendiri, dan orang lain. Tuntas artinya tidak setengah-setengah, sampai ke ketentuan yang paling tinggi. Perilaku dengan tanggung jawab yang tuntas, maknanya adalah bahwa perilaku itu dapat dibenarkan sampai ke tingkat kebeneran yang paling tinggi dengan rujukan firman Tuhan YME Kepustakaan
Glassman, M. (2001). “Dewey and Vygotsky: Society, experience, and inquiry
in educational practice”. Educational Researcher, Vol.30, No. 4, pp.3-14. https://doi.org/10.3102/0013189X030004003 (28 Oktober 2019).
Yoga, Putra (2019). “FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI
INDONESIA MENUJU BANGSA BERKARAKTER”. Jurnal Filsafat Indonesia. Vol. 2 No. 2.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita