Anda di halaman 1dari 12

TUGAS 5

LANDASAN ILMU PENDIDIKAN


Landasan Filosofis Pendidikan

Dosen

Dr. Yarmis Syukur, M.Pd., Kons

Dr. Dina Sukma, S.Psi, S.Pd. M.Pd

Oleh

Nama: Indra Geni


Nim :21151015

PASCA SARJARANA BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN

a. Filsafat Pendidikan Idealisme


Filsafat pendidikan idealisme adalah pandangan tentang pendidikan
yang berakar pada filsafat idealisme. Idealisme adalah pandangan filsafat
yang menekankan bahwa realitas yang sebenarnya terletak pada ide, pikiran,
atau kesadaran, dan bahwa ide-ide ini memiliki eksistensi yang lebih
penting daripada materi fisik.
Dalam konteks pendidikan, idealisme mengemukakan bahwa tujuan
utama dari pendidikan adalah untuk mengembangkan dan mendorong
potensi mental, moral, dan spiritual individu. Pendidikan dipandang sebagai
suatu proses untuk memperluas pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran
akan ide-ide yang universal dan kebenaran yang abadi.
Beberapa tokoh dalam sejarah filsafat yang berkontribusi pada
pemikiran idealisme dalam pendidikan antara lain:
Plato: Plato merupakan filsuf Yunani kuno yang menyatakan bahwa
pendidikan harus mengarah pada pengembangan karakter moral, intelektual,
dan spiritual. Menurutnya, pendidikan ideal mempersiapkan individu untuk
mencapai kebenaran mutlak dan menyadari keadilan dalam masyarakat.
Immanuel Kant: Kant berpendapat bahwa pendidikan ideal harus
mendorong perkembangan akal budi (reason) dan moralitas. Dia
menekankan pentingnya pendidikan untuk menghasilkan individu yang
otonom dan memiliki kemampuan untuk berpikir secara bebas.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Hegel menyatakan bahwa
pendidikan harus mengarahkan individu menuju pemahaman yang lebih
dalam tentang realitas absolut atau apa yang disebutnya sebagai "Geist"
(roh). Baginya, pendidikan adalah proses di mana individu memahami dan
mengembangkan diri mereka sendiri dalam konteks sejarah dan keberadaan
sosial.
Pendidikan idealisme menekankan nilai-nilai intelektual, moral, dan
spiritual dalam membentuk individu yang lebih baik secara keseluruhan.
Hal ini berbeda dengan pandangan-pandangan lain yang mungkin lebih
menekankan pada aspek praktis, teknis, atau material dalam pendidikan.
b. Filsafat Pendidikan Realisme
Pada hakikatnya, lahirnya realisme sebagai aliran filsafat sebagai
sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu pihak dan
empirisme John Lock di pihak lain. Realisme kadang-kadang disebut
sebagai neorasionalisme. “John Lock memandang bahwa tidak ada
kebenaran dari metafisik dan universal”. Dia percaya bahwa sesuatu bisa
dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman indrawi, pada sifat
induksi John Locke mengingkari adanya kebenaran akal. Realisme adalah
satu dari aliran yang ada di klasik, yang selalu didasarkan pada seorang
nama besar yaitu Aristoteles, ia memandang dunia ini dari segi materi.
Semua hal yang berada di hadapan kita itu ialah sesuatu yang nyata tidak
dapat terpisah dari alam pikiran kita, tetapi akan menimbulkan pemikiran
melalui upaya yang selektif mengenai setiap pengalaman kemudian melalui
pemanfaatan kegunaan pikiran. Sehingga, realitas berada pada wujud
alamiah, sehingga bisa dikatakan segala sesuatu berada pada wujud alamiah,
kemudian bisa di katakan semua hal dapat berpindah dari alam.
Pandangan mengenai kehidupan, realisme berpendapat jika
kehidupan fisik, mental, moral dan spiritual biasanya dapat ditandai atau
terlihat di alam. Dengan demikian itu terlihat bahwa realisme sebenarnya
akan cenderung mengatakan sesuatu adalah sesuatu dalam dirinya sendiri
daripada sesuatu yang seharusnya. Maka dari itu di kembangkannya sumber
daya manusia ini, realisme tersebut berangkat dari bagaimana cara manusia
mendapatkan pengetahuan. Kata realisme, sesuatu bisa dikatakan hebat
ketika itu nyata kemudian ada dengan cara substantif. Suatu teori bisa
dikatakan benar jika terdapat kesesuaian antara harapan, bisa diamati
kemudian substantif. Sekolah percaya. Jika ada keterkaitan antara sifat
dalam dunia. Objek yang akan diketahui ialah ada dalam dirinya, bukan
hasil dari persepsi kemudian bukan pula hasil pengolahan akal dari manusia.
Dunia ini ada sebelum pikiran menyadarinya kemudian dunia ada
ketika pikiran tidak lagi menyadari. Sehingga, kata realisme, ada ataupun
tidaknya kesadaran dalam pikiran manusia, alam akan tetap nyata kemudian
nyata pula di dalam hukum. Bila realisme dapat berkaitan dengan
pembelajaran sebagai suatu pencarian ilmu pengetahuan pada realisme bisa
ditekankan kepada pendalaman masalah-masalah empiris pada manusia
yang sifatnya parsial kasuistis. Akan tetapi tidak juga memungkiri potensi
pragmatis pada manusia, tapi memandang pada pragmatis di sini hanyalah
bentuk instrumen guna kecintaan terhadap alam, kendati demikian faktor
objektif pada manusia akan mengetahui kebenaran didalam bentuk kurang
deduktif akan menjadi perhatian. Peningkatan didalam SDM akan
memfokuskan pada peningkatan dalam pendekatan ilmiah bersifat induktif.
Aliran realisme mengungkapkan objek pada pengetahuan yang diketahui
nyata ternyata ada didalam diri sendiri. Kemudian objek ini tidak tergantung
pada pengetahuan, persepsi, atau pemikiran. Pemikiran dan di dunia luar
terintegrasi, tetapi interaksi ini tidak akan berpengaruh pada sifat dunia.
Karena dunia ini ada sebelum pikiran menyadari kemudian semuanya
terlihat nyata setelah pikiran terhenti menyadarinya
Aliran realisme adalah salah satu didalam aliran filsafat yang
sistematis pemikirannya selalu berbeda dengan sistematis pemikiran yang
ada dalam idealisme seperti yang sugah sebelumnya. Realisme merupakan
aliran filosofis aliran ini percaya bahwa objek indera kita itu adalah nyata
dan benar-benar ada. Segala sesuatu ada, dan keberadaannya tidak
tergantung pada pengetahuan serta persepsi pada pemikiran yang ada dalam
diri manusia. Aliran realisme percaya bahwa adanya alam semesta terjadi
secara independen dari pemikiran (objektif). Hingga pada abad ke-17, aliran
realisme itu telah diterima oleh masyarakat. Filsuf realis menafsirkan bahwa
dunia sebagaimana keadaanya, tidak seperti yang dipikirkan maupun
diinginkan. Para filosof menekankan bahwa realisme ialah ada pada dunia
luar yang telah berdiri sendiri. Seperti pada aliran yang ada dalam filsafat
lain, sistem pemikiran/gagasan/maupun teori pada filsafat umum para
filosof realisme dapat menjadi implikasi pada sistem
pemikiran/gagasan/teori oleh mereka mengenai pendidikan. Hal inilah yang
dapat kita kaji didalam uraian berikut ini. Pertama, harus dinyatakan aliran
realisme adalah aliran filsafat yang sangat luas kemudian beragam. Dari
salah satu sisi, realisme mencakup materialisme, dan di sisi yang lain,
realismepun dapat mencakup pandangan yang lebih dekat dengan idealisme
objektif. Realisme adalah aliran dari filsafat yang mempunyai berbagai
wujud.

c. Filsafat Pendidikan Fragmatisme


Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika yang
terkenal dalam kurun satu abad terakhir. Pragmatisme merupakan aliran
filsafat yang mencerminkan dengan kuat sifat-sifat kehidupan di Amerika.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu yang dipandang memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu, kebenaran sifatnya menjadi relatif dan tidak mutlak. Sesuatu
konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi
masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka,
konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua. Pragmatisme dalam
perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Yakni, menengahi pertikaian antara idealisme
(spekulatif) dan empirisme (kritis) serta berupaya melakukan sintesis antara
keduanya.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada
hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, (2) apa yang dipandang
benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan (3) manusia bertanggung
jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat (George R. Knight, 1982). Kendati
demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1)
menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan
logika formal. Pragmatisme sebagai aliran filsafat dikembangkan pertama kali
di Amerika. Filsuf pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan
pemikiran pragmatisme adalah Charles S. Peirce yang menekankan tentang
aktifitas dan tujuan manusia dalam memperoleh pengertian dan pengetahuan.
Pragmatisme Peirce ini kemudian dikenal dengan eksperimentalisme. Salah
satu sumbangsih penting pemikiran Peirce terhadap filsafat adalah teori
tentang arti. Teori arti menurut pendapat Peirce, berkaitan dengan teknik
untuk menjelaskan pikiran, dengan cara menempatkan pikiran dalam ujian
eksperimental dan mengamati hasilnya (Mustansyir, 2013:61).
Selanjutnya, filsafat ini dikembangkan oleh William James yang
dikenal dengan filsafat pragmatisme praktikalisme (James,. W., 1914:26,
Perry, R.B., 1911). Selain itu, ada juga nama tokoh George Herbert Mead,
yang nanti teorinya dinamakan dengan Interaksionisme Simbolik. (Soeprapto,
2002; Albertine Minderop, 2005: 95) Pemikir Amerika lainnya yang sangat
lekat dengan filsafat pendidikan pragmatisme adalah John Dewey. Dewey
memiliki pandangan yang kemudian disebut instrumentalisme. Pengalaman
(experience) merupakan kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. (Dewey.
2004). Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta
mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan
dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai Pendekatan terhadap nilai
adalah cara empiris yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman manusia,
khususnya kehidupan sehari-hari. (Sadulloh, 2009:123) Dalam kajian ini
fokus pada pada sosok John Dewey (1859 – 1952) sebagai salah satu aktor
penting filsafat pendidikan pragmatisme yang nantinya mempengaruhi filsafat
pendidikan progresivisme dikemudian hari (Muis Sad Iman 2004: 62).
Aliran progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme John
Dewey yang menyatakan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. (George R. Knight, 1982;66) Teori Dewey tentang sekolah
adalah "Progressivism" yang lebih menekakan pada anak didik dan minatnya
daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". (Simpson & Jackson, 2003 23-27).
Progresivisme mempersiapkan anak masa kini disbanding masa depan yang
belum jelas. Bagi Dewey pendidikan adalah proses dari kehidupam dan bukan
persiapan masa yang akan datang. (Glassman, M. 2001)

d. Filsafat Pendidikan Nasionalis (Pancasila)


Filsafat berasal dari kata Philosophy yang secara epistimologis
berasal dari philos atau phileinyang yang artinya cinta dan shopia yang
berarti hikmat atau kebijaksanaan. Secara epistimologis bermakna cinta
kepada hikmat atau kebijaksanaan (wisdom) (Sutrisno, 2006). Pancasila
juga merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan acuan
intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha-usaha
keilmuan dapat terbangun ke dalam sistem filsafat yang kredibel. Menurut
Abdulgani (dalam Ruyadi, 2003), Pancasila merupakan filsafat negara yang
lahir sebagai collective ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa
Indonesia. Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang
kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan
Notonagoro (dalam Ruyadi, 2003) menyatakan bahwa Filsafat Pancasila
memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari
Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis,
dasar epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri yang membedakannya
dengan sistem filsafat lain. Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai
filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari
sila-sila Pancasila. Notonagoro (dalam Ganeswara, 2007) menyatakan
bahwa hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia
merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya, hakikat
manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup, baik sebagai
makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Secara lebih lanjut, hal
ini bisa dijelaskan bahwa yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial adalah manusia.
Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Menurut Titus (dalam Kaelan, 2007) terdapat tiga persoalan
mendasar dalam epistemology, yaitu:
a. tentang sumber pengetahuan manusia;
b. tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; dan
c. tentang watak pengetahuan manusia. Tentang sumber pengetahuan
Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama
oleh “The Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan
Kausa Materialis-nya Pancasila. Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik
dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya.
Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkis piramidal.
Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga
memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan
1. Prinsip-Prinsip Filsafat
Pancasila Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan
sebagai berikut. a. Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan
dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial
budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri. b. Kausa Formalis,
maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya, Pancasila yang
ada dalam pembukaan UUD ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran
formal). c. Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam
menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia
merdeka. d. Kausa Finalis, maksudnya berhubungan dengan tujuannya,
tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi:
a. ke-Tuhanan, yaitu sebagai kausa prima;
b. kemanusiaan, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
c. kesatuan, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri; d. kerakyatan,
yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong;
dan
d. keadilan, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang
lain yang menjadi haknya.

e. Analisis Pelaksanaan (A,B, C, B) Di Sekolah (Dengan Menggunakan


BMB3)
Kualitas tampilan kehidupan manusia diwarnai oleh dinamika
perilaku dalam bentuk BMB3. Dengan demikian kualitas BMB3 itu
sendiri akan secara langsung mewarnai kualitas tampilan kehidupan
yang dimaksudkan. Dinamika BMB3 tersebut berlangsung dengan
proses sebagai berikut (Prayitno, 2021) :

1. B-Berpikir (Luas, Cerdas, dan Berasas)


Yaitu mengaitkan suatu hal dengan hal lainnya dalam keadaan
atau kondisi tertentu, sehingga diperoleh pemahaman, pemahaman
tersebut dapat terarah pada pemecahan masalah atau solusi atau
mencapai tujuan tertentu. Berpikir yang dikehendaki adalah yang
berdasarkan asas kebenaran. Tanpa menggunakan asas kebenaran
maka berpikir itu akan menghasilkan pemahaman yang salah, tidak
sesuai dengan yang dikehendaki. Kebenaran adalah kesesuaian
antara makna suatu konsep atau fakta dengan rujukannya.
2. M – Merasa (Secara Laras dan Terkemas)
Yaitu respon emosional pada diri individu terhadap
perangsang yang diterima. Merasa dalam kondisi positif maupun
negatif tampilan perilakunya mestinya laras dan terkemas, artinya
warna perilaku yang ditampilkan kondisinya lurus, tidak
menyimpang dari kebenaran, dan tampilan perilaku itu terkemas,
artinya tersusun rapi sehingga enak dilihat
3. B – Bersikap (Dengan Mawas, Mawas Diri dan Antar Lintas)
Yaitu kondisi yang terdahulu ada pada diri individu
(predisposisi) terkait dengan keadaan atau perangsang tertentu yang
mengandung arah untuk berbuat. Mawas artinya memperhatikan
dengan teliti lengkap dan sebaik- baiknya kondisi yang ada.

Misalnya bersikap ingin menjumpai seseorang, maka harus


diperhatikan/dipertimbangkan apakah orang yang ditemui itu layak
untuk ditemui dan bagaimana cara menemuinya dengan sebaik-
baiknya. Mawas yang dimaksudkan itu juga bermakna mawas diri.
Artinya kondisi diri sendiri juga harus diperhatikan atau
dipertimbangkan. Dalam sikap ingin menemui seseorang itu harus
diperhatikan diri sendiri, apakah menemui dengan cara-cara
ataupun syarat apa saja untuk dapat/boleh menemuinya.
4. B – Bertindak (Berkualitas dan Tangkas)
Yaitu apa yang dilakukan secara nyata oleh individu yang
bersikap positif atau negatif terkait dengan keadaan atau perangsang
tertentu yang mengenai dirinya. Berkualitas artinya hasil perbuatan
itu positif sesuai dengan nilai, norma dan moral yang berlaku, serta
hasilnya positif. Tangkas artinya mandiri, tidak malu-malu, lancar
dengan cara-cara tepat dan tidak mencenderai siapapun.
5. B – Bertanggung Jawab (Sampai Tuntas)
Yaitu melakukan sesuatu di atas kebenaran, apa yang
dilakukan adalah benar, tujuan dan caranya adalah baik dan
menguntungkan semua pihak, diri sendiri, dan orang lain. Tuntas
artinya tidak setengah-setengah, sampai ke ketentuan yang paling
tinggi. Perilaku dengan tanggung jawab yang tuntas, maknanya
adalah bahwa perilaku itu dapat dibenarkan sampai ke tingkat
kebeneran yang paling tinggi dengan rujukan firman Tuhan YME
Kepustakaan

Glassman, M. (2001). “Dewey and Vygotsky: Society, experience, and inquiry


in educational practice”. Educational Researcher, Vol.30, No. 4, pp.3-14.
https://doi.org/10.3102/0013189X030004003 (28 Oktober 2019).

Yoga, Putra (2019). “FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI


INDONESIA MENUJU BANGSA BERKARAKTER”. Jurnal Filsafat Indonesia.
Vol. 2 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai