Anda di halaman 1dari 15

BAB III : ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDDIKAN

A. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan


Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, yang berarti bahwa filsafat pendidikan pada
dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil kajian dari filsafat, yaitu
berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya yang berkaitan
dengan praktek pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat terdapat berbagai aliran; schubungan dengan itu
maka dalam filsafat pendidikanpun terdapat berbagai aliran sesuai dengan aliran yang ada dalam
filsafat. Tinjauan kritis dapat berujud sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat
pendidikan dengan filsafat Pancasila. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengembangkan secara konvergensi dari pada filsafat pendidikan berdasarkan
Pancasila. Berikut ini akan diuraikan berbagai aliran filsafat pendidikan yang didasarkan pada empat
aliran pokok tentang realita dan fenomena yakni; idealisme, realisme, materialisme dan pragmatisme,
selain itu dijelaskan tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala dan eksistensi manusia dalam
pengembangan hidup dan kehidupannya dalam alam dan lingkungannya yang tercakup dalam
eksistensialisme, progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.

1.Filsafat Pendidikan Idealisme

Idealisme berpendirian, bahwa kenyataan tersusun atas gagasan gagasan (ide-ide) atau spirit.
Segala benda yang nampak berhubungan dengan kejiwaan dan segala aktivitas adalah aktivitas
kejiwaan. Dunia ini dipandang bukan hanya sebagai mekanisme, tetapi dipandang sebagai sistim, dunia
adalah keseluruhan (totalitas). Unsur material tetap ada, tetapi hanya merupakan bagian yang saling
bersangkut paut dengan keseluruhan, dan segala penampakan secara materi hanya manifestasi dari
pada aktivitas jiwa. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam susunan keseluruhan. Segala fakta
empiris diakui adanya dan hal itu mengandung konsepsi yang serba mungkin. Tetapi segala unsur materi
dan fakta itu bukanlah sebagai realita yang sebenarnya. Karena itu dunia ini bersifat anthropologistis
dan pada dasarnya selalu kebudayaan, bukan alam (nature). Kebudayaan selalu berkembang dan
perkembangan itu adalah ide. Dimana ide itu bertujuan untuk mencari kenyataan tertinggi atau
kenyataan terakhir, yaitu kenyataan yang abadi.

Jiwa atau rohani yang disebut mind adalah hakekat manusia. Jiwa atau rohani manusia
merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, dan sekaligus sebagai pendorong dan
penggerak semua aktivitas manusia; badan atau jasmani tanpa jiwa atau rohani tidak ada apa-apanya

Seorang pengikut idealisme menurut Kattsoff (1996) akan menjawab sebagai berikut: pertama,
jika kita meneliti: (1) hakekat terdalam pengalaman seseorang: (2) ketertiban dan susunan alam
semesta; dan (3) adanya nilai di alam semesta, maka kita akan sampai pada pendirian penganut
idealisme berdasarkan atas tuntutan akan keruntutan dan akal kita. Pengalaman dan pengetahuan
tergantung pada akal yang mengetahuinya. Apapun yang diketahui pada akhirnya berupa ide, artinya
sesuatu yang berhakekat akal. Karena itu, maka sama sekali tidak mungkin ada pengetahuan, kecuali jika
dunia yang nyata atau obyek pengetahuan berhakekat akal juga. Kedua, dimana mana di alam semesta
ini kita menjumpai watak yang logis, hubungan sebab dan akibat, ketertiban, watak sistematik, ketaatan
pada hukum. dan sebagainya. Idealisme tidak menolok keberadaan dunia nyata yang ada di sekitar kita
seperti benda-benda yang ada di alam ini, hanya mereka memandang kenyataan seperti itu adalah
merupakan manifestasi dari realitas yang hanya memenuhi kebutuhan fisik.

Aliran idealisme kenyataannya tidak terpisahkan dengan alam dan lingkungan sehingga
melahirkan dua macam realita; pertama, yang nampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk
hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang hidup dan ada yang
mati, demikian seterusnya; kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna
(idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian
kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang nampak karena idea merupakan wujud
yang hakiki

Prinsipnya aliran idealisme mendasari semua yang ada dan yang nyata di alam ini hanya idea,
dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang
nampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir
dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dengan dunia idea
dengan Tuhan, arche sifatnya kekal dan sedikitpun tidak mengalami.

Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga
dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi kehidupan manusia, roh itu pada dasarnya dianggap suatu
hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut dengan penjelmaan dari roh atau sukma.
Aliran idealisme berusaha. menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang
baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang
mutlak dan murni pada kehidupan manusia, demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu
lainnya oleh karena itu adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban
baru (Bakry, 1992: 56). Maka apabila kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang aliran
idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan
untuk mewujudkan cita-cita dimana manusia berpikir kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan
dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam yang disebut dengan idea.

Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang
fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran (Ali, 1991), sehingga rohani dan sukma
merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran
idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah
idea, yang digali dari bentuk-bentuk pemikiran murni yang keadaannya sangat sederhana, yaitu
pengamatan di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa dibalik nyata dan usaha-usaha yang
dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya walaupun katakanlah idealisme dipandang
lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal ikhwal yang
sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau dirubah oleh materi. Sebagaimana Phidom
mengetengahkan dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan
disini adalah jiwa atau sukma, dengan demikian duniapun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia
tidak nyata, dunia kelihatan dan dunia tidak kelihatan, dan bagian ini menjadi sasaran studi bagi aliran
filsafat idealisme (Van der Viej, 1988).

Plato dalam mencari jalan pada alam nyata seperti yang ada dihadapan manusia, sedangkan
pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui ada apa dibalik alam nyata. Memang
kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato
ini, disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat itu sendiri. Oleh
karena itu dapat kita katakan bahwa Plato bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Plato
memandang bahwa jiwa manusia adalah roh yang berasal dari ide eksternal dan sempurna. Immanuel
Kant memandang bahwa manusia adalah bebas dan ditentukan, bebas sepanjang sebagai jiwa atau roh,
terikat berarti manusia juga merupakan makhluk fisik yang tunduk kepada hukum alam. Kaum idealis
memandang bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual yang mewarisi pembawaan spiritual
sebagai potensinya (Uyoh. 2003).

Menurut paham idealisme, guru harus mebimbing atau mendiskusikan dengan peserta didik
bukan prinsip-prinsip eksternal, melainkan sebagi kemungkinan-kemungkinan (bathin) yang perlu
dikembangkan, juga harus diwujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Socrates, Plato dan Kant
berpendapat bahwa pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri
peserta didik, bukan dimasukkan atau dijejalkan ke dalam diri peserta didik (Uyoh. 2003). Pendidikan
bukan menjejalkan pengetahuan dari luar ke dalam diri seseorang, melainkan memberi kesempatan
untuk membangun atau mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman dalam diri seseorang. Bangunlah
atau ciptakanlah kesempatan atau kondisi agar seseorang dapat membangun pengetahuan dan
pengalamannya sendiri.

2.Filsafat Pendidikan Realisme

Realisme dalam berbagai bentuk menurut Kattsoff (1996:126) menarik garis pemisah yang tajam
antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung ke arah dualisme atau
monisme materialistik. Seorang pengikut materialisme mengatakan bahwa jiwa dan materi sepenuhnya
sama. Jika demikian halnya, sudah tentu dapat juga sama-sama dikatakan "jiwa adalah materi seperti
halnya mengatakan "materi adalah jiwa". Tetapi apakah orang berusaha melacak roh sampai kepada
materi ataukah materi sampai kepada roh, tergantung pada manakah yang dianggap utama. Jika orang
mengatakan "jiwa adalah materi" dan karena materi tidak mungkin mengandung maksud, maka juga
jiwa tidak mungkin mengandung maksud. Dilain pihak jika materi adalah jiwa, maka alam semesta dapat
dipahamkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud atau dapat dikatakan bersifat "teleologis".

Sistem kefilsafatan realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang
adanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, dan yang hakekatnya tidak terpengaruh oleh
seseorang. Kebanyakan orang akan tegas-tegas mengadakan pemilahan yang tajam antara tindakan akal
yang menyadari suatu objek dengan objeknya itu sendiri. Defenisi kebenaran menurut penganut
realisme adalah ukuran kebenaran suatu gagasan mengenai barang sesuatu ialah menentukan apakah
gagasan itu benar-benar memberikan pengetahuan kepada kita mengenai barang sesuatu itu sendiri
ataukah tidak dengan mengadakan pembedaan antara apakah sesuatu itu yang senyatanya dengan
bagaimanakah tampaknya barang sesuatu itu. Kita akan mengetahui apakah barang itu baik secara
langsung maupun dengan jalan menyimpulkannya dari yang menampak

Salah seorang tokoh atau penganut realisme yang sangat terkenal adalah Johan Amos Comenius
merupakan pemikir pendidikan. Beliau mengemukakan bahwa manusia selalu berusaha untuk mencapai
tujuan hidup berupa; pertama keselamatan dan kebahagian hidup yang abadi dan kedua adalah
kehidupan dunia yang sejahtera dan damai. Tujuan yang pertama merupakan tujuan yang menyatu
dalam hidup yang merupakan kualitas hidup itu sendiri yang menuju kekesempurnaan, sedangkan
tujuan yang kedua adalah kehidupan yang sejahtera dan damai yang menuntun hidup kekehidupan
keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Comenius dengan bukunya "Didactica Magna"
(Didaktik Besar) dan "Orbis Sensualtum Pictus" (Dunia Pancaindera dengan Gambar Gambar) merupakan
peletak dasar didaktik modern. Beliau mengemukakan metode berpikir yang diawali dengan fakta-fakta
yang merupakan metode berpikir ilmiah, yaitu metode induktif. Oleh karena itu dalam pembelajaran
sangat ditekankan dengan penggunaan metode peragaan atau metode peragaan merupakan suatu
keharusan dalam proses pembelajaran, sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak Keperagaan dalam
Pembelajaran.

Beberapa prinsip belajar yang dikemukakan oleh Comenius (Sadulloh, 2003) adalah;

a.Pelajaran harus didasarkan pada minat peserta didik. Keberhasilan dalam belajar tidak karena
dipaksakan dari luar, melainkan merupakan suatu hasil perkembangan pribadinya.

b. Setiap mata pelajaran harus memiliki out-line; garis besar proses belajar mengajar, silabus dan
rencana pembelajaran, dan sudah ada pada awal pembelajaran.

c. Pada pertemuan awal atau permulaan pembelajaran, guru harus menyampaikan informasi tentang
garis-garis besar pembelajaran yang akan dipalajari pesera didik. Kelas harus diperkaya dengan gambar-
gambar, peta, affirmasi,

d .foto, hasil karya peserta didik dan sejenisnya yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar
yang diberikan/dilaksanakan.

e. Pembelajaran harus berlangsung secara sikuens atau berkesinambungan dengan pelajaran


sebelumnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh dan mengikuti perkembangan pengetahuan
secara terus menerus.

f. Setiap aktivitas yang dilakukan guru bersama peserta didik hendaknya membantu untuk
pengembangan hakikat manusia, dan kepada peserta didik ditunjukkan kepentingan yang praktis dari
setiap sistim nilai.
g. Pelajaran dalam subjek yang sama diperuntukkan bagi semua peserta didik.

3.Filsafat Pendidikan Materialisme

Aliran materialisme adalah suatu aliran filsafat yang berisikan tentang ajaran kebendaan, di
mana benda merupakan sumber segalanya, sedangkan yang dikatakan materialistis mementingkan
kebendaan menurut materialisme (Poerwadarminta, 1984: 638) Aliran ini, berpikir dengan sederhana,
mereka berpikir realitas sebagaimana adanya, kenyataannya aliran ini memberikan suatu pertanyaan
bahwa segala sesuatu yang ada di semua alam ini ialah yang dapat dilihat atau diobservasi, baik
wujudnya maupun gerakan gerakannya serta peristiwa-peristiwanya. Maka berdasarkan persepsi itu,
menurut Jalaluddin dan Idi (2002:53) maka realita semesta ini pastilah sebagaimana apa yang kita lihat
yang nampak dihadapan kita. Yaitu sebagaimana dikemukakan Noor Syam, (1986: 162-163) semuanya
adalah materi, serba zat, serba benda, manusia merupakan makhluk ilmiah yang tidak punya perbedaan
dengan alam semesta demikian juga wujudnya yang merupakan makrokosmos, dan tingkah laku
manusia pada prosesnya sejalan dengan sifat dan gerakan peristiwa alamiah, yang terkait dengan benda
dan menjadi bagian dari hukum alam, karenanya gerakannya ialah suatu bagian daripada hukum alam
semesta dan merupakan suatu pola mekanisme atau perjalanan menurut aturan yang mengikat dan
terkait, karena pada kenyataannya manusia tunduk dan terlibat dengan peristiwa hukum alam karena
adanya hukum sebab akibat (kausalitas), hukum yang obycktif. dimana manusia bergerak oleh karena
menerima akibat sesuatu, olehnya reaksi yang ditimbulkan manusia, adanya benda yang menimbulkan
stimulus response.

Pada fokusnya aliran materialisme sebagaimana ditegaskan Jalaluddin dan Idi (2002:53)
mengutamakan benda dan segala berawal dari benda demikian juga yang nyata hanya dunia materi.
Segala kenyataan yang ada itu berdasarkan zat atau unsur dan jiwa, roh, sukma (idea: idealisme) oleh
aliran materialisme dianggap pula sejenis materi, tetapi mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan
dengan sifat materi karena jiwa, roh, sukma itu mempunyai naluri untuk bergerak dengan sendiri,
sedangkan mempunyai gerakan yang terbatas sehingga tidak bebas dan kaku.

Karl Marx, memberikan suatu pandangan bahwa kenyataan yang ada adalah dunia materi, dan
di dalam suatu susunan kehidupan yaitu masyarakat, pada muatannya terdapat berupa kesadaran
kesadaran yang menumbuhkan ide atau teori serta pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran
yang nyata, sebabnya faktor yang mempunyai peran untuk melahirkannya, yaitu adanya pendorong atau
daya yang dikatakan materi atau benda, dan pada prinsipnya kecenderungan manusia untuk berbuat
dan bertindak yang disebabkan oleh faktor materi yang ada disekitarnya (Hadijono, 1986: 121), dalam
hal ini apa yang dibicarakan oleh masyarakat, mengenai rapat ekonomi apabila dihubungkan dengan
filsafat manusia, ditentukan oleh ekonomi, benda atau materi, demikian juga apa yang diciptakan oleh
manusia yang berhubungan dengan seni-budaya, agama, manusia yang ada di dalam suatu kehidupan
berbentuk dan mengalami perubahan dari sederhana meningkat menjadi modem oleh karena
pergolakan manusia dengan materi sehingga manusia selalu berusaha memacu diri supaya
mendapatkan materi-materi sehingga terjadinya kehidupan yang diwarnai kebudayaan materi.

Pada bagian lain, bila materi duhubungkan dengan sejarah bersama-sama dengan alamnya, yang
digambarkan oleh kehidupan masyarakat, yang dihubungkan individu dengan individu maka akan
melahirkan kebutuhan, serta akan memberikan gaya hidup, yang disebabkan oleh materi dan
kecenderungan untuk memilikinya. Demikian halnya dengan Thomas Hobbes yang disebut dengan
materialismus monistis, yaitu mengagung-agungkan materi atau kebendaan materi atau kebendaan
(Suryadipura, 1994: 130). Pada kenyataannya isi pemikiran Hobbes banyak diilhami oleh proses alami,
karena filsafatnya banyak dihubungkan dengan kejadian kejadian dalam proses interaksinya dengan
manusia.

Filusuf Julian Offray bagi Lemettrie (Prancis: 1709-1751) dalam filsafatnya, ia mempunyai jalan
tersendiri, bahwa alam dan manusia merupakan mesin, tetapi manusia disebut mesin otomatis karena ia
mempunyai gerakan didorong oleh materi, dimana ia memberikan suatu alasan yang masuk akal bahwa
jiwa tanpa adanya badan tidak mungkin ada, sedangkan badan tanpa adanya jiwa masih dapat bergerak
dan bertindak (Ahmadi, 1995: 116). Demikian juga pendapat Herbert Spencer (1820-1903), dimana
manusia merupakan bagian dimensi alam, hidup dan berkembang, sedangkan materi itu berkembang
menurut hukum-hukum tertentu yang mengakibatkan adanya bentuk baru.

Karakteristik umum meterialisme (Sadulloh. 2003) berdasarkan suatu asumsi bahwa realitas
dapat dikembengkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi
tersebut adalah;

a. Semua sains seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari
dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat). Jadi semua sains merupakan
cabang dari sains mekanika.

b. Apa yang dikatakan "jiwa" (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan
suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistim urat saraf, atau organ-organ jasmani lainnya.

c. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan,
serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, simbol subyektif manusia untuk situasi
atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi semua fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena
psikologis adalah merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik. Hubungan-hubungannya
dapat berubah secara kausal.

Pendidikan, dalam hal ini proses belajar mengajar, merupakan kondisionisasi lingkungan, yakni
perilaku akan dapat muncul pada diri peserta didik melalui pembiasaan, seperti misalnya percobaan
Pavlov akan seekor anjing dengan makanan dan air liur yang disertai dengan lonceng atau bell. Setiap
menyajikan makanan pada anjing selalu disertai dengan bunyi bell, dilakukan beberapa kali, dan pada
suatu ketika, sesuai dengan waktu penyajian makanan yang dilakukann sebelumnya, bell dibunyikan
tanpa ada makanan air liur anjing keluar. Hal ini merupakan pembiasaan, perilaku anjing yakni air liur
keluar hanya dengan bell tanpa disertai makanan. Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang
berubah, dapat diamati dan dapat diukur. Hal ini mengandung makna bahwa dalam proses pendidikan
(proses pembelajaran) penting keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil
kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar. Disamping itu dalam pendidikan sangat
diperlukan adanya penguatan yang akan meningkatkan hubungan antara stimulus dan respon, aksi dan
reaksi. Pandangan ini mengarah kepada reaktivitas manusia dengan mendapatkan hasil atau pemuasan
dari lingkungan mendorong aktivitas yang semakin meningkat untuk meraih kesuksesan yang
memungkinkan meraih hasil yang labih baik lagi.

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Filsafat ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli, pada hal kenyataan yang sebenarnya adalah
berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia
adalah apa yang manusia alami. Tokoh yang terkenal dalam filsafat ini adalah Charles Sandre Pierce
(1839 1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

Pragmatisme berasal dari kata "pragma" yang berarti praktik atau aku berbuat. Hal ini
mengandung arti bahwa makna dari segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang
dapat dilakukan. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan mempunyai tanggung jawab yang
sama terhadap realitas. Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara indera. Manusia.
selalu berubah dan berkembang dan perkembangan berlangsung terus menerus, karena itu manusia
hidup dalam keadaan "menjadi (becoming) secara terus menerus (on goingness). Peserta didik
merupakan organisme yang aktif, secara terus menerus merekonstruksi, menginterpretasi dan
mereorganisasi kembali pengalaman-pengalaman yang dialaminya, Peserta didik harus selalu
berhubungan dengan individu-individu lainnya, karena dalam hubungan yang demikian mereka akan
bertumbuh dan berkembang. Mereka akan mempelajari hidup dalam komunitas individu, bekerja sama,
dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang selalu
berubah dan berkembang.

Pendidikan menurut pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses pembentukan


dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya
(unfolding). melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-
pengalaman individu; yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya. Hidup
adalah belajar dan kehidupan itu adalah pembelajaran, dengan hidup berarti manusia selalu
mengadakan retrospeksi apa yang akan dilakukan supaya hidup yang dihidupi menunjukkan harkat dan
martabat sebagai manusia mulia dan kehidupan itu sendiri yang dihidupi bersama dengan orang lain dan
lingkungannya merupakan restorasi agar terjadi keseimbangan dalam hidup sebagai mahluk yang
bermartabat, berahlak mulia dan bermoral, sehingga manusia dalam hidup dan kehidupannya selalu
belajar dan belajar.

Menurut John Dewey (Sadulloh 2003), pendidikn perlu didasarkan pada tiga pokok pemikiran, yakni:

a. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup

b. Pendidikan sebagai pertumbuhan

c. Pendidikan sebagai fungsi sosial

Berikut ini akan dijelaskan ketiga pokok pemikiran tersebut;

a. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup

Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, karena itu pendidikan adalah merupakan
kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup. Dalam
hidupnya manusia selalu berinteraksi, individu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dengan
lingkungannya. Orang yang sudah dewasa yang telah banyak memiliki pengalaman hidup berinteraksi
dengan manusia muda yang masih belia dalam pengalaman hidup untuk mewariskan nilai-nilai budaya
dan kebuadayaan itu sendiri untuk kelangsungan hidup. Terjadilah pewarisan kebudayaan, nilai,
pengetahuan, dan keterampilan serta sikap hidup kepada generasi muda. Hal ini membawa
pembaharuan hidup pada generasi muda, dan pembaharuan ini akan semakin pesat perubahannya oleh
karena perubahan yang terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia dengan pengaruh ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang semakin pesat perubahannya. Untuk mengisi dan melengkapi
kehidupan yang selalu berubah dan berkembang maka sangat diperlukan adanya pendidikan.

b. Pendidikan sebagai pertumbuhan

Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003), pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan
yang berlangsung terus menerus untuk mencapai hasil selanjutnya. Pertumbuhan juga merupakan
proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang
atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan. Hidup selalu mengalami
pertumbuhan dan pertumbuhan diwarnai oleh aktivitas akif, yang berarti bahwa pertumbuhan akan
dipengaruhi intensitas aktivitas individu yang menimbulkan pengalaman yang akan membawa
perubahan pada dirinya. Sehingga pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup. sedangkan
pendidikan adalah hidup itu sendiri. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk
suatu kehidupan.

c. Pendidikan sebagai fungsi social


Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003), lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan
fungsi pendidikan merupakan suatu proses membimbing dan mengembangkan. Melalui kegiatan
pendidikan masyarakat membimbing peserta didik yang masih belum matang menurut susunan sosial
tertentu. Dalam keadaan yang belum matang peserta didik selalu berinteraksi dengan lingkungan, selalu
berhubunan dengan individu lainnya. Dalam aktivitas pendidikan selalu ada interaksi yang dapat
mempengaruhi dan membimbing peserta didik dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang
dipengaruhi dan mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan sosial.

Sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan dan sekaligus sebagai alat transmisi, memiliki tiga fungsi,
yakni;

a. Menyederhanakan dan mengarahkan faktor-faktor bawaan yang diharapkan untuk berkembang

b. Membimbing dan mengarahkan kebiasaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang diharapan

c.Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik yang diperuntukkan bagi peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan mereka.

Dalam praktek pelaksanaan pendidikan sangat dianjurkan agar guru dalam menghadapi peserta didik
dalam kelas memperhatikan saran berikut ini;

a. Guru tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik

b. Peserta didik harus dihadapkan pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka merasakan adanya
suatu masalah yang harus diselesaikan sehingga timbul minat untuk menyelesaikannya

c.Guru harus mengenal peserta didik dan dapat membangkitkan minat mereka dalam pembelajaran

d. Guru harus menciptakan interaksi pembelajaran yang dapat menimbulkan kerjasama antara peserta
didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru dan sebaliknya.

Dalam pembelajaran, guru harus memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
sambil bekerja. Guru hendaknya memfasilitasi, mendorong dan mengarahkan peserta didik agar dapat
belajar menyelidiki dan mengamati sendiri, menemukan sendiri,berpikir dan menarik kesimpulan sendiri
serta bekerja sama memecahkan atau mengatasi masalah yang dihadapi.

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensi adalah cara


manusia ada di dunia (Sadulloh. 2003). Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda
benda materi. Cara beradanya manusia adalah hidup bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama
dan komunikasi dan dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-benda materi keberadaannya
berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan
lainnya. Benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna dan
tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi dunia bermakna karena manusia.

Jadi inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah, oleh Soren Kierkegaard (1813-
1855) (Sadulloh, 2003), sekitar, apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkrit terhadap
persoalan makna "eksis" (berada) dari manusia. Ada beberapa pandangan panganut filsafat ini
sehubungan dengan eksistensi, yakni:

a. Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, manusialah sebagai
pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.

b. Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif, merencanakan,
berbuat dan menjadi.

c. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta realistis. Namun
demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama sesama manusia.

Sikun Pribadi. 1971 (Sadulloh. 2003), mengemukakan bahwa eksistensialisme dengan


pendidikan sangat berhubungan erat, karena kedua-duanya sama-sama membahas masalah yang sama
yakni manusia, hubungan antar manusia, hidup, hakikat kepribadian, dan kebebasan.

Pendidikan, proses pembelajaran, harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan
peserta didik, tidak ada pemaksaan penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, melainkan.
ditawarkan. Tuntunlah peserta didik agar dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Guru
hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu menemukan makna dari kehidupan mereka. Eksistensi
manusia adalah makhluak yang diciptakan Tuhan berbeda dengan mahluak dan benda lainnya dan selalu
hidup bersama dan saling bekerja sama untuk mewujudkan diri sebagai ciptaanNya. Manusia memiliki
kesamaan hak dan kewajiban dalam keaneka ragaman oleh karena latar belakang yang berbeda namun
memiliki kedududkan yang sama dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai anggota masyarakat dan
warga negara.

5. Filsafat Pendidikan Progresivisme

Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang terus menerus dalam suatu
arah yang positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu benar pada masa yang akan datang
Oleh sebab itu, peserta didik bukan dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan
mereka harus dipersiapkan menghadapi kehidupan masa mendatang. Permasalahan hidup masa kini
tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan datang. Untuk itu, peserta didik harus
diperlengkapi dengan strategi strategi menghadapi kehidupan masa mendatang dan pemecahan
masalah yang memungkinkan mereka mengatasi permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan
dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan pada masa itu.
Guru atau pendidik harus berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar peserta didik
terdorong dan terbantu untuk mempelajari dan memiliki pengalaman tentang hal-hal yang penting bagi
kehidupan mereka, bukan memberikan sejumlah kebenaran yang disebut abadi. Yang penting adalah
bahwa guru atau pendidik harus memfasilitasi peserta didik agar memiliki kesempatan yang luas untuk
bekerja sama atau kooperatif di dalam kelompok, memecahkan masalah yang dipandang penting oleh
kelompok bukan oleh guru, dalam kelompoknya. Progresivisme pengikut Dewey (Sadulloh.2003),
mendasarkan pada asumsi berikut;

a. Minat-minat peserta didik sebagai dasar menentukan muatan kurikulum, bukan disiplin ilmu
atau akademik.

b. Pengajaran efektif adalah apabila memperlakukan peserta didik sebagai keseluruhan dan
minat-minat serta kebutuhan kebutuhannya dihubungkan dengan bidang kognitif, afektif, dan
psikomotor.

c. Pembelajaran harus aktif, guru menyediakan kemungkinan agar peserta didik memiliki
pengalaman melalui belajar dengan berbuat/melakukan.

d. Pendidikan bertujuan untuk membina peserta didik berpikir rasional sehingga menjadi
manusia yang cerdas yang berkontribusi pada masyarakat.

e. Peserta didik mempelajari nilai-nilai personal dan sosial di sekolah

f. Individu berada pada suatu keadaan yang selalu berubah secara terus menerus, dan
pendidikan merupakan wahana yang memungkinkan masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Dalam praktek pelaksanaan pembelajaran hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-


luasnya pada peserta didik untuk menemukan pengalaman-pengalaman yang tepat dalam belajar
seperti; kunjungan lapangan, proyek kelompok kecil, simulasi, bermain peran, eksplorasi internet, dan
aktivitas lainnya yang menimbulkan pengalaman yang berharga pada peserta didik yang dapat
digunakan pada masa yang akan datang. Dapat dikatakan bahwa, pengalaman belajar memecahkan atau
mengatasi permasalahan pada usia dini, merupakan persiapan dan sekaligus modal yang terbaik untuk
hidup menghidupi kehidupan masa depan.

6. Filsafat pendidikan perenialisme

Aliran ini berbeda dengan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme mengemukakan bahwa situasi dunia saat ini penuh dengan kekacauan dan ketidak pastian,
dan ketidak teraturan terutama dalam tatanan kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Untuk
memperbaiki kedaan ini adalah dengan kembali kepada nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman dulu dan pada abad pertengahan. Pandangan Plato
dan Aristoteles menjadi peradaban Yunani Kuno dan ajaran Thomas Aquina pada abad pertengahan
(Sadulloh, 2003). Ciri utama perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman
yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan
moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat, kapal yang akan berlayar, zaman
memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat
pendidikan.

Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pendangan bahwa tidak ada jalan
lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman
kuno dan abad pertengahan. Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya
nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan berpendapat bahwa nilai
tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ke dua puluh. Prinsip-prinsip
aksiomatis yang terikat oleh waktu itu terkandung dalam sejarah.

Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme (Sadulloh, 2003), sebagai berikut;

a. Pada hakekatnya manusia adalah sama di manapun dan kapan pun ia berada, yang walaupun
lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai
kebijakan dan kebajikan, untuk memperbaiki manusia sebagai manusia atau dengan kata lain pemuliaan
manusia mulia. Oleh karena itu maka pendidikan harus sama bagi semua orang kapanpun dan di
manapun.

b. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yang paling tinggi. Karena itu manusia harus
menggunakan pikirannya untuk mengembangkan bawaannya sesuai dengan tujuannya. Manusia
memiliki kebebasan namun harus belajar untuk mempertajam pikiran dan dapat mengontrol hawa
nafsunya, Kegagalan yang dialami peserta didik jangan dengan cepat menyalahkan lingkungan yang
kurang menguntungkan atau nuansa psikologis yang kurang menyenangkan, namun guru hendaknya
dapat mengatasinya dengan pendekatan intelektual yang sama bagi semua peserta didik.

c. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan
abadi. Pengetahuan yang penting diberikan kepada peserta didik adalah mata pelajaran pendidikan
umum atau general education, bukan mata pelajaran yang hanya penting sesaat atau menarik minat
pada saat tertentu saja atau seketika. Mata pelajaran yang esensi adalah bahasa,sejarah, matgematika,
IPA, filsafat dan seni, dan 3 R's, membaca, menulis dan berhitung.

d. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.

e. Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah,
filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan ekonomi.

7. Filsafat Pendidikan Esensialisme


Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu bangunan
filsafat tersendiri, melainkan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes pendidikan
progresivisme. Penganut faham ini berpendapat bahwa betul-betul ada hal-hal yang esensial dari
pengalaman peserta didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan. Esensi (Essence) ialah
hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu sebagai satuan yang konseptual
dan akali. Esensi (essentia) adalah apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya. Esensi mengacu
pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu yang berlawanan dengan yang
berubah-ubah, parsial, atau fenomenal.

(Sadulloh. 2003) Terjadi gerakan di sekolah untuk mengadakan perubahan dalam praktek
pelaksanaan pendidikan di sekolah, yakni bahwa peserta didik harus dilatih atau dididik untuk dapat
berkomunikasi dengan jelas dan logis. Membaca, menulis, berhitung. dan bercakap-cakap merupakan
kemampuan yang sangat penting dikembangkan dalam diri peserta didik menurut penganut aliran ini.

Peserta didik dipandang sebagai manusia yang memiliki kemampuan yang dapat berkembang
dengan baik apabila dilibatkan secara aktif dan dengan penuh semangat dan motivasi dalam aktivitas
pembelajaran. Dalam diri peserta didik perlu ditanamkan dan dibina disiplin, kerja keras dan rasa
hormat. Pendidikan di sekolah harus bersifat logis dan praktis guna dapat mempersiapkan mereka hidup
dalam masyarakat. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik
untuk hidup. Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
membaca, menulis, berhitung dan berbicara, terutama dikembangkan dalam pendidikan dasar.
Kemampuan ini merupakan dasar yang esensial bagi penguasaan pendidikan umum (general education),
seperti filsafat, matematika, IPA, sejarah, bahasa, seni dan sastra yang diperlukan dalam hidup. Sekolah
berperan untuk memelihara dan mewariskan budaya dan sejarah kepada generasi berikut melalui
hikmat dan pengalaman yang diperoleh dari disiplin tradisional.

Penganut faham esensialisme mengemukakan beberapa prinsip pendidikan (Sadulloh. 2003),


sebagai berikut;

a. Pendidikan dilakukan dengan usaha keras, tidak timbul dengan sendirinya dari dalam diri
peserta didik.

b. Inisyatif pelaksanaan pendidikan datang dari guru bukan peserta didk. Guru berperan
menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia peserta didik, karena itu kendali pelaksanaan
pembelajaran ada pada guru atau pendidik.

c. Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Materi
pelajaran direncanakan sepenuhnya oleh orang dewasa dan sekolah yang baik adalah apabila sekolah
tersebut berpusat pada masyarakat (society centered school).

d. Metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental merupakan metode yang
diutamakan dalam pendidikan di sekolah. Pengikut esensialisme mengakui bahwa problem solving atau
metode pemecahan masalah ada manfaatnya, namun tidak perlu dilaksanakan dalam setiap
pembelajaran, karena pengetahuan tidak selalu didasarkan atas fakta-fakta, tetapi banyak yang abstrak
sehingga tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah-masalah yang konkrit.

e.Tujuan akhir pendidikan adalah meningkatkan kesejahteraan atau kebahagiaan sesuai dengan
tuntutan demokrasi.

8. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresifisme dalam
pendidikan. Tidak cukup kalau individu belajar hanya dari pengalaman pengalaman kemasyarakatan di
sekolah. Sekolah bukan hanya masyarakat dalam ukuran mikro (kecil). Sekolah haruslah memelopori
masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan sesuai dengan perkembangan hidup dan
kehidupan sebagai konsekuensi perkembangan ilmu, seni dan teknologi. Masalah-masalah yang timbul
sebagai pandangan premordialisme dan sukuisme harus diatasi dengan lebih mengutamakan
kebersamaan dan kebermaknaan bagi hidup dan kehidupan masyarakat sehingga dalam praktek
pelaksanaan pendidikan pemecahan masalah dengan pendekatan kooperatif sangat diutamakan. Juga
tidak, setiap individu atau kelompok nantinya akan memecahkan masalah kemasyarakatan secara
sendiri-sendiri sebagai ekses progresivisme. Maka sekolah perlu mengembangkan suatu ideologi
kemasyarakatan yang demokratis. Secara inovatif, sekolah khususnya dan pendidikan umumnya
berkewajiban membangun kembali bentuk-bentuk kolektif masyarakat. Pendidikan yang demikianlah
yang memiliki tujuan akhir, atau tujuan total.

Tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah
sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia bukan hanya nasional, regional, akan tetapi juga
secara global. Peserta didik juga harus dibekali dengan kemampuan untuk dapat memecahkan masalah-
masalah tersebut di atas. Karena itu, maka isi kurikulum juga harus berkaitan dengan masalah masalah
tersebut ditambah dengan masalah-masalah pribadi peserta didik itu sendiri. Dengan demikian, guru
harus dapat membangun timbulnya kesadaran bagi peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi
manusia dan membantu mereka agar mampu mengidentifikasi masala-masalah tersebut dan mampu
juga untuk memecahkannya; sehingga mereka memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya.

Brameld (Sadulloh.2003) mengemukakan teori pendidikan rekonstruksionisme terdiri dari lima


tesis, yakni:

a. Pendidikan berlangsung saat ini untuk menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-
nilai dasar budaya masa kini, selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan soial
masyarakat modern.
b. Demokrasi sejati merupakan dasar dari kehidupan masyarakat baru. Lembaga utama di
masyarakat ditentukan dan dikontrol oleh masyarakat itu sendiri. Segala harapan dan kepentingan
kebutuhan masyarakat menjadi tanggung jawab rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih.

c. Anak, sekolah dan pendidikan diatur oleh kekuatan budaya dan sosial. Rekonstruksionisme
memandang kehidupan beradab adalah hidup berkelompok, sehingga sekolah harus berlangsung dalam
kelompok yang berarti bahwa kelompok memegang peran yang sangat penting di sekolah. Sekolah
adalah realisasi dari sosial (social self realization); melalui sekolah akan dikembangkan bukan hanya sifat
sosialnya akan tetapi kemampuan untuk melibatkan diri dalam perencanaan sosial.

d. Guru memegang peranan penting dalam pendidikan di sekolah akan tetapi dalam
pelaksanaan tugasnya harus selalu memperhatikan prosedur yang demokratis.

e. Tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kebutuhan kebutuhan yang berhubungan


dengan krisis budaya, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yaitu nilai-nilai yang
universal.

f. Penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara
bagaimana guru dilatih. sebaiknya harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan teori kebutuhan
tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah.

Aliran-aliran filsafat yang dikemukakan di atas masih sangat perlu untuk di dalami dengan
mengkritisi leteratur literatur yang sudah ada, dan sebahagian tertera dalam daftar bacaan buku atau
diktat ini, di halaman belakang. Uraian tentang isi masing-masing aliran tersebut sebahagian besar
hanya yang berkaitan dengan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang dikemukakan para
penganut aliran atau faham tersebut. Tugas anda adalah untuk mendalami dan mengkritisi masing-
masing aliran tersebut dalam praktek pelaksanaan pendidikan dan kehidupan manusia dewasa ini.

Anda mungkin juga menyukai