Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT ISLAM

Disusun oleh kelompok 13:

1. Owen Rivaldi (23021070022)


2. Zapniya Putri Andani (23021070028)

Dosen Pengampu

Dr.

Syarnubi,M.Pd,I

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG TAHUN AJARAN 2023/2024
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk
membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan
yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai
tujuan.

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat
abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham betul
semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita
hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk


memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang melewati penalaran rasional, kejadian-kejadian yang
berlaku di alam itu dapat dimengerti.Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam.
Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan
fenomena itu muncul.Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena
alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap


kebenaran.Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat
kebenaran yang berbeda.Pengetahuan indrawi merupakan struktur terendah dalam struktur
tersebut.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, kita dapat merumuskan masalah,yaitu

1. Apa definisi filsafat islam?


2. Apa peran filsafat islam dalam pemahaman keberagaman?
3. Bagaimana tantangan kontemporer terhadap filsafat islam?
4. Bagaimana sejarah perkembangan filsafat islam?
ii
C. TUJUAN

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas,terdapat beberapa tujuannya yaitu:

1. Dapat mengetahui apa itu filsafat islam


2. Dapat mengetahui apa peran dari filsafat islam terhadap keberagaman
3. Dapat mengetahui apa saja tantangan kontemporer terhadap filsafat islam
4. Dapat mengetahui seperti apa perkembangan dari filsafat islam

iii
PEMBAHASAN

1. DEFINISI FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam.
Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang
Islam. Karena berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan
bertentangan satu sama lain adalah hal yang wajar. Filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philo dan sophia. Philo berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan atau kebenaran.
Sedang menurut istilah, filsafat diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik mengenai Tuhan, alam semesta dan manusia, sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan
tersebut.1 Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk
"sophia". Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai
padanan kata "sophia". Lafaz "hikmah" ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah
diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan
ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan bermuara pada al-Qur'an. Al-'Amiri, misalnya,
menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan di antara manusia yang pertama dianugerahi
hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai
ahli hikmah (al-hukama' al- sab'ah) -yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson
dan Chilon. Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata "falsafah"
artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan)." Menurut al-Farabi, adalah para filsuf Yunani
kuno yang menamakan ilmu mereka "sophia": wa kana al-ladhina indahum hâdha al-'ilm
min al-Yunániyyin yusammûnahu al-hikmah 'ala al-iṭlaq”.

Adapun Ibnu Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya men- jelaskan bahwa hikmah adalah
kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu
menyatakan kebenaran dengan akal pikiran maupun perbuatan sebatas ke- mampuannya
sebagai manusia (istikmål al-nafs al-insäniyyah bi- tasawwur al-umar wa al-tasdig bi al-
hagaiq al-nazariyyah wa al- tamaliyyah 'ala qadri faqat al-insan). Siapa berhasil menggapai
'hik- mah beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibnu Sina. Namun
demikian, tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Di antara ulama yang menentangnya
ialah Imam al-Ghazali. Menurutnya, para filsuf telah menyalahgunakan kata

1
https://uin-malang.ac.id/blog/post/read/131101/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-filsafat-islam.html
1
"hikmah" untuk kepentingan mereka, padahal "hikmah" yang dimaksud dalam kitab suci
al-Qur'an bukan filsafat, melainkan syariat agama yang diturunkan Allah kepada para nabi
dan rasul."cara etimologis, istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua
kata:ontosyang berarti ada atau keberadaaan danlogosyang berarti studi atau
ilmu.Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang
ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak.

Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyatasecara fundamental dan cara yang
berbeda dimana wujud dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik,
hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. Ontologi
dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan
dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa
yang ada.

Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari
ontologi.Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama
metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya
dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.

A. ALIRAN-ALIRAN ONTOLOGI

1. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua.
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan
perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam
aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang
sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut denganBlock Universe.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

2
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengannaturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran inidipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM).
Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi
kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu
adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari
segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat
alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat
dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian
alam.

b. Aliran Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak
tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia
berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda
fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran
sejati.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-
348 SM)dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti
ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang
menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu.
Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

2. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit.
Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali
dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai
bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia

3
kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam
bukunyaDiscours de la Methode(1637) danMeditations de Prima
Philosophia(1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang
terkenal denganCogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt).
Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716).

3. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata. Pluralisme dalamDictionary of Philosophy and Religiondikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles,
yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur,
yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-
1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang
mengenal.

4. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berartinothingatau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di
Rusia. Doktrin tentang nihilismesebenarnya sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang
memberikan tiga proposisi tentang realitas.Pertama, tidak ada sesuatupun yang
eksis.Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui.Ketiga, sekalipun realitas
itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam
pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata
manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di
mana ia hidup.

4
5. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.
Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa
GrikAgnostos, yang berartiunknown.Aartinyanot,gnoartinyaknow. Timbulnya
aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai
Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah
hidup sebagai suatuaku umum, tetapi sebagaiaku individualyang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin
Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah
manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.2

B. PENGERTIAN EPISTEMOLIGI
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” dan “Logos”. “Episteme” berarti
pengetahuan (knowledge), “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistemologi secara
etimologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya
ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan
batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistimologi sebagai “it is epistemologi that gives
the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut dapat
diterjemahkan sebagai “epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa
ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang
mendefinisikan pengertian epistemologi di antaranya:
a. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang mengenarahi masalah-masalah
filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
b. Epistemologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas, dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
c. Epistemologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang
pengetahuan, yaitu tentang terjadinya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran
pengetahuan.

2
Pama Bakri Albadri and others, ‘Ontologi Filsafat’, PRIMER : Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1.3 (2023), 311–17
<https://doi.org/10.55681/primer.v1i3.148>.
5
d. Epistemologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber
pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang,
kebutuhankebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolak ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada
derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin
tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-
permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia
ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak
diketahuinya.

C. ALIRAN-ALIRAN EPISTEMOLOGI

a. Rasionalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau rasio.
Tokohnya antara lain Rene Descartes (1596-1650), yang membedakan adanya tiga
ide, yaitu innate ideas (ide bawaan), sejak manusia lahir atau juga dikenal dengan
adventitinous ideas, yaitu ide yang berasal dari luar manusia, dan faktitinousideas,
atau ide yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu Spinoza (1632-
1677), Leibniz (1666-1716).
b. Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui
pengalaman indra. Indra memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris,
selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi pengalaman.
Tokohnya antara lain:
1) John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu (1) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman
yang diperoleh dari luar dan (2) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua
pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana yang kemudian dengan
proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
2) David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume
berpendapat bahwa ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-sensasi

6
sederhana atau ide-ide sederhana atau kesan-kesan yang kompleks. Aliran ini
kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.

c. Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa objek-objek yang
kita serap lewat indra adalah nyata dalam diri objek tersebut. Objek-objek tersebut
tidak bergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak
bergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi
interaksi tersebut memengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum
pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari.
Tokoh aliran ini antara lain Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas
berada dalam benda-benda konkret atau dalam proses-proses perkembangannya.
Bentuk (form) atau ide atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan.
Kemudian, aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh
George Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme,
subjektivisme, dan absolutisme. Menurut realisme baru: eksistensi objek tidak
bergantung pada diketahuinya objek tersebut.

d. Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri
(yang meliputi indra dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan, mengatur,
dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu.
Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal
merupakan pembentukannya.
Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesiskan antara
rasionalisme dan empirisme.

e. Positivisme
Tokoh aliran ini di antaranya August Comte, yang memiliki pandangan sejarah
perkembangan pemikiran umat manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap,
yaitu:

7
1) Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang
mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh takhayul-takhayul sehingga
subjek dengan objek tidak dibedakan.
2) Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan
kenyataan, tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta.
3) Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan
hukumhukum dan saling hubungan lewat fakta. Oleh karena itu, pada tahap ini
pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta.

f. Skeptisisme
Menyatakan bahwa indra adalah bersifat menipu atau menyesatkan. Namun, pada
zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis (sistematis) yang
mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman diakui benar.
Tokoh skeptisisme adalah Rene Descartes (1596-1650).

g. Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan, namun
mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan
tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan
manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan.
Tokoh aliran ini, antara lain C.S Pierce (1839-1914), menyatakan bahwa yang
terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu
pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal tidak lain
merupakan gambaran yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita saksikan.
Tokoh lain adalah Willian James (1824-1910) menyatakan bahwa ukuran kebenaran
sesuatu hal adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.3

3
Fatkhul Mubin, ‘Filsafat Modern: Aspek Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis’, Mengenal Filsafat
Pendidikan, 2020, 1–28 <fatkhulmubin90@gmail.com>.

8
D. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios yang berarti nilai
dan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat, nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai
itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Beberapa definisi tentang aksiologi menurut para ahli :
a. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.
b. Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
c. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang
tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai
tindakan baik secara moral.
d. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku
orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang
memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
e. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat
nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik
material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio
sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian
maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.4

E. ALIRAN-ALIRAN AKSIOLOGI

1. Aliran Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910),
Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut
progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya
pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi

4
Mumud Salimudin, ‘FILSAFAT ILMU Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu’, Skripsi, 2020, 14.

9
yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan
sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara
manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun
kebudayaan atau manusia.
Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu
karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh
karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pembelajar
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan
makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan
problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya
berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga
sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual. Aliran progressivisme ini bersifat based personal dan social experince
sebagai problem solving.

2. Aliran Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John
Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi
(1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-
1841),dan William T. Horris (1835-1909). Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari
pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua
pandangan tersebut.
Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada
nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang
diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan
kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-
nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai
proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak
keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.

10
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos
karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan
hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang
yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang
membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu,
ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan
kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan
keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

b. Teori Nilai Menurut Realisme


Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan
buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya.
Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa
fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana
memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan
menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal,
karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-
nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai
itu atas dirinya sendiri.

3. Aliran Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha
untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang
lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas
‘supernatular„, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga
aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang

11
ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia
berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya
tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah
hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
Parenialisme menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu,
kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi
itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan
perolehan ilmu adalah kebahagiaan untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi
dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.

4. Aliran Rekonstruksionisme
Tokoh utama dalam aliran rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930. Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha
merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam
memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia
yang memerlukan kerja sama.
Aliran rekonstruksionisme ingin melakukan pembaharuan kebudayaan lama dan
membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui
pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat
manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu
golongan.
Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus
menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula
diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat,
tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.5

5
Suci Rahmadani, ‘Aksiologi Dalam Pendidikan’, 2018, 1–13.

12
PENUTUP

KESIMPULAN

Pada dasarnya pada ahli filsafat membagi studi filsafat ilmu pengetahuan menjadi 3 (tiga)
aspek yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam pembahasannya ontologi fokus
pada hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Ontologi mencoba membuktikan dan menelaah
bahwa suatu ilmu pengetahuan tersebut benar dapat dibuktikan kebenarannya. Selanjutnya
epistemologi dalam pembahasannya fokus pada pentingnya cara atau metodologi ilmu
pengetahuan tersebut. Jadi ketika ilmu pengetahuan disoroti melalui epistemologi maka
pembahasannya terarah pada bagaimana sumber yang dipakai oleh para ilmuwan di dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan metodenya seperti apa. Kemudian aksiologi, dimana
pembahasan aksiologi fokus pada manfaat atau nilai guna dari ilmu pengetahuan tersebut.
Pada intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu
pengetahuan dikembangkan. Dari paparan tersebut, sederhananya bahwa ontologi berbicara
tentang eksistensinya, epistemologi berbicara tentang perkembangannya, dan aksiologi
berbicara tentang nilainya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Albadri, Pama Bakri, Riski Ramadani, Reni Amanda, Nurisa Nurisa, Rida Safika, and Sahrul
Sorialom Harahap, „Ontologi Filsafat‟, PRIMER : Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1.3
(2023), 311–17 <https://doi.org/10.55681/primer.v1i3.148>

Mubin, Fatkhul, „Filsafat Modern: Aspek Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis‟,


Mengenal Filsafat Pendidikan, 2020, 1–28 <fatkhulmubin90@gmail.com>

Penelaah Ilmu Otologi, Landasan, Epistomologi Dan Aksiologi Disusun Oleh Kelompok vi,
Winda Sri Wulandari, Ayu Wulandari, and Azza Wulandari FAKULTAS FISIPOL,
„Makalah Filsafat Tentang‟, 2017

Rahmadani, Suci, „Aksiologi Dalam Pendidikan‟, 2018, 1–13

Salimudin, Mumud, „FILSAFAT ILMU Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu‟, Skripsi, 2020, 14

14

Anda mungkin juga menyukai