Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darisinilah seluruh ilmu berasal, darinya
pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi
ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya,
dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah
yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar
untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara
totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar,
hingga ke dasar.
Dalam memahami ilmu fisafat maka sebaiknya memahami cabang-cabang dari ilmu
filsafat itu sendiri yakni ontology, epistimologi dan akseologi. Ketiga cabang tersebut
sangatlah perlu untuk difahami sebagai tolak ukur / landasan dalam berfikir.
B. Rumusan Masalah
1. Memahami bagaimana sebenarnya Filsafat Ilmu
2. Memahami Konsep Ontologi, Epistimologi dan Akseologi dalam Filsafat Ilmu
3. Memahami hubungan filsafat ilmu dengan ilmu keperawatan
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas MK Filsafat Ilmu dari Pak Drs. H. Muhammad Adhib MA
2. Sebagai refrensi pembelajaran MK Filsafat Ilmu
3. Mampu Menghubungkan antara Filsafat Ilmu dengan Ilmu Keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Para Cendikiawan berbeda - beda dalam memberikan pengertian seputar filsafat ilmu.
berikut ini disajikan beberapa defnisi filsafat ilmu agar bisa dipahami secara utuh dan
menyeluruh, pengertian tersebut antara lain :
1. Lewis White Beck mencoba mendefinisikan filsafat ilmu sebagai ilmu yang membahas dan
mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya
upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan
2. A. Cornelius Benjamin berpendapat bahwa filsafat ilmu adalah Cabang pengetahuan filsafat
yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-
konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-
cabang pengetahuan intelektual.
3. Michael V. Berry “berpendapat bahwa filsafat ilmu adalah Penelaahan tentang logika
interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.
4. May Brodbeck mengatakan bahwa yang dimaksud dengan filsafat ilmu adalah Analisis
yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan
ilmu.
Jadi antara filsafat dan filsafat ilmu ada keterkaitan yang tidak bisa dilepas. untuk
memahami filsafat ilmu harus terlebih dahulu paham filsafat. peter caws berpendapat bahwa
Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia
dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan
sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan
harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.

B. Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu : Ontos : being, dan Logos Logic
Jadi ontology adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan ). Atau bisa juga ilmu tentang yang ada. Secara istilah ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada yang merupakan realiti baik berbentuk jasmani atau
kongkrit maupun rohani atau abstrak.
Istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh rudolf Goclenius pada tahun 1936 M,
untuk menamai hakekat yang ada bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf
(1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus.
Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafiska atau
otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi
Kosmologi, Psikologi dan Teologi.
Didalam pemahaman Ontologi terdapat beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran,
diantaranya :
1. Monoisme, : Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa
materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :
a) Materialisme, Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah
merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri
b) Idealisme, Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spriritualismee. Dealisme
berasal dari kata ”Ideal” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atu sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat ini
hanyalah suatu jenis dari penjelamaan ruhani
2. Dualisme, Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan
muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat tersebut masing-masing bebas
dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan
di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai bapak
Filosofi modern)
3. Pluralisme, paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan
Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat
unsur, yaitu tanah, air, api dan udara
4. Nihilisme, berasal dari bahasa Yunani yang berati nothing atau tidak ada. Istilah Nihilisme
dikenal oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fadhers an Children yang ditulisnya pada tahun
1862 di Rusia. Doktrin tentang Nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno,
yaitu pada pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas
Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada
Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan oleh penginderaan itu
tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi
Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain
5. Agnotitisme, Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani, kata agnosticisme barasal dari bahasa
Grick. Ignotos yang berarti Unknow artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan
adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.
Akal merupakan salah satu anugrah dari Allah SWT yang paling istimewa bagi
manusia. Sifat akal adalah selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.
Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan di bawa sejak lahir, tapi lewat sebuah proses
berpikir dan mendapatkan pengalaman.
C. Epistimologi
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan
pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi)
secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya.
Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara
mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami
substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar,
prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan
sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka”
bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu
biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang
terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan
para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi,
istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti
teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori
(pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965,
dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,
P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta
secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang
cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan
berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari
pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya
melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian
tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini
sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan
pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
Ruang Lingkup Epsitimologi
Bertolak dari pengertian-pengertian epistemologi tersebut, kiranya kita perlu
memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya. Sebenarnya
masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang lingkup
epistemologi sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya didasarkan pada rincian aspek-
aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi daripada aspek-aspek lainnya, seperti
proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain
yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemologi, sebab pernyataan-pernyataan ini
akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang
lingkup pemabahasan epistemologi.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam,
tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa
epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya,
apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan
sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah
pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Jadi meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas
sekali. Jika kita memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi, sebagaimana diuraikan
tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi, hakikat, keaslian, sumber, struktur,
metode, validias, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,
pertanggungjawaban dan skope pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada
pengetahuan atas kewibaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia
sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh
permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.

D. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial
dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh
setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di
jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas
nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai
budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan
oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya
malahan menimbulkan bencana.
2. Penilaian dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika.
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah
moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan
menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah
kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang
ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral
ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat
manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau
perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari
etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia
lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan.
Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral
yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan
moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme
menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu
sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan
kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau
melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran
tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik
dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas
atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh
kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang
studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti
bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu
objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga
mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu
yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari
memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan.
Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan
perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat
objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan.
E. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Keperawatan
Ilmu keperawatan merupakan ilmu yang tidak akan ada habisnya dalam perjalanan
kehidupan, banyaknya berbagai problema dalam masalah kesehatan semakin memaksa ilmu
keperawtan untuk terus selalu update dalam setiap perputaran waktu. Sebagai ilmu
pengetahun, keperawatan juga lahir dari Filsafat Ilmu.
Sebagai induk dari segala ilmu, Filsafat tentunya selalu berkaitan dengan semua ilmu,
baik kitannya yang bersifat umum atau khusus. Hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu
keperawatan sangat terlihat jelas saat kita melihat bagaimana perawat itu dalam bertindak
haruslah segara melakukan tindakan yang tepat, dan itu tidak akan bisa diwujudkan oleh
seorang perawat bila seandainya perawat tidak faham dan tidak mengerti apa sebenarnya
Filsafat Ilmu

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat pada aspek pemikiran yang cepat dan tepat, filsafat ilmu sangatlah perlu
dikuasai oleh seorang perawat. Karena sangat tidak menutup kemungkinan seorang perawat
dalam menjalankan tugasnya menghadapi persolan-persoalan bagai dilema yang sangat sulit
di pecahkan. Oleh karena itu perawat haruslah mampu menguasai filsafat ilmu itu sendiri
untuk menunjang dalam kecepatan dan ketepatan berfikir dan bertindak.
Filsafat ilmu memiliki cabng-cabang tersendiri yakni :
Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafiska atau
otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi
Kosmologi, Psikologi dan Teologi.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Pengertian lain,
menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun
S.Suriasumantri, 2005).
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan.
B. Saran
Sebagai seorang perawat kita hasulah memiliki dan memhami serta menerpkan
prinsip daripada Filsafat Ilmu, dengan menerapakannya maka kita mampu menyelesaikan
masalah dengan pemikiran-pemikiran yang tepat, baik dan cermat, inilah yang disebut The
Smart Beautiful Of Mind.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir Filsafat Umum, (Bandung, 1990).
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan,
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar
Harapan,
Jakarta 1998
Tim Dosen Filsafah Ilmu, Filsafat Ilmu (Yogyakarta, 1996)
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1998
Azra Azyumardi, Integrasi Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press)
Bidin Masri Elmasyar, MA, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, (Jakarta: UIN
Jakarta Press)
Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta,
1997), cet. Ke-1
Sumatriasumatri Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan,
1988)
Keraf. S. & Mikhael Dua. (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta:
Kanisius.

Mc. Carthy. T. (2006). Teori Kritis Jürgen Habermas (Alih Bahasa oleh Nurhadi).
Noeng Muhadjir, 2001, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta,.
Noerhadi. T. H. (1998). Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Diktat Kuliah). Pascasarjana Universitas
Indonesia.

Qadir. C. A. (1995). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan Obor.


Sumaryono. E. (1993). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wiramihardja, Sutardjo. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika
Aditama.

Zar, Sirajuddin, 2004 Filsafat Islam, Jakarta : Raja Grafindo


http://staf_unud.com/artikel/filsafat_ilmu.htm.
diakses pada 3 Desember 2011

http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2009/07/22/perbedaan-antara-ilmu-dan-
pengetahuan/ Sabtu, 03 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi, Sabtu, 3 Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai