Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia yang berakal sehat pasti memiliki pengetahuan, baik berupa
fakta, konsep, prinsip, maupun prosedur tentang suatu objek. Pengetahuan dapat
dimiliki berkat adanya pengalaman atau melalui interaksi antar manusia dan
lingkungannya.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik
bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga
untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-
pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang
lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian
yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang
hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai
yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang
tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup
dan pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya
saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi
sebagai teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan,
bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi
membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan
hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas
tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan
perkembangannya.
Akan tetapi untuk sekarang ini kami akan menitik-beratkan pembahasannya
kepada masalah ontologi yang mana membahas tentang apa objek yang kita kaji,
bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi ontologi ?
2. Apa yang dimaksud metafisika?
3. Apa itu asumsi?
4. Apa pengertian peluang?
5. Apa saja batas penjelajahan ilmu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi ontologi.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud metafisika.
3. Apa yang dimaksud dengan asumsi.
4. Apa yang dimaksud dengan peluang.
5. Untuk mengetahui batas penjelajahan ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ontologi
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat
istilah ontologi adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah itu berakar dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau
keberadaan”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga pemikran
(Lorens Bagus:2000). Maka ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang
wujud hakikat yang ada pada ilmu.
1. Definisi ontologi menurut para ahli
a. Suriasumantri (1985)
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang
“ada”.
b. Soetriono & Hanafie (2007)
Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup
wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal
dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari
obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan
ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya
berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
c. Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles
Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik
dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi
filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu
benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi
ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM).

Dari pengertian ontologi menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari

3
sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut
lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.

B. Metafisika
Berasal dari bahasa Yunani “meta” yang berarti selain,
sesudah atau sebaliknya. Dan “fisika” berati alam
nyata. Jadi metafisika merupakan “ilmu yang menyelidiki hakikat di balik
alam nyata ini” ( teori tentang ada, tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat
serta pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran).
Metafisika dapat dikatakan sebuah usaha sistematis, dalam mencari hal yang
ada di belakang hal-hal yang fisik dan bersifat partikular atau kebendaan.
Sehingga metafisika merupakan ilmu mengenai yang ada yang bersifat universal.
Metafisika juga diartikan sebagai usaha untuk merumuskan suatu sistem pemikiran-
pemikiran umum yang bersifat koheren (pemikiran atau gagasan sentral yang saling
berkaitan), logis (sistem yang seluruhnya bersifat konsisten, tunduk pada hukum-
hukum penalaran dan bersifat rasio) dan pasti (berlaku secara universal atau umum)
atas dasar mana setiap unsur pengalaman dapat diterangkan. Metafisika sebagai
sebuah cabang ilmu, menunjukkan dan menggaris bawahi bahwa manusia adalah
mahluk rasional. Ilmu metafisika sering disebut juga ontologi yaitu ilmu hakikat
atau ilmu tentang yang ada.
1. Aliran-Aliran dalam Metafisika
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat ujud-ujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari
paham Supernatural ini lahirla tafsiran-tafsiran cabang seperti Animisme,
dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat
dalam benda-benda.
b. Naturalisme
Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme.
Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan
oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat
dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang

4
yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena
standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata,
sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.

Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang


menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah
satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka
yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran
yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham
vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum
vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif
dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.

Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal
ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham
monoistik dan dualistik. Sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir
manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya.
Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan
antara pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam
gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang
sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik.
Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan
kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini
berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental.
Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka
sesuatu itu lantas ada.

Pentingnya metafisika bagi pembahasana filsafat, dikutip pendapat


Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa,
matafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat
pemikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.

5
C. Asumsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi berarti dugaan yang
diterima sebagai dasar, atau landasan berpikir karena dianggap benar. Menurut
Prof. Ir. Podjawijatna dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan (pengantar keilmu
dan filsafat)” menjelaskan bahwa pengetahuan adalah hasil dari sebuah putusan.
Sehingga untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi
mengenai objek-objek empiris. Asumsi ini dipelukan sebagai arah dan landasan
bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pendapat baru dianggap benar, selama kita
bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. (Jujun S. Suriasumantri, 1984)
Dalam perjalanan mencari ilmu, perlu adanya kegiatan pengamatan
terhadap sesuatu atau beberapa kejadian. Asumsi merupakan perkiraan-perkiraan
yang muncul dari adanya pengamatan terhadap hukum, gejala atau kejadian-
kejadian yang sudah berlaku. Asumsi merupakan proses “kompromi” dalam
perjalanan menemukan atau merumuskan pengetahuan.
Selanjutnya kaidah asumsi menurut Jujun (1984) antara lain :
a. Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin
keilmuan;
b. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis;
c. Asumsi harus positif bukan normatif;
d. Asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan
bagaimana keadaan yang seharusnya
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur
pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau
gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan
muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat.
McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi
suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard
presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah
contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD
1945 menjadi tidak bermakna.

6
Sehingga muncul pernyataan ilmuwan harus mengenal asumsi yang
digunakan dalam analisis keilmuannya kerana akan berpengaruh pada konsep
pemikiran yang digunakan. Asumsi berkaitan pula dengan kegiatan penalaran.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir menarik kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan
yang benar.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain :
a. Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian
karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
b. Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian,
atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana premisnya.
Untuk meyakinkan bahwa asumsi digunakan secara tepat, perlu adanya
tinjauan awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Jujung,
2005) :
a. Deterministik
Kelompok penganut paham ini menganggap hukum alam tunduk kepada
hukum alam yang bersifat universal (determinisme). William Hamilton dan
Thomas Hobbes dua orang tokoh yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal.
Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat
bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih
dahulu.
b. Pilihan Bebas
Kelompok penganut paham ini menganggap hukum yang mengatur itu
tanpa sebab karena setiap gejala alam merupakan pilihan bebas. Penganut ini
menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan
pilihannya tanpa terikat hukum alam. Kebalikan dari deterministik bahwa
ilmu sosial menemukan banyak karakteristiknya disini dibandingkan dengan
ilmu sains. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam
melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menujukkan
semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi dibelahan dunia lain,
kebahagiaan seuatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan

7
budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak
ada ukuran pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
c. Probalilistik
Kelompok penganut paham ini berada diantara deterministik dan pilihan
bebas yang menyatakan bahwa gejala umum yang universal itu memang ada
namun sifatnya berupa peluang (probabilistik). Seperti yang kita ketahui
sebelumnya bahwa hukum alam tunduk kepada hukum alam (deterministik)
akan tetapi suatu kejadian tertentu tidak harus selalu mengikuti pola tersebut.
Jujun (1992) memaparkan bahwa ilmu itu tidak mengemukakan kalau X selalu
mengakibatkan Y, melainkan X memiliki peluang yang besar untuk
mengakibatkan terjadinya Y. Sebagai contoh sederhananya, langit mendung
pertanda akan turun hujan (sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya),
memang disana terdapat peluang besar akan datangnya hujan, tetapi masih ada
peluang kecil didalamnya bahwa tidak akan datang hujan walaupun langit telah
mendung.
Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap valid, jika penarikan kesimpulan
tersebut dilakukan menurut cara-cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini
disebut sebagai logika, yakni pengkajian untuk berpikir secara benar atau shahih.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yakni :
a. Logika induktif yang merupakan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individu nyata yang bersifat khusus menjadi sebuah kesimpulan yang
bersifat umum.
b. Logika deduktif yang merupakan penarikan kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.

Dengan demikian asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap


bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat
kesalahan dalam pengambilan keputusan. Asumsi yang benar akan menjembatani
tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis.
Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur
penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.

8
D. Peluang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian peluang yaitu: (1)
Kesempatan; (2) Ruang gerak, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang
memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk memanfaatkannya dalam
usaha mencapai tujuan.
Menurut Prof. Dr. R. Santosa Murwani (2009), peluang merupakan
perbandingan antar banyaknya kejadian yang muncul (observed) dengan
banyaknya seluruh kejadian yang mungkin muncul (expected). Sehingga dalam
proses pencarian ilmu, peluang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada
dalam pencarian atau perumusan suatu pengetahuan yang pasti (kepastian).
Misalnya seorang ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa
memberikan bahwa kepastian turun hujan 0.8. Peluang 0,8 secara sederhana dapat
diartikan bahwa probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang
merupakan kepastian), atau sekiranya merasa pasti (100%) bahwa esok akan turun
hujan maka saya akan berikan peluang 1,0 atau dengan perkataan lain yang lebih
sederhana, peluang 0,8 mencirikan bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh
hujan, 8 kali memang hujan itu turun dan dua kali ramalan itu meleset. Jadi
walaupun mempunyai peluang 0,8 bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka
kemungkinan bahwa hari tidak hujan.
Dalam proses pembuktian sebuah ilmu, peluang merupakan kemungkinan-
kemungkinan yang mendasari terbentuknya sebuah hipotesa. Hipotesa menurut
Prof. Ir. Podjawijatna, muncul dari adanya problema atau pertanyaan-pertanyaan
ilmiah. Hipotesa ilmiah mengutarakan peluang-peluang yang mungkin menjadi
jawaban sementara dari problema yang dihadapi. Akan tetapi, kebenaran dari
sebuah hipotesa harus dibuktikan dengan adanya fenmena atau kejadian nyata.

E. Batas Penjelajahan Ilmu


Surajiyo mengatakan, batas penjelajahan ilmu yaitu ketika manusia berhenti
berpikir untuk mencari pengetahuan, sehingga jika manusia memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman
manusia. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia

9
juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji secara
empiris.
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada
batas pengalaman manusia. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas
ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaah keilmuan yang bersifat
empiris ini, konsisten dengan asas epistimologi keilmuan mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah.
Jadi, ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak
mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada
di luar jangkauan pengalaman manusia. Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal
yang berbeda dalam pengalaman, yakni terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam
kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi
masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada
batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam
menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu
memuaskan daerah diluar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah.
Selanjutnya Surajiyo mengatakan, ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalamanan manusia, dan berhenti di batas pengalaman manusia. Penyataan
inilah yang bisa menjadi jawaban sampai mana batas-batas penjelajahan ilmu.
Maka jika ilmu berada diluar jangkauan pengalaman manusia, tentunya tidaklah
semestinya menjelajahi ilmu itu. Sebagai contoh mengenai suga dan neraka,
keduanya merupakan hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwa batas dari penjelajahan ilmu hanyalah
"Pengalaman" manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada
pengalaman manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh
melalui panca indranya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh melalui melihat
maka "ilmu adalah penglihatanmu", jika pengalaman diperoleh
denganendengarkan, maka "ilmu merupakan pendengaranmu" begitu pula untuk

10
indra yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu seseorang mencapai batas
ketika ia harus meninggalkan dunia ini.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property
dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu
domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah
studi tentang sesuatu yang ada.
b) Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika.
Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat
yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini
sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian
dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu
dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan
dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak
dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika
berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
c) Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan
menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin
memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan
latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula
sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang
diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin
(2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu
ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard
presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
d) Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti
mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

12
B. Saran
Perlunya mempelajari filsafat dari segi ontologi serta memahami konsep-
konsep seperti metafisika, asumsi dan peluang untuk memperdalam hakikat dari
ilmu itu sendiri. Membaca dan berfikir merupakan salah satu cara untuk
memahaminya sehingga hasil dari pembelajaran ini dapat bermanfaat dalam proses
pembelajaran

13
DAFTAR PUTAKA

Dwi Citra Nurhariyanti. Ontologi : Metafisika, Asumsi, Peluang. Diperoleh pada


15 April 2018. https://dwicitranurhariyanti.wordpress.com/filsafat-ilmu/ontologi-
metafisika-asumsi-peluang-2/

Ainung. Filsafat Ilmu; Ontologi. Diakses pada 15 April 2018.


http://blogushuluddin.blogspot.co.id/2016/04/filsafat-ilmu-ontologi.html

KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses pada 15 April 2018.


https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/asumsi

Suriasumantri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. Pancaranintan Indahgraha.

14

Anda mungkin juga menyukai