Berangkat dari sebuah pertanyaan besar mengenai Ontologi, sebuah term yang
pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M untuk menamai
teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Ontologi disebutkan sebagai
salah satu cabang dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua
ilmu khusus, disamping Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan
cabang besar dari dari Filsafat, sedangkan cabang Filsafat yang khusus terdiri dari
Filsafat Bahasa, Filsafat Matematika, Filsafat Agama, Filsafat Seni, dan seterusnya.
Disebutkan pula bahwa Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi merupakan landasan
penelaahan ilmu, hal ini didasari oleh pendapat yang menyatakan bahwa Filsafat Ilmu
merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat ilmu.
A. Ontologi.
Ontologi dapat juga disebut dengan “Teori Hakikat”. Sebagai contoh mengenai argumen
yang bersifat Ontologis, pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori
idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada dalam di alam nyata ini mesti ada idea-nya.
Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu.
Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep
unversal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda
yang berwarna hitam, putih, ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati.
Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk
seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini (Adib, 2010 : 70 – 72).
Sejalan dengan bagian tiga tahap kebudayaan yang diungkapkan oleh van Peursen,
yakni tahap Mitis, tahap Ontologis, dan tahap Fungsionil, dimana pada tahap Ontologis
sikap hidup manusia tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara
bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap sesuatu
yang dulu dirasakan sebagai kepungan dan mulai menyusun suatu ajaran atau teori
mengenai dasar hakekat segala sesuatu menurut perinciannya. Berdasarkan
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa Ontologis dapat dicapai hanya jika
manusia mengambil jarak terhadap sesuatu (obyek) tersebut, membuat sebuah distansi
dengan obyek, untuk dapat “melihat” obyek dari berbagai sudut pandang, dan
kemudian menemukan hakikat dari sesuatu (obyek) tersebut. Berdasarkan uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ontologi merupakan sebuah sikap mengambil
jarak (distansi) dengan sesuatu (obyek) yang dapat ditangkap oleh indera untuk
mempelajari hakikatnya dengan berdasarkan logika.
B. Epistemologi
Epistemologi juga disebutkan sebagai salah satu cabang besar dari filsafat sebagai
induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua ilmu khusus, setelah Ontologi dan
kemudian menyusul Aksiologi. Secara etimologis, istilah Epistemology merupakan
gabungan kata dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan, sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu (Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011 : 79). Dengan demikian,
Epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik
mengenai ilmu pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan
Epistemologi sebagai “The study of method and ground of knowledge, espicially with
reference to its limits and validity”, atau kajian tentang metode dan dasar pengetahuan
khususnya yang berkaitan dengan batas-batas dan tingkat kebenarannya. Dengan kata
lain, Epistemologi merupakan cabang Filsafat yang menyoroti atau membahas tentang
tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan (Adib, 2010 : 74).
Menurut Musa Asy’arie (dalam Kusumaningrum, dkk, 2009 : 4), Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses
adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Jika Ontologi juga disebut dengan “Teori
Hakikat”, maka Epistemologi juga disebut dengan “Teori Pengetahuan”. Jika harus
diilustrasikan dalam pertanyaan, Epistemologi bertanya mengenai bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapat pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik, atau
sarana apa yang dapat membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu?
Metode, menurut Senn (dalam Suriasumantri, 1984 : 119) merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Sedangkan Metodologi merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode
tersebut (Senn, 1971 : 4, dalam Suriasumantri, 1984 : 119). Jadi Metodologi Ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau
pengetahuan tenang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian, dengan
kata lain, Metodologi merupakan sebuah kerangka konseptual dari metode tersebut.
Metodologi meletakkan prosedur yang harus dipakai pada pembentukan atau
pengetesan proposisi-proposisi oleh para ilmuwan yang ingin mendapatkan
pengetahuan yang valid (dalam Triatmojo). Dengan demikian, Metodologi juga
menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu
metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah
Epistemologi. Metodologi secara filsafati termasuk dalam Epistemologi.
D. Daftar Rujukan
Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kusumaningrum, Anissa, dkk. 2009. Dimensi Kajian Filsafat Ilmu. Paper Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. Semarang : Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro
Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya :
IAIN Sunan Ampel Press
Triatmojo, Suastiwi. Impikasi Terhadap Pluralitas Metodologi Penelitian. Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta