Anda di halaman 1dari 5

Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi

Sebuah Pengantar Singkat


Oleh : Aditya Nirwana

Berangkat dari sebuah pertanyaan besar mengenai Ontologi, sebuah term yang
pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M untuk menamai
teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Ontologi disebutkan sebagai
salah satu cabang dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua
ilmu khusus, disamping Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan
cabang besar dari dari Filsafat, sedangkan cabang Filsafat yang khusus terdiri dari
Filsafat Bahasa, Filsafat Matematika, Filsafat Agama, Filsafat Seni, dan seterusnya.
Disebutkan pula bahwa Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi merupakan landasan
penelaahan ilmu, hal ini didasari oleh pendapat yang menyatakan bahwa Filsafat Ilmu
merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat ilmu.

Filsafat Ilmu hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut


antara lain : (i) obyek apa yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii)
untuk apa ilmu digunakan (Adib, 2010 : 67). Hal ini sejalan seperti apa yang
diungkapkan oleh Suriasumantri (1984 : 105) bahwa setiap jenis pengetahuan
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (Ontologi), bagaimana (Epistemologi),
dan untuk apa (Aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Dalam ilmu pengetahuan
ilmiah kontemporer, terdapat tiga cara pandang filosofis yang dikenal dengan
paradigma, yakni Positivisme, Rasionalisme dan Konstruktivisme, dan oleh Guba
paradigma ini didefinisikan sebagai sejumlah keyakinan dasar yang menjadi pedoman
dalam melakukan tindakan (Guba, 1990 : 17, dalam Triatmojo). Guba menganjurkan
pemakaian tiga karakter utama yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi. Aksiologi
untuk sementara tidak disinggung perannya dalam rangka relevansi terhadap perspektif
Guba.

A. Ontologi.

Adapun pengertian menurut bahasa, Ontologi berasal dari Bahasa Yunani,


yaitu on/ontos= being atau ada, dan logos = logic atau ilmu. Jadi, Ontologi dapat
diartikan : The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan), atau Ilmu tentang yang ada (Kusumaningrum, dkk, 2009 : 2). Dengan
kata lain, Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang
berwujud (yang ada) dengan berdasarkan kepada logika semata. Adapun pengertian
menurut istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality (kenyataan/realitas paling akhir) yang berbentuk
jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004, dalam Kusumaningrum, dkk,
2009 : 2). Jika harus diilustrasikan dalam pertanyaan, Ontologi bertanya mengenai
obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?.

Ontologi dapat juga disebut dengan “Teori Hakikat”. Sebagai contoh mengenai argumen
yang bersifat Ontologis, pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori
idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada dalam di alam nyata ini mesti ada idea-nya.
Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu.
Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep
unversal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda
yang berwarna hitam, putih, ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati.
Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk
seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini (Adib, 2010 : 70 – 72).

Sejalan dengan bagian tiga tahap kebudayaan yang diungkapkan oleh van Peursen,
yakni tahap Mitis, tahap Ontologis, dan tahap Fungsionil, dimana pada tahap Ontologis
sikap hidup manusia tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara
bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap sesuatu
yang dulu dirasakan sebagai kepungan dan mulai menyusun suatu ajaran atau teori
mengenai dasar hakekat segala sesuatu menurut perinciannya. Berdasarkan
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa Ontologis dapat dicapai hanya jika
manusia mengambil jarak terhadap sesuatu (obyek) tersebut, membuat sebuah distansi
dengan obyek, untuk dapat “melihat” obyek dari berbagai sudut pandang, dan
kemudian menemukan hakikat dari sesuatu (obyek) tersebut. Berdasarkan uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ontologi merupakan sebuah sikap mengambil
jarak (distansi) dengan sesuatu (obyek) yang dapat ditangkap oleh indera untuk
mempelajari hakikatnya dengan berdasarkan logika.

B. Epistemologi

Epistemologi juga disebutkan sebagai salah satu cabang besar dari filsafat sebagai
induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua ilmu khusus, setelah Ontologi dan
kemudian menyusul Aksiologi. Secara etimologis, istilah Epistemology merupakan
gabungan kata dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan, sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu (Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011 : 79). Dengan demikian,
Epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik
mengenai ilmu pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan
Epistemologi sebagai “The study of method and ground of knowledge, espicially with
reference to its limits and validity”, atau kajian tentang metode dan dasar pengetahuan
khususnya yang berkaitan dengan batas-batas dan tingkat kebenarannya. Dengan kata
lain, Epistemologi merupakan cabang Filsafat yang menyoroti atau membahas tentang
tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan (Adib, 2010 : 74).
Menurut Musa Asy’arie (dalam Kusumaningrum, dkk, 2009 : 4), Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses
adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Jika Ontologi juga disebut dengan “Teori
Hakikat”, maka Epistemologi juga disebut dengan “Teori Pengetahuan”. Jika harus
diilustrasikan dalam pertanyaan, Epistemologi bertanya mengenai bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapat pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik, atau
sarana apa yang dapat membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu?

Dari beberapa pertanyaan diatas, sebenarnya pertanyaan utama Epistemologi adalah


apa yang benar-benar sudah diketahui dan bagaimana cara untuk mengetahuinya?
Epistemologi tidak peduli apakah lukisan di depan mata adalah penampakan belaka
atau bukan. Yang jelas ada sebuah lukisan terpampang di depan mata dan kemudian
diteliti secara scientific, lalu menentukan sebuah model filsafat. Menurut Keith Lehrer
(dalam Adib, 2010 : 76) secara historis terdapat tiga perspektif dalam Epistemologi yang
berkembang di barat yaitu : (i) Dogmatic Epistemology; (ii) Critical Epistemology; dan
(iii) Scientific Epistemology.

Dogmatic Epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap Epistemologi, dimana


Ontologi diasumsikan dulu ada, baru kemudian diambahkan Epistemologi. Setelah
realitas dasar diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan Epistemologi untuk
menjelaskan bagaimana mengetahui realitas tersebut, apa yang diketahui, lalu
bagaimana cara untuk mengetahuinya. Singkatnya, Epostemologi Dogmatik
menetapkan Ontologi sebelum Epistemologi. Yang kedua adalah Critical Epistemology,
yakni membalik Epistemologi Dogmatik dengan menanyakan apa yang dapat diketahui
sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dahulu secara kritis, baru diyakini
keberadaanya. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,baru
dijelaskan. Berpikir dahulu baru meyakini atau tidak, meragukan dahulu baru meyakini
atau tidak. Critical Epistemology juga disebut dengan metode skeptis, singkatnya,
Epistemologi Kritis menetapkan Ontologi setelah Epistemologi. Ketiga, adalah Scientific
Epistemology yakni apa yang benar-benar sudah diketahui dan bagaimana cara untuk
mengetahuinya? Epistemologi tidak peduli apakah lukisan di depan mata adalah
penampakan belaka atau bukan. Yang jelas ada sebuah lukisan terpampang di depan
mata dan kemudian diteliti secara scientific.
C. Metodologi

Metode, menurut Senn (dalam Suriasumantri, 1984 : 119) merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Sedangkan Metodologi merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode
tersebut (Senn, 1971 : 4, dalam Suriasumantri, 1984 : 119). Jadi Metodologi Ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau
pengetahuan tenang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian, dengan
kata lain, Metodologi merupakan sebuah kerangka konseptual dari metode tersebut.
Metodologi meletakkan prosedur yang harus dipakai pada pembentukan atau
pengetesan proposisi-proposisi oleh para ilmuwan yang ingin mendapatkan
pengetahuan yang valid (dalam Triatmojo). Dengan demikian, Metodologi juga
menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu
metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah
Epistemologi. Metodologi secara filsafati termasuk dalam Epistemologi.

Dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara Epistemologi,


Metodologi dan metode seperti yang diungkapkan oleh Kusumaningrum, dkk (2009 : 6)
sebagai berikut: Dari Epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada Metodologi, yang
biasanya terfokus pada metode atau teknik. Epistemologi itu sendiri adalah sub-sistem
dari Filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari Filsafat. Filsafat
mencakup bahasan Epistemologi, Epistemologi mencakup bahasan Metodologis, dan
dari Metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan
dari Metodologi, sedangkan Metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup
dalam Epistemologi. Adapun Epistemologi merupakan bagian dari Filsafat. Adapun
jenis-jenis Metodologi penelitian diantaranya adalah Riset Non-Eksperimental, Riset
Eksperimental, Studi Kasus, Grounded Research, Riset Fenomenologi, Riset
Etnografik, Riset Naturalistik, Strukturalisme-Linguistik, Strukturalisme-Semiotik,
Marxisme-Kontekstual, dan lain sebagainya.

D. Daftar Rujukan

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kusumaningrum, Anissa, dkk. 2009. Dimensi Kajian Filsafat Ilmu. Paper Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. Semarang : Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro
Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya :
IAIN Sunan Ampel Press
Triatmojo, Suastiwi. Impikasi Terhadap Pluralitas Metodologi Penelitian. Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai