Anda di halaman 1dari 4

Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi

Andi Muhammad Fajrin (2230331006)


Email : a.m.fajrin90@gmail.com

Berdasarkan Bahrum, 2013, sejarah filsafat tidak selalu lurus, kadang mundur,
sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan sains
selalu berjalan beriringan dan saling terkait. Filsafat dan sains bertemu untuk mencari
kebenaran. Sains bertanggung jawab untuk menggambarkan fenomena alam semesta dan
filsafat menafsirkan fenomena alam semesta, kebenaran terletak pada setiap pemikiran,
sedangkan kebenaran sains terletak pada pengalaman. Filsafat bertujuan untuk menemukan
kebenaran yang hakiki. Ketika kebenaran sejati diatur secara sistematis, itu menjadi filosofi
yang sistematis. Sistematika filsafat biasanya dibagi menjadi tiga cabang utama filsafat, yaitu
epistemologi, teori alam, dan teori nilai.
Sains sebagai produk pemikiran adalah obor peradaban tempat orang menemukan diri
mereka sendiri dan menjalani kehidupan yang lebih utuh. Bagaimana masalah dalam berpikir
manusia merangsang berpikir, bertanya kemudian mencari jawaban atas segala sesuatu yang
ada, dan akhirnya manusia menjadi pencari kebenaran.
Pada prinsipnya, tindakan sains dipandu oleh pertanyaan yang menjadi dasar yaitu tiga
hal utama: Apa yang ingin Anda ketahui, bagaimana Anda mendapatkan informasi dan apa
nilai dari informasi ini? Tampaknya pertanyaannya sangat sederhana, tetapi menyentuh
masalah yang sangat mendasar. Oleh karena itu, untuk menjawabnya diperlukan suatu sistem
pemikiran yang radikal, sistematis, dan universal, karena kebenaran ilmu dibahas dalam
filsafat ilmu.
Karena itu sains tidak dapat dipisahkan dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi berurusan dengan apa yang ingin diketahui seseorang tentang teori "menjadi", yaitu
bagaimana sifat objek studi menghasilkan pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan
proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi berurusan dengan nilai dalam hal kegunaan
pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur tersebut, orang memahami apa
hakikat pengetahuan itu. Tanpa sifat sebenarnya dari informasi, orang tidak dapat
mengevaluasi informasi sebagaimana mestinya.

1. Epistemologi

Kata epistemologi berasal dari kata Yunani untuk pengetahuan, yaitu pengetahuan Kata
tersebut terdiri dari dua suku kata, yaitu. logika berarti pengetahuan dan episteme berarti
pengetahuan tentang pengetahuan. Jika memahami etimologi, dapat dikatakan bahwa
epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu yang
membahas tentang teori.
Terjadi perdebatan filosofis yang panas tentang pengetahuan manusia, yang menjadi inti
permasalahan filsafat, khususnya filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak
kemajuan filsafat, perkembangan filsafat yang kokoh tentang alam semesta dan dunia. Jadi
sumber, kriteria, dan nilai pemikiran manusia tidak ditentukan, tidak mungkin diselidiki
terlepas dari bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber- sumber dan
asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-
prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Sebelum
menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa pengetahuan itu
terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana.
Kedua tashdiq , yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.
Pengetahuan yang diperoleh dari aspek ontologi kemudian dibawa ke aspek epistemologi
untuk diverifikasi dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder, proses kegiatan ilmiah
diawali dengan pengamatan orang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kontak manusia
dengan dunia empiris membuatnya berpikir tentang realitas alam.
Setiap bagian dari informasi memiliki rincian tentang apa, bagaimana dan untuk apa,
tertata rapi menjadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi sendiri selalu
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi pengetahuan. Pada dasarnya, pertanyaan utama dari
setiap epistemologi pengetahuan adalah bagaimana pengetahuan otentik dapat diperoleh,
dengan mempertimbangkan aspek ontologis dan aksiologis dari setiap ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu
pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang
benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah
mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana
kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta
waktu mengenai sesuatu hal.
Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah
yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai
satu kesatuan yang saling melengkapi.
Menurut AM. Saefuddin bahwa ilmu (teori) merupakan pengetahuan dengan
menggunakan metode ilmiah, yang terdiri dari dua pendekatan yaitu pendekatan deduktif dan
pendekatan induktif. Kedua pendekatan tersebut tidak dapat dibedakan dengan menggunakan
satu saja, karena deduksi tanpa validasi induksi dapat disamakan dengan permainan pikiran
tanpa kualitas kebenaran, sedangkan induksi tanpa deduksi menghasilkan pemikiran yang
mandul.
Proses metode ilmiah akhirnya berhenti sejenak ketika harus “menguji kebenaran” untuk
memperdebatkan benar atau tidaknya ilmu itu. Dalam kancah perdebatan teori kebenaran,
terdapat tiga dimensi kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan teori pragmatis.23
Penilaian ini sangat menentukan ketika harus menerima, menolak, menambah atau mengubah
hipotesis, kemudian teori ilmu pengetahuan kebenaran. Diadakan.

2. Ontologi

Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”. Menurut
istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana
keadaan yang sebenarnya. Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau
merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat.
Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam
dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi.
Dan ontologi adalah bidang filsafat yang paling sukar. Ontologi adalah ilmu pengetahuan
yang meneliti segala sesuatu yang ada.
Metafisika berurusan dengan segala sesuatu yang seharusnya ada dan mempertanyakan
esensi. Esensi ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tidak berbentuk,
berbentuk, waktu dan tempat. Dengan mempelajari alam kita memperoleh pengetahuan
dan mampu menjawab pertanyaan tentang hakikat pengetahuan.
Adapun ontologi, sains terbatas pada studi empiris. Subjek penyelidikan ilmiah
mencakup semua aspek kehidupan yang dapat diperiksa oleh panca indera manusia.
Sederhananya, sains tidak membahas hal-hal di luar jangkauan manusia, karena secara
metodologis dan empiris tidak dapat dibuktikan, sedangkan sains memiliki
karakteristiknya sendiri, yaitu orientasi ke dunia empiris.
Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam:
1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan
yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap
obyek material.
Untuk menyelidiki lebih dalam sifat objek empiris, sains membuat beberapa asumsi
tentang objek yang dimaksud. Asumsi yang dianggap benar dan tidak terbantahkan adalah
asumsi yang menjadi dasar dan titik awal dari segala aktivitas. 13 Asumsi diperlukan
karena asumsilah yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan belajar.
Ada beberapa asumsi tentang objek empiris yang dibuat oleh sains, yaitu: Pertama,
objek tertentu dianggap memiliki kesamaan, seperti bentuk, struktur, sifat, dan lain-lain.
Kedua, objek diasumsikan tidak berubah sepanjang waktu. Ketiga, determinisme, yaitu
anggapan bahwa semua fenomena bukanlah peristiwa yang acak. Asumsi ilmu bertujuan
untuk memperoleh informasi yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai
kaitan fenomena yang terpatri dalam pengalaman manusia.
Asumsi ini juga dapat dikembangkan ketika menganalisis pengalaman manusia dalam
berbagai disiplin ilmu dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus terkait
dengan bidang dan tujuan penelitian disiplin ilmu. Asumsi-asumsi ini harus operasional
dan membentuk dasar untuk evaluasi teoretis. Kedua, asumsi harus diturunkan dari
“situasi sebagaimana adanya” dan bukan dari “bagaimana seharusnya”.
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari penelitian ilmiah sedangkan asumsi
kedua adalah asumsi yang mendasari moralitas. Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus
benar-benar mengetahui asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ilmiahnya, karena
menggunakan asumsi yang berbeda berarti menggunakan konsep pemikiran yang berbeda.
Penelitian ilmiah harus didasarkan pada asumsi yang kuat, yaitu asumsi eksplisit, karena
apa yang tidak tertulis dianggap tidak diketahui atau tidak disepakati.
Pertanyaan mendasar yang muncul pada level ontologi adalah: Untuk apa informasi ini?
Artinya mengapa orang berilmu padahal kepandaiannya digunakan untuk menghancurkan
orang lain, misalnya seorang ahli ekonomi menggantikan saudaranya tetapi
membahagiakan orang lain, seorang ilmuwan politik yang memiliki strategi kudeta yang
licik.

3. Aksiologi

Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata
tersebut ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”. Aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan,
Aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu pengetahuan.
Sampailah pembahasan kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu
bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam
memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah
kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan
berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan
wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang menimbulkan malapetaka.
Jadi pada level aksiologis akan menjadi dasar informasi itu akan digunakan untuk apa?
Apa hubungan antara penggunaan ilmiah dan etika moral? Bagaimana definisi moral objek
penelitian? Bagaimana prosedur dan metode ilmiah berhubungan dengan prinsip-prinsip
moral?
Demikian pula aksiologi mengembangkan seni mengikuti prinsip-prinsip moral,
sehingga banyak ulama dan pelaku menjadi marah ketika seni tari dangdut Inul Dartista
menunjukkan momentumnya di atas panggung, diikuti oleh banyak penonton.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat
menyebabkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengawasan
untuk kenyamanan orang lain, penemuan metode licik ilmuwan politik dapat menyebabkan
bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menyebabkan bencana bagi
suatu bangsa, ancaman bagi peradaban pernikahan.

Referensi :

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia, Cet.
VII; Bandung: Mizan, 1999.
Bahrum. (2013). Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. Sulesana, 8(2), 35–45.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Mahmud, Moh. Natsir. Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, Cet.I; Makassar: 2000.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
Ilmu, Cet. XIII; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Anda mungkin juga menyukai