Dalam studi filsafat ilmu, dipaparkan tiga landasan pokok yang menjadi dasar semua
jenis ilmu, yaitu Landasan Ontologis, Landasan Epistemologis, dan Landasan Aksiologis. Tiga
landasan inilah yang secara filosofis membangun sebuah ilmu. Tulisan ini tidak bermaksud
menguraikan tiga landasan ini secara panjang lebar, melainkan mendeskripsikan beberapa
unsur fundamental dan umum. Pada bagian akhir dari tulisan ini diangkat sebuah problematika
ilmiah yang dapat ditelisik dari tiga landasan ilmu pengetahuan ini.
1. Landasan Ontologi
Kata “ontologi” berasal dari Bahasa Yunani onto yang berarti “mengada”2 dan logos,
yang dalam arti ini dapat disebut sebagai ilmu atau studi tertentu. Ontologi membahas tentang
apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori
tentang esse (ada).3 Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek
penelaahan ilmu. Secara amat mendasar, sesungguhnya studi yang berhubungan dengan
landasan ontologis berkaitan erat dengan “metafisika”, yaitu ilmu yang membahas tentang
dasar dari segala sesuatu.
Dilihat dari landasan ontologi, maka ilmu akan berlainan dengan bentuk-bentuk
pengetahuan lainnya. Ilmu yang mengkaji problem-problem yang telah diketahui atau yang
ingin diketahui yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-hari. Masalah yang dihadapi
adalah masalah nyata. Ilmu menjelaskan berbagai fenomena yang memungkinkan manusia
melakukan tindakan untuk menguasai fenomena tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.
Sebagaimana diungkapkan oleh Rene Descartes, ilmu dimulai dari kesangsian bukan
dimulai dari kepastian. Hal ini berbeda dengan agama yang dimulai kepastian. Ilmu memulai
1
Ditulis sebagai bagian dari tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu, pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Manado (Semester I, 2019).
2
Kata “mengada” diterjemahkan dari being (Lat: esse), untuk membedakannya dengan
“pengada” (Lat. essentia). Istilah-istilah semacam ini dipopulerkan oleh Prof. Dr. Drijarkara, dan
diteruskan dalam studi filsafat masa kini oleh beberapa penulis, misalnya Prof. Dr. Kees Bertens dan
Prof. Dr. Johanis Ohoitimur.
3
Jujun Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi,” Ilmu dalam
Perspektif, diedit oleh Jujun Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 5.
2
dari kesangsian akan objek yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Selanjutnya
dalam filsafat empirisme, objek pengenalan ilmu mencakup kejadian-kejadian atau seluruh
aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pengalaman manusia.4 Atas dasar inilah diperlukan
proses verifikasi, yaitu dengan memberikan pembuktian terhadap keraguan-keraguan tersebut
secara ilmiah.
Jadi ontologi ilmu adalah ciri-ciri yang esensial dari objek ilmu yang berlaku umum,
artinya dapat berlaku juga bagi cabang-cabang ilmu yang lain. Ilmu berdasar beberapa asumsi
dasar untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang menampak. Asumsi dasar ialah
anggapan yang merupakan dasar dan titik tolak bagi kegiatan setiap cabang ilmu pengetahuan.
Menurut Endang Saifudin,5 ada dua macam sumbernya: Pertama, mengambil dari postulat,
yaitu kebenaran-kebenaran apriori, yaitu dalil yang dianggap benar walaupun kebenarannya
tidak dapat dibuktikan, kebenaran yang sudah diterima sebelumnya secara mutlak. Kedua,
mengambil dari teori sarjana atau ahli yang lain terdahulu, yang kebenarannya disangsikan lagi
oleh masyarakat, terutama oleh si penyelidik itu sendiri.
2. Landasan Epistemologis
Kata “epistemologi” lahir dari kata Bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan,
pengertian, dan keyakinan. Secara umum, epistemologi dapat berarti sebuah studi tentang
pengetahuan, pengertian, dan keyakinan tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya sebagai sebuah
landasan ilmu pengetahuan, secara mendalam epistemologi membahas segenap proses yang
terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah
suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu
yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apa pun
selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
menggunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih
mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan
4
Bdk. Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu,” Ilmu dalam Perspektif, hlm. 5. Uraian lebih
mendalam tentang perkembangan pemikiran yang diungkapkan sejak masa rasionalisme Descartes
sampai empirisme – terutama Edmund Husserl – tidak perlu dibahas di sini. Hanya, tulisan ini hendak
mengangkat bahwa sejak Descartes, metode kesangsian amat mendasar untuk menelusuri landasan
ontologis dari suatu pengetahuan. Lih. Johanis Ohoitimur, Pengantar Berfilsafat (Jakarta: Yayasan
Gapura, 1997), hlm.73-76.
5
Terkutip dalam Iriani, “Landasan Ontologi, Epistemologis, dan Aksiologis Filsafat Ilmu,”
http://irianirianiii.blogspot.com/2013/03/landasan-ontologi-epistemologis-dan.html (diunduh pada 19
Oktober 2019).
3
ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan yaitu bersifat terbuka
dan menjunjung kebenaran di atas segala-segalanya.6
Tentang hal ini, Immanuel Kant (1724-1804), menggambarkan suatu metode keilmuan
yang bersumber dari pengalaman indrawi manusia, serentak juga dari faktor-faktor penting
tertentu yang telah ada dalam rasio manusia. Kant yakin bahwa dalam diri (rasio) manusia
sudah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma (bdk. pemikiran Plato tentang idea), yang
memungkinkan manusia menangkap benda-benda sebagaimana adanya. Kategori-kategori
tersebut pertama-tama menyangkut ruang dan waktu: bahwa pengalaman-pengalaman indrawi
senantiasa berada di dalam konteks ruang dan waktu. Menurut Kant, konsep ruang dan waktu
merupakan sebuah kategori bawaan dalam rasionalitas manusia. Selain ruang dan waktu,
terdapat juga konsep sebab dan akibat. Atas dasar ini, lahirlah dua unsur yang turut melahirkan
pengetahuan. Pertama, kondisi eksternal manusia menyangkut benda-benda yang tidak bisa
diketahui sebelum ditangkap dengan pancaindra manusia. Inilah “objek material” dari
pengetahuan. Kedua, kondisi internal dalam diri manusia, menyangkut pelbagai kategori:
ruang dan waktu, serta hukum sebab-akibat. Inilah objek sebagaimana ditangkap secara apriori
dengan rasio manusia, sebagai yang terjadi dalam ruang dan waktu dan dalam kaitan dengan
sebab-akibat tertentu. Inilah “objek formal” dari ilmu pengetahuan.7
Dalam uraiannya, Paul Moser menegaskan bahwa klaim ontologis menyangkut sesuatu
yang sedang bereksistensi, sedangkan klaim epistemologis menyangkut apa yang, atau dapat,
diketahui—atau setidaknya dipercayai/diyakini. Moser merujuk pada pemikiran Bertrand
Russell (1872-1970) dan G.E. Moore (1873-1958), yang menentang idealisme tidak hanya
dengan klaim ontologis bahwa ada fakta-fakta pemikiran yang independen, tetapi juga dengan
klaim epistemologis bahwa mereka tahu bahwa ada fakta-fakta semacam itu.8 Dengan
demikian ditegaskan bahwa landasan ontologis berkaitan dengan landasan epistemologis. Apa
yang dipercaya/diyakini dalam suatu pengetahuan perlu dibuktikan dengan pengalaman-
pengalaman konkret. Dalam hal ini proses-proses deduksi, induksi, dan verifikasi amat
berperan penting.
6
Suriasumantri, “Hakikat Ilmu Pengetahuan,” Ilmu dalam Perspektif, hlm. 9.
7
Bdk. A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 58-60.
8
Paul Moser, “Epistemology” in Routledge Study of Philosophy, vol. 10, Ed. John V. Canfield
(London and New York: Routldege, 2005), hlm. 133-134.
4
3. Landasan Aksiologis
Secara etimologis, term “aksiologis” diturunkan dari Bahasa Yunani, axios yang berarti
kelayakan, kepantasan, kegunaan. Menurut Jean-Marie de la Trinité, aksiologi adalah studi
tentang sifat yang layak dipahami sebagai nilai, khususnya untuk etika dan estetika, yang
merupakan realitas berbasis nilai.9 Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang
diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Pertanyaan dasar yang menjadi titik
tolak landasan aksiologis ialah: Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Dalam kenyataannya,
hingga sekarang ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam
mengendalikan kekuatan-kekuatan alam dan mengatasi problematika moral maupun sosial.
Maka perlulah landasan moral yang kuat bagi seorang ilmuwan untuk menentukan sikap dalam
menilai apa yang baik dan yang buruk dari pengetahuan yang ia kelola secara ilmiah tersebut.
Dalam pada itu, perlu dipertimbangkan bagaimana suatu ilmu pengetahuan
memberikan dampak bagi kehidupan dunia (life-world) secara intelektual maupun secara
sosial-praktis.10 Memang dunia ilmu pengetahuan berkutat soal fakta-fakta ilmiah, sedangkan
life-world mencakup pengalaman subjektif-praktis manusia ketika ia lahir, hidup dan mati:
pengalaman cinta dan kebencian, harapan dan putus asa, penderitaan dan kegembiraan,
kebodohan dan kebijaksanaan. Dunia ilmu pengetahuan merupakan dunia yang objektif,
universal, rasional, sedangkan life-world adalah dunia sehari-hari yang subjektif, praktis, dan
situasional.
Ilmu pengetahuan menawarkan cara kerja rasional dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Sementara itu, life-world tidak terlepas dari tradisi, moralitas, dan segala macam kepercayaan
dan praktiknya. Keraf dan Dua mengungkapkan rumusan-rumusan pertanyaan yang bagus
dalam kaitannya dengan hal ini:
Persoalan kita ... adalah: apa dampak ilmu pengetahuan terhadap life-world atau
tradisi pemikiran dan tindakan kita. Apakah dengan munculnya ilmu
pengetahuan, manusia modern dengan sendirinya akan menggunakan simbol-
simbol ilmu pengetahuan menggantikan simbol-simbol yang sudah lama
berakar kuat dalam tradisi kita? Jika demikian, bagaimana dampak semacam itu
bisa dijelaskan? Persoalan ini dapat dipertajam lagi. Ilmu pengetahuan
merupakan produk dari kebudayaan enlightenment, pencerahan. Maka
pertanyaan kita adalah apakah ilmu pengetahuan dengan sendirinya
9
Bdk. Jean-Marie de la Trinité, “What do ontology, epistemology, and axiology mean?”
https://www.quora.com/What-do-ontology-epistemology-and-axiology-mean (diunduh 21 Oktober
2019).
10
Istilah semacam ini diungkapkan oleh Keraf dan Dua dalam membahas secara implisit
mengenai dasar aksiologis ilmu pengetahuan. Bdk. Keraf dan Dua, Ilmu Pengetahuan, hlm. 132ss.
5
11
Ibid., hlm. 133.
6
Penutup
Pembahasan tiga unsur penting di atas berkenaan dengan studi Filsafat Ilmu secara
mendasar. Studi ini secara filosofis dikenal dengan sebutan studi Epistemologi. Dengan
demikian, secara umum studi epistemologi dipahami sebagai landasan nalar filosofis, untuk
7
memberikan keteguhan dan kekukuhannya bahwa manusia dapat memperoleh kebenaran dan
pengetahuan.
Landasan ontologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang objek materi dari
ilmu pengetahuan. Objek materi ilmu pengetahuan adalah hal-hal atau benda-benda empiris,
yang kemudian ditelaah secara esensial. Landasan epistemologis dari ilmu pengetahuan adalah
analisis tentang proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disusun melalui
proses yang disebut metode Ilmiah (keilmuan). Landasan aksiologis dari ilmu pengetahuan
adalah analisis tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu
pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan
keluhuran hidup manusia.
Kepustakaan
De la Trinité, Jean-Marie. “What do ontology, epistemology, and axiology mean?”
https://www.quora.com/What-do-ontology-epistemology-and-axiology-mean
(diunduh 21 Oktober 2019).
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Moser, Paul. “Epistemology.” Routledge Study of Philosophy. Vol. 10. Editor: John V.
Canfield. London and New York: Routldege, 2005.
Suriasumantri, Jujun. “Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Ilmu dalam
Perspektif. Diedit oleh Jujun Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1982.
***