Anda di halaman 1dari 23

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu : Dr. H. Nurmawan, M.Ag

Disusun oleh:

Asep Subarnas 23060013


Jusa Herdiyanto 23060030

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM
BANDUNG
TAHUN 2023
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU SAINS

I. PENDAHULUAN
Perkembangan sebagai produk berpikir merupakan obor dan semen
peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan
lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan
kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya.
Proses penemuan dan penerapan itulah menghasilkan kapak dan batu zaman
dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran
manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah
pikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayannya. Meskipun
kelihatannya betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun
pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan
pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? (Ontologi)
Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? (Epistemologi) dan apakah
1
nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (Aksiologi).
Sedangkan untuk istilah ilmu atau science merupakan suatu kata yang
sering diartikan dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti.
Science dalam arti sebagai natural science, biasanya dimaksud dalam ungkapan
“sains dan teknologi”. Menurut Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah
proses yang membuat pengetahuan (science is the process which makes
2
knowledge).
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita, sebab secara
ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam
lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah di luar
penjajahan yang bersifat diluar transendental yang berada di luar pengalaman
3
kita. Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan

1
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu
pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011), cetakan II, hlm. 45
2
Ibid., hlm. 49
3
Aceng Rachmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakrta: Kencana, 2011), cet. 1, hlm. 134

1
dikritisi oleh diri sendiri maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang
dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” atau apanya yang perlu diketahui
maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri. Adapun
pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang akan kita
gunakan dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian
epistemologi. Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi
manusia, dan makhluk lainnya, termasuk lingkungan dimana manusia berada,
4
disebut kajian aksiologi.
Ketiga dimensi utama filsafat ilmu diatas yaitu ontologi merupakan asas
dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan
serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut.
Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan
asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam
tubuh pengetahuan tersebut, yang mana ketiganya (ontologi, epistemologi, dan
aksiologi) merupakan tiang penyangga bagi tubuh pengetahuan yang
5
disusunnya.

II. PEMBAHASAN
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia
sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) dan penjelasan gaib (mystical explanations). Kini di satu pihak
manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai
hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi di pihak lain
sebagian mengenal pula aneka keterangan serba gaib yang tidak mungkin diuji
sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih berada di luar
jangkauan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan

4
Ibid., hlm. 135
5
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), cet. 5, hlm. 146

2
penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan
6
hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.
Berbicara mengenai ilmu erat kaitannya dengan filsafat, baik secara
substansial maupun historis. Karena kelahiran ilmu itu sendiri tidak bisa lepas
dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu akan selalu memperkuat
7
keberadaan filsafat. Dalam bahasa Inggris ilmu pengetahuan disebut sebagai
science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang
8
berarti mempelajari, mengetahui. Pengertian ilmu juga dapat dirujukkan pada
9
kata „ilm (Arab), waenschap (Belanda), dan wissen haf (Jerman). The Liang
Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara
rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti
10
manusia. R. Harre menulis ilmu adalah kumpulan teori yang sudah diuji coba
yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara
11
fenomena yang dipelajari secara hati-hati.
Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui. Yang hendak diketahui adalah
realitas, yakni segala sesuatu, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang ada
dilingkungan manusia, the khower. Yang dimaksudkan dengan lingkungan
disini adalah lingungan alam dan lingkungan sosial, dan bukan hanya yang
dekat dan “bersentuhan” langsung dengan kita, melainkan juga yang berjarak
12
keruang waktu (spatio-temporal) bukan alang-kepalang jauhnya.
Kemunculan ilmu pengetahuan di Eropa dimulai pada zaman Yunani
Kuno. Periode ini merupakan awal terjadinya perubahan pola pikir manusia, dari
pola pikir mitosentris yang sangat mengandalkan mitos dalam menjelaskan

6
Ibid., hlm. 55
7
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. 10, hlm.
1
8
Surajiyo, Op.Cit., hlm. 56
9
Mohammad Adib, Op.Cit., hlm. 46
10
Surajiyo, Op.Cit., hlm. 56
11
Mohammad Adib, Op.Cit., hlm. 46
12
Zainal Abidin Baqir, Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2005), cet. 1, hlm. 113

3
fenomena alam, menuju kepada pola pikir logosentris yang sangat
memerhatikan penggunaan kausalitas dalam memahami fenomena alam. Akibat
perubahan pola pikir ini, manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi
fenomena alam berubah menjadi aktif dan kritis sehingga alam dijadikan objek
13
penelitian.
Untuk lebih memahami konstruksi ilmu pengetahuan, maka harus
didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Mujamil Qomar dalam bukunya yang
berjudul “Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik” menjelaskan bahwa ontologi, epistemologi dan aksiologi dikenal sebagai
sub sistem dari filsafat. Demikian juga setiap jenis pengetahuan selalu
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu,
epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Secara detail,
tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan
aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model sistemik, justru ketiganya
14
harus senantiasa dikaitkan. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan
15
interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantungan).
A. Ontologi
1. Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran
Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang
belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales

13
Aceng Rachmat, Op.Cit., hlm. 114
14
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 1
15
Ibid., hlm. 2

4
merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri
16
sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ontologi artinya cabang ilmu filsafat yg
17
berhubungan dengan hakikat hidup . Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada
menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu
ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang
18
menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat
pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.
Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau pancaindera. Dengan demikian, objek ilmu adalah
pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan
berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh
pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”,
artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

Noeng Muhadjir dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan,


ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan
Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam

16
Amsal Bakhtiar, hlm. 131
17
http://kbbi.web.id/
18
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz
Media, 2007)

5
semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan
19
bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan
pembahasan tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal
dengan mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau objek
yang akan ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan sebuah pengetahuan.
Serta menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang
menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari
objek penelaahan tersebut.
2. Pandangan Pokok Pemikir dalam Pemahaman Ontologi
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius
pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang
bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754)
20
membagi metafisika menjadi dua, yaitu:
a. Metafisika umum
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari segala sesuatu yang ada.
b. Metafisika khusus.
1) Kosmologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta
2) Psikologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa
manusia
3) Teologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.

19
Amsal Bakhtiar, hlm. 133
20
Ibid., hlm. 134

6
Sedangkan arti metafisika itu sendiri menurut Reza A.A
Wattimena, dalam bukunya yang berjudul “Filsafat dan Sains; Sebuah
Pengantar” adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakekat dari
21
realitas pada levelnya yang paling abstrak.
Ada beberapa pandangan pemahaman tentang ontologi,
diantaranya yaitu:
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Thomas
Davidson menyebut dengan Block Universe. Kemudian paham ini
terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme (naturalisme)
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
22
bukan rohani. Seperti halnya manusia, karena manusia pada
instansi terakhir adalah benda dunia (materi) seperti benda (materi)
23
lainnya.
b. Idealisme
Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah nurani, spirit
24
atau sebangsanya.
2. Dualisme
Paham ini menganggap bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat
ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh,
25
dan ruh bukan muncul dari benda.
3. Pluralisme

21
Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo), hlm.
10
22
Amsal Bakhtiar., hlm. 135
23
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. 8, hlm.
158
24
Ibid., hlm. 138
25
Ibid., hlm. 142

7
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
26
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.

4. Nihilisme
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu
itu ada, ia tidak dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat
dipercaya karena sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
27
diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
5. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat
ruhani. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
28
kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.
3. Pendekatan Ontologis
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan
pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan
ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak
pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat
empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang
mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan
dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral, bahwa dalam menetapkan
objek penelaahan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah
kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan
26
Ibid., hlm. 143-144
27
Ibid., hlm. 145-146
28
Ibid., hlm. 146

8
mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis
ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam
menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu merupakan upaya manusia
29
untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
B. Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi
Sebagaimana ontologi, epistemologi juga merupakan salah satu
dari sub sistem filsafat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
epistemologi dimaknai dengan cabang ilmu filsafat tertentu, dasar-dasar
30
dan batas-batas pengetahuan. Istilah epistemologi sendiri berasal dari
bahasa Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran,
ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja
epistamai, artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka,
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
“menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.” Selain kata
“episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga
dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemologi” dalam sejarah pernah
juga disebut gnoseologi. Sebagian kajian filosofis yang membuat telaah
kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi
kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge;
31
Erkentnistheorie).
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
“misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi
mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika
mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda,

29
Surajiyo, hlm. 151
30
http://kbbi.web.id/
31
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), cet. 9, hlm. 18

9
bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
32
persoalannya.
Menurut P. Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang
dimiliki. Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan lingkup pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal
itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama.
Tetapi ada perbedaan pada persoalan kodrat pengetahuan dan hakikat
pengetahuan. Kodrat pengetahuan berkaitan dengan sifat asli dari
pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri
33
pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya.
Sedangkan menurut Surajiyo, epistemologi merupakan cabang
filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode,
struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan
ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang
membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
2. Objek dan Tujuan Epistemologi
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa
“segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang

32
Mujamil Qomar, hlm. 2
33
Ibid., hlm. 3

10
menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu
tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa
suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu
34
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi
untuk memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan sub
sistem filsafat yang bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya
35
epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.
3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam
metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu
memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a)
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
(b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut; (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis
36
termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat
rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.
Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan ilmuan setiap
upaya ilmiah harus ditunjukan untuk menemukan kebenaran, yang
dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan
langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi
secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai
37
kebenaran dan membenci kebohongan.
Diantara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami, satu hal
yang amat menyolok mata dan amat penting ialah pengetahuan. Sebab ia

34
Ibid., hlm. 8
35
Ibid., hlm. 10
36
Surajiyo, hlm. 151
37
Ibid., hlm. 152

11
merefleksikan pengetahuannya juga. Bagian filsafat yang dengan sengaja
berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia itu disebut
38
“epistemologi”, atau “ajaran tentang pengetahuan”.
4. Metode dan Metodologi
Perlu ditelusuri di mana posisi metode dan metodologi dalam
konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode,
metodologi dan epistemologi. Dalam dunia keilmuan, ada upaya ilmiah
yang disebut metode yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Sedangkan metodologi adalah
ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural
teoritis antara epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada
39
metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Karena
makna epistemologi itu sendiri merupakan hal yang mengkaji perilah
urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang
40
diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Epistemologi itu sendiri
merupakan sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi,
epistemologi mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah
41
akhirnya diperoleh metode.
5. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah
suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni
metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami
realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan
pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan
bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan

38
Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 1, hlm. 42
39
Mujamil Qomar, hlm. 20-21
40
Surajiyo, hlm. 90
41
Mujamil Qomar, hlm. 20-21

12
sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan
dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita
membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan
bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu
dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang
diragukan.
2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat
adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal,
dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus
(metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang
eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan
mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami
hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika
merupakan mukadimah bagi filsafat.
3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam
(teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks
suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan
peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang
berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi,
epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu
tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi
ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar
pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait
langsung dengan pembahasan epistemologi.
C. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau
nilai suatu kehidupan. Disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi
42
sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang
amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak?
42
Mohammad Adib, hlm. 74

13
Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika.
Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai
dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah
nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas
43
kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh
manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia
dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari
atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan
manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia.
Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam
perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam
44
keselamatan umat manusia.
2. Landasan Aksiologi Ilmu
Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama,
apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri.
Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai-
nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.
3. Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga
macam cara: orang dapat mengatakan bahwa:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”.

43
Ibid., hlm. 79
44
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit
Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000), hlm. 91

14
b. Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
c. Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan
45
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki
bermacam makna, diantaranya:
a. Mengandung nilai (artinya berguna)
b. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c. Mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil
sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d. Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang
diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai
46
tertentu).
4. Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait
dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu
mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang
sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia
di dunia ini.
Manusia belajar dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam
mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan hasil
kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang
obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan

45
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 331
46
Ibid., hlm. 332

15
dengan keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan
mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan
(sampai batas tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus
ilmu mampu memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang
kadang terjadi di luar dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari
perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi,
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih
mudah di samping penciptaan kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu
bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi
Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa
terkenal Carl Gustav Jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya
mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang
bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas
tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan
ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua
puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam
bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling
kepada hakikat moral.
Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh kaum ilmuwan dan
humanis. Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting,

16
antara lain: untuk apa ilmu digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya
berkembang? Namun pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan
dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan
itu sendiri. Hal ini tentunya tidak berarti bahwa perkembangan ilmu berhenti
cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya
dibatasi.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ini berarti
bahwa secara metafisika ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat
47
dogmatik Galileo (1564-1642). Yaitu ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa
“bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti
apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara
ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana
adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama tersebut,
dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.
Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela
mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap
benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan
John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak
pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan
moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi
intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia
mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi

47
Aceng Rahmat., hlm. 140

17
yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice
dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian
yang esensial dalam avontur intelektual?).
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan
suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal
ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi
dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya.
Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada
pada manusia itu sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada
tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita
tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun
pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengetahuan dan teknologi
diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologis.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi
ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
48
metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-
nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung
jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu
pengetahuan juga mempunyai efek negatif dan desktruktif, maka diperlukan
aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka
manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika
menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi
pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan

48
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003), hlm. 34-35

18
kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk,
semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung
di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.

III. PENUTUP
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena
tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti
yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas
(kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada.
Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian
kebenaran pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah
pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan
tersebut bernilai salah. Selain itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan
batas-batas dari obyek pengetahuan atau ilmu yang sedang dibahas. Jika
obyeknya adalah materi, maka batasannya juga harus materi. Jika obyeknya
nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.
Begitu juga dengan epistemologi, pentingnya pembahasan ini berkaitan
dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan
orang lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka
pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh orang lain.
Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan
ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah
bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara tidak ilmiah. Pembagian ini
hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh
pengetahuan tersebut.
Sedangkan aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai
dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia
mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif

19
bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan
memiliki tujuan obyektif.
Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka
nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini
terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk
memperbaiki atau untuk merusak diri.
Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda.
Pertama adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini
disebut sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran
bersifat relatif (Relativisme).
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika


Ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011)

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011)

Baqir, Z.A., Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2005)

http://kbbi.web.id/

Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga


Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007)

Rachmat, Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana, 2011)

Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

20
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002)

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-


Ruzz Media, 2007)

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi


Aksara, 2010)

Suriasumantri, J.S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2003)

Syukur, Suparman, Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran


Islam Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat,
2000)

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grasindo)

21

Anda mungkin juga menyukai