Anda di halaman 1dari 16

ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

MAKALAH

Disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Dr. Attabik, M.Ag.

Disusun Oleh:

Nama : Fatmah

NIM : 214120500001

Prodi : Manajemen Pendidikan Islam

MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SAIFUDDIN ZUHRI

PURWOKERTO

2021

1
ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

A. Pendahuluan

Ilmu dan manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Sejak awal

keberadaan manusia, manusia pertama telah diajarkan oleh Tuhan tentang

berbagai ilmu. Perekaman sejarah yang menandai keberadaan manusia yang lebih

beradab juga terkait erat dengan ilmu betapapun sederhananya sosok ilmu

tersebut. Biasanya, ada keterkaitan yang erat antara kehidupan manusia dengan

geografis masing-masing wilayah yang pada tataran awal mereka yang berada di

lembah-lembah sungailah yang dapat mengantarkan hidup dan berpikir.

Filsafat adalah akar dari segala pengetahuan manusia baik pengatahuan

ilmiah maupun pengetahuan non-ilmiah. Dalam buku Filsafat Ilmu: Sebuah

Pengantar Populer (Suriasumantri, 2000) dijelaskan bahwa seandainya seseorang

berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana cara bermain gitar, maka seorang

lainnya mungkin bertanya apakah pengetahuan Anda itu merupakan ilmu? Tentu

saja dengan mudah dia dapat menjawab bahwa pengetahuan bermain gitar itu

bukanlah ilmu, melainkan seni. Demikian juga sekiranya seseorang

mengemukakan bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkitkan kembali,

akan timbul pertanyaan serupa apakah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat

transendental yang keluar batas pengalaman manusia dapat disebut ilmu? Tentu

jawabnya adalah “bukan”, sebab hal itu termasuk dalam agama. (Suriasumantri,

2000:104)

2
Pengetahuan adalah persepsi subyek (manusia) terhadap obyek (riil dan

gaib) atau fakta. Ilmu Pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar

disusun dengan sistem dan metode untuk mencapai tujuan yang berlaku universal

dan dapat diuji/diverifikasi kebenarannya. Ilmu Pengetahuan tidak hanya satu,

melainkan banyak (plural) bersifat terbuka (dapat dikritik) berkaitan dalam

memecahkan masalah.

Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu

pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu adalah cabang filsafat yang

mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang

dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu

tertentu. Filsafat ilmu Pengetahuan disebut juga Kritik Ilmu, karena historis

kelahirannya disebabkan oleh rasionalisasi dan otonomisasi dalam mengkritik

dogma-dogma dan tahayul. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari

filsafat2 . Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan

munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu

pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti

spesialisasi-spesialisasi. Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi

kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang

mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan

mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen,

kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat

universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut

3
direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-

unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam.

Cakupan ontologi pengetahuan, ilmu, filsafat, dan agama semakin meluas,

mendalam, dan beragam sesuai dengan peningkatan pola pikir manusia, tingkat

kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup lebih efektif, efisien, dan

berkualitas. Tujuan hidup ini tidak hanya diorientasikan untuk dirinya saja

melainkan untuk segenap keturunannya dan lingkungan masyarakat, bangsa dan

negara. Maka, tidak mengherankan jika manusia mengeksplorasi, dan

mengelaborasi serta menganalisis baik secara deduktif maupun induktif,

melakukan refleksi kritis dan perenungan yang panjang untuk meneropong objek

empiris jagat raya dan segala isinya, termasuk keunikan, keanekaragamannya baik

dari klasifikasi jenis maupun kompleksitas perubahannya. Sebanyak kajian atau

ontologi yang dikuasai dan sebanyak itulah kekayaan pengetahuan manusia dalam

menangkap dan merespons alam jagat raya ini.

Untuk mengurai benang kusut tentang “keberadaan” pengetahuan,

bagaimana cara memperolehnya dan “nilai” kegunaannya bagi manusia dan

sekitar seluk-beluknya, maka kita urai beberapa persoalan yang dipikirkan dan

dipelajari secara mendalam berikut ini:

a. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan keberadaan

atau eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika.

b. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Pengetahuan

ditinjau dari isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi, sedangkan

4
kebenaran cabang filsafat dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang

filsafat logika.

c. Persoalan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai

kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika dan nilainilai

keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat setetika.

Berdasarkan ketiga persoalan tersebut maka selanjutnya akan dibahas

tentang epistemologi, ontologi dan aksiologi pengetahuan. Namun, dalam

makalah ini penulis hanya akan membahas tentang aspek Ontologi saja.

B. Pengertian Ontologi

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti

sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi, ontologi dapat diartikan

sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada)

dengan berdasarkan penalaran logis.1

Noeng dalam Amsal (2004:133) mengatakan bahwa membahas tentang

yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas

tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.

Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Lorens

Bagus (1996) menjelaskan bahwa yang ada meliputi semua realitas dalam semua

bentuknya. Sedangkan Yuyun S. Suriasumantri (2001) mengatakan bahwa

1 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 67

5
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,

atau perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tantang “ada”.2

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan

kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan

munculnya perenungan dibidang antologi. Yang tertua di antara segenap filsafat

Yunani yang kita kenal adalah Thales. Atas perenungannya terhadap air

merupakan substansi terdalam merupakan asal mula dari segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di

tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak pentingnya

tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu

sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air,

danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai subtansi-subtansi

(yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah

ada pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan (reality).

Beberapa karekteristik ontologi seperti diungkapkan oleh Bagus, antara

lain dapat disederhanakan sebagai berikut:

a. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial

dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak.

b. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas

dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada

atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau

eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya


2 Rohana, Filsafat Ilmu dan Kajiannya, hlm. 48

6
c. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir

yang ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan

segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya.

d. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau

semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.

Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM)

dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti

ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal

dari tiap sesuatu.

Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430 M).

Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam

alam ini terdapat kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia

mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa

yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia

mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran tidak

berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam

usahanya untuk mengetahui yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah

kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.

Ontologi merupakan cabang utama metafisika, studi mengenai kategorisasi

benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga

berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk

keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat dan

7
kemungkinan. Namun di lapangan, penggunaan istilah “metafisika” telah

berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang di luar dunia fisika”.

Dalam persoalan ontologi orang menghadapi bagaimanakah kita

menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan

pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi

(kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).

Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan

yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita adalah ke-real-an, riil artinya

kenyataan yang sebenarnya, hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan

kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang

berubah.

Hakikat kenyataan atau realitas dapat didekati ontologi melalui dua macam

sudut pandang: a) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan

itu tunggal atau jamak?, b) Kualitatif, yaitu mempertanyakan apakah kenyataan

(realitas) tersebut memiliki nilai tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki

warna kehijauan, dan bunga mawar yang beraroma harum.

C. Aliran-aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian

melahirkan aliran-aliran dalam filsafat sebagai berikut:

1. Monoisme

8
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu

hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber

yang asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin

ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya

merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang

lainnya. Thomas Davidson dalam Amsal (2004:135) menyatakan bahwa istilah

monoisme disebut Block Universe dan membagi ke dalam dua aliran:

a. Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan

rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat

mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi,

yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang bersifat

sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan

kebenaran dengansalah satu cara tertentu.

b. Idealisme

Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme yang dinamakan juga

dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti

serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua

berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak

berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada

penjelmaan ruhani.

9
2. Dualisme

Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monoisme) baik materi

ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua.

Aliran ini disebut dualisme, yang berpendapat bahwa benda terdiri dari dua

macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani,

benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan

muncul dari benda. Sama-sama hakikat, kedua macam hakikat itu masing-masing

bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya

menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya

kerja sama kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.

3. Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan

kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap

macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dikatakan sebagai paham yang

menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu

atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan

Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri

dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.

4. Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada.

Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah

nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniv dalam novelnya Fathers and Children

10
yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh

sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.

5. Agnotisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat

benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbulnya aliran ini

dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara

konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran

ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat

trancendent.

D. Aspek-Aspek Ontologi Ilmu Pengetahuan

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu

perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan

tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup

penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan

pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.

Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran

semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap

kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus; ontology menjelaskan yang ada yang

meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Ada beberapa aspek ontologis yang perlu diperhatikan dalam ilmu

pengetahuan. Aspek-aspek ontologis tersebut, yaitu:

11
1. Metodis

Menggunakan cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan mengolah

pengetahuan menggunakan metode tertentu, tidak serampangan.

2. Sistematis

Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan.

berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang

diperoleh, menggunakan langkah-langkah tertentu yang teratur dan terarah

sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.

3. Koheren

Unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang

bertentangan. berarti setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan

rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).

4. Rasional

Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis).

5. Komprehensif

Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara

multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik).

6. Radikal

Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.

7. Universal

Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.

12
E. Karakteristik Ontologi Ilmu Pengetahuan

Terdapat 20 elemen karakteristik ontologi ilmu pengetahuan, yaitu:

1. Ilmu berasal dari riset (penelitian).

2. Tidak ada konsep wahyu

3. Adanya konsep pengetahuan empiris

4. Pengetahuan rasional, bukan keyakinan

5. Pengetahuan objektif

6. Pengetahuan sistematik

7. Pengetahuan metodologis

8. Pengetahuan observatif (observable)

9. Menghargai asas verifikasi (pembuktian)

10. Menghargai asas eksplanatif (penjelasan)

11. Menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali

12. Menghargai asas skeptikisme yang radikal

13. Melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality)

14. Mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif (bukan absolut)

15. Mengakui adanya logika-logika ilmiah

16. Memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah

17. Memiliki konsep tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan

18. Pengetahuan bersifat netral atau tidak memihak

19. Menghargai berbagai metode eksperimen

20. Melakukan terapan ilmu menjadi teknologi.

13
F. Kesimpulan

Ontologi merupakan kawasan yang tidak termasuk ilmu yang bersifat

otonom tetapi ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan

ilmu, asumsi dasar ilmu, dan konsepkuensinya juga berpengaruh pada penerapan

ilmu. Ontologi merupakan sarana ilmiah menemukan jalan untuk menangani suatu

masalah secara ilmiah. Ontologi mendahuluhi ilmu dan bukan pembicaraan dalam

ilmu itu sendiri.

Walaupun begitu ontologi penting bagi pengembangan ilmu. Sebagaimana

telah dikemukakan, bahwa berfikir ontologis mempunyai corak kritis spekulatif,

artinya pembahasan di dalam ontologi dimulai tanpa asumsi dasar, melainkan

mengandalkan kreativitas akal yaitu inspirasi, intuisi, dan ilham.

Metode abstraksi digunakan ontologi untuk mencari kejelasaan tentang

dunia fakta seluruhnya sampai pada pengertian fundamental. Pengetahuan

fundamental yang dihasilkan oleh ontologi dapat dijadikan dasar untuk membahas

kembali asumsi dasar yang oleh ilmu pengetahuan telah dianggap mapan

kebenarannya.

Dalam persoalan pengembangan ilmu pengetahuan ini van Peursen

mengatakan : bahwa tidak ada ilmu yang selesai, para ilmuwan selalu dapat

mengembangkan ilmunya lebih lanjut. Ilmu bukan ibarat sebuah rumah dengan

dasar abadi sepanjang sejarah hanya dilengkapi dengan tingkat-tingkat baru.

Struktur ilmu bahkan pokok-pokok ilmu mengalami perubahan. Ontologi

menyelidiki dasar-dasar ilmu. Penelaahan ontologi dapat dijadikan dasar

14
merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk memperbaharui asumsi-asumsi dasar

yang pernah digunakan.

Ontologi ilmu layak dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara

menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya

antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik, dan

sebagainya).

15
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2015. FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan


Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Malian, Sobirin. 2010. Perkembangan Filsafat Ilmu serta Kaitannya dengan Teori
Hukum. UNISIA, XXXIII (73), hlm. 63-71
Muslih, Muhammad. 2016. FILSAFAT ILMU Kajian atas Asumsi Dasar,
Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Lesfi
Raikhan. 2014. PARADIGMA PENGETAHUAN BARAT DAN ISLAM (Analisis
Kritis Pemikiran Teori Belajar Dalam Perspektif Psikologi Islam).
Madinah: Jurnal Studi Islam, 1 (1), hlm. 49-62
Rohana. Filsafat Ilmu dan Kajiannya.
Sabil, Jabbar. 2014. Masalah Ontologi Dalam Kajian Keislaman. Jurnal Ilmiah
ISLAM FUTURA, 13 (2), hlm. 142-159
Soelaiman, Darwis A. 2019. FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN Perspektif Barat
dan Islam. Aceh: Penerbit Bandar Publishing
Suryadilaga, M. Alfatih. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (Analisis
Komparatif Islam dan Barat). Jurnal
Wahana, Paulus. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond

16

Anda mungkin juga menyukai