Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji hanyalah milik Allah swt Rabb sekalian alam, akhirnya
dengan mengucap rasa syukur ke hadiratNya maka selesai juga makalah ini dibuat berkat
limpahan rahmat kesehatan, kesempatan, dan dukungan dari semua pihak. Makalah yang
berjudul “ Peran Kyai dan Guru Agama Modern dalam Sistem Pendidikan di Indonesia”.
Karena itu pada kesempatan ini sesungguhnya penulis menyadari akan banyaknya
kekurangan yang ada dalam makalah ini karena keterbatasan ilmu dan wacana. Karena itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan dan sempurnanya makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  ………………..…………………………………………………. 1
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..... 2
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 3
1.1  LATAR BELAKANG ………………………………………………. 3
1.2  RUMUSAN MASALAH ……………………………………………. 3
1.3  TUJUAN PENULISAN ……………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………….. 5
2.1 PERAN KYAI SEBAGAI GURU AGAMA ………………………………… 5
2.2 PERAN GURU AGAMA MODERN DALAM PENDIDIKAN INDONESIA..
8
2.3 PERBEDAAN ANTARA GURU KYAI DAN GURU AGAMA …………. 9
BAB III KESIMPULAN
…………………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..
12
 
 
 
 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren dan pemegang peranan
tertinggi di dalamnya adalah seorang kyai. Seorang kyai tidak hanya sebagai titik sentral
semua kegiatan di pesantren, namun dia juga sebagai seorang guru agama sekaligus tokoh
pemberi teladan bagi seluruh masyarakat yang ada di sekitarnya. Sedang guru agama adalah
pengajar yang mengajarkan materi agama islam di sekolah-sekolah umum dan madrasah-
madrasah. Walaupun keduanya sama-sama sebagai pengajar agama Islam namun peran dan
pengaruhnya di mata masyarakat sangatlah berbeda.
Kyai sebagai guru agama tradisional yang mengajar di pesantren berbeda dengan guru
agama modern yang mengajar di sekolah umum dan madrasah, baik dari segi metode
pengajaran, orientasi mengajar, maupun kurikulum yang diajarkan. Perbedaan ini merupakan
hasil dari perkembangan sistim pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia yang
mengalami pergeseran, yaitu dari sistim pendidikan tradisional (pesantren) ke pendidikan
modern (sekolah/ madrasah).
Peran apa sajakah yang dapat dimainkan oleh seorang kyai dan seorang guru agama
modern dalam khasanah sistim pendidikan di Indonesia, dan apa saja kelebihan dan
kekurangan masing-masing, marilah kita lihat pada uraian berikutnya dalam makalah ini.

1.2.RUMUSAN MASALAH
– Apakah peran kyai sebagai guru agama?
– Bagaimana kedudukan guru agama dalam pendidikan di Indonesia?
– Apa saja perbedaan antara kyai dan guru agama dan apa penyebabnya?

1.3.TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja peran kyai dan guru agama
dalam sistim pendidikan di Indonesia, dan apa saja perbedaan di antara keduanya serta apa
yang menyebabkan timbulnya perbedaan itu. Semoga dengan mengetahui hal-hal tersebut di
atas menambah kearifan kita dalam bersikap kepada kyai dan juga guru agama.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERAN KYAI SEBAGAI GURU AGAMA
Menurut asal usulnya , perkataan kyai di Jawa dipakai pada tiga jenis gelar yang
berbeda yakni: sebagai sebutan kehornatan bagi barang atau hewan yang yang dianggap
keramat; gelar kehormatan bagi orang tua pada umumnya; gelar yang diberikan oleh
masyarakat kepada seorang ahli agama yang memiliki dan menjadi pengasuh di sebuah
pesantren[1]. Dulu orang menyandang gelar kyai hanya patut diberikan kepada orang yang
mengasuh dan memimpin pesantren, tetapi sekarang gelar kyai juga diberikan kepada
beberapa orang yang memiliki keunggulan dalam menguasai ajaran-ajaran agama Islam serta
mampu memberikan pengaruh yang besar kepada masyarakat[2].
Dalam masyarakat tradisional seseorang dapat menjadi kyai atau berhak disebut kyai,
jika ia diterima masyarakat sebagai kyai, karena banyak orang yang minta nasehat kepadanya,
atau mengirimkan anaknya untuk belajar kepadanya. Memang untuk menjadi kyai tidak ada
kriteria formal, seperti persyaratan studi, ijazah dan lain sebagainya. Namun ada beberapa
persyaratan non formal yang harus dipenuhi oleh seorang kyai, sebagaimana juga terdapat
syarat non formal yang  menentukan seseorang menjadi kyai besar atau kecil.
Menurut Abu Bakar Aceh sebagaimana dikutip oleh Karel A. Steenbrink dalam
bukunya Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ada empat
faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar yaitu: 1. pengetahuannya, 2.
kesalehannya, 3. keturunannya, dan 4. jumlah murid atau santrinya.
Walaupun harus diakui faktor keturunan ini tidak selalu merupakan faktor yang harus dimiliki
oleh seorang kyai. Sehingga bisa saja seorang kyai yang tidak mempunyai jalur langsung dari
keturunan kyai, dan sebaliknya banyak keturunan kyai yang tidak sempat menyandang
predikat kyai.
Ketika berbicara mengenai kyai maka tidak akan lepas dari pembahasan tentang pesantren
sebab kyai adalah salah satu elemen dari pesantren yang tidak dapat dipisahkan. Sistem
pendidikan pesanten telah lama ada sebelum datangnya Islam ke Indonesia, kemudian pada
saat  Islam tersebar di Indonesia pesantren mengalami perubahan dari awal bentuk isinya
yakni dari Hindu ke Islam. Sebagai pengajar di pesantren kyai meliliki pengaruh yang kuat
bagi keseluruhan elemen pesantren. Bahkan profesinya sebagai pengajar dan penganjur Islam
berbuah pengaruh yang melampaui batas-batas pesantren itu berada[3]. Selain profesinya
sebagai pengajar ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada masyarakat secara umum
yakni sifat wibawa, kesalehan, serta ketinggian ilmu yang membawa daya tarik tersendiri bagi
masyarakat.
Peran kyai dalam pendidikan pesantren adalah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang
sifatnya absolut, sehingga dalam seluruh kegiatan yang ada di pesantren haruslah atas
persetujuan kyai. Bahkan dalam proses pentransformasian ilmu pun yang berhak menentukan
adalah kyai. Ini terlihat dalam penentuan buku yang dipelajari, materi yang dibahas, dan lama
waktu yang dibutuhkan dalam mempelajari sebuah buku, kurikulum yang digunakan,
penentuan evaluasi, dan tata tertib  yang secara keseluruhan dirancang oleh kyai. Keabsolutan
ini juga dipengaruhi oleh tingginya penguasaan kyai terhadap sebuah disiplin ilmu. Oleh
karena itu kecakapan, kemampuan, kecondongan kyai terhadap sebuah disiplin ilmu tertentu
akan mempangaruhi sistem pendidikan yang digunakan dalam sebuah pesantren. Sehingga ada
beberapa kyai yang mengharamkan pelajaran umum diajarkan di pesantren karena adanya
pengaruh yang kuat terhadap cara berfikir dan pandangan hidup kyai.
Selain kekharismaannya seorang kyai juga memiliki tingkat keshalehan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Salah satunya terlihat dari keikhlasannya
dalam mentransformasikan suatu displin ilmu kepada santrinya, sehingga ia tidak menuntut
upah dari usahanya dalam memberikan ilmu. Ini dapat dilakukan karena orientasinya adalah
pengabdian secara menyeluruh dalam mengemban tugasnya sebagai  pengajar atau pendidik
pendidikan Islam dan sebagai pemuka agama. Karena inilah kyai dijadikan sebagai teladan
bagi seluruh orang yang ada disekitarnya.
Penguasaan kyai terhadap suatu disiplin ilmu didapatkan dari pengembaraanya selama ia
menjadi santri. Penguasaan disiplin ilmu tersebut sudah sangat memadai untuk dijadikan
sebagai bahan ajar bahkan terkadang tingkat intelektualnya lebih tinggi dibandingkan dengan
guru agama yang memiliki banyak gelar akademik. Karena itu sebutan kyai tidak saja
diberikan bagi orang yang berpengaruh dalam masyarakat tetapi juga menuntutnya untuk
memiliki kedalaman penguasaan terhadap sebuah disiplin ilmu. Namun saat ini penguasaan
terhadap suatu disiplin ilmu saja tidak cukup sebab dibutuhkan juga adanya kemampuan
memberikan pengajaran dengan metode dan inovasi-inovasi pendidikan yang memadai.
Kekurangan kyai dalam pendidikan adalah kurang beragamnya metode pengajaran yang
digunakan. Sistem yang digunakan oleh kyai dalam mengajar adalah sistem pengajaran
berbentuk halaqah dimana kyai hanya membacakan kitabnya dan santri menyimak, kemudian
kyai menterjemahkan dan menjelaskannya[4]. Tetapi seiring dengan berkembangnya sistem
pendidikan, maka cara seperti inipun mulai ditinggalkan. Sebab  dinilai kurang efektif karena
interaksi hanya berjalan satu arah. Selain kurangnya metode pengajaran kekurangan lain dari
kyai adalah kurang berkerja sama dengan pengajar lain secara maksimal sehingga hasil
pengajarannya kurang optimal jika dihadapkan pada santri dalam skala besar.
Hubungan atara kyai dengan murid sangatlah erat dan cenderung saling bergantung, karena
pengaruh yang diberikan oleh kyai kepada santrinya. Hal ini menyebabkan santri
menyerahkan dan mengabdikan dirinya untuk kyai sebagai bentuk kesetiaan santri kepada
kyainya dan karena mengangap hal itu sakral[5]. Meski sikap ketergantungan ini dinilai baik
tetapi menyebabkan pola pikir santri menjadi tidak berkembang. Namun saat ini kesetiaan
pada kyai sudah tidak banyak berpengaruh karena pola pikir para santri dalam menghadapi
kehidupannya  sudah mulai berkembang.
2.2. PERAN GURU AGAMA MODERN DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Secara umum kedudukan guru agama dengan guru-guru yang lain adalah sama yang
membedakan hanyalah pada bahan ajar yang diberikan. Guru agama modern memiliki gelar
S.Ag atau Drs yang diperoleh setelah menamatkan sekolah di perguruan tinggi. Sedangkan
pengakuan sebagi guru baru didapatnya saat mereka bertugas sebagai pengajar di sebuah
sekolah atau lembaga pendidikan yang bersifat formal. Gelar yang dimiliki oleh guru agama
modern ini hanya dilihat dari segi intelektualnya saja tanpa melihat aspek lain yang
berhubungan dengan kesalehan dan pengaruhnya kepada masyarakat.
Guru agama modern mengajar berdasarkan kurikulum paket yang telah ditetapkan oleh
pemerintah yang sifatnya nasional, sehingga program-program yang ada dalam pengajaran
harus disesuaikan dengan  kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk itu guru
agama dalam mengajar memiliki satuan waktu yang ada pada setiap minggunya. Guru agama
modern digaji secara profesional sesuai dengan jam ajar yang telah diberikan kepada
muridnya. Oleh karena itu tidak heran jika sering kali guru agama modern menolak untuk
mengajar di luar jam yang telah ada dengan alasan bayaran yang diberikan tidak sesuai dengan
yang diharapkan, jikapun mereka menerima maka mereka meminta dibayar lebih dari yang
biasa[6].
Sebagian guru agama juga memiliki sifat kesalehan akan tetapi tidak sama dengan kesalehan
yang dimiliki oleh kyai, karena kesalehan yang dimiliki oleh guru agama modern merupakan
nilai plus darinya sebab yang menjadi tolak ukur seorang guru agama modern adalah tingginya
intelektualitas dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sistem belajar mengajar yang
dimiliki.  Meski secara umum pengabdian dengan ikhlas dalam memberikan pengajaran juga
masih diutamakan, namun seorang guru agama tetap mengharapkan gaji untuk mencukupi
kebutuhannya sehari-hari.
Hubungan antara murid dengan guru agama terbatas hanya sebagai pendidik dan peserta didik,
hubungan ini tidak seerat hubungan antara santri dengan kyai pada sistem pendidikan
tradisional. Hubungan yang demikian ini menyebabkan kurangnya rasa tanggung jawab guru
agama terhadap murid di luar sekolah, bahkan terkadang terlihat cenderung acuh tak acuh,
karena kehidupan sehari-hari murid tidak  terlalu diperhatikan oleh guru agama.
2.3.PERBEDAAN ANTARA KYAI DAN GURU AGAMA
Sebagaimana yang telah kita ketahui ada banyak perbedaan antara guru agama tradisional atau
kyai dengan guru agama modern. Khozin (2001:96) menampilkan perbedaan antara kyai
dengan guru agama modern yang ditulis dalam bentuk tabel seperti di bawah ini:
No Dimensi-dimensinya Guru Agama
Tradisional (K.H) Modern (Drs, S.Ag)
1. Syarat formal Tidak dipentingkan Mutlak dipentingkan
2. Syarat non-formal Relatif dibutuhkan Kurang diperhatikan
3. Kesalehan Sangat dipentingkan Dicontohkan, tetapi
bergeser ke kualifikasi
intelektual
4. Organisasi Lokal/terbatas Luas dan saling bergantung
5. Kurikulum Disusun sendiri dan berlaku Disusun oleh institusi yang
dalam lingkup terbatas dibentuk negara dan berlaku
secara luas
6. Hubungan guru dengan Murid taat secara absolut kepada Bersifat kontraktual dan
murid kyai saklek
7. Otoritas dalam menaf- Relatif berkurang, karena Membuka peluang kepada
sirkan ajaran agama diambil oleh lembaga-lembaga murid untuk mengakses
keagamaan sumber-sumber informasi
keagamaan
Perbedaan ini terjadi karena adanya pergeseran dari guru agama tradisional menjadi guru
agama modern seiring dengan terjadinya pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam di
Indonesia. Dalam buku Karel A Steenbink (1986:42) disebutkan bahwa pembaharuan
pendidikan disebabkan oleh:
1. Muncul  keinginan untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah yang dijadikan titik
tolak untuk menilai kebiasaan beragama dan kebudayaan yang ada. Sentral
kecenderungannya adalah menolak taqlid, meskipun ada beberapa yang masih berpegang
pada mazhab.
2. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasaan kolonial Belanda.
3. Usaha yang kuat dari orang-orang islam untuk memperkuat organisasinya di bidang
sosial ekonomi.
4. Pembaharuan pendidikan islam karena adanya ketidakpuasan dengan metode
tradisional dalam mempelajari Al quran dan studi agama Islam.
Pembaharuan pendidikan Islam tersebut merupakan awal berkurangnya dominasi kyai dalam
sistem pendidikan Islam. Karena anak-anak yang ingin belajar agama tidak harus datang
kepada kyai, namun mereka dapat belajar pada madrasah yang sudah lebih maju dalam hal
metode pengajarannya. Akan tetapi pergeseran ini tidak sepenuhnya menggusur kedudukan
kyai di mata masyarakat karena kekharismaannya dalam kepemimpinan, kesalehannya dalam
beribadah dan keikhlasannya dalam memberikan pengajaran. Ketiga ciri khas ini tidak dapat
ditemui pada guru agama modern yang ada saat ini. Sehingga  masih banyak masyarakat yang
mempercayakan penentuan kehidupannya kepada kyai yang ada di sekitar mereka.
Selain faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, pergeseran ini juga dipengaruhi
oleh adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh beberapa badan untuk pendidikan di
Indonesia. Salah satu contoh kebijakan itu adalah kebijakan BPKNP yang menyebutkan para
guru mendapatkan gaji dari pemerintah, atau kebijakan Islamic Education in Indonesia oleh
Depag yang menyebutkan adanya pengadaan pendidikan guru agama[7].
Kebijakan-kebijakan ini dibuat semata-mata  atas dasar keinginan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap peningkatan standar kualitas pendidikan secara umum yang termasuk
didalamnya pendidikan agama Islam. Untuk itu perlu adanya peningkatan kemampuan pada
setiap pengajar pendidikan agama Islam. Sehingga  para guru agama tidak hanya memiliki
pengetahuan mendalam tentang ajaran agama saja, tetapi ia juga dituntut untuk dapat
memberikan metode pengajaran dan inovasi pendidikan yang lebih maju.
BAB III
KESIMPULAN
Peran dan pengaruh kyai dalam proses pendidikan ala pesantren memang cukup dominan,
namun apakah tuduhan sementara manusia modern tentang pesantren yang terkesan sumbang
semuanya benar ?. Untuk memperoleh jawaban yang akurat tentu perlu  penelitian lebih
cermat. Karena kita tentu akan melihat bahwa kaum santri yang concern dengan tradisi
pesantren tentu akan menolak pandangan negatif dari sementara orang yang mengatasnamakan
manusia modern, yang dialamatkan kepada pesantren tersebut. Sebab diyakini bahwa
pandangan negatif akan menghambat transformasi nilai-nilai Islam yang sedang gencar
dilakukan oleh pesantren, yang tentunya termasuk penghormatan santri teradap kyai.
Secara umum kyai memiliki wewenang penuh di dalam membawa perjalanan pesantren untuk
diarahkan kepada suatu tujuan yang telah digariskan. Oleh sebab itu pelaksanaan proses
pendidikan yang terjadi di dalam pesantren pun sangat tergantung kepada kyai untuk
mengaturnya. Walaupun biasanya operasionalnya dilakukan oleh para guru atau para
pembantunya, namun ide-ide yang mewarnainya tetap tidak lepas dari campur tangan kyai.
Seorang guru agama modern tidak akan bisa mempunyai peran besar seperti seorang kyai
kalau dia hanya mengandalkan tingkat intelektualitas saja, tanpa dibarengi dengan tingginya
tingkat kesalehan dan besarnya kharisma di mata masyarakat. Namun dalam rangka
mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia agar lebih maju, alangkah indahnya jika
antara kyai dan guru agama modern saling bersinergi untuk saling mentransfer ilmu yang
dimiliki. Sehingga seorang guru agama modern walaupun hanya sebagai seorang pengajar
agama di madrasah akan menjadi seorang yang dihormati dan dicintai serta dijadikan teladan
oleh murid-muridnya layaknya seorang kyai. Dan seorang kyai akan menjadi guru agama yang
handal dengan metode dan kurikulum yang disesuaikan kebutuhan santri layaknya seorang
guru agama modern.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
A Steenbrink, Karel. 1986.  Pesantren, Madrasah, Sekolah; pendidikan Islam dalam kurun
modern. Jakarta: LP3ES
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren; Study tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES
Hamzah, Amir. 1968. Pembaharuan Pendidikan & Pengadjaran Islam. Malang: Ken Mutia
Khazin.2001. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press
Qomar, Mujamil. Pesantren; dari Transformasi Metodologi menuju Demokrasi Institusi.
Jakarta: Erlangga
Wahid, Abdurrahman, dkk. 1974. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES
 

[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai  (Jakarta:


LP3ES, 1985) hal. 55
[2] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia  (Malang: UMMPress. 2001) hal. 88
[3] Ibid
[4] Karel A Steenbink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen. (Jakarta : LP3ES,1986) hal. 14
[5] Pesantren dan Pembaharuan (Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur) Jakarta:
LP3ES, 1974 hal 49
[6] Khozin, Op.Cit. hal. 94
[7] Ibid , hal  98

Anda mungkin juga menyukai