Anda di halaman 1dari 15

RESUME : HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah defenisi, sejarah, seumber-sumber
Hukum Perdata Internasional dan beberapa hal lagi yang akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan
yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur
warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata
Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur internasional
pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-negara dan aktor
individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini berbagai
perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang berorientasi
pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik melintasi batas
territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan, kerjasama, memecahkan
permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya. Begitu juga dengan aktor individu,
mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari uang lebih keluar masuk dari
satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan dua
warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu negara, mempunyai harta warisan
dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari,
akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia. 
Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan
dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar dunia yang
ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang lemah akan
tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan
bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur permaslahan-
permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur dalam sutau
kerangka-kerangka hukum positif. 
B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal
yang menjadi fokus penulisan makalah, yaitu: 
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional?
2. Apa saja pembahasan penting yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional?

C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi mahasiswa dan
masyarakat mengenai Hukum Perdata Internasional. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi tambahan referensi yang berguna dalam memperluas ilmu pengetahuan dan
menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian dengan objek
yang sama, terutama mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Riau. Tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menjelaskan mengenai defenisi dan sejarah Hukum Perdata Internasional.
2. Menjelaskan mengenai pembahasan apa saja yang berkaitan dengan Hukum Perdata
Internasional.

D. Teknik Pengumpulan Data


Penulisan ini menggunakan data-data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah buku-
buku mengenai Hukum Perdata Internasional, serta materi-materi yang mendukung tulisan
ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan melalui studi literatur termasuk akses data melalui
internet. Akses internet dilakukan dengan selektif melalui alamat situs yang kredibilitasnya
dapat dipercaya. Data yang telah didapatkan, kemudian akan dipilih sesuai dengan tema
makalah. 

E. Sistematika Penulisan
Untuk mewujudkan sebuah makalah yang sistematis dan menarik untuk dicermati, maka
system penulisan pada bab-bab berikutnya akan tercermin pada poin-poin sebagai berikut:
1. Di dalam bab I, akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pembatasan
masalah, teknik pengumpulan data dan sistematika penulisan. 
2. Di dalam bab II, akan dibahas mengenai sejarah perkembangan Hukum Perdata
Internasional, defenisi Hukum Perdata Internasional, sumber-sumber Hukum Perdata
Internasional, hubungan Hukum Perdata Internasional dengan bidang hukum lain, titik
pertalian/ titik taut, prinsip domisili/kewarganegaraan, renvoi, ketertibam umum dan
penyelundupan hukum, pilihan hukum, dan pemakaian hukum asing
3. Di dalam bab III, akan dipaparkan kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan
pembahasan masalah dalam bab II.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional

Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan
orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Hukum yang digunakan adalah Ius
Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk
kepentingan orang luar atau dikenal dengan Ius Gentium. Yang dimaksud dengan Ius
Gentium adalah hukum yang berlaku antara orang Romawi dan bukan Romawi. Ius Gentium
kemudian berkembang lagi menjadi Ius Publicum dan Ius Privatum. Ius Publicum inilah yang
berkembang sekarang ini menjadi Hukum Internasional, sedangkan Ius Privatum berkembang
menjadi Hukum Perdata Internasional (HPI).
Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi), pada masa ini
merupakan masa dimana kekaisaran romawi ditaklukkan oleh orang “barbar”, sehingga ius
civile tidak berguna, yang dipergunakan adalah asas personal dan hukum agama (tribal laws).
Kemudian pada masa ini juga tumbuh beberapa kaedah HPI yang didasarkan pada asas
personal yang diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam sengketa hukum: hukum pihak tergugat
2) Dalam perjanjian: huku personal masing-masing pihak
3) Pewarisan: hukum dari transferor (yang mewariskan)
4) Peralihan hak milik: hukum dari transferor
5) Perbuatan melawan hukum: hukum dari pihak yang melanggar hukum
6) Perkawinan: hukum suami
Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12
sesudah masehi). Setelah mealui masa 300 tahun pertumbuhan asas personal semakin sulit
dipertahankan mengingat terjadinya transformasi dalam masyarakat sehingga keterikatan
lebih didasarkan pada kesamaan wilayah tempat tinggal (teritorial). Proses transformasi
terjadi di dua kawasan Eropa dengan perbedaan yang mencolok. Di Eropa Utara (Jerman,
Perancis, Inggri), masyarakata berada di bawah kekuasaan tuan tanah (feodalistik) dan tidak
terdapat tempat bagi pengakuan terhadap kaidah hukum asing (HPI). Sedangkan di Eropa
Selatan (Italia, Milan, Bologna), merupakan kota perdagangan dan perselisihan yang ada di
antara pedagang yang berasal dari luar diselesaikan dengan kaedah HPI. 
Kemudian masih pada tahap III ini, diletakkan dasar bagi HPI modern dengan prinsip
teritorial. Lex Rei Sitae (Lex Situs), yaitu perkara tentang benda tidak bergerak dimana
hukum yang digunakan adalah hukum dimaan benda tersebut berada. Lex Dominicili,
mengatur tentang hak dan kewajiban dimana hukum yang digunakan adalah hukum dari
tempat seorang berkediaman. Lex Contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian hukum
yang berlaku yaitu hukum dari tempat perbuatan perjanjian
Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi).
Tingginya intensitas perdagangan di italia menimbulkan persoalan tentang pengakuan hak
asing dalam wilayah suatu kota. Asas teritorial tidak dapat menjawab semua masalah yang
timbul, sehingga dibutuhkan adanya ketentuan hukum (statuta). Pencetus Teori Statuta adalah
Bartlus (Bapak HPI), yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan menetapakan asas-asas
untuk menentukan wilayah berlaku setiap aturan hukum (statuta). Dalam teori statuta terdapat
istilah Statuta personalia, yaitu mengenai kedudukan hukum/ status personal orang. Berlaku
terhadap warga kota yang berkediaman tetap, melekat dan berlaku atas mereka dimanapun
mereka berada. Kemudian juga dikenal istilah Statuta Realia yang berlaku di dalam wilayah
kekuasaan penguasa koa yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke
kota tersebut. Selain itu juga ada Statuta Mixta yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan
penguasa kota yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut.

B. Defenisi Hukum Perdata Internasional


Menurut Van Brakel dalam buku “Grond en beginselen van nederland internationaal
privatrecht” menyatakan bahwa internationaal privatrecht is a national recht voor
internationale recht verhouding geschreven. Maksudnya bahwa HPI adalah hukum nasional
yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan hukum internasional. Sedangkan menurut
Prof. DR. S. Gautama. S.H. HPI adalah keseluruhan peraturan atau keputusan hukum yang
menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum jika
hubungan-hubungan atau peristiwa antar warga negara pada suatu waktu tertentu
memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah dari dua atau lebih
negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal.
Berdasarkan pendapat kedua ahlil tersebut, dapat disimpulkan bahwa HPI adalah hukum
nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan
yang internasional adalah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Contohnya
adalah kasus pernikahan antar warga negara satu dengan warga negara lain. Masalah-masalah
pokok yang dibahas dalam HPI adalah sebagai berikut:
1) Hakim/ badan hukum peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara
hukum yang mengandung unsur asing. (chioce of yuridiction) merupakan hukum acara dalam
HPI
2) Hukum manakah yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan maasalah HPI (the
appropriate legal system)
3) Sejauh mana suatu peradilan harus memperahatikan dan mengakui putusan hukum asing
(recognition of foreign judgements)
Luas lingkup HPI menurut negara yang pertama, HPI merupakan Rechtstoepassingrecht/
choice of law (paling sempit). Artinya, istilah HPI terbatas pada masalah-masalah hukum
mana yang diberlakukan. Contoh: negara Jerman, negara Nederland. Kedua, HPI adalah
choice of law + choice of juridiction (lebih luas). Maksudnya, mengenai hukum mana yang
berlaku ditambah dengan kompetensi wewenang hakim untuk mengadili perkara yang
bersangkutan. Contoh: negara Anglo Saxon, Inggris, dan Amerika Serikat. Ketiga, HPI
merupakan choice of law + chioce of juridiction + condition des estranges (lebih luas).
Maknanya, mengenai hukum mana yang berlaku + kompetensi wewenang hakim + status
orang asing. Contoh: Italia dan Spanyol. Keempat, HPI adalah choice of law + chioce of
juridiction + condition des estranges + natonalite (terluas). Artinya, mengenai hukum mana
yang berlaku + kompetensi wewenang hakim + status orang asing + kewarganegaraan.
Contoh: Perancis.

C. Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional


Sumber hukum terbagi atas sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil, dalam
pengertian dasar berlakunya hukum apa atau sebabnya hukum mengikat dan biasanya terletak
di luar bidang hukum. Sedangkan sumber hukum formil, dalam pengertian dimana
terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang persoalan yang konkrit dalam
bentuk tertulis. Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-undang kewarganegaraan
Republik Indonesia, Undang-undang pokok Agraria, Undang-undang penanaman modal
asing, dan Undang-undang penanaman modal dalam negeri. Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia no.62 tahun 1958, diatur dalam pasal 1 undang-undang
kewarganegaraan bahwa kewarganegaraan diperoleh dengan kelahiran, yaitu:
1) Karena kelahiran dari seseorang warga negara Indonesia, jadi berdasarkan keturunan
(pasal 1 ayat a, c, e)
2) Berdasarkan kelahiran di wilayah Republik Indonesia jika masih dipenuhi syarat-syarat
(pasal 1 ayat f, g, h)
Dalam undang-undang juga diatur siapa saja yang menjadi warganegara:
1) Mereka yang menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan undang-unadng/ peraturan/
perjanjian yang terlebih dahulu berlaku
2) Menentukan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
a. Pada waktu lahir, mempunyai hubungan kekeluargaan dengans eorang warga negara
Indonesia
b. Lahir dalam waktu 200 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya adalah warga
negara Indonesia
c. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia selama orang tua tidak diketahui
d. Memperoleh kewarganegaraan menurut undang-undang no. 62 tahun 1958
Undang-undang pokok agraria (undang-undang no. 5 tahun 1960), diatur dalam pasal 1
undang-undang pokok agraria, yaitu seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bengsa Indonesia. Pasal 9, hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang
angkasa. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa: Hak milik atas tanah, hanya
warganegara Indonesia yang boleh memiliki milik atas tanah sedangkan orang asing tidak
diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Hak pasal 55:2, badan hukum asing hanya
dapat memperoleh hak guna usaha dan hak guna bangunan jika diperbolehkan oleh undang-
undang yang mengatur pembangunan nasional.
Undang-undang penanaman modal asing (undang-undang no.1 tahun 1967), diatur dalam
pasal 2 undang-undang modal asing dapat berupa:
1) Milik orang asing, modal asing sebagai milik orang asing, merupakan milik warga negara
asing yang dimasikkan dari luar negeri kedalam wilayah Indonesia
2) Dapat merupakan milik badan hukum asing yang menjadikan modal badan hukum
Indonesia, maksud badan hukum Indonesia:
a. Badan hukum menurut hukum Indonesia
b. Berkedudukan di Indonesia
Dalam undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) unsur asing juga
diperhatikan sehingga undang-undang ini juga merupakan sumber HPI. Undang-undang
penanaman modal dalam negeri (undang-undang no. 6 tahun 1968), diatur dalam pasal 1
undang-undang PMDN yaitu:
“Modal dalam negeri adalah bagian dari pada kekayaan masyaraka tIndonesia termasuk hak-
hak dan benda-benda, baik yang dimiliki negara atau swasta nasional atau swasta asing
berdomisili di Indonesia yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha...”
1) Pasal (2): pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri terdirid dari perorangand an
badan hukum yang berlaku di Indonesia
2) Dalam undang-undang PMDN unsur asing juga diperhatikan sehingga undang-undang ini
juga merupakan sumbar HPI

D. Hubungan Hukum Perdata Internasional dengan Bidang Hukum Lain


Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang
digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan.
HAG tidak banyak terdapat di negara-negara yang sudah merdeka, hanya pada negara jajahan
dan bekas jajahan. Istilah golongan menunjukkan adanya perbedaan hukum karena golongan
rakyat yang berbeda, pribadi yang berbeda, orang dan golongan yang berbeda. Ruang lingkup
HAG pada masa penjajahan bersifat nasional mengatur hukum antar ras, antar suku bangsa,
dan antar golongan etnis. Kemudian, pada alam kemerdekaan sifat nasional berganti menjadi
internasional. Persoalan HAG bergeser menjadi persoalan HPI dengan ruang lingkup
hubungan warganegara antar negara. Selain itu, hubungan HPI dengan Hukum Internsional
adalah sebagai berikut:
1) HPI akan berkembang sesuai dan sejalan dengan ramainya pergaulan internasional
terutama dibidang pergaulan internasioanl. Karena itu kaedah-kaedah HPI tidak boleh
bertentangan dengan kaedah hukum internasional yang berlaku
2) Oleh karena itu HPI menyangkut pergaulan internasional maka bentuk dan isi kaedah-
kaedahnya akan terpengaruh oleh corak dan kebutuhan masyarakat internasional dari masa-
kemasa
3) Akibat lain dari keharusan HPI untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan suasana
masyarakat internasional adalah adanya keharusan kerjasama internasional melalui organisasi
internasional
4) Adanya kebutuhan kerjasama yang lebih erat antara bangsa sedunia, mengaibatkan
banyaknya perjanian internasional sehingga kaedah HPI juga semakin banyak
5) Peran pemerintahdalam kehidupan pribadi, sehingga yang merupakan privat berlaku dalam
hukum publik. Misal: berlakunya asas hukum perdata rebus sic stantibus dalam hukum publik
internasional
6) Hukum internsional membutuhkan HPI agar kaedah-kaedahnya benar-benar berlaku dan
ditegaskan dalam lingkungan kekuasaan negara-negara nasional
Hubungan HPI dengan perbandingan hukum dapat dilihat dari bagan berikut:

E. Titik Pertalian/ Titik Taut


Pengertian mengenai titik taut ini berbeda di beberapa negara, misalnya Belanda: Connecting
Factor, point of contact, test of factor. Perancis: Points de Rettachment. Dan Jerman:
Anknupfunspunkte. Hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau
fakta di dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan
suatu negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara
untuk mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak.
Sekunder, merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang
dipertautkan. 
Banyak sekali yang merupakan titik pertalian sekunder, berikut akan dilihat secara
keseluruhan titik pertalian sekunder (TPP) dan titik pertalian sekunder (TPS dan Titik
pertalian lain, sekaligus daapt dilihat bahwa ada faktor-faktor dan hal-hal yang sekaligus
dapat merupakan TPP dan TPS. Titik pertalian yang lain adalah sebagai berikut:
1) Tempat letaknya benda
2) Tempat dilangsungkan perbuatan hukum (lex Loci Actus)
3) Tempat dilaksanakan perjanjian (lex loci solutionis)
4) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
5) Maksud para pihak
6) Tempat diajukan proses perkara
Titik pertalian primer merupakan alat pertama bagi hakim untuk mengetahui suatu persoalan
hukum merupakan suatu HATAH hal ini kita lihat dalam HAG TPP disebut juga titik taut
pembeda. 
1) Kewarganegaraan, kewarganegaraan para pihak dapat, merupakan faktor yang melahirkan
HPI. Contoh: seorang warga negra indonesia menikah dengan warga negara amerika serikat,
adlam hal ini kewarganegaraan pihak yang bersangkutan merupakan faktor bahwa stelsel
Hukum negara tertentu dipertautkan. 
2) Bendera kapal, dianggap sebagai kewarganegaraan pada seseorang. Dapat menimbulkan
persoalan HPI, contoh: sebuah kapal berbendera indonesia, sedangkan nahkodanya
berkewarganegaraan amerika seriakt, maka segala tindakan hukum diatas kapal tersebut
menggunakan hukum indonesia
3) Domisili/ tempat kejadian, dapat merupakan faktor yang menimbulkan persoalan HPI.
Contoh: warga negara inggris (a) berdomisili di negara x, menikah dengan warga negara
Inggris (b) berdomisili di negara y, karena domisilinya berbeda maka menimbulkan masalah
HPI
4) Tempat kedudukan, tempat kedudukan juga sangat penting untuk suatu badan hukum
karena tempat kedudukan badan hukum ini juga melahirkankaidah hukum
5) Pilihan Hukum, pilihan hukum dapat menciptakan hubungan HPI. Contoh: seorang
pedagang warga negara indonesia dan pedagang jepang menetapkan dalam perjanjian mereka
bahwa dalam perjanjian dagang, mereka bahwa Hukum Indonesia yang akan berlaku.
Perincian titik pertalian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1) Titik pertalian kumulatif
a. Kumulatif hukum sendiri dan hukum asing
b. Kumulatif dari dua stelsel hukum yang kebetulan
2) Titik pertalian alternatif
3) Titik pertalian pengganti
4) Titik pertalian tambahan
5) Titik pertalian accesoir (lebih lanjut)
Pertama, titik pertalian Kumulasi, terdapat kumulasi (penumpukan) daripada titik pertalian
yaitu kumulasi adri pada hukum sendiri dan hukum asing, dan kumulasi dari dua stelsel
hukum yang kebetulan. Kedua, titik pertalian Alternatif, terdapat lebih dari satu titik pertalian
yang dapat menentukan hukum yang berlaku. Salah satu daripada dua atau lebih faktor ini
daapt merupakan faktor yang berlaku. Karena itu disebut titik pertalian alternatif. Ketiga, titik
pertalain pengganti, titik taut yang digunakan bila titik taut yang sebenarnya tidak terdapat
terkait dengan titik pertalian alternatif. Keempat, titik pertalian accesoir, perincian lebih jauh
adalah yang dinamakan titik pertalian accesoir. Penempatan suatu hubungan hukum dibawah
satu stelsel hukum yang sudah berlaku yang lebih utama. Contoh: perjanjian reasuransi
ditentukan oleh hukum yang mengatur asuransi pokok.

F. Prinsip Domisili/Kewarganegaraan
Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip.
Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun
asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil
seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya. Dalam hal ini terdapat istilah
Pro kewarganegaraan, yang akan diterangkan sebagai berikut:
1) Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari warganegara tertentu , lebih cocok
lagi bagi warga negara yang bersangkutan
2) Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip kewarganegaraan lebih tetap dari
pada prinsip domisili dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah seperti
domiili, sedangkan status personil memerlukan stabilitas sebanyak mungkin
3) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
a. pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahuidaripada domisili seseorang, arena
adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti adri negara yang bersangkutan
b. Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan suatu negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili. Hukum domisili adalah hukum yang
bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah
sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya.
Prinsip kewarganegaraan seringkali emerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip
kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip
domisili. Contoh: apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana
suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa punya kewarganegaraan berbeda
tergantung domisili (terutama setelah perceraian). Hukum domisili seringkali sama dengan
hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili ini juga bersamaan adanya dengan
hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan pluralisme hukum. Hukum domisili adalah
satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara yang struktr hkumnya tidak
mengeal persatuan hukum. Domisili menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat
dilaksanakan
Negara-negara dengan prinsip kewarganegaraan/domisili dapat dilihat dalam tabel:
KEWARGANEGARAAN DOMISILI
Perancis, belgia, luxemburg, monaco, belanda, rumania, finlandia, jerman, yunani, hungaria,
montenegro, polandia, portugal, spanyol, swedia, turki, iran, tiongkok, jepang, kostarika,
republik dominika, equador, haiti, honduras, mexico, panama, venezuela Semua negara-
negara inggris yang menganut “common law”, scotlandia, afrika selatan, quebec, denmark,
norwegia, iceland, negara-negara amerika latin, argentina, brazilia, guatemala, nicaragua,
paraguay, peru

Prinsip umum tentang kewarganegaraan adalah pertama, Asas kelahiran (ius soli), yaitu
kewarganegaraan seseorang ditentkan oleh tempat kelahiran. Contoh: Ad1. orang tua Y
melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaraan X. Kedua, Asas keturunan (ius
sanguins), kewarganegaraan berdasarkan kketurunan daripada orang yang bersangkutan.
Contoh: Ad2. orang tua Y melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaran Y. Mengenai
kewarganegaraan di Indonesia, berdasarkan undang-unadang, kewarganegaraan
menggunakan prinsip nasionalitas. Diatur dalam pasal 1 udang-undang kewarganegaraan,
kewarganegaraan diperoleh dengan kelahiran yaitu: Karena kelahiran dari seseorang warga
negara indonesia, jadi berdasarkan keturunan (pasal 1 ayat a, c, e), dan berdasarkan kelahiran
di wilayah republik indonesia jika masih dipenuhi lain syarat-syarat (pasal 1 ayat f, g, h).
Dapat juga dengan domisili di wilayah Indonesia dengan memenuhi syarat-syarat yang ada.
Dwi kewarganegaraan (bipartide) adalah orang dapat meiliki dua kewarganegaraan
(bipatride) atau lebih dari dua kewarganegaraan. Bipartide timbul karena dianutnya berbagai
asas yang berbeda dalam peraturan kewarganegaraan. Apabila suatu negara menganut asas
kelahiran dan negara lain menganut asas keturunan. Contoh: orang tau A cina (ius sanguins)
(tinggal di indonesia lebih dari 20 tahun) maka menurut undang-undang kewarganegaraan
dianggap sebagai warganegara melahirkan di indonesia, maka anaknya punya dua
kewarganegaraan. Cara mencegah bipartide dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian
bilateral, misalnya antara indonesia dengan cina. Undang-undang no.2 tahun 1958 dimana
dalam waktu 20 hari sejak (20-1-1960 s/d 10-1-1962) orang yang berstatus dwi
kewarganegaraan harus memilih salah satu dan melepaskan yang lain.
Apartide adalah orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan. Contoh: terjadinya
pencabutan kewarganegaraan, kelahiran anak dengan orang tua ius solli di negara ius sangins.
Apartide dapat terjadi karena orang tua menganut ius solli, melahirkan anak do negara yang
menagnut ius sanguins, maka anak yang dilahirkan apartide. Cara mencegah dapat dilakukan
dengan mengguakan titik taut pengganti untuk menentukan kewarganegaraan yang digunakan
sebagai faktor yang menentukan hukum yang harus diperlukan. Pemakaian hukum domisili
atau kediaman, dan pemakaian kewarganegaraan terakhir.

G. Renvoi
Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI sehingga tak ada keseragaman
cara-cara menyelesaikan masalah-masalah HPI. Salah satu persoalan penting berkenaan
dengan status personil yang ditentkan berdasarka prinsip domisili dan nasionalitas.
Berhubungan dengan adanya dua sistem ini maka timbullah masalah renvoi. Renvoi adalah
penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah
HPI lex fori. Renvoi terjadi pada gesamtverweisung yaitu apabila kaidah lex fori menunjuk
ke arah suatu sistem asing, dalam arti keseluruhan termasuk kepada kaidah HPI nya. Renvoi
terbagi dua. Pertama, penunjukan kearah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari
suatu sistem hukum tertentu, penunjkan ini dinamakan sachnormverwiesung. Kedua,
penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum ertentu termasuk kaidah-kaidah HPI
(kallisionsormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan ini dinamakan gesamtverweisung.
Dalam HPI dikenal 2 jenis single renvoi, Remmisin (penunjukan kembali) yaitu proses renvoi
oleh kaedah-kaedah HPI asing kembali ke arah lex fori. Dan Transmission (penunjukan lebih
lanjut), yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain.
Contoh kasus renvoi FORGO CASE (1879) misalnya adalah Forgo seorang warganegara
Bavaria (jerman), dia menetap di Perancis sejak 5 tahun tanpa memperoleh domisili di
Perancis. Kemudian dia meninggal di Perancis tanpa testamen. Forgo anak di luar nikah, ia
meninggalkan benda-benda bergerak di perancis. Kemudian tuntutan atas pembagian
hartanya diajukan oleh saudara kandungnya di pengadilan Perancis.

H. Ketertibam Umum dan Penyelundupan Hukum


Definisi ketertiban umum sangat sukar untuk dirumuskan namun yang dimaksud ketertiban
umum ini adalah pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena
bertentangan dengan kepentingan umum atau ketertiban hukum. Faktor-faktor yang
membatasi: Waktu, tempat, falsafah kenegaraan, sistem perekonomian, pola kebudayaan
yang dianut, masyarakat yang bersangkutan. Sehingga hukum asing yang bertentangan
dengan ketertiban umum tersebut tidak dipergunakan meskipun sebenarnya menurut
peraturan HPI lex fori, kaedah hukum asing seharusnya berlaku. Ukuran-ukuran yang
dipergunakan dalam memberlakukan ketertiban umum dapat diberlakukan bila ditinjau dari
yuridiksiforum, apabila hukum asing diakui akan mengakubatkan :
1) Pelanggaran terhadap prinsio-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya
2) Bertentangan dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusilaan yang baik
3) Bertentangan dengan suatu tradisi yang sudah mengakar
Dalam situasi seperti di atas maka lembaga ketertiban umum dapat menajdi dasar bagi
pembenaran bagi hakim untuk menyimpang dari kaidah-kaidah HPI yang seharusnya berlaku,
dan menunjuk kearah berlakunya suatu sistem hukum asing. Contoh, terdapat perkara
masalah perbudakan, diana hukumndonesia termasuk masalah hukum personil menurut PS.
16 AB mengenai status personil akan diatur berdasarkan kewarganegaraan pihak yang
bersangkutan. Fungsi ketertiban umum ada dua, yaitu:
1) Fungsi positif, menjamin agar aturan-atuan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak
dikesampingkan) sebagai akibat dari pemberlakuakn hukum asing.
2) Fungsi negatif, untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hkum asing bila
pemberlakuan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori.
Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah suatu perbuatan yang dilakukan di suatu
negara asing dan diakui sah di negara asing itu akan dapat dibatalakn oleh forum atau tidak
diakui oleh forum bila perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan denga
tujuan untuk menghundarkan diri dari aturan-aturan lex fori ang akan melarang perbutan itu
dilaksanakan di wilayah forum. Fungsinya adalah untuk melindungi sistem hukum yang
seharusnya berlaku. Contoh, warga negara indonesia (perempuan islam) + warga negara
indonesia (laki-laki kristen), menukah. Untuk menghindari pemberlakuan undang-undang
No. 1 tahun 1974 mereka menikah di Singapura. Perkawian untuk mendapatkan
kewarganegaraan karena takut dideportasi. Kemudian dalam waktu tertenu mengajukan
perceraian, dengan demikian maka status sebagai warga negara indonesia tetap didapat
meskipun telah bercerai.

I. Pilihan Hukum dan Pemakaian Hukum Asing


Pilihan hukum digunakan dalam bidang hukum kontrak, dimana para pihak bebas untuk
menentukan pilihan mereka, dan bebas juga untuk memilih sendiri hukum yang harus dipakai
untuk kontrak mereka. Mereka hanya bebas untk memilih hukum tertentu tapi mereka tidak
bebas untk menentukan sendiri (membuat) perundang-undangan. Batasan pilihan hukum
adalah:
1) Para pihak bebas untuk melakukan pilihan hukum yang mereka kehendaki tapi kebebasan
ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum
2) Pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum
3) Hanya dilakukan dalam bidang hukum kontrak 
Macam-macam pilihan hukum, secara tegas dinyatakan dalam Clausula perjanjian hukum
yang dpilih dalam kontrak yang mereka buat. Misal: kontrak yang dibuat pertamina mengenai
LNG tanggal 03-12-1973 dalam pasal 12 dinyatakan : bahwa pilihan hukum adalah negara
bagian New York. Pilihan hukum ini memberikan kepastia hukum. Pilihan hukum yang
dianggap, merupakan pilihan hukum yang dianggap presumptio iuris sang hakim menerima
telah terjadi suatu pilihna hukum yang berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka. Pilihan
hukum secara hipotetisch, pilihan hukum ini dikenal di Jerman, sebeharnya disini tidak ada
satu kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun, sang hakimlah yang melakukan
pilihan ini, hakim melakukan dengan fictie. 
Masalah utama dari pemakaian hukum asing adalah sebagai berikut:
1) Apakah hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang berdasarkan kaedah-kaedah
hukum suatu hukum asing tertentu perlu atau tidak perlu diakui oleh lex fori?
2) Misal: bila seseorang warga negara Cina berdasarkan hukum Cina ia diakui sebagai
pemegang hak milik suatu benda bergerak, kemudian ia mengaubah kewarganegaraannya
menjadi Indonesia, apakah menurut hukum Indonesia benda bergerak miliknya akan tetap
diakui?
Apabila hakim Indonesia menganggap bawa pemilikan terhadap suatu benda bergerak yang
dianggap sah menurut hukum Cina akan sah juga menurut hukum Indonesia maka dapat
dikatakan bahwa pengadilan Indonesia menerima prinsip hak-hak yang telah diperoleh/
pemakaian hukum asing/vesten right. Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum)
berdasarkan kaidah hukum asing dapat diakui dalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan
undang-undang tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat lex fori.

SIMPULAN
Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional terbagi menjadi empat tahap. Pada tahap
I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan
orang luar romawi dengan orang romawi. Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-
10 sesudah masehi). Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas
teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Dan Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn
Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum
internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah
hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Sumber hukum terbagi atas sumber hukum
materil dan formil. Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang
digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan.
Titik Taut adalah hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di
dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu
negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk
mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder,
merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang
dipertautkan. Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut
dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik
warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip
domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya. 
Dwi kewarganegaraan (bipartide) adalah orang dapat meiliki dua kewarganegaraan
(bipatride) atau lebih dari dua kewarganegaraan. Bipartide timbul karena dianutnya berbagai
asas yang berbeda dalam peraturan kewarganegaraan. Apartide adalah orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan. Renvoi adalah penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu
sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori. Ketertiban umum ini adalah
pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena bertentangan dengan
kepantingan umum atau ketertiban hukum. Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah
suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara asing itu akan
dapat dibatalakn oleh forum atau tidak diakui oleh forum Pilihan hukum digunakan dalam
bidang hukum kontrak, dimana para pihak bebas untuk menentukan pilihan mereka, dan
bebas juga untuk memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka.

REFERENSI

Fahrudin, Sigit. Arti dari Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional. Diakses dari
http://sigitfahrudin.co.cc. Pada tanggal 08 Juni 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar.1990. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta.
Pazli. 2004. Materi Substansi Hukum Perdata Internasional. Diktat III Program Studi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
Starke, J.G. 2001. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Hukum Perdata Internasional. Diakses dari http://vhrmedia.com. Pada tanggal 11 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai