BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah defenisi, sejarah, seumber-sumber
Hukum Perdata Internasional dan beberapa hal lagi yang akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan
yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur
warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata
Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur internasional
pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-negara dan aktor
individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini berbagai
perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang berorientasi
pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik melintasi batas
territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan, kerjasama, memecahkan
permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya. Begitu juga dengan aktor individu,
mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari uang lebih keluar masuk dari
satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan dua
warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu negara, mempunyai harta warisan
dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari,
akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia.
Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan
dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar dunia yang
ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang lemah akan
tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan
bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur permaslahan-
permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur dalam sutau
kerangka-kerangka hukum positif.
B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal
yang menjadi fokus penulisan makalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional?
2. Apa saja pembahasan penting yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional?
C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi mahasiswa dan
masyarakat mengenai Hukum Perdata Internasional. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi tambahan referensi yang berguna dalam memperluas ilmu pengetahuan dan
menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian dengan objek
yang sama, terutama mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Riau. Tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menjelaskan mengenai defenisi dan sejarah Hukum Perdata Internasional.
2. Menjelaskan mengenai pembahasan apa saja yang berkaitan dengan Hukum Perdata
Internasional.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mewujudkan sebuah makalah yang sistematis dan menarik untuk dicermati, maka
system penulisan pada bab-bab berikutnya akan tercermin pada poin-poin sebagai berikut:
1. Di dalam bab I, akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pembatasan
masalah, teknik pengumpulan data dan sistematika penulisan.
2. Di dalam bab II, akan dibahas mengenai sejarah perkembangan Hukum Perdata
Internasional, defenisi Hukum Perdata Internasional, sumber-sumber Hukum Perdata
Internasional, hubungan Hukum Perdata Internasional dengan bidang hukum lain, titik
pertalian/ titik taut, prinsip domisili/kewarganegaraan, renvoi, ketertibam umum dan
penyelundupan hukum, pilihan hukum, dan pemakaian hukum asing
3. Di dalam bab III, akan dipaparkan kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan
pembahasan masalah dalam bab II.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan
orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Hukum yang digunakan adalah Ius
Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk
kepentingan orang luar atau dikenal dengan Ius Gentium. Yang dimaksud dengan Ius
Gentium adalah hukum yang berlaku antara orang Romawi dan bukan Romawi. Ius Gentium
kemudian berkembang lagi menjadi Ius Publicum dan Ius Privatum. Ius Publicum inilah yang
berkembang sekarang ini menjadi Hukum Internasional, sedangkan Ius Privatum berkembang
menjadi Hukum Perdata Internasional (HPI).
Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi), pada masa ini
merupakan masa dimana kekaisaran romawi ditaklukkan oleh orang “barbar”, sehingga ius
civile tidak berguna, yang dipergunakan adalah asas personal dan hukum agama (tribal laws).
Kemudian pada masa ini juga tumbuh beberapa kaedah HPI yang didasarkan pada asas
personal yang diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam sengketa hukum: hukum pihak tergugat
2) Dalam perjanjian: huku personal masing-masing pihak
3) Pewarisan: hukum dari transferor (yang mewariskan)
4) Peralihan hak milik: hukum dari transferor
5) Perbuatan melawan hukum: hukum dari pihak yang melanggar hukum
6) Perkawinan: hukum suami
Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12
sesudah masehi). Setelah mealui masa 300 tahun pertumbuhan asas personal semakin sulit
dipertahankan mengingat terjadinya transformasi dalam masyarakat sehingga keterikatan
lebih didasarkan pada kesamaan wilayah tempat tinggal (teritorial). Proses transformasi
terjadi di dua kawasan Eropa dengan perbedaan yang mencolok. Di Eropa Utara (Jerman,
Perancis, Inggri), masyarakata berada di bawah kekuasaan tuan tanah (feodalistik) dan tidak
terdapat tempat bagi pengakuan terhadap kaidah hukum asing (HPI). Sedangkan di Eropa
Selatan (Italia, Milan, Bologna), merupakan kota perdagangan dan perselisihan yang ada di
antara pedagang yang berasal dari luar diselesaikan dengan kaedah HPI.
Kemudian masih pada tahap III ini, diletakkan dasar bagi HPI modern dengan prinsip
teritorial. Lex Rei Sitae (Lex Situs), yaitu perkara tentang benda tidak bergerak dimana
hukum yang digunakan adalah hukum dimaan benda tersebut berada. Lex Dominicili,
mengatur tentang hak dan kewajiban dimana hukum yang digunakan adalah hukum dari
tempat seorang berkediaman. Lex Contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian hukum
yang berlaku yaitu hukum dari tempat perbuatan perjanjian
Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi).
Tingginya intensitas perdagangan di italia menimbulkan persoalan tentang pengakuan hak
asing dalam wilayah suatu kota. Asas teritorial tidak dapat menjawab semua masalah yang
timbul, sehingga dibutuhkan adanya ketentuan hukum (statuta). Pencetus Teori Statuta adalah
Bartlus (Bapak HPI), yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan menetapakan asas-asas
untuk menentukan wilayah berlaku setiap aturan hukum (statuta). Dalam teori statuta terdapat
istilah Statuta personalia, yaitu mengenai kedudukan hukum/ status personal orang. Berlaku
terhadap warga kota yang berkediaman tetap, melekat dan berlaku atas mereka dimanapun
mereka berada. Kemudian juga dikenal istilah Statuta Realia yang berlaku di dalam wilayah
kekuasaan penguasa koa yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke
kota tersebut. Selain itu juga ada Statuta Mixta yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan
penguasa kota yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut.
F. Prinsip Domisili/Kewarganegaraan
Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip.
Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun
asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil
seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya. Dalam hal ini terdapat istilah
Pro kewarganegaraan, yang akan diterangkan sebagai berikut:
1) Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari warganegara tertentu , lebih cocok
lagi bagi warga negara yang bersangkutan
2) Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip kewarganegaraan lebih tetap dari
pada prinsip domisili dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah seperti
domiili, sedangkan status personil memerlukan stabilitas sebanyak mungkin
3) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
a. pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahuidaripada domisili seseorang, arena
adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti adri negara yang bersangkutan
b. Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan suatu negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili. Hukum domisili adalah hukum yang
bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah
sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya.
Prinsip kewarganegaraan seringkali emerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip
kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip
domisili. Contoh: apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana
suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa punya kewarganegaraan berbeda
tergantung domisili (terutama setelah perceraian). Hukum domisili seringkali sama dengan
hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili ini juga bersamaan adanya dengan
hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan pluralisme hukum. Hukum domisili adalah
satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara yang struktr hkumnya tidak
mengeal persatuan hukum. Domisili menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat
dilaksanakan
Negara-negara dengan prinsip kewarganegaraan/domisili dapat dilihat dalam tabel:
KEWARGANEGARAAN DOMISILI
Perancis, belgia, luxemburg, monaco, belanda, rumania, finlandia, jerman, yunani, hungaria,
montenegro, polandia, portugal, spanyol, swedia, turki, iran, tiongkok, jepang, kostarika,
republik dominika, equador, haiti, honduras, mexico, panama, venezuela Semua negara-
negara inggris yang menganut “common law”, scotlandia, afrika selatan, quebec, denmark,
norwegia, iceland, negara-negara amerika latin, argentina, brazilia, guatemala, nicaragua,
paraguay, peru
Prinsip umum tentang kewarganegaraan adalah pertama, Asas kelahiran (ius soli), yaitu
kewarganegaraan seseorang ditentkan oleh tempat kelahiran. Contoh: Ad1. orang tua Y
melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaraan X. Kedua, Asas keturunan (ius
sanguins), kewarganegaraan berdasarkan kketurunan daripada orang yang bersangkutan.
Contoh: Ad2. orang tua Y melahirkan di wilayah X, anak berkewarganegaran Y. Mengenai
kewarganegaraan di Indonesia, berdasarkan undang-unadang, kewarganegaraan
menggunakan prinsip nasionalitas. Diatur dalam pasal 1 udang-undang kewarganegaraan,
kewarganegaraan diperoleh dengan kelahiran yaitu: Karena kelahiran dari seseorang warga
negara indonesia, jadi berdasarkan keturunan (pasal 1 ayat a, c, e), dan berdasarkan kelahiran
di wilayah republik indonesia jika masih dipenuhi lain syarat-syarat (pasal 1 ayat f, g, h).
Dapat juga dengan domisili di wilayah Indonesia dengan memenuhi syarat-syarat yang ada.
Dwi kewarganegaraan (bipartide) adalah orang dapat meiliki dua kewarganegaraan
(bipatride) atau lebih dari dua kewarganegaraan. Bipartide timbul karena dianutnya berbagai
asas yang berbeda dalam peraturan kewarganegaraan. Apabila suatu negara menganut asas
kelahiran dan negara lain menganut asas keturunan. Contoh: orang tau A cina (ius sanguins)
(tinggal di indonesia lebih dari 20 tahun) maka menurut undang-undang kewarganegaraan
dianggap sebagai warganegara melahirkan di indonesia, maka anaknya punya dua
kewarganegaraan. Cara mencegah bipartide dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian
bilateral, misalnya antara indonesia dengan cina. Undang-undang no.2 tahun 1958 dimana
dalam waktu 20 hari sejak (20-1-1960 s/d 10-1-1962) orang yang berstatus dwi
kewarganegaraan harus memilih salah satu dan melepaskan yang lain.
Apartide adalah orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan. Contoh: terjadinya
pencabutan kewarganegaraan, kelahiran anak dengan orang tua ius solli di negara ius sangins.
Apartide dapat terjadi karena orang tua menganut ius solli, melahirkan anak do negara yang
menagnut ius sanguins, maka anak yang dilahirkan apartide. Cara mencegah dapat dilakukan
dengan mengguakan titik taut pengganti untuk menentukan kewarganegaraan yang digunakan
sebagai faktor yang menentukan hukum yang harus diperlukan. Pemakaian hukum domisili
atau kediaman, dan pemakaian kewarganegaraan terakhir.
G. Renvoi
Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI sehingga tak ada keseragaman
cara-cara menyelesaikan masalah-masalah HPI. Salah satu persoalan penting berkenaan
dengan status personil yang ditentkan berdasarka prinsip domisili dan nasionalitas.
Berhubungan dengan adanya dua sistem ini maka timbullah masalah renvoi. Renvoi adalah
penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah
HPI lex fori. Renvoi terjadi pada gesamtverweisung yaitu apabila kaidah lex fori menunjuk
ke arah suatu sistem asing, dalam arti keseluruhan termasuk kepada kaidah HPI nya. Renvoi
terbagi dua. Pertama, penunjukan kearah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari
suatu sistem hukum tertentu, penunjkan ini dinamakan sachnormverwiesung. Kedua,
penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum ertentu termasuk kaidah-kaidah HPI
(kallisionsormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan ini dinamakan gesamtverweisung.
Dalam HPI dikenal 2 jenis single renvoi, Remmisin (penunjukan kembali) yaitu proses renvoi
oleh kaedah-kaedah HPI asing kembali ke arah lex fori. Dan Transmission (penunjukan lebih
lanjut), yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain.
Contoh kasus renvoi FORGO CASE (1879) misalnya adalah Forgo seorang warganegara
Bavaria (jerman), dia menetap di Perancis sejak 5 tahun tanpa memperoleh domisili di
Perancis. Kemudian dia meninggal di Perancis tanpa testamen. Forgo anak di luar nikah, ia
meninggalkan benda-benda bergerak di perancis. Kemudian tuntutan atas pembagian
hartanya diajukan oleh saudara kandungnya di pengadilan Perancis.
SIMPULAN
Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional terbagi menjadi empat tahap. Pada tahap
I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan
orang luar romawi dengan orang romawi. Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-
10 sesudah masehi). Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas
teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Dan Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn
Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum
internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah
hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Sumber hukum terbagi atas sumber hukum
materil dan formil. Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang
digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan.
Titik Taut adalah hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di
dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu
negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk
mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder,
merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang
dipertautkan. Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut
dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik
warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip
domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.
Dwi kewarganegaraan (bipartide) adalah orang dapat meiliki dua kewarganegaraan
(bipatride) atau lebih dari dua kewarganegaraan. Bipartide timbul karena dianutnya berbagai
asas yang berbeda dalam peraturan kewarganegaraan. Apartide adalah orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan. Renvoi adalah penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu
sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori. Ketertiban umum ini adalah
pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena bertentangan dengan
kepantingan umum atau ketertiban hukum. Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah
suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara asing itu akan
dapat dibatalakn oleh forum atau tidak diakui oleh forum Pilihan hukum digunakan dalam
bidang hukum kontrak, dimana para pihak bebas untuk menentukan pilihan mereka, dan
bebas juga untuk memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka.
REFERENSI
Fahrudin, Sigit. Arti dari Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional. Diakses dari
http://sigitfahrudin.co.cc. Pada tanggal 08 Juni 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar.1990. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta.
Pazli. 2004. Materi Substansi Hukum Perdata Internasional. Diktat III Program Studi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
Starke, J.G. 2001. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Hukum Perdata Internasional. Diakses dari http://vhrmedia.com. Pada tanggal 11 Maret 2010