Anda di halaman 1dari 20

AL ISLAM 4

BIOGRAFI IMAM AL - GHAZALI

DISUSUN OLEH :

DILLA ANNISA PUTRI

KELAS REG B

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

2020
Kata Pengantar

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehinnga
dapat menyelesaikan tugas makalah Al – islam yang biografi Imam Al - Ghazali. Penyusunan
makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Al - Islam. Penyusun
menyadari, penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, serta masih banyak kekurangan.
Penyusun mohon kritik dan saran dari rekan-rekan semua kearah kesempurnaan makalah ini.
Penyusun mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Al - Islam atas
bimbingannya, dan juga kepada rekan-rekan yang terlibat didalamnya, sehingga makalah ini bisa
tersusun.
Akhirnya penyusun berharap, makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun sendiri ataupun
semua pihak yang memerlukan.

Pekanbaru, 4 April 2020

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………2
Daftar isi…………………………………………………………………………...3
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………..
I. Latar Belakang .............……………………………………………………….....4
II. Rumusan Masalah……………………………………………………………….5
III. Tujuan..................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...
A. Nama, Nasab Dan Kelahiran Al-Ghazali.............................................................6
B. Kehidupan dan Perjalanannya dalam Menuntut Ilmu..........................................7
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali...........................................................................11
D. Aqidah dan Madzhab Imam Al-Ghazali............................................................15

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………...18


REFERENSI………..……………………………………………………………19

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin
termasuk kaum muslimin Indonesia. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf.
Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia
Islam.Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing.Kebanyakan kaum
muslimin belum mengerti.Berikut penyusun makalah berusaha untuk menyampaikan
sebagian sisi kehidupannya.Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya,
hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau rahimahullah al-Imam al-
Ghazali.

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh
yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd,
Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,
karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada
mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin.
Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf serta beberapa bidang ilmu lainnya,
seperti fiqh dan usul fiqh. Pengaruh dan pemikirannya telah menyebar ke seantero dunia
Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum
muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap
kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup
beliau.

Dunia Islam memberikan gelar kehormatan kepadanya dengan sebutan Hujjah al-


Islam (pembela Islam) karena kegigihan dan jasa-jasanya dalam membela Islam dari
gencarnya gempuran arus pemikiran yang dikhawatirkan dapat mengancam eksistensi
Islam, baik dari kalangan filosof, mutakallimin, batiniyah, dan sufi. Begitu pula kiprah al-
Ghazali dalam bidang hukum Islam, al-Ghazali telah memberikan sumbangsih tersendiri

4
mengenai hokum Islam dan metodologinya meski pada dasarnya al-Ghazali menganut
paham Imam Shafi’i terkait dengan metode usulnya, hanya saja terdapat beberapa hal
yang tidak searah denga pandangan Imam Shafi’i, ini menunjukkan bahwa al-Ghaza telah
membuktikan tentang ke-independesiannya dalam pemikiran hukum Islam.

II. Rumusan Masalah


 Dimana dan bagaimanakah nasab Imam Al-Ghazali?
 Bagaimanakah Imam Al-Ghazali dahulu menuntut ilmu?
 Apa sajakah karya-karya Imam Al-Ghazali?
 Seperti apakah aqidah dan mazhab beliau?

III. Tujuan
 Agar kita mengetahui tempat lahir serta nasab Imam Al-Ghazali.
 Agar kita mengetahui jejak Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu.
 Agar kita mengetahui karya-karya Imam Al-Ghazali.
 Agar kita mengetahui aqidah dan manhaj Imam Al-Ghazali.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nama, nasab dan kelahiran Al-Ghazali


Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-
Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-
Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran
nama Imam Al-Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada
daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al-Fayumi dalam
Al-Mishbah Al-Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al-
Ghazali, yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anak dari Situ Al-Mana bintu Abu
Hamid Al-Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama
kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan
keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al-Ghazzali).
Demikian pendapat Ibnul Atsir.Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al-
Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama
yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah
Al-Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al-
Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al-Akhbar,
ini pendapat Al-Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir
dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam
catatan kakinya, 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang
saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:326 dan As-
Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:193 dan 194).

6
B. Kehidupan dan Perjalanannya dalam Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba)
dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua
anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya
menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang
telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan
harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga
habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak
dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia
berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari
harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya
menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut
ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”Lalu
keduanya melaksanakan anjuran tersebut.Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata,
“Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya
karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.Tidak memakan
kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan
berdoa memohon diberi anak yang faqih.Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau
menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam
ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi
seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:194)
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke
Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At

7
Ta’liqat.Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini
dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih
mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan
filsafat.Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang
yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-Subki, Thabaqat Asy-
Syafi’iyah, 6:191)
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan
Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga
beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian
Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke
Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun.
Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal.Mencapai kedudukan yang sangat
tinggi.
1. Pengaruh Filsafat dalam Diri Al-Ghazali
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya.Beliau menyusun buku yang
berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan
filsafat.Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya
benar.Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian
dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi
filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa
dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa, 6:54)
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin.Sehingga Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik.Akan
tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita
bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu. ”(Majmu’ Fatawa, 6:54).

8
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih,
tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan
sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan
penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya
dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya,
walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya.Membuat beliau semakin jauh dari
ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela
filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan
agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal.
Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.Kitab ini merupakan
penyakit berbahaya dan racun yang mematikan.Kalaulah Abu Hamid bukan seorang
yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala,
19:328)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat.
Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan
syar’i).Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid
terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid
masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa,
4:164).

2. Polemik Kejiwaan Imam Al-Ghazali


Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan
cinta dunia.Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang
membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.Sehingga menolak jabatan
tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa.Pada bulan Dzul
Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama
Ahmad sebagai penggantinya.

9
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari.
Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus
beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok
tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang
dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al-
Arba’in, Al-Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan
pakaian para ahli ibadah.Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam
sekitar 10 tahun.Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid
Jami’ Al-Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al-Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 6:34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam
(Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad
tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang
yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian
pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di
Iskandariyah.Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir
dan diminta tinggal di Naisabur.Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan
mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang
ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau
mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.
Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Alquran, berkumpul dengan ahli
ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.

3. Masa akhir kehidupannya


Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan
berkumpul dengan ahlinya.Imam Adz-Dzahabi berkata, “Pada akhir kehidupannya,
beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah

10
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya
dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan
hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab
Ats-Tsabat ‘indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya), “Pada subuh hari
Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, ‘Bawa ke mari kain
kafan saya.’ Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut”.
Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.Beliau meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). “(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala, 6:34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14
Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah, 6:201)

C. Karya-karya Imam Al-Ghazali


Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali.
Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan akidah:
1. Arba’in fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid
pertama.
3. Al Iqtishad fil I’tiqad.
4. Tahafut Al-Falasifah, yang berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan
pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki
karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
1. Al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul.
Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat
populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya.
Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang

11
mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam
dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali
memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fikih) lantaran kalam telah
menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur
adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap
keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang
perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan
dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar ….” (Dua perkataan
beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al-
Mustashfa, hlm. 17 dan 18). Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah
manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan
mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka
siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.”
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al-Mustashfa, hlm. 19). Kemudian
hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap
orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak
para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak
mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih
baik dari para ahli manthiq.
2. Mahakun Nadzar.
3. Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
4. Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
5. Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
6. Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
7. Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya
sebagai karya Al-Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam
Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al-

12
Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan,
bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al-Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya
dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 19:329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya.Di antaranya yaitu Syaikhul
Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini.Akan tetapi para pakar yang
mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan
perkataannya.”(Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).Kitab ini
diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah
10. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi
11. Qanun At-Ta’wil
12. Fadhaih Al-Bathiniyah dan Al-Qisthas Al-Mustaqim. Kedua kitab ini
merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
13. Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan
tahqiq Muhammad Al-Mu’tashim Billah Al-Baghdadi.
14. Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq
Muhammad Bahit.
15. Ar-Risalah Alladuniyah
16. Ihya’ Ulumuddin.
Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum
muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang
kitab ini, di antaranya: – Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah
memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak
kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat
dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang
memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan. ”(Dinukil Adz-
Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 19:334). – Dalam risalahnya kepada Ibnu
Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu
Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya

13
mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki
kecerdasan akal dan pemahaman.Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya,
bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan
masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf,
menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan
ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran
filsafat dan Al-Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan
ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini.Ketika menulis
Al-Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah,
padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga
dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadis-hadis
palsu.”Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,
“Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan
terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud
secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz-Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala, 19:339-340) – Imam Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyah
(Lihat 6:287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab
Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya.Abul Fadhl
Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al-
Mughni An-Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al-Ihya Minal Akhbar. sKitab ini dicetak
bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber
rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya.Didapatkan banyak dari
hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada
asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Maka berhati-
hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil
hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
17. Al-Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi
biografinya.
18. Al-Wasith.
19. Al-Basith.
20. Al-Wajiz.

14
21. Al-Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang
beliau tulis. Imam As-Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah, 6:224-227.

15
D. Aqidah dan Madzhab Imam Al-Ghazali
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari
karyanya Al-Wasith, Al-Basith, dan Al-Wajiz. Bahkan kitab beliau Al-Wajiz termasuk
buku induk dalam Mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama
Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya,
“Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz Zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang
yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah,
para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu
pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang
terkenal dengan judul Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara
pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah
sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab
Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah.
Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan
kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah
ke dalam Asy’ariyah.Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak
sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian
beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi
beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya. Ketika berbicara dengan Asy’ariyah
tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi.
Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab.
Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang
teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari
bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat
Mukadimah kitab Bughyatul Murtad, hlm. 110). Adapun orang yang menelaah kitab dan
karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al-Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul
Quds, Raudhatuthalibin, Al-Maqshad Al-Asna, Jawahirul Qur’an dan Al-Madmun Bihi
Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang
sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al-

16
Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua
perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga akidah. Yang
pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar
dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak
ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al-
Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam akidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu
mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat
para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu
Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah, 2:628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil
penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al-Ghazali, bahwa tasawuf Al-Ghazali
dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan
pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari
filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al-Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al-Adyan Wal
Madzahibi Wal Ahzab Al-Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al-Juhani, 2:928-
929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu
Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad
dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al-Ghazali
didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah
dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti
dalam kitab Al-Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah
untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul
Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al-Ghazali. Yang berusaha menafsirkan
nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash,
sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat
Mukadimah kitab Bughyatul Murtad, hlm. 111)
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni

17
Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul
Qur’an (Al-Ghazali, pen.) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk
kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka.
Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan,
bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya
perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari
dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.
Kami sebagai penyusun makalah akan mengingatkan kembali bahwa akhir
kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan
ahlinya (bertaubat). Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun
menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih
Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak
memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats
Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan
saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya,
dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau
meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan
dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.

18
BAB III
KESIMPULAN

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-
Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-
Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:191). Sedangkan para ulama nasab berselisih dalam
penyandaran nama Imam Al-Ghazali.
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke
Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At
Ta’liqat.Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195). Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain
Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik
fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan
filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang
yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-Subki, Thabaqat Asy-
Syafi’iyah, 6:191). Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke
perkemahan Wazir Nidzamul Malik.
Di antara karyanya yang terkenal ialah: Pertama, dalam masalah ushuluddin dan
akidah:
1. Arba’in fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid
pertama.
3. Al Iqtishad fil I’tiqad.
4. Tahafut Al-Falasifah, yang berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan
pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah. Kedua, dalam ilmu ushul, fikih,
filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak.
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari
karyanya Al-Wasith, Al-Basith, dan Al-Wajiz. Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah

19
terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela
Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi
mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu
beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al-Iqtishad Fil I’tiqad.
Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan
ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak
memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan
dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai
tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah
yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah. Ketika berbicara dengan
Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia
menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan
satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak
berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau
menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.”
(Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad, hlm. 110).

REFERENSI
Ahmad bin Ustman Adzahabi, Syamsuddin Muhammad bin, Siyar A’lam Nubala, 23
Jilid, ditahqiq oleh Syuaib Al-Arnaut, (Penerbit: Muassasah Ar-risalah, 1417 H / 1996).
Tajuddin As-Subqi (727 H – 771 H / 1327 M – 1370 M) “Thabaqat asy-Syafi’iyah al-
Kubra” 10 Jilid.
Syamhudi, Kholid, Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1) http://muslim.or.id/59-sejarah-
hidup-imam-al-ghazali-1.html, Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (2),
http://muslim.or.id/biografi/sejara...www.yufidia.com , 10 May 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai