Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa


tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-
Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini
memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat
mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karenapadamerekabenih-benihfilsafat
Islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-


Ghazali, seorang ulama besar yang pemikiran nya sangat berpengaruh terhadap
Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
teolog yang mendapat julukan Hujjah al- islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu
beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam),
tasawuf, dan filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali
yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya kritik terhadap
filosof muslim lainnya.

Dalam sejarah peikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim tidak hanya unik, tapi
juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia
adalah satu- satunya filosof besar islam yang telah berhasil membangun system
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu system yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim beberapa abad.

Pengaruh ini terwujud hanya karena memiliki system, tetapi karena


system yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis
jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang
diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran-pemikiran rasional murni.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah biografi dan karya-karya Imam Al-Ghazali?
2. Bagaimanakah biografi dan karya-karya ibnu sina?
3. Bagaimana perbedaan pemikiran filsafat Al- Ghazali dan ibnu sina?

C. TUJUAN
1. Mengetahui biografi dan karya-karya imam Al-Ghazali
2. Mengetahui biografi dan karya-karya Ibnu sina
3. Mengetahui perbedaan pemikiran filsafat Al-Ghazali dan Ibnu Sina

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Al-Ghazali
1. Biografi dan pendidikaannya

Nama asli imam Al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al- Imamul
jalil, Abu Hsmid Ath Thusi Al-Ghazali, lahir di Thusi daerah khurasan
wilayah Persia tahun450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah
meminta benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli
tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwaiat kepada teman
akrabnya, yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau
mengasuh al-Ghazali. Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi
kaya spiritual.

Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu


berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan
khalwat mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai
panca inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu
pengetahuan, hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang
ahli hukum Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada
Allah agar dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli
memberi nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.

Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu pengetahuan antara


lain:
a. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu fiqih
secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian
dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang
terkenal.
b. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke Jurjan
melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili.

3
Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang
kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.
c. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang ulama
besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-
Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang
pada masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya.
Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke
Nizham Al-Mulk di kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan
dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat
berkumpul para Imam dan Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat
menjadi guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad.

2. Karya-karya Al-Ghazali
Keistimewaan yang luar biasa dari Al-Gazali adalah dia seoarang
pengarang yang sangat produktif. Menurut catatan Sulayman Dunya,
banyaknya karangan Al-Gazali mencapai jumlah 300 buah. Diantara 300
buah karangan Al-Gazali, hanya beberapa buah saja yang dapat
diselamatkan dari cengkeraman keganasan para penguasa yang mengobrak-
abrik Negara Islam dimasa itu. Berikut beberapa karya dari Al-Gazali:
a. Yaqut ut ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut
sebab-sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an).
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia).
c. Al Madhnun bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan dari
orang-orang yang bukan ahlinya).
Adapun karya-karya Al-Gazali yang paling terkenal dalam beberapa
bidang menurut Sulayman Dunya yang meliputi:
a. Bidang filsafah
1) Ilmu kalam (theology).
2) Ilmu falsafah umum (‘aqliyah).
3) Aliran kaum Syie’ah Bathiniyah (mazhab ahli ta’liem).
4) Ilmu tashawwuf (metafisika)

4
b. Bidang keagamaan
1) Ihya’ ‘ulum ed dien (menghidupkan ilmu-ilmu agama).
2) Al Munqiz minad dhalal (terlepas dari kesesatan).
3) Minhaj ul ‘Abidien (jalan mengabdi Tuhan)
c. Bidang akhlak dan tasawuf
1) Miezan ul ‘amal (neraca amal).
2) Keimiya us sa’adah (kimianya kebahagiaan).
3) Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama).
4) At Tibrul masbuk fi nashiehat el muluk (mas yang sudah di tatah
untuk menasehati para penguasa).
5) Al Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal
pokok-pokok ilmu hukum).

3. Pemikiran Al-Ghazali
a. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan
ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat
dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal
semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat
yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika
berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat
mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka
tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional,
yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi
hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode
rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu

5
pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang
metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang
berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap
memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran
tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan
dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.
b. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa
dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi
dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan
pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu.
Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari
segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti
sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga
Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan,
dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-
kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti
terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya
segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.

6
Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi
Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat
pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan
pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang
terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau
Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya
adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-
sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat
klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari
manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama
sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan
tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri
terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam
kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf
dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan
guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah
dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang
terkandung di dalamnya.

7
B. Ibnu Sina
1. Biografi dan pendidikannya
 Nama lengkapnya Abu ‘Ali al-Husein ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan ibn
‘Ali ibn Sina. Ia lahir di desa Afsyanah, dekat Bukhara. Transoxiana (Persia
Utara. Ada usia 10 tahun ia telah mampu menghafal al-Qur’an, sebahagian
besar sastra Arab, dan juga hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles.
Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, seperti:
Fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat, dan ilmu kedokteran. Pada usia 18
tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, seperti: guru, penyair,
filosof, pengarang dan seorang dokter termasyhur, sehingga di undang untuk
mengobati Sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya
tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehinga ia
diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di
perpustakaan Sultan. Dalam usianya 22 tahun, ayahnya meninggal dunia.
Musibah ini menjadi pukulan berat baginya sehingga dengan berat hati
meninggalkan Bukhara menuju Jurjan untuk bekerja di istana pangeran Ali
ibn al-Ma’mun. Selanjutnya ia pindah ke Raiy dan di istana ia berhasil pula
mengobati Maj al-Dawlah, dari sini ia pindah ke Hamdan dan selama di
sana pernah di angkat dua kali menjadi Menteri di istana Syams al-Dawlah.
Karena terlibat dalam soal politik ia kemudian dimasukkan ke dalam
penjara, tetapi dapat menyelamatkan diri dengan menyamar sebagai Sufi, ia
lari ke Isfahan. Di sini ia bekerja di istana ‘Ala al-Dawlah.
Menurut Abu Ubaid al-Jurjani salah seorang muridnya, Ibnu Sina selalu
sibuk menulis baik sewaktu dalam penjara maupun dalam perjalanan. Buku
yang ditulisnya besar kecil, berjumlah lebih dari dua ratus, kebanyakan
dalam bahasa Arab dan sebahagian kecil dalam bahasa Persia, di antara
karya yang terpenting adalah:
a. Al-Syifa latinnya Sanatio (penyembuhan).
b. Al-Najah latinnya Salus (penyelamat), ringkasan dari Al-Syifa.
c. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika
dan hikmah.

8
d. Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia medis.
e. Al-Hikmah al-‘Arudiyyah
f. Hidayah al-Rais li al-Amir.
g. Risalah fi al-Kalam ‘ala al-nafs al-Natiqiyah.
h. Al-Mantiq al-Masyriqiyyin (logika timur).

Yang membuat nama Ibnu Sina terkenal ialah dua di antara buku-buku
itu, al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Al-Qanun (The Canon), suatu
ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang diperpegangi di Universitas-
Universitas di Eropa selama lima ratus tahun. Al-Syifa merupakan
ensiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya
terdapat tambahan-tambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol) dan
kemasyhurannya di Barat sebagai dokter melampaui kemasyhurannya
sebagai filosof. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Ra’is”,
pemimpin utama (dari filosof-filosof).
Di akhir hayatnya, ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan
meninggal pada tahun 428 H ( 1037 M) di Hamadzan dalam usia 57 tahun.

2. Karya Ibnu Sina

Ibnu Sina walaupun dia sibuk dalam pemerintahan, namun ia adalah


seorang penulis produktif yang luar biasa sehingga tidak sedikit karya-
karyanya yang berpengaruh, baik di belahan Barat maupun di Belahan
Timur. Di antara karya tulisannya, yakni:

1. Al-Syifa’, berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri empat bagian;


Ketuhanan, Fisika, Matematika, dan Logika.
2. Al-Najat, berisikan keringkasan dari kitab al-Syifa’, karya ini
ditunjukkan khusus ke kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-
dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3. Al-Qanunfi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima
kitab dalam berbagai ilmu jenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.

9
4. Al-isyarat wal al-Tabihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan
hikmah.

3. Pemikiran Ibnu Sina


a. Falsafah al-Faydh
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga menganut teori al-
Faydh (emanasi). Bagi Ibnu Sina, Tuhan sebagai akal murni
memancarkan akal pertama dan dari akal pertama memancar akal kedua
dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal
kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang
terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah
Malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Menurut kaidah yang dirumuskan al-Farabi dan Ibnu Sina, dari
“yang satu” hanya dapat keluar “yang satu” pula. Maka yang keluar atau
berasal dari Tuhan hanyalah “sesuatu yang satu”. Dari “sesuatu yang
satu” itulah, menurut al-Farabi, keluar pergandaan secara dua-dua
(istnaiyyah). Sedangkan menurut Ibnu Sina, bukan pergandaan secara
“dua-dua” melainkan secara tiga-tiga (tsulatsiyyah).
Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Sina adalah:
1. Karena al-Aqlul-Awwal (akal pertama) berfikir akan al-Awwal (yakni
Tuhan) maka  terjadilah “akal” di bawahnya (yakni lebih rendah
daripada “akal pertama”).
2. Karena akal yang lebih rendah itu berfikir akan zatnya sendiri, maka
terjadilah al-Falakul-Aqsha (cakrawala tertinggi), yang
kesempurnaannya berupa an-Nafs (soul).
3. Karena waktu yang memungkinkan terjadi eksistensi yang lebih
rendah (al-Mudarijah) sebagai hasil dari pengertian akan zatnya
sendiri, maka terjadilah al-Falaqul-Aqsha (cakrawala tertinggi).
Dengan kata lain, dari “akal” keluarlah tiga eksistensi, yaitu :
Akal, Nafs (soul), dan Jisim (materi).Dengan demikian, jelaslah
perbedaan teori emanasi (al-Faydh) antara al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-

10
Farabi mengatakan ada dua macam ta’aqqul (proses berfikir) sebagai asal
usul timbulnya akal yang lain dan benda-benda cakrawala. Sedangkan
menurut Ibnu Sina perlimpahanlah yang menjadi sebab timbulnya
pergandaan secara tiga-tiga, bukan secara dua-dua. 
b. Falsafah al-Nafs
Seperti umumnya filosof pada zamannya, Ibnu Sina percaya bahwa
manusia terdiri dari jasad dan jiwa. Unsur jasad dengan segala
anggotanya merupakan alat bagi jiwa dalam melakukan aktifitasnya. Dari
itu jiwa berbeda secara hakiki dengan jasad yang selalu berubah, berlebih
dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan
jiwa.
Berdasarkan ungkapan tersebut, maka dapat dipahami bahwa
hakekat manusia adalah jiwa. Oleh karena itu, para filosof Islam lebih
tertarik pada jiwa daripada masalah jasad dalam membicarakan tentang
manusia. Ibnu Sina misalnya, membagi jiwa manusia kepada tiga bagian
yaitu: jiwa alami atau nabati, jiwa hewani dan jiwa rasional.
a. Jiwa Alami atau Nabati (Tumbuh-tumbuhan)
Jiwa alami atau nabati mempunyai kemampuan untuk makan
(nutrition), tumbuh (growth), dan berkembang biak (refroduction).
b. Jiwa Hewani
Jiwa hewani mempunyai kemampuan untuk bergerak dengan
bebas (locomotion), dan kemampuan untuk melakukan penangkapan
(perception).
Kemampuan yang kedua, yakni kemampuan perseptif terbagi
dalam dua sub bagian, yaitu indra lahir dan indra batin. Indra lahir
dikenal dengan nama panca indra (penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan sentuhan). Sedangkan indra batin terdiri dari lima
daya :

1. Indra bersama, daya ini berfungsi untuk menerima segala apa yang
ditangkap oleh panca indra.

11
2. Representasi, daya ini berfungsi untuk menyimpan segala apa yang
diterima oleh indra bersama.
3. Imaginasi, daya ini berfungsi untuk menyusun apa yang disimpan
oleh representasi.
4. Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materi, misalnya keharusan lari kambing dari anjing, serigala.
5. Rekolasi, yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh
estimasi.

c. Jiwa Manusia (Rasional)


Jiwa rasional ini terdiri dari dua daya, yaitu :
1. Praktis, yang berhubungan dengan badan.
2. Teoritis, yang berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya ini
memiliki tingkatan-tingkatan:
a. Akal Materi, yang semata-mata memiliki potensi untuk berfikir
tentang hal-hal yang abstrak.
b. Intellectus in habitu, yang telah mulai dilatih untuk berfikir
tentang hal-hal abstrak.
c. Akal Aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
d. Akal Mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang
hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya, akal yang
telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini, akal yang serupa
inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari
akal aktif.

Dari ketiga jiwa tersebut, maka apabila seseorang telah dikuasai


pada dirinya jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang, maka orang itu
dapat menyerupai binatang. Namun, jika jiwa manusia yang sangat
berpengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat
dan dekat dengan kesempurnaan.

12
C.Falsafah Kenabian
Pada tingkatan intelektual, perlunya wahyu kenabian dibuktikan.
Ibnu Sina membangun seluruh teori tentang pengalaman intuitif,
manusia sangat berbeda-beda berdasarkan kekuatan-kekuatan intuitif
mereka dalam kualitas maupun dalam kuantitasnya dan sementara
sebahagian orang hampir sama sekali tak memiliki pengalaman
intuituf itu. Yang lain memilikinya dalam kadar yang tinggi, sehingga
orang dianugerahi keluarbiasaan memiliki hubungan menyeluruh
dengan realitas. Wawasan yang menyeluruh, kemudian mewujud
dalam tesis-tesis tentang sifat dasar realitasdan tentang sejarah masa
depan, dan wawasan inipun bersifat intelektual dan moral spiritual
sehingga pengalaman kenabian itu tentu memenuhi kriteria filosofis
ataupun moral. Berdasarkan wawasan kreatif inilah Nabi menciptakan
nilai-nilai moral baru dan mempengaruhi sejarah masa mendatang.
Komitmen psikologis moral dari wawasan inipun merupakan
keimanan Nabi serta kecakapannya dalam pengetahuan yang benar
dan dalam penelitian moral yang tepat. Wawasan kreatif tentang
pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan akal
aktif dan diidentikkan dengan Malaikat pembawa wahyu. 
D.Falsafah al-Wujud
Ketika para filosof Arab membahas soal Tuhan dan sifat-sifat-
Nya, mereka tidak mungkin meninggalkan ajaran prinsip yang telah
ditetapkan oleh agama Islam, yaitu Keesaan-Nya yang mutlak.
Sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Ikhlas.

Dalam teori filsafat Ketuhanan, Ibnu Sina mengatakan bahwa


Allah adalah wajibul wujud. Sebagai wajibul wujud, maka Ia pasti ada
tidak bisa tidak.

Mengenai sifat wujudiyah, Ibnu Sina mengatakan bahwa hal itu


sangat penting dan mempunyai kedudukan di atas  segala sifat lain,
walaupun esensi sendiri. Esensi dalam paham Ibnu Sina terdapat

13
dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang
membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar
akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena itu, wujud
lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa
Ibnu Sina telah terlebih dahulu mengajukan filsafat wujudiah dari
filosof-filosof lain.

Apabila dikombinasikan antara esensi dan wujud, maka


mempunyai kombinasi sebagai berikut:

1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang


serupa ini disebut oleh Ibnu Sina sebagai sesuatu yang
mustahil berwujud.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud
tetapi mungkin pula tidak berwujud sebagai contoh, alam
ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud.
Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan
wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai
oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud,
sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua,
tetapi esensi mesti dan wajib. Mempunyai wujud. selama-
lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud, yaitu
Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan Mumkin
al-Wujud. Hubungan antara wajib al-
wujud dengan mumkin al-wujud bersifat emanasionistis.

           Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (ada) dan


pasti ada. Segala sesuatu selain Dia bergantung kepada-Nya.

14
C. Perbedaan Pemikiran Filsafat Ibnu Sina dengan Imam Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya
dan tidak mengetahui yang selain-Nya (Juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan
bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan Ilmu-Nya yang kulli.
Dalam karyanya,  Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan
kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-
Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Tahafutul Falasifah memuat 20
persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan
menyebabkan kekufuran, yaitu: pemikiran para filosof bahwa alam (yang
dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk alamul ghaib)
adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang
universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak.
Dari kedua puluh persoalan filosofis, persoalan keazalian alam menyedot
sekitar seperlima dari keseluruhan isi buku Tahafutul Falasifah.  Bagaimana
Tuhan menciptakan alam? Para filosof (tidak termasuk Plato) beranggapan
bahwa alam tidak bermula. Alam ada sejak Tuhan ada. Tuhan ada maka alam
ada. Jika Tuhan ada, dan alam tidak ada, maka ketiadaan hadir sebelum adanya
alam.
Namun, bagi para filosof, kondisi seperti itu, mustahil bagi akal.
Sebabnya, jika alam dari tiada kemudian berubah menjadi ada, maka pasti ada
faktor (murajjih) yang menyebabkan perubahan dari ketiadaan menjadi ada.
Para filosof menyatakan tidak mungkin jika perubahan tersebut disebabkan
oleh Tuhan. Sebab jika perubahan itu terjadi (dari tiada menjadi ada), akan
timbul persoalan. Mengapa Tuhan menciptakan alam itu pada saat itu, kenapa
tidak sebelumnya?
Bagi para filosof, tidak mungkin untuk mengatakan Tuhan “dulu Dia
tidak berkehendak saat alam belum diciptakan” dan “saat alam diciptakan Dia
baru berkehendak”. Hal ini, kata mereka,  tidak mungkin terjadi, karena
perubahan tidak terjadi pada diri Zat yang Maha Suci.

15
Agamawan pun mengakui tidak ada perubahan pada diri Zat yang Maha
Suci. Oleh sebab itu, tidak bisa tidak, alias sebuah keharusan, alam itu tidak
bermula di dalam waktu. Alam ada sejak Allah ada. Namun, para filosof
seperti Ibnu Sina mengingatkan, tetap ada perbedaan yang jelas antara
eksistensi Allah dan eksistensi alam. Allah “lebih dulu” ada dibanding alam.
Namun, makna “lebih dulu” bukan dalam katagori waktu. Tapi, dalam katagori
esensi (biz-zat), seperti sebab “lebih dulu” dari akibat, ataupun angka satu
“lebih dulu” dari angka dua, atau seperti matahari “lebih dulu” dari sinarnya.
Tentu, perumpamaan ini tidak bisa diaplikasikan sepenuhnya kepada Zat yang
Maha Suci karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Namun, seperti itulah
kira-kira makna “lebih dulu,” demikian menurut Ibnu Sina.
Bertentangan dengan pemikiran Ibnu Sina, al-Ghazali, berpendapat tidak
ada keharusan logika untuk menyimpulkan alam tidak bermula. Bagi al-
Ghazali, tidak mustahil bagi akal untuk berfikir bahwa Tuhan ada dan tidak ada
apa pun bersama-Nya. Tuhan mencipta alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan
sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dalam pandangan Ibnu Sina, para Nabi sangat diperlukan bagi
kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi dengan
para mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Demikianlah uraian
Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja mengakui adanya Nabi/Rasul dan
Kenabian/Kerasulan, melainkan juga menegaskan bahwa Nabi/Rasul lebih
unggul dari filosof.

16
BAB III

PENUTUP

B. Kesimpulan

Nama asli imam Al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al- Imamul
jalil, Abu Hsmid Ath Thusi Al-Ghazali, lahir di Thusi daerah khurasan wilayah
Persia tahun450 H (1058 M). Berikut beberapa karya dari Al-Gazali: Yaqut ut
ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut sebab-sebab-sebab
turunya ayat-ayat Al-Qur’an). Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia). Al Madhnun
bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan dari orang-orang yang
bukan ahlinya).
Nama lengkapnya Abu ‘Ali al-Husein ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan ibn
‘Ali ibn Sina. Ia lahir di desa Afsyanah, dekat Bukhara. Transoxiana (Persia
Utara. Ada usia 10 tahun ia telah mampu menghafal al-Qur’an, sebahagian
besar sastra Arab, dan juga hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles.
menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya
dan tidak mengetahui yang selain-Nya (Juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan
bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan Ilmu-Nya yang kulli.
Dalam karyanya,  Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan
kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-
Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Tahafutul Falasifah memuat 20
persoalan filosofis.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) , hal 106
 Ibid hal 107-110
 Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) , hal 76
 Zaky mubarak, al-akhlaq ‘ind Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-katib al-araby al-thaba’at al-
nasyr, 168), hal 47

18

Anda mungkin juga menyukai