Anda di halaman 1dari 41

BAB III

KARIER INTELEKTUAL AL-GHAZALI

A. RIWAYAT HIDUP

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang di sana hadir beberapa

tokoh yang disebut sebagai filosof muslim, seperti al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi,

Ibnu Rusyd, al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak

bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat

islam, akan tetapi juga karena adanya peran mereka benih-benih filsafat Islam

dikembangkan bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia.

Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam

mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam

yang banyak di pertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran- pemikiran

Imam Al-Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep

Islam. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-

Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap

Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang

teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam.pemikiran Al-Ghazali begitu

beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam),

tasawuf, filsafat Islam dan lain sebagainya. Dalam khazanah filsafat dan teologi,

ada satu teori yang paling populer dari pemikiran Imam Al-Ghazali yakni teori

kausalitas (causal relationship) yang di mana teori ini merupakan isu yang

1
fundamental. Prinsip teori ini menegaskam bahwa setiap peristiwa harus

mempunyai sebab, dan setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya.1

Kajian filosofis tentang konsep “penyebaban” (causation) ini sudah

menyibukkan para filosof -filosof awal Yunani untuk mengetahui apa dan

bagaimana alam berasal. Begitu pula kaum teolog bahkan menjadikan logika

sebab-akibat sebagai basis rasional (rational principles) untuk menopang

keberadaan Tuhan. Hal itu dapat dilihat dari argumentasi-argumentasi adanya

Tuhan yang mereka kembangkan dari berbagai persepektif.2 Selain pembahasan

kausalitas ada juga polemik yang dipertentangkan antara Imam Al-Ghazali dan

Ibn Rusyd diantaranya menyangkut tentang Ada (Qadimnya alam), Tuhan tidak

mengetahui hal-hal kecil dan pembangkitan ruh. Sehingga Imam Al-Ghazali

mengarang kitab yang berjudul : Tahafut Al-Falasifah (kekacauan pemikiran para

filosof) Sebagai sanggahan atau bentuk protes atas pemikiran para Filosof yang

1
Lihat Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna: Dirasah Maudhui’yyah fi Mu’tarak al-
Shira al-Fikri al-Qa’im baina Mukhtalaf al-Tayyarat al-Falsafiyyah wa Khashshah al-Falsafah
al-Islamiyyah wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Markisiyyah), (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-
Mathbu’at, 1989), Hal. 263.
2
Pemikiran keagamaan mengajukan beberapa argumentasi atau dalil tentang adanya
Tuhan. Setidaknya ada 2 argumentasi yang cukup populer, yaitu: (1) Argumen ontologis.
Argumentasi ini (ontos=sesuatu yang berwujud) merupakan salah satu argumentasi tradisional
yang diajukan oleh filsafat agama. Argumen ini misalnya dipelopori oleh Plato (428-348 SM),
yang menyatakan tiap benda-benda di alam mestilah ada ideanya yang bersifat kekal dan tetap.
Lihat juga misalnya Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hal. 51-53;
(2) Argumen Kosmologis. Argumentasi ini (cosmos=alam) mucul dari kepercayaan bahwa alam
pada wujudnya hanyalah bersifat mungkin(probabilitas). Karna itu ia bergantung pada sebab untuk
aktualisasi. Alam merupakan akibat (Effect), dan membutuhkan adanya sebab (cause) atau
‘penyebaban’ (causation). Zat yang menyebabkan adanya alam itu tidak mungkin alam itu sendiri.
Oleh karna itu maka haruslah ada zat yang lebih sempurna dari alam yang disebabkan oleh apapun
yang diklaim sebagai The First Cause (sebab pertama). Lihat William L. Craig, Wallace matson
and the Crude Cosmological Argument, (Leadership University, 1997), hal.1;
(3) Argumen Teleologis (telos = tujuan, teleologis berarti serba) mengatakan bahwa alam diatur
menurut suatu tujuan tertentu. Dalam paham teleologi, sesuatu yang dipandang sebagai organisasi
yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerja sama. Tujuan
dari itu semua adalah demi kebaikan alam dunia. Dan tentunya ada yang menggerakan menuju ke
tujuan tersebut dan membuat alam ini berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta:2009, h. 65.

2
bertentangan dengan ajaran Agama Islam, Sanggahan Imam Al-Ghazali itu

dibantah kembali oleh Ibn Rusyd dengan menerbitkan kitab Tahafutut At-tahafut,

yang isinya menjawab sanggahan Imam Al-Ghazali tentang pemikiran para

Filosof yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama.

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad bin Ahmad al-Ghazali at-Thusi. Panggilan, Laqob atau gelar al-

Ghazali Zain ad-Diin at-Thusy. Adalah Hujjat al-Islam.3 Secara singkat dipanggil

dengan al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sebuah kota di wilayah

Khurasan, Iran pada tahun 450 H./1058 M. tiga tahun setelah dinasti Saljuk

mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Dan wafat pada tahun 505 H (1111 M).

Tepatnya pada tanggal 14 Jumadhil ats-Sani, hari senin di Thus, sebuah kota kecil

di Khurasan (Iran) tempat kelahirannya.Ayah al-Ghazali adalah seorang pemintal

kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis

pengajian. Menjelang wafatnya, dia menitipkan al-Ghazali bersama adiknya

Ahmad kepada seorang Sufi. Ia sekaligus menitipkan sedikit harta kepada sufi

tersebut, seraya memberikan sebuah wasiat: “Saya sangat menyesal karna saya

tidak bisa menulis (Buta Huruf). Oleh karena itu saya ingin kedua anak saya ini

tidak kehilangan yang tidak bisa saya peroleh, didiklah mereka (berdua) dengan

seluruh harta peninggalanku. 4

3
Yusuf Qordowi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), h. 19.
4
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 13.

3
Di jurjan, al-Ghazali memulai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia

menulis suatu tentang ilmu fiqh. Akan tetapi menurut sebuah cerita, di tempat ini

ia mengalami sebuah musibah. Semua barang yang dibawa oleh al-Ghazali yang

berisi buku-buku catatan dan dan tulisannya di rampas oleh para perampok,

meskipun pada akhirnya barang-barang tersebut dikembalikan setelah al-Ghazali

berusaha keras untuk memintanya kembali. Kejadian tersebut mendorong al-

Ghazali untuk menghafal semua pelajaran yang diterimanya. Oleh karena itu,

setelah sampai di Thus kembali, ia berkonsentrasi untuk menghafal semua yang

telah dipelajarinya selama kurang lebih tiga tahun.5

Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harta

titipannya habis, dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya.

Selanjutnya sufi itu menyerahkan keduanya untuk belajar mengelola sebuah

madarasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Selama berada di

Naisabur, al-Ghazali tidak hanya belajar kepada al-Juwaini melainkan juga

mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf al-

Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf meskipun hal itu

belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Ilmu-ilmu

yang didapatkan al-Ghazali dari al-Juwaini benar-benar dikuasai. Termasuk

perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan

sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini,

al-Juwaini menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bahr al-Mu’riq” (lautan yang

menghanyutkan).

5
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h, 203.

4
Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki al-Ghazali

menjadikannya semakin populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa

Imam al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imam Haramain mengakui

kehebatan al-Ghazali. Hingga ia diangkat sebagai asisten dan akhirnya mewakili

pimpinan Nizamiyah. Disinilah bakat menulisnya berkembang. Dan ketika

gurunya wafat (1085), ia meninggalkan Naisabur dan menuju ke Istana Nizham

al-Mulk yang menjadi seorang perdana mentri Sultan Bani Saljuk. 6 Perjalanan al-

Ghazali dalam mempelajari berbagai ilmu dimulai dari tempat kelahirannya, yaitu

dari ayahnya. Darinya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan.

Setelah ayahnya wafat, beliau melanjutkan belajar pada teman ayahnya (seorang

ahli tasawuf), ketika gurunya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan al-Ghazali

dan saudaranya, gurunya menyarankan mereka masuk ke sekolah untuk

memperoleh ilmu yang lebih luas lagi.7

Setelah itu, al-Ghazali belajar kepada Imam Haramain. Dari beliau, ia

menguasai ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur Ismail Al-Farisi,

setelah belajar dari gurunya tersebut imam al-Ghazali menjadi pembahas paling

pintar pada zamannya. Imam Haramain pun merasa bangga dengan prestasi

muridnya tersebut.8 Dalam belajar, al-Ghazali sangat bersungguh-sungguh

sehingga ia pun mahir dalam perihal madzhab, khilaf (perbedaan pendapat),

6
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa,
2003), h, 159.
7
Ghazali, Pembuka Pintu Hati (Bandung: MQ Publishing, 2004), h, 4.
8
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama MMU,
2004), 16.

5
perdebatan, membaca hikmah, dan falsafah. Dan Imam Haramain pun menyikapi

al-Ghazali sebagai lautan ilmu yang luas.9

Sejak itu nama al-Ghazali menjadi masyhur di kawasan kerajaan Saljuk,

sebelum al-Juwaini wafat, beliau memperkenalkan al-Ghazali kepada Nidzham al-

Mulk, yaitu perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah. Beliau adalah pendiri

madrasah al-Nidzhamiyah.10 Setelah gurunya wafat (478), al-Ghazali

meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham

al-Mulk. Di daerah ini al-Ghazali mendapatkan kehormatan untuk berdebat

dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin

masyhur dan disegani karena keilmuannya. Kemasyhuran itu menyebabkannya

dipilih oleh Nizam al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizamiyyah

Baghdad pada tahun 484 H./1091 M. Selain mengajar di Nizamiyyah, ia juga

aktif mengadakan diskusi dengan golongan-golongan yang berkembang ada masa

itu. Selama mengajar di madrasah dengan tekunnya. Al-Ghazali mendalami

Filsafat secara otodidak, baik Filsafat Yunani maupun dari Filsafat Islam,

terutamanya pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhan al-Shafa.

Penguasaannya terhadap Filsafat terbukti seperti dalam karangannya al-maqasid

falsafah dan Tuhafutul al-Falasifah.11 Buku tersebut disusun ketika beliau

mengalami fase skeptis atau fase di mana beliau belum mendapatkan petunjuk

9
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama MMU,
2004), 15.

10
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama
MMU, 2004), 16.

11
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama
MMU, 2004), 15.

6
tentang hakikat kebenaran.12 Dalam buku tersebut (Tuhafut al-Falasifah), al-

Ghazali memberikan kritik terhadap dua puluh permasalahan. permasalahan-

permasalahan tersebut adalah: Alam qadim (tidak bermula), Alam kekal (tidak

berakhir), Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak da at diberi sifat al-Jins

(jenis) dan al-Fasl (diferensial), Tuhan tidak mempunyai Mahiyyah (hakekat),

Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (perincian yang ada di alam), planet- planet

adalah bintang-bintang yang bergerak dengan kemauan, jiwa-jiwa planet

mengetahui Juz’iyyat, hukum tidak berubah, jiwa manusia adalah substansial yang

berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan pula ‘arad (accident), Mustahilnya jiwa

hancur, tidak adanya kebangkitan jasmani, adanya tujuan bagi gerak planet.

Begitu pula tentang ketidak sanggupan mereka (filosof) membuktikan: Tuhan

adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan, Adanya Tuhan,

Mustahilnya ada dua Tuhan, Tuhan bukanlah tubuh, Tuhan mengetahui esensinya,

Tuhan mengetahui wujud lain, Alam yang qadim mempunyai pencipta.

Selain itu juga al-Ghazali menuntaskan studi secara mendalam tentang

teologi, ta’limiyyah dan tasawwuf. Karier al-Ghazali tidak berhenti di situ, al-

Ghazali ditunjuk oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di bawah pemerintahan

Khalifah Abbasiyah, untuk menjadi Rektor Universitas Nizamiyyah. Pada waktu

itu al-Ghazali baru berumur dua puluh delapan tahun, namun kecakapannya

mampu menarik perhatian Perdana Menteri.

Al-Ghazali menjabat sebagai Rektor Universitas Nizamiyyah tidak begitu

lama. Tahun 1095 M al-Ghazali meninggalkan profesinya sebagai Rektor, karna


12
Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (kerancuan Para Filosof) (Bandung: Marja,
2010), h, 37.

7
beliau ingin melanjutkan perjalanannya menuju Makkah al-Mukarramah guna

menunaikan rukun Islam yang ke lima, ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah

haji, al-Ghazali mengunjungi wilayah Syam, dan untuk sementara waktu ia

menetap di kota Damsyiq (damaskus), hingga kembali ke kota asal beliau, Thus.

Kemudian al-Ghazali mengurungkan diri di Masjid Damaskus. Di sinilah al-

Ghazali menulis kitabnya “Ihya Ulum ad-Din” the revival of the religius

(menghidupkan kembali ilmu agama),13 sebuah kitab yang merupakan paduan

antara ilmu fiqih dan tasawwuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia

Islam dan masih terasa sampai sekarang.14 Al-Ghazali sangatlah produktif dalam

berkarya, ratusan buku telah ia tulis. Menurut para ulama karya-karya al-Ghazali

mencapai 200 karya.15

Kehidupan al-Ghazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi

seorang sufi. Sebagai sufi, al-Ghazali berkeyakinan bahwa tasawwuf adalah jalan

terbaik yang mengantarkan kepada kebenaran hakiki.16 Akhir hidup al-Ghazali di

Teheran pada Tahun pada tahun 505 H/ 111 M. sepeti biasanya, Ia bangun pagi

pada suatu hari senin, bersembahyang kemudian minta dibawakan peti matinya, Ia

seolah-seolah mengusap peti mati itu dengan matanya dan berkata “apapun

perintah Tuhan, aku telah siap melaksanakannya.” Sambil mengucapkan kata-kata

13
Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung :
Mizan Media Utama MMU, 2004), h. 4.
14
Azyumardi Azra dkk, Ensikopedi Islam 2, h. 27.
15
Abdullah Mustofaal-Muragi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah (terjm)
(Yogyakarta : LKPSM, 2001), h. 177.
16
Al-Ghazali , Ihya Ulum ad-Din, alih bahasa Ismail Ya’kub (Jakarta : Faizan, 1983), h.
25.

8
itu ia meluruskan kakinya, dan ketika orang-orang melihat wajahnya, Imam al-

Ghazali telah tiada.17

B. Karya-karya al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan sosok Ilmuan dan penulis yang sangat produktif.

Berbagai tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan

Muslim maupun non-Muslim. Para pemikir Barat abad pertengahan, seperti

Raymond Martin, Thomnas Aquinas, dan Pascal, ditengarai banyak dipengaruhi

oleh pemikiran al-Ghazali. Pasca periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil

karyanya yang telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti

Latin, Spanyol, Yahudi, Prancis, Jerman, dan Inggris, dijadikan referensi oleh

kurang lebih 44 Pemikir Barat. Al-Ghazali, diperkirakan telah menghasilkan 300

buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat,

moral, tafsir, fiqih, ilmu al-Qur’an, tasawwuf, politik, administrasi, dan perilaku

ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini hanya 84 buah. 18 Jumlah kitab

karangan al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati seacara definitif oleh para

penulis sejarahnya, Menurut Ahamd Daudy, penelitian paling akhir tentang

jumlah karangan al-Ghazali, adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman al-Badawi,

yang hasilnya dikumpulkan dalam satu satu buku yang berjudul Muallafat al-

Ghazali. Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang

ada hubungannya dengan karya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok.

Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang
17
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2010), h. 218.
18
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2012), h. 316.

9
terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai

karyanya yang asli, terdiri atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat

dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab. Di antara karya-karya al-

Ghazali yang disebutkan dalam kitab Muallafat al-Ghazali sebagai berikut :19

1. Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan agama). Kitab ini diterbitkan beberapa kali,

di antaranya diterbitkan di bulaq tahun1269, 1279, 1282, 1289 H. Terbit pula di

Istanbul tahun 1321 H, di Teheran 1293 H.

2. Al-adab Fi al-Din. Diterbitkan satu edisi dengan kumpulan risalah al-Ghazali

( Majmu’ul Rasa’il ) yang terbit di kairo tahun 1328 H/1910 M.

3. Kitabul Arbain Fi Ushuluddin. Terbit di kairo, tahun 1328 H/1910 M, dan

diterbitkan oleh Al-Maktabah At-tijariyyah Kairo, tanpa tahun. Edisi indonesia

berjudul Teosofia Al-Qur’an, terjemahan Muhammad Luqman Hakiem dan

Hossen Arjaj Jamaj, diterbitkan penerbit risalah Gusti, surabaya, 1996.

4. Asasul Qiyas. al-Ghazali menyebutnya dalam al-musthashfa, juz I/38, juz

II/238 dan juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324 H/1907 M. Tentang kitab ini,

juga disebutkan oleh Muhammad Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-

Thabaqatul Aliyah

5. Asraru Mu’amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam Thabaqat asy-

Syafi’iyyah al-Kubra, juz IV, hlm. 116, disebut pula oleh Muhammad Ibnu Hasan

dalam At-Thabaqatul Aliyah Fi Manaqibi as-Syafi’iyyah, lalu al-Ghazali juga

19
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), h, 209. .

10
menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm. 32, serta Abdurrahman Badawi,

hlm. 68.

6. Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di kairo, 1328 H. Tahun 1343

tercantum dalam risalah-risalah al-Ghazali yang berjudul al-Jawahirul Ghawali

Min Rasaili Hujjatil Islam al-Ghazaly. Di istanbul juga terbit pada tahun 1305 H,

dan di qazan tahun 1905 M, dengan terjemah bahasa Turki , oleh Muhammad

Rosyid. Diterjemahkan pula ke bahasa Jerman oleh Hammer Y, di Wina tahun

1837 M. Lantas Taufiq Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis

dalam publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul Traite

Disciple.

7. Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya, termasuk diantaranya

terbitan Bulaq tahun 1287 H, Kairo, 1277 H dan 1303 H. Dalam terbitan yang

disertai catatan-catatan Muhammad an-Nawawi al-Jawy al-Bantany, terbit di

Kairo tahun 1306, 1326 H, terbit di Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul

Qur’an menerbitkannya tahun 1985 M, editor Muhammad Usma al-Khasyat.

Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.

8. Tafsirul Qur’anil Adzim. Disebut oleh Az-Zubaidy dalam Ithafu Saadatil

Muttaqin, I/34, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 53.

9. Tahafutul al- Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302 H, 1320 H, 1321 H

dan tahun 1955 M, di Boombay diterbitkan tahun 1304 H. diterjemahkan ke bahsa

Latin oleh C. Calonymus, dan pertemuan tahun 527 M, dengan judul Destretio

Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua kali oleh al-Bunduqiya tahun 1527

11
M dan tahun 1562 M, terjemahan tersebut ditranskip dari terjemahan bahasa

Yahudi. Sementara terjemahan ke bahasa Latin oleh Augustinonivo, dan ia

memberikan penjelasan atas naskah tersebut, pada tahun 1497. Kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah

“Muzion” yang terbit di Loupan tahun 1899.

10. Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa tahun, dan

diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279 H, dan di Bombay tahum 1883 M.

Teks Persia diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany. Wafat tahun

1591 M, dan belum sempat dicetak. Ada pula manuskripnya di Aya Sofia, No.

1719, 1720. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris oleh H.A Homes,

Dengan judul The Alchemy Of Happiness, oleh Muhammed al-Chazalli, sang

mohammaden Philoshope-Albany, New York, 1873. Sedangkan teks Arab,

disebutkan oleh az-Zubaidy dalam al-Ithaf, 1/42, di mana ia menemukan di

sebelah teks Persia berukuran besar, ada teks Arab yang berukuran kecil dalam 4

kuras (bundel). Teks arab ini masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali, yang

diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H. Teks Arab

diterjemhkan pula ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istanbul

tahun 1260. Diterjemahkan pula ke bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke

dalam bahasa Inggris serta Jerman.

11. Al-Munqidz min ad-Dhalal. Dicetak di Istanbul, tahun 1286 H, dan 1303 H,

kemudian di Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini

diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris

dua kali, ke bahasa Turki dan Belanda

12
12. Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan Damaskus

tahun 1934, hlm. 118, serta disebut oleh pengarang At-Thabaqatul Aliyah. As-

Subky juga menyebut dalam Thabaqatnya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul

Qur’an, terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 62.

13. Ar-Risalatul wa’dziyah. Dinamakan pula dengan “al-Wa’dziyyah”, Kairo,

1343 H, hlm. 153. Dipublikasikan oleh Muhyiddin Sabir al-Khurdi.

14. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di FES tahun 1302, dicetak juga

dalam hamisiny kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya az-Zubaidy, dan menjadi

Hamisy dari jumlah terbitan al-Ihya’.

15. Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Mustasyfa, I/67. Juga

Abdurrahman Badawi, hlm. 62.

16. Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut olehn as-Subky, IV/116, Haji

Khalifah, IV/54, Abdurrahman Badawi, hlm. 12, dan berupa manuskrip di Darul

Kutub al-Mishriyah, No. (107) 4183 – Ushul Fiqh, dalam 181 makalah, di

Ambruziyana, No. 78 (119 VII).

17. Lubabun Nadzar. Disebut oleh al-Ghazali dalam Mi’yarul Ilmi. 1927 M. hlm.

27, dan disebut pula dalam karya Abdurrahman Badawi, hlm. 9.

18. Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-Subky, IV/116, Ibnu Imad,

IV/12. Ada manuskrip di Pustaka Dimyath, Nomor (Umumiyah : 43-124/31), dan

di Darul Kutub al-Mishriyyah, No. 206-Fiqh Syar’I dalam 4 jilid. Di Pustaka ad-

Dzihariyyah, No. 127 : 129, 124 : 126-Fiqh Syar’i.

13
19. Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky menyebutkan,

thabaqat, IV/116, sebuah kitab yang merupakah ikhitisar (ringkasan) al-Muzammi

dan al-Ghazali sendiri menunjukan pada kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin , juz I/35,

juga dalam “Jawahirul Al-Qur’an” : hlm. 22. Ia berkomentar bahwa kitab

Khulasoh tersebut adalah kitab paling kecil di antara karya-karyanya di bidang

Fiqh. Adapun naskah ilustratif di akademi manuskrip, No. 174-Fiqh. As-Syafi’I,

yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyyah, No. 442 dalam 100 makalah.

20. Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam ath-

Thabaqatul Aliyah, disebut pula oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa, I/3 serta

Abdurrahman Badawi, hlm. 59.

C. Perjalanan Intelektual al-Ghazali

Dalam menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, al-Ghazali tidak kenal

lelah dalam belajar dan sangat serius dalam memperdalam ilmu. Seperti yang

sudah diterangkan di atas dalam perjalanan hidupnya ia kerap kali di sanjung oleh

gurunya dan menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bahr al-Mu’riq” (lautan yang

menghanyutkan). Al-Ghazali adalah sosok yang tekun dalam mempelajari ilmu-

ilmu demi mendapatkan kebenaran-kebenaran yang sejati. Dari seorang teolog ia

beralih menjadi tekun dalam ilmu filsafat. Dengan menonjolnya aspek rasional

dalam ilmu filsafat, ia mendapatkan sedikit titik pencerahan dari pertanyaan-

pertanyaan yang selama ini mengacaukannya, akan tetapi tidak berhenti di situ,

selain ia mempelajari filsafat ia juga mengkritik beberapa pemikiran filsafat.

14
Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) yang tertuang dalam

Tahafutul al-Falasifah. Dikatakan sebagai legitimasi klaim superioritas oleh para

filsuf. Pada posisi ini, al-Ghazali tidak hanya ingin membuktikan bahwa tidak

semua ajaran para fiolosof klasik telah mencapai tingkatan demonstratif seperti

yang diklaim pengikut mereka, tetapi ia juga hendak membongkar bangunan

filsafat yang dinilainya telah menyalahi dari ajaran Islam.20 Sayangnya, penjelasan

al-Ghazali bahwa ia mempelajari filsafat untuk membantahnya di masa depan

bersifat apologetic.21 Karena Al-Munqidz min ad-Dhalal ditulis tidak lama

setelah al-Ghazali mengajar di Madrasah Nidzamiyyah Nishapur pada tahun 1106.

Atas dasar inilah memunculkan berbagai stigma terhadap al-Ghazali dari berbagai

golongan.

Pandangan bahwa al-Ghazali turut bertanggung jawab untuk tidak

mengatakan paling berperan penting, dalam membuat tradisi ilmiah dan filsafat

hancur di dunia Islam oleh para Orientalis klasik di abad ke-19 hingga para

cendikia di Timur Tengah kontemporer timbul dari pembacaan (parsial) terhadap

karya magesterial ini. Ketika Solomon Munk menulis pada tahun 1844 bahwa al-

Ghazali sangat keras dalam mengkritisi Filsafat, yang ia bayangkan tentu saja

adalah kitab Tahafut dan secara khusus Bab Ketujuh Belasnya yang mengkritisi

teori kausalitas. Sementara itu , Ernest Renan yang menulis monografi seminar

20
Edward Omar Moad, ‘Al-ghazali’s Position on the “Second Proof” of the
“Philosophers” for the Eternity of the World, in the First Discussion of the Incoherence of the
philosophers’, Sophia 54, no. 4 (1 December 2015) : 429-41, https://doi.org/10.1007/s11841-014-
0458-5.
21
Mengenai karakter apologetic Munqidz, lihat Josef Van Ess, “Quelques remerques sur
le Munqidz min ad-dalal,” dalam Ghazali : La Raison et le miracle (Paris, Maisonneuve & Larose,
1987), 57-68. Lihat juga Kenneth Garden, “Coming Down from the Mountaintop : Al-Ghazali’s
Auotobigraphical Writtings in Context,” The Muslim World, 101 (2011), 581-596.

15
tentang Averros dan para pengikutnya di Eropa, memotret al-Ghazali sebagai

penentang pemikiran rasional dalam Islam, tokoh yang berada di balik topeng

“perang menentang filsafat” di dunia Islam yang muncul sejak akhir abad ke-12.

Bagi Renan, al-Ghazali hanyalah “seorang pemikir nyeleneh yang hanya memeluk

agama untuk menantang nalar.”22 Hal yang menakjubkan, pada tahun 1989,

bertepatan 145 tahun setelah Munk mengeluarkan kata-kata kerasnya tentang al-

Ghazali, Muhammad ‘abid al-Jabiri masih menulis bahwa pemikiran al-Ghazali

“telah meninggalkan luka yang akut dalam Nalar Arab yang tetap menganga

bahkan hingga sekarang.”23 Dalam karyanya yang banyak dijadikan rujukan, A

History of Islamic Philosofy, Majid Fakhry memandang kritik al-Ghazali dalam

filsafat Islam sebagai bagian dari konflik inheren antara filfasat dan dogma di

mana dapat diduga, Ibn Sina dan al-Farabi merepresentasikan tradisi filsafat dan

rasionalisme, sementara al-Ghazali menjadi representasi dari dogma.24

Pandangan yang negatif terhadap hubungan al-Ghazali dan filsafat tersebut

tampaknya berkembang pesat, dalam studi al-Ghazali di Indonesia. Beberapa

pemikir yang berpengaruh dalam studi Islam di Indonesia seperti Harun

Nasution25 dan Amin Abdullah26, menganggap bahwa al-Ghazali adalah seorang

pemikir Islam yang menolak sama sekali rasio, mistikus ortodoks, dan penolak
22
Lihat Frank Griffel. “…And the Killing of Someone Who Upholds These Convictions
is Obligatory’ Religious Law and the Assumed Disappearance of Philoshophy in Islam,” dalam
Adreas Speer dan Guy Guldentops (ed), Das Gesets (Berlin : De Gruyter, 2014), 214-226.

23
Muhammad ‘abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut : Maerkaz Dirasat al-
Wahdatal-‘Arabiyyah, 1989), h. 290.

24
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosofy, 3rd edition (New York : Columbia
University Press, 2004), h. 223-239.
25
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan 1994).
26
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung,
Mizan, 2002).

16
kausalitas. Selain itu, dalam kajian-kajian al-Ghazali di Indonesia dewasa ini, juga

masih didominasi (untuk mengatakan tidak ada yang berpandangan sebaliknya)

oleh pandangan yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah tokoh Islam yang

menolak cara berpikir rasional/filsafat. Hampir semua artikel jurnal yang

membahas tentang relasi al-Ghazali dan filsafat yang terindeks di IPI dan moraref,

menyatakan bahwa al-Ghazali adalah “musuh” filsafat. Beberapa di antaranya

seperti, Ghazali Munir,27 Mas’udi,28 Ahmad Atabik,29 dan Jamhari.30

Perihal pandangan negatif terhadap relasi al-Ghazali dengan filsafat di

atas, didasari pada proses naturalisasi tradisi filsafaat ke dalam teologi Islam, oleh

karenanya al-Ghazali lebih layak disebut sebagai teolog Muslim. Dokumen-

dokumen hasil karyanya tidak lain adalah sebuah upaya untuk mengintegritaskan

logika Aristotelian ke dalam tradisi kalam, teologi Islam rasional. Tanpa lelah, al-

Ghazali senantiasa menekankan tentang keutamaan-keutamaan logika silogistik

dan senantiasa mendorong teman-teman semasanya di lingkungan teologi Islam

untuk mengadopsi teknik rasional ini. Ia benar-benar terang-terangan dalam

memproyeksikan dan menyebarluaskan logika ini, sebagai contoh dalam

autobiografinya, al-Munqidz min ad-dhalal maupun dalam tahafut, aspek relasi

al-Ghazali dengan filsafat di sini sangatlah masyhur.31 Beberapa kritikus dan

27
Ghazali Munir, “Kritik al-Ghazali Terhadap Para Folosof” dalam Teologia, Volume
25, Nomor 1, Januari-Juni 2014.
28
Mas’udi, “Menyingkap Hubungan Agama dan Filsafat : Mereda Kesesatan Filsafat al-Ghazali,
Merespon Keterhubungan Filsafat dan Agama Ibnu Rusd” dalam Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2,
Agustus 2013.
29
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran al-Ghazali Tentang Filsafat” dalam Fikrah, Vol. 2,
No. 1, Juni 2014.
30
Jamhari, “Al-Ghazali dan Oposisinya terhadap Filsafat”, dalam Jurnal Ilmu Agama,
Vol. 16, No. , Desember2015.
31
Al-Ghazali, al-Mungkidz, 22-23 : Tahafut, 15.12-164/9.6-10.

17
penafsir al-Ghazali telah menanyakan bagaimana mungkin dia bisa memanfaatkan

logika Aristotelian tanpa juga mengadopsi ontologi Aristotelian. 32 Dalam tradisi

Aristotelian, logika itu sangat dekat hubungannya dengan penjelasan spesifik

tentang elemen-elemen pokok paling mendasar dari dunia dan relasinya satu

sama lain, sehingga logika Aristotelian itu nyaris tidak bisa diadopsi tanpa juga

mengadopsi ontologi Aristotelian. Al-Ghazali sangat paham tentang hubungan

tersebut , dan ketika ia menyebarkan ajaran logika dari falasifah, ia tahu bahwa ia

juga meminta teman-temannya untuk menganut asumsi-asumsi fundamental yang

akan merubah sikap mereka terhadap pandangan ontologi dan metafisika. Tentang

hal ini, bagaimanapun, al-Ghazali kurang terbuka. Ketika dia meringkas

pandangannya terhadap falsafah metafisika dalam beberapa karya populernya

seperti autobiografinya, dia mengubah kritiknya terhadap metafisika secara

sepintas.33 Namun, kajian cermat terhadap karya-karya al-Ghazali di bidang

teologi tidak menyisakan keraguan bahwa pandangannya tentang ontologi, jiwa

manusia, dan ilmu nujum adalah dibentuk oleh, terutama, Ibn Sina.34 Lebih jaun,

bahkan penolakan terhadap tiga ajaran filosofis sebagaimana telah disebutkan

dalam Tahafut al-Falasifah itu sebenarnya adalah bagian dari proses naturalisasi

filsafat Aristotelian terhadap teologi Islam.

Melalui penolakan ini, buku tersebut mengidentifikasikan elemen-elemen

Aristotelian, yang menurut al-Ghazali, tidak layak untuk diintegrasikan. Dengan

menyorot tiga ajaran tersebut, teolog Muslim terkemuka ini kemudian membuka

32
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philopsophical Theology, 7.
33
Al-Ghazali, al-Munqidz, 18-20.
34
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9.

18
jalan bagi diskursus teologi Islam ke posisi-posisi falasifah penting lainnya yang

lebih banyak. Perubahan al-Ghazali dari seorang yang paling sukses dan

intelektual terpandang di Baghdad menjadi seorang yang menghindari

kemasyhuran dan memilih hidup menyendiri di tanah kelahirannya, Iran, selalu

merebut imajinasi publik. Realitas ini memantik kemunculan ide bahwa ada atau

lebih ucapan-ucapan al-Ghazali tentang pekerjaannya. Banyak pengkaji yang juga

merasa bahwa hubungan al-Ghazali dengan filsafat itu lebih ambigu daripada apa

yang dia akui dalam autobiografinya. Ide bahwa ajaran-ajaran al-Ghazali telah

melalui perubahan penting selama hidupnya itu begitu sering dikemukakan

sehingga ia menjadi dari bagian kesarjanaan dan bahkan lebih populer pengaruh

dari perubahannya. Pada tahun 1994, bagaimanapun, Richad M. Frank mengamati

bahwa tidak ada perkembangan teoritis penting dalam teologi al-Ghazali pada

karya-karyanya yang paling awal, yang diterbitkan sebelum kepergiannya dari

Baghdad pada 488/1095, dan karya-karyanya yang terakhir.35 Frank berasumsi

seperti itu, karena hampir tidak ada bukti apapun yang mendukung pandangan

banyak orang bahwa al-Ghazali merubah beberapa posisinya setelah kepergiannya

dari Baghdad dan dia berpindah jalur dari seorang mutakallim (ahli teolog)

menjadi seorang sufi. Walaupun realitas ini benar, bahwa beberapa motif yang

kelihatan lebih menyolok dalam kinerja al-Ghazali setelah kepergiannya dari

Baghdad, pemusatan perhatian tentang memperoleh kesselamatan di akhirat, tidak

satupun dari kinerja al-Ghazali tersebut tidak dijumpai pada proyek-proyeknya

yang awal, dan mengatakan bahwa ajaran teologi mengalami perubahan, faktanya

tidak bisa dipertahankan.


35
Frank, Al-Ghazali and the Asharite School, 4, 29, 87, 91.

19
Pandangan umum tentang perubahan al-Ghazali dari seorang mutakallim

(seorang teolog muslim rasional) dan penentang falsafah sebelum pergi dari

Baghdad, menjadi seorang sufi, seorang yang menghindari kalam dan berupaya

mendamaikan dengan sufisme dengan ortodoksi Muslim dan bahkan juga dengan

falsafah dapat didukung oleh berbagai sumber paling otoritatif tentang

kehidupannya sehingga tidak stagnan.36 Walaupun sumber-sumber ini berbicara

tentang perubahan dalam al-Ghazali, tidak ada satupun dari sumber-sumber

tersebut yang menginformasikan bahwa ajarannya telah mengalami perubahan

penting. Abd al-Ghafir al-Farisi (w.529/1134), salah satu teman yang sezaman

dengannya, menceritakan dengan fasih bagaimana keangkuhan intelektual al-

Ghazali muda berubah menjadi seorang yang jauh lebih tawadhlu’. 37 Tetapi,

perubahan tersebut bukanlah perubahan dari seorang ortodok dogmatis menjadi

seorang mistikus yang banyak dibicarakan oleh penelitian-penelitian modern.

Bahkan teman sezamannya ini, mencertikan kepada kita bahwa al-Ghazali telah

mendapatkan pengenalan terperinci tentang sufisme dari gurunya, al-Faramadhi

(w.477/1084), sebelum ia berusia sekitar tiga puluh tahun, sebelum krisis

dramatisnya yang diceritakan di autobiografinya. Dalam karya tersebut, al-

Ghazali menceritakan kepergiannya dari Baghdad itu sebagai pengaruh tiba-tiba

dari temuannya dalam literatur sufi. Salah satu muridnya, Abu Bakr ibn al-Arabi

(w.543/1148), menginformasikan bahwa proses tersebut sama sekali bukanlah hal

yang tiba-tiba. Sang murid itu mengatakan bahwa dua tahun sebelum

36
AP Alavi Bin Mohamed Bin Ahamed, Internal Dissensions Among The Early Muslims:
Al-Ghazzali The Saviour of True Islamic Philoshopiy’, Journal Of shangha Jiaotong University
16, No. 09 (2020): 151-61.
37
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 52

20
kepergiannya dari Baghdad, al-Ghazali telah “Menerima jalan sufi dan membuat

dirinya bebas dari apa yang dia butuhkan (zuhud).38 Semua laporan tersebut

mestinya membimbing kita mengevaluasi ulang narasi-narasi al-Ghazali sendiri

tentang krisis yang dia alami pada tahun 488/1095, yang hingga kini mendominasi

biografi-biografi Barat tentangnya.

Ajaran kosmologi al-Ghazali saat ini merupakan halangan yang terbesar

untuk pemahaman yang koheren tentang teologinya. Kata “kosmologi”

berhubungan dengan pandangan-pandangan tentang unsur-unsur paling dasar dari

alam semesta dan bagaimana mereka saling mempengarhi satu sama lain, jika

faktanya, mereka diasumsikan melakukan itu. Dalam kasus al-Ghazali, yang

mengajarkan Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada dan segala kejadian di

alam semesta, kosmologi pun berhubungan dengan bagaimana Tuhan

menciptakan dunia dan bagaimana ia berhubungan dengan ciptaannya. Dalam

kesarjanaan Barat, problem mendasar dari ajaran kosmologi al-Ghazali menjadi

menonjol setelah 1904, ketika karyanya The Niche og Lights (Misykat al-Anwar)

pertama kali dicetak. Dalam buku ini, al-Ghazali memilih bahasa yang

merefleksikan dan menyiratkan prinsip-prinsip kosmologi yang dikembangkan

oleh para filsuf dan ini tidak muncul dalam karya-karya teologi Sunni yang lebih

awal. Ajaran-ajaran dalam Misykat al-Anwar tampaknya juga bertentangan

dengan karya-karyanya yang lain, terutama dengan bukunya yang berjudul

Balanced Book on What-to-Believe (al-Iqtishad fil-I’tiqad).39 Dalam tiga puluh

tahun kemudian, ilmuan-ilmuan seperti W. H. T. Gairdner, Arent J. Wensick, dan

38
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 67
39
Al-Ghazali, Ihya’ 71:134. 13-16 / 169.16-19; al-Iqtisad, 215.9-10

21
Miguel Asin Palacios, telah mendokumentasikan perbedaan-perbedaan tersebut,

tetapi mereka tidak dapat banyaak menyajikan rekonsiliasi atau penjelasan.

Selama paruh abad kedua puluh, melalui karya-karya Willian M. Watt, Hava

Lazarus-Yafeh, dan lain-lain. Ilmuan-ilmuan Barat mencoba untuk memecahkan

teka-teki ini dengan mengecualikan teks-teks yang paling problematik, yang

kebanyakan bertentangan dengan ajaran mapan dari korpus al-Ghazali yang

diterima oleh umum. Lazarus-Yafeh,40 membuktikan bahwa karya-karya tersebut,

secara terang-terangan menggunakan bahasa filsafat itu palsu dan seharusnya

tidak dikaitkan dengan sang teolog Muslim terbesar, sebagaimana Watt juga

berpendapat tentang bab tertentu di dalam Misykat al-Anwar.41

Jika ditinjau kembali, argumen-argumen mereka itu tidak meyakinkan;

sepertinya agak mustahil bahwa bab-bab tersendiri bisa ditambahkan ke dalam

karya seorang ilmuan terkemuka seperti al-Ghazali jika ia telah mempublikasikan

karyanya ini selama masa hidupnya. Ilmuan Muslim klasik sangat menghormati

tradisi tekstual dari seorang penulis; manuskrip-manuskrip dengan salinan-salinan

lain dari karya yang sama.42 Penulis dan pembacanya memiliki ketertarikan dalam

menjaga integritas karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Secara kolektif,

mereka akan mampu mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam tradisi

manuskrip bahkan berabad-abad setelah buku ini dipasarkan. Publikasi pertama

40
Hava Lazarus-Yafeh adalah seorang orientalis kelahiran Wiesbaden, Provinsi Hesse Nassau,
Republik Weimar (sekarang Jerman), dari keluarga Yahudi. Lazarus-Yafeh lulus pada 1950 dari
Gordon College of Education. Dia menyelesaikan gelar BA pada tahun 1953, dan gelar MA pada
tahun 1958 di Universitas Ibrani Yerussalem, gelar Ph.D. selesai pada tahun 1966 di bawah
pengawasan David Hartwig Baneth, gelar Ph.D. disertasinya adalah “Karakter Sastra Karya Al-
Ghazzali: Kajian dalam bahasa Al-Ghazzali”.
41
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9
42
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 10.

22
pada tahun 1966, argumen Hava Lazarus-Yafeh bahwa buku-buku yang

menggunakan terminologi-terminolgi filsafat tidak ditulis oleh al-Ghazali secara

metodelogis tampak problematis.43 Lazarus-Yafeh melihat bahwa tema-tema

filosofis itu tidak hadir dalam karya-karya yang diterima khalayak umum sebagai

tulisan al-Ghazali, ini mengarah pada asumsinya bahwa segala penggunaan

bahasa filsofis itu adalah sesuatu yang tidak penting dan merupakan tambahan

yang tidak otentik pada kor[us Ghazalian. Sejak banyak pengkaji al-Ghazali

enggan untuk mengakui bahwa ia adakalanya bisa menggunakan bahasa filosofis,

setiap penggunaan bahasa tersebut, menurut Yazarus-Yafeh, bisa digunakan untuk

meragukan otentisitas tulisannya. Lazarus-Yafeh menolak buku-buku karangan al-

Ghazali yang menggunakan bahasa filosofis secara sederhana karna selalu ada

ilmuan yang menolak aspek-aspek ini dari pemikirannya, bukan karena

problematis sebagian buku berbahasa filosofis itu sendiri.

Sebuah kontroversi baru mulai memasuki kajian tentang al-Ghazali pada

tahun 1992, ketika Richard M. Frank membisikan bahwa al-Ghazali telah

meninggalkan system kosmologis yang telah dikembangkan oleh Asy’ariyah,

salah satu aliran dalam teologi Islam, aliran yang menjadi tempat asalnya, dan

bahwa ia telah mengadopsi ajaran kosmologi Ibn Sina. Frank mengatakan bahwa

al-Ghazali berhenti percaya bahwa Tuhan menciptakan segala kejadian di dunia

secara langsung dan seketika, sebagaimana yang telah di yakini oleh gologan

Asy’ariyah sebelum dia. Lebih dari itu, ia bahkan menganut penjelasan filosofis

bahwa kekuatan Daya cipta Tuhan menjangkau objek-objek ciptaan melalui

43
Lazarus-Yafeh, Studies in al-Ghazzali, 243-63.

23
serangkaian perantara dan penyebab-penyebab sekunder. Intelek yang terdapat di

ruang kesembilan yang memediasi aktivitas penciptaan ke ruang sublunar, yang

di situ rangkaian-rangkaian penyebab kedua dan efek-efeknya terhampar.

Peyebab-penyebab ciptaan ini berubah sesuai dengan kodratnya dan membuat

perbuatan Tuhan dalam mu’zijat kenabian itu mustahil, setidaknya dalam

kerangka yang dipahami oleh teolog-teolog Muslim. Menurut analisis Frank , al-

Ghazali tidak meyakini bahwa Tuhan membuat mu’jizat untuk membuktikan

pernyataan-pernyataan para nabi-Nya.44 Bagaimapun, keberadaan mu’jizat-

mu’jizat kenabian merupakan salah satu elemen fundamental yang terpenting

dalam teologi Asy’ari klasik, dan ini merupakan, setidaknya menurut teologi

Asy’ari sebelum al-ghazali, sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem teologi

mereka.45 Dalam beberapa tulisan yang diterbitkan sebelum dan sesudah tahun

1992, Michael E. Marmura mengemukakan bahwa posisi al-Ghazali tidak pernah

besebrangan dengan prinsip-prinsip mendasar dari teologi Asy’ari, tetap setia

pada prinsip kosmologinya. Dengan menggunakan dokumentasi-dokumentasi

yang kokoh, Marmura kemudian menolak kesimpulan yang diajukan oleh Frank.

Mungkin orang dapat dapat berdebat bahwa al-Ghazali telah menulis dua tipe

pemikiran, satu yang dukung analisis Frank tentang kosmologis filosofi dan satu

lagi sebagaimana dibuktikan oleh interpretasi Marmura yang mengatakan bahwa

dia masih menggunakan kosmologi tradisional Asy’ariyyah. Tetapi memang,

problem ini terus bergerak lebih dalam: Frank dan Marmura menggunakan

beberapa karya al-Ghazali yang sama untuk mempertegas tesis mereka. Agaknya,

44
Frank, Creation and the Cosmis System, 59.
45
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 15.

24
teks-teks yang sama-sama ditulis oleh al-Ghazali dapat ditafsirkan secara berbeda,

entah seperti tafsiran Frank atau Marmura.46

Penulis terpantik pada subjek ini lewat karya Frank, pembaca akan mencatat

bahwa kesimpulan penulis sekarang tentang kosmologis al-Ghazali adalah sangat

berbeda dengan kesimpulan Frank. Jalan kesimpulan penulis diambil dari

keduanya, Frank dan Marmura, menurut penulis contoh yang pas adalah apa yang

disebut oleh G. W. Hegel sebagai progres dialektika. Sementara karya Frank dan

Marmura adalah tesis dan anti-tesis (atau sebaliknya), tulisan ini ingin

dipertimbangkan serbagai sintesis. Betul-betul seperti Hegel, tulisan ini tidak

bertujuan menolak salah satu dari karya mereka menjadi usang. Lebih dari itu,

tujuan tulisan ini adalah mengangkat tesis-tesis yang lebih awal, memperbaikinya,

memecahkan konflik mereka, dan melangkah menuju resolusi dan perkembangan

yang baru.

Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah interpretasi yang konsisten dari

tema-tema yang berbeda dalam pemikiran al-Ghazali tentang bagaimana Tuhan

menciptakan dunia dan bagaimana Dia mengaturnya. Tentu saja, interpretasi ini

bukan satu-satunya jalan yang mungkin untuk membaca al-Ghazali, sebagaimana

kita lihat Marmura dan Frank. Namun, penulis yakin bahwa bacaan-bacaan yang

lain ini tidak memberi perhatian yang tepat pada semua tema yang al-Ghazali

anggap penting. Frank, misalnya, menuduh al-Ghhazali telah menjadi pembohong

ketika ia menulis bahwa Tuhan adalah agen yang bebas memiliki pilihan bebas

dalam tindakan-Nya. Marmura abai untuk mengambil penuh bagian kecil catatan
46
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 179-182.

25
yang di situ al-Ghazali menulis bahwa tindakan Tuhan itu penting. Tulisan

mencoba menyajikan sebuah bacaan untuk merekonsiliasi dua pernyataan yang

kontradiktif dan beberapa statemen lain dalam karya al-Ghazali yang pada

awalnya tampak sama-sama tidak dapat didamaikan.

Berdiri di antara kutub Asy’ariyah dan Avicena, al-Ghazali kemudian

mengembangkan kosmologinya sendiri. Al-Ghazali adalah pemikir yang

sistematis, dan mengingat bahwa di satu sisi sistem Avicena masih jauh lebih

sistematis dibandingkan Asy’ariyah. Melalui analisisnya, dia menemukan sebuah

lorong kecil yang sangat menarik ke arah pengadopsian determinisme kosmologi

Ibn Sina tanpa menghilangkan corak pemikiran dirinya sebagai seorang teolog

Muslim yang berharap akan mempertahankan pilihan bebas Tuhan atas tindakan-

Nya. Solusi al-Ghazali tentang bagaimana seorang teolog mengadopsi kosmologi

deterministik bahkan seperti relevan saat ini seperti dulu seperti pergantian abad

ke-6/ke-12. Kosmologi modern telah menjadi bagian dari fisika, tetapi sistem-

sistem kosmologi kontemporer masih menyisakan ruang bagi kepercayaan yang

diberikan dengan keberadaan hukum alam dan keberadaan susunan energi ketika

permulaan alam semesta ini, sering disebut sebagai Big Bang, semua

perkembangan dari partikel subatomik, atom-atom, galaksi-galaksi, bintang-

bintang, planet-planet, kehidupan di beberapa planet, umat manusia, termasuk

kita, adalah, faktanya sebuah efek penting dari saat pertama dan tidak bisa

berubah sekaligus, prosesnya dimulai 14 juta tahun yang lalu.

Sebagai seorang teolog, al-Ghazali hendak menerima pernyataan

determinis ini. Faktanya, pandangannya tentang alam semesta sungguh mirip,

26
walaupun ditetapkan dengan parameter-parameter kosmos geosentris yang mana

permulaan dunia itu bukan ditandai oleh Big Bang, melainkan oleh primum

mobile (falak al-aflak), yang paling jauh, lingkungan tanpa bintang dan intelek

yang memerintah itu.47 Namun, meskipun ia memiliki pandangan determinis

tentang alam semesta, al-Ghazali tanpa letih memelihara pandangan bahwa

tindakan Tuhan itu bebas dan Dia adalah satu-satunya “pencipta” atau causa

efisien di seluruh alam semesta. Setiap kejadian, bahkan kepakan sayap seekor

nyamuk pun dikehendaki dan diciptakan oleh-Nya.48

Tuhan pada level ini hanya memiliki esensi yang secara absolut mutlak

ada, sedangkan kemaujudan yang salin-Nya akan diakibatkan oleh sebab-sebab

selain diri-Nya. Artinya, pada konteks ini meski Tuhan merupakan sebab pertama

(al-Muharrik al-Awwal) dari serangkaian sebab akibat (causality) yang

membentuk struktur realitas, namun terhadap perihal sebab-akibat alam

pertumbuhan dan kebinasaan, semua itu terjadi lewat (sebab-akibat) selain Tuhan,

sesuai dengan hukum normal alam semesta.49

Lebih jauh, penolakan al-Ghazali terhadap teori kausalitas yang

dikemukakan oleh para filsuf pun tidak menyiratkan bahwa ia menyakini

okasionalisme ekstrem atau bahwa ia memang tidak percaya pada teori kausalitas.

Di dalam Ihya’, al-Gahazali mengingatkan kaum Muslim :

47
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 253-260.
48
Nazir Ahmad Sheikh, ‘Philosophers Denial of God’s Knowledge of Particulars. A
critical Evaluation Of Al-Ghazali’, Our Haritage Journal 22, no. 3 (2020)
49
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), h. 75, dan 82-83; Baca juga Oliver Leaman, Pengantar
filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Termatis, (Bandung:Mizan, 2001), cet. I, h. 113.

27
Bila engkau mengharap Allah membuatmu kenyang tanpa roti, atau

membuat roti bergerak kepadamu, atau memerintahkan malaikat untuk

mengunyahkannya buatmu dan menyaksikannya pindah ke perutmu, itu hanya

akan memperlihatkan kebodohanmu tentang tindakan-Nya!.50

Bagi al-Ghazali, apabila suatu peristiwa mengikuti yang lain, jal itu

disebabkan karena Tuhan telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan.

Sehingga keseluruhan pasangan kejadian tersebut tampak terkait sebagai peristiwa

sebab-akibat. Padahal, tegas al-Ghazali , hal itu terjadi bukan karena hubungan

pada dirinya sendiri. Karena Tuhan dapat menciptakan rasa kenyang tanpa

makan, bahkan menciptakan kematian tanpa terlepasnya kepala dari tubuh, dan

demikian seterusnya.51 Begitu pula tentang terbakarnya kapas saat bersentuhan

dengan api. Dalam hal ini al-Ghazali dapat menerima kemungkinan adanya

kontak antara keduanya tanpa terjadinya kebakaran. Dia menerima kemungkinan

tranformasi kapas ke abu tanpa bertemu dengan api. Meski para filosof Muslim

sangat mengingkari kemungkian tersebut. Oleh karna itu, terhadap para sikap

filosof Muslim yang menyangkal kemungkinan seta menyatakan kemustahilan

tidak terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api, maka untuk mendiskusikan

masalah ini al-Ghazali mengajukan analisis penting, yaitu :

Pertama, para filosof dapat saja mengklaim bahwa aktor penyebab

kebakaran hanya api saja. Ia menjadi aktor karena karakter dasarnya, dan bukan

melalui usaha yang bebas. Api tidak mungkin bisa menahan apa yang terjadi
50
Al-Ghazali, Ihya’, 4: 249; dikutip oleh Eric Ormsby, Ghazali (Oxford: Oneworld,
2007), h. 80.
51
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah. Sulaiman Dunya (ed.), (Misr: Dar al-Ma’arif, 1996),
cet. IV, h. 239.

28
karena wakat naturalnya ketika bertemu sesuatu yang memiliki sifat untuk

menerima aktivitas watak dasar tersebut. Namun pada konteks ini, al-Ghazali

mempertanyakan “Apa buktinya bahwa api adalah aktor (al-fail) yang

membakar?” Menurutnya, dalam hal ini argumentasi filosof hanya bersandar pada

kesimpulan dari hasil observasi melalui pengamatan empiris terhadap fakta

terjadinya kebakaran saat adanya kontak antara suatu benda dengan api. Padahal

bagi al-Ghazali, observasi dengan pengamatan empiris tersebut hanya

menunjukkan, bahwa telah terjadi pada sesuatu pada suatu benda secara

bersamaan saat kontak dengan yang lain, bukan disebabkan olehnya (‘indahu la

bihi).52 Kasus yang sama, kata al-Ghazali, seorang ayah bukanlah aktor atas

keberadaan anak dengan memasukkan sperma ke dalam rahim ibu sehingga

terciptanya kehidupan anaknya, pandangannya pendengarannya, dan seluruh hal

pada dirinya. Kita tidak bisa mengklaim seperti itu. Karena, semua peristiwa

seperti yang telah dicontohkan di atas, memperoleh eksistensinya dari Tuhan

(qudrah wa iradah). Baik secara langsung atau melalui perantara malaikat (al-

mala’ikah) yang dipercaya mengatur peristiwa-peristiwa temporal (al-haditsah)

tersebut.

Pada konteks ini, al-Ghazali sangat mempercayai, bahwa eksistensi

sesuatu, di sisi sesuatu yang lain, tidaklah berarti bahwa yang lain itu merupakan

sebab bagi eksistensi lainnya (al-wujudu ‘inda al-sya’i, la yadullu ‘ala annahu

maujudun bihi).53 Karena bagi al-Ghazali, pada kenyataannya, apa yang tertjadi

tidak hanya melibatkan satu kejadian saja. Misalnya, pancaran cahaya matahari

52
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 240.
53
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241.

29
yang dapat menghitamkan wajah tukan cuci. Namun, pada waktu yang bersamaan,

cahaya itu juga bisa memutihkan baju yang dicucinya. Begitu pula, cahaya yang

menjadikan lumpur mengeras dan dapat juga mencairkan es. Kalau demikian,

menurut ak-Ghazali, mana yang bisa dipastikan sebagai akibat, padahal sebabnya

satu. Alghazali berpendapat bahwa faktor penguat satu-satunya untuk

mempercayai pertalian sebab-akibat adalah pengalaman. Yaitu pengamatan

terhadap keserantakan dan kebersamaan waktu dalam peristiwa. Dalam hal ini

untuk lebih menegaskan keyakinannya. Al-Ghazali berkata :

‫بل نبني هذا مبثال وهو ان االكمه لو كانت ىف عينيه غشاوة ومل يسمع من الناس الفرق بني الليل‬
‫والنهار لو انكشفت الغشاوة عن عينيه هنارا وفتح اجفانه فراى االلوان ظن ان االدراك احلاصل ىف عينيه اصور‬
‫االلوان فاعله فتح البصر وانه مهما كان بصره سليما مفتوحا واحلجاب مرتفعا والشخص املقابل متلونا فيلزم‬
‫ اهلواء علم ان نورالشمس هو السبب ىف‬K‫الحماله ان يبصروال يعفل ان ال يبصر حىت اذا غربت الشمس واظلم‬
‫انطباع االلوان ىف بصره‬
“Kita perlu mengurai lebih jauh dengan menggunakan ilustrasi. Andaikan ada
seorang buta yang matanya sakit dan tidak mendengar informasi dari siapapun
tentang siang dan malam. Kemudian pada suatu hari, penyakitnya sembuh dan
dia dapat melihat beragam warna. Dia tentu mengira, bahwa pelaku atau sebab
lahirnya persepsi terhadap bentuk-bentuk warna yang kini didapat oleh matanya,
adalah terbukanya mata (sembuh dari kebutaan). Hal tidaklah benar karena
meski penglihatannya telah sehat dan terbuka, tidak ada penghalang lagi atas
obyek berwarna yang berada didepannya, sehingga dia dapat melihat. Namun,
apabila matahari tenggelam dan suasana gelap, dia akan mengetahui bahwa
sinar mataharilah yang menjadi sebab lahirnya persepsi terhadap warna-warna
pada penglihatannya”.

Kedua, al-Ghazali mengungkapkan, para filosof memang mengakui bahwa

aksiden-aksiden yang timbul dari hubungan kausalitas hakikatnya merupakan

berkat adanya “bentuk-bentuk” (wahib al-shuwar). Namun, filosof tetap

beranggapan bahwa watak atau bakat untuk menerima tindakan dari wahib al-

30
shuwar tersebut haruslah tetap berasal dari sebab dan agen alamiah. Karena itu

bagi filosof, jika kita mengemukakan bahwa api merupakan suatu sifat tertentu

dan kapas juga merupakan sifat tertentu, maka tidaklah mungkin bahwa api

“kadang-kadang membakar kapas” dan “kadang-kadang tidak membakar”.

Artinya, sifat sifat api yang membakar, haruslah tetap membakar. Sedangkan sifat

kapas yang terbakar, haruslah juga tetap seperti itu.54

Pemecahan al-Ghazali untuk masalah ini adalah, bahwa hal itu tidaklah

bersifat niscaya. Bagi al-Ghazali, kemampuan bergerak dan berinteraksi dari dua

kejadian fisik dijadikan mungkin hanya karena adanya kekuatan luar yang

diterapkan Tuhan padanya. Adapun pensebaban alamiah yang melibatkan benda-

benda materil adalah tidak mungkin. Karena materi dalam sendirinya adalah

sesuatu yang mati (pafis). Jika api membakar, maka itu bukanlah karena api itu

sendiri memiliki kemampuan untuk membakar. Pada tataran ini mungkin sekali,

jika Tuhan mengendaki, dia dapat menarik kembali kemampuan tersebut. Seperti

fenomena-fenomena yang terjadi pada mu’jizat para Nabi. Karena itu secara logis,

bagi al-Ghazali Tuhan mungkin sekali menimbulkan sifat membakar pada api

pada satu kejadian, dan dapat pula memperlakukan sebaliknya, seperti kasus tidak

terbakarnya Nabi Ibrahim di tengah kobaran api. Bahkan, al-Ghazali dengan

ekstrem dalam contoh lain menegaskan :

‫ومن وضع كتابا يف بيته فليجوزان يكون قد انقلب عند رجوعه اىل بيته غالما امرد عاقال متصرفا او‬
‫انقلب حيوانا ولو ترك غالما ىف بيته فليجوز انقالبه كلبا وترك الرماد فليجوز انقالبه مسكا وانقالب احلجر‬
‫ذهبا والذهب حجرا‬

54
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241-242.

31
“ Seseorang yang meletakan sebuah buku di rumahnya, maka bisa saja terjadi
begitu dia kembali ke rumah, buku itu berubah menjadi seorang anak yang pintar
dan cerdik, atau menjadi seekor binatang. Atau ketika dia telah meninggalkan
seorang anak kecil di rumahnya, maka bisa saja terjadi, bahwa anaknya berubah
menjadi seekor anjing, pada saat dia kembali ke rumahnya. Atau dia
meninggalkan abu, boleh jadi itu berubah menjadi minyak misk. Atau batu
berubah menjadi emas dan emas menjadi batu”.

Bagi al-Ghazali, atas apa yang telah terjadi, semua itu secara sempurna

dapat dimengerti karena Tuhan Maha kuasa atas segala sesuatu dan semua

perubahan, semacam itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Bisa saja apel yang

kita tinggalkan di aats meja, setelah beberapa jam kemudian, ia akan berubah

menjadi seorang anak. Karena,, Tuhan dengan kekuasaan dan kehendak-Nya,

dapat memotong jalur evolusi peristiwa tersebut secara singkat. Jika lewat proses

biasa, kita akan memahami, bahwa apel itu berpotensi menjadi anak jika; apel

dimakan, lalu seterusnya ia akan menjadi setetes sperma. Sperma bertemu ovum

ovum dan terjadilah kehamilan. Beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi.

Setelah itu, bayi tersebut dapat duduk di atas meja. Dalam hal ini, proses alamiah

tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Maka Tuhan dengan kehendak-Nya

(iradah) dapat saja dengan mudah memotong dan mempersingkat jalur peristiwa

tersebut secara singkat. Karena kekuasaannya tidak dapat dibatasi oleh urutan

apapun, baik logika kausal atau yang lainnya.

Penolakan atas keniscayaan kausalitas, membuat al-Ghazali

mempresentasikan akan adanya teori tentang kebiasaan. Menurut al-Ghazali,

pandangan kita tentang keteraturan yang disaksikan lewat alam semesta ini,

sesungguhnya membuktikan bahwa: Pertama, Tuhan telah menciptakan dalam diri

32
kita pengetahuan, bahwa Dia tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang.

Meski hal tersebut haruslah sangat mungkin dilakukan-Nya.

Kedua, regularitas dari kebiasaan, yang terus berlangsung pada benda-

benda, telah menanamkan kebiasaan kebiasaan di kesan kita bahwa mereka akan

terus mengikuti suatu pola seperti kebiasaan sebelumnya. Pengetahuan ini telah

tercipta berulang-ulang pada diri kita. Sehingga muncul asumsi bahwa segalanya

akan terus berlaku seperti itu. Menurut al-Ghazali, bukan alam atau hukum

kausalitas yang ditanamkan Tuhan pada benda, namun fenomena kebiasaanlah

yang sudah terkonstruksi dalam basis kesadaran manusia. Misalnya, mengenai

peristiwa gerhana yang dapat diramalkan, bagi al-Ghazali itu merupakan

kebesaran Tuhan semata yang telah menciptakan kesan regularitas pada saat

tertentu dalam kondisi yang sama. 55

Pandangan al-Ghazali bahwa peristiwa sebab-akibat (kausalitas) adalah

peristiwa kebiasaan semata sangat ia pegang tegus. Dalam persepektif

mistikalnya, al-Ghazali meyakini bahwa benda dicipta dalam urutan tertentu

menurut prosedur tertentu kebiasaan (sunnah). Kemudian, sesuai dengan

kebiasaan itu, sebuah benda yang dicipta merupakan syarat bagi lainnya. Sehingga

dapat dikatakan bahwa penciptaan kehidupan merupakan syarat bagi penciptaan

pengetahuan. Tetapi, tidak dalam arti, bahwa pengetahuan dilahirkan

(yatawalladu) oleh kehidupan. Menurut al-Ghazali, setiap perbedaan yang ada

pada peristiwa itu mengacu kepada perbedaan sebab. Dan hal ini diketahui

melalui prosedur kebiasaan (sunnah), dalammembuat sebuah akibat, sebagai

55
Harry Austryn Wolfson, The Philosphy…, h. 245.

33
konsekuensi sebab-sebab (al-asbab). Dalam hal ini, dengan mengganti istilah

‘adah dengan sunnah, dan sabab dengan syarat, al-Ghazali telah menegaskan

penolakannya terhadap logika sebab-akibat.56

Al-ghazali, setelah melalui pengembaraanya mencari kebenaran akhirnya

memilih jalan tasawwuf. Karna menurut al-Ghazali para sufilah pencari kebenaran

yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan

ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak

olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi melalui karya-karya mereka ternyata

lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa

keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar,

tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-

tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawwuf adalah semacam pengalaman

maupun penderitaan yang riil.57

Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui

oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap,

dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang

diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal

yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan

kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi

perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa

manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan untuk berbuat baik, dan daya

yang melahirkan dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan
56
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum ad-Din, jilid II, (Cairo, 1358 AH), h. 9-10, 15-18
57
Al-Taftazani, 2003, h. 165.

34
dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan

jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu

berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya, meskipun

calon sufi itu sedang memerlukan sesutau, seperti makanan, namun makanan yang

diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau

syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu

harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya,

Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya. Keempat,

zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan

duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Kelima, tawakal.

Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan

kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apapun

terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga maha

Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada makhluknya. Karena itu, manusia

seharusnya berserah diri kepada Allah S.W.T. seorang sufi merasakan dirinya

tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan

mayat. Keenam, ma’rifat. Yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui

peraturan-peraturan-Nya tentang segala yaang ada. Pengetahuan yang diperoleh

akal. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mencintai Tuhan

(mahabbah).58 Seorang murid yang mempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali,

harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur

malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia

58
Ensiklopedia Islam, 2002, h. 27-28.

35
dapat menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali

adalah untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona duniawi yang

menghambat dalam perjalanan sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain

adalah penaklukan hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju

Allah kecuali tabiat-tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona

duniawi.59

Al-Ghazali membagi tingkatan manusia ke dalam tiga golongan, yaitu

sebagai berikut: Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.

Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara

mendalam. Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). 60


Kaum awam dengan daya

akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka

mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan

sikap memberi nasihat dan petunjuk (al-mauizah). Kaum pilihan yang daya

akalnya kuat dan analisis yang mendalam harus dihadapi dengan sikap

menjelaskan hikmah-hikmah, sedang kaum ahli debat dengan sikap mematahkan

argumen-argumen (al-mujadalah).

Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal

ini membagi manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya

tangkapnya kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada

kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang

hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut

59
Al-Taftazani, 2003, h. 170.
60
Maftukhin, 2012, h. 137.

36
daya berpikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum

khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.61

D. Kontribusi al-Ghazali dalam Khazanah Pemikiran Islam

Al-Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan dalam. Dia menguasai

berbagai pengetahuan pada masanya, dan dia mampu mengungkapkannya secara

menarik, seperti yang tertercermin dalam karya-karyanya. Dalam tasawwuf,

pilihan al-Ghazali jatuh pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus

Sunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua

kecendrungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah

dan alira Syi’ah, Ikhwanus Safa, dan lain-lainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya

dari teori-teori ke-Tuhan_an menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi

dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali benar-benar

bercorak Islam.62

Menurut analisa Duncan B. MacDonald seperti dikutip oleh Amin Syukur

dan Masyharuddin bahwa luas dan kuatnya pengaruh pemikiran al-Ghazali di

dunia Islam disebabkan karena beberapa hal. Pertama, al-Ghazali dapat membawa

orang (Islam) kembali ke kegiatan-kegiatan skolastik mengenai dogma-dogma

teologisnya kepada pengkajian, penafsiran dan penghayatan kalam Allah dan

sunah Nabi. Kedua, dalam nasihat -nasihat dan pengajaran moralnya, ia

memperkenalkan lagi elemen-elemen al-khauf (takut) terutama pada api neraka.

61
Maftukhin, 2012, h. 138.
62
Al-taftazani, 2003, h. 156

37
Ketiga, karena ketakutan dan pengaruhnyalah tasawuf memperoleh kedudukan

kuat dan terhormat serta terjamin dalam Islam. Keepat, ia membawa filsafat dan

teologi filosofi yang semula bersifat elitis ke dalam daratan pemikiran orang

awam yang pada mulanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu, mengingat

istilah dan bahasa yang dipakai bukan bahasa awam, sehingga merupakan misteri

bagi mereka.

Al-Ghazali telah mengubah atau paling tidak telah berusaha mengubah

istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam. Melalui

pendekatan sufistik , al-ghazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber

fundamental dan historis serta memberikan suatu kehidupan emosional

keagamaan 9esoterik) dalam sistemnya. Atau lebih kongkritnya al-Ghazali

berusaha merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan sufistik

dengan bahasa yang mudah diterima oleh orang awam . Hal ini sangat

menentukan, mengapa ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan upaya spiritualitas

Islam banyak tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga sekarang.63

Karya-karya al-Ghazali diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran

al-Ghazali terkenal, ketika ia masih hidup di kalangan komunitas muslim yang

berbahasa Arab baik di Timur dan di Barat. Sekalipun sudah hampir seribu tahun

al-Ghazali meninggalkan kita, namun ilmunya, tetesan buah penanya tetap

mengekal abadi. Sampa kini masih sangat bepengaruh karena diperluka dan

ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.64 Tokoh al-Ghazali

63
Syukur & Masharuddin, 2002, h. 214-215.
64
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, ditejemahkan oleh
Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 225.

38
yang menjadi fokus pembahasan menempati kedudukan yang unik dalam sejarah

agama dan pemikiran Islam karena kedalam ilmunya, keorisinilan pemikirannya,

dan kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Sosok teolog ini selain ahli agama,

ia juga memiliki pemikiran yang luas dalam bidang filsafat, tasawuf, akhlak dan

spiritualitas Islam. Pengaruhnya bagi masyarakat Sunni di belahan Timur Islam

sukses dalam memimpin mereka, demikian pula di Barat dunia Islam. Sampai

sekarang pengaruhnya masih terus ada di seluruh dunia Islam.65 Di Timur al-

Ghazali meraih kesuksesan di bidang pembaharuan mental dan spiritual umat,

sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam.

Karyanya Ihya ‘Ulum ad-Din sebagai bukti adanya usaha tersebut. Pada waktu itu

juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh negative

pemikiran filsafat Yunani, ilmu kalam, dan aliran kebatinan. Dengan

pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari

pemujaan akal atas nama agama, menjadi ketaatan kepada Allah SWT, yatu dalam

arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan

dapat dicapai.

Berdasarkan keterangan di atas, maka sangat wajar jika al-Ghazali dijuluki

sebagai hujjat al-Islam (pembela agama Islam) dan Mujaddid (pembaharu) karena

al-Ghazali telah menyatukan semula syariat, tasawwuf, dan tauhid yang sudah

terpisah-pisah. Gabungan tiga bidang ilmu yang dibuat dalam al-Qur’an dan

Hadis oleh Allah dan Rasul terpecah-pecah dalam beberapa kurun kemudian. Lalu

hadirlah al-Ghazali selaku mujaddid yang membetulkan kerusakan tersebut seperti

65
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental (cet. I: Jakarta Rahama, 1994), h. 12-23.

39
semula. Menurut Fazlur Rahman, al-Ghazali telah melakukan pembaharuan dalam

tasawuf. Pembaharuan yang dilakukan adalah mengintegrasikan kesadaran

tasawuf dengan syariat yang telah dimulai pada pertengahan kedua abad ketiga

hijriah dengan tokoh-tokoh seperti al-Kharraz dan al-Junaid hingga Gerakan ini

mencapai puncaknya dibawa komando al-Ghazali yang selanjutnya sangat

menentukan perkembangan pemikiran Islam.66

Upaya al-Ghazali dalam mendamaikan antara tasawuf dan fiqh yang

bercorak Sunni mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat Islam,

terbukti dengan menyebarnya tasawuf ke berbagai daerah Islam dan menjamurnya

tarekat di berbagai daerah Islam.67 Dengan Langkah perdamaian al-Ghazali ini

ketegangan antara fuqaha (para ahli fiqh) dan sufi dapat diredamkan dan sejak

saat itu seorang teolog besar adalah seorang sufi besar pula.

66
Fazlur Rahman, Islam, h. 202.
67
Nourouzzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 55.

40
41

Anda mungkin juga menyukai