A. RIWAYAT HIDUP
tokoh yang disebut sebagai filosof muslim, seperti al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi,
Ibnu Rusyd, al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak
bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena adanya peran mereka benih-benih filsafat Islam
Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam
Imam Al-Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep
Islam. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-
Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam),
tasawuf, filsafat Islam dan lain sebagainya. Dalam khazanah filsafat dan teologi,
ada satu teori yang paling populer dari pemikiran Imam Al-Ghazali yakni teori
kausalitas (causal relationship) yang di mana teori ini merupakan isu yang
1
fundamental. Prinsip teori ini menegaskam bahwa setiap peristiwa harus
menyibukkan para filosof -filosof awal Yunani untuk mengetahui apa dan
bagaimana alam berasal. Begitu pula kaum teolog bahkan menjadikan logika
kausalitas ada juga polemik yang dipertentangkan antara Imam Al-Ghazali dan
Ibn Rusyd diantaranya menyangkut tentang Ada (Qadimnya alam), Tuhan tidak
filosof) Sebagai sanggahan atau bentuk protes atas pemikiran para Filosof yang
1
Lihat Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna: Dirasah Maudhui’yyah fi Mu’tarak al-
Shira al-Fikri al-Qa’im baina Mukhtalaf al-Tayyarat al-Falsafiyyah wa Khashshah al-Falsafah
al-Islamiyyah wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Markisiyyah), (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-
Mathbu’at, 1989), Hal. 263.
2
Pemikiran keagamaan mengajukan beberapa argumentasi atau dalil tentang adanya
Tuhan. Setidaknya ada 2 argumentasi yang cukup populer, yaitu: (1) Argumen ontologis.
Argumentasi ini (ontos=sesuatu yang berwujud) merupakan salah satu argumentasi tradisional
yang diajukan oleh filsafat agama. Argumen ini misalnya dipelopori oleh Plato (428-348 SM),
yang menyatakan tiap benda-benda di alam mestilah ada ideanya yang bersifat kekal dan tetap.
Lihat juga misalnya Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hal. 51-53;
(2) Argumen Kosmologis. Argumentasi ini (cosmos=alam) mucul dari kepercayaan bahwa alam
pada wujudnya hanyalah bersifat mungkin(probabilitas). Karna itu ia bergantung pada sebab untuk
aktualisasi. Alam merupakan akibat (Effect), dan membutuhkan adanya sebab (cause) atau
‘penyebaban’ (causation). Zat yang menyebabkan adanya alam itu tidak mungkin alam itu sendiri.
Oleh karna itu maka haruslah ada zat yang lebih sempurna dari alam yang disebabkan oleh apapun
yang diklaim sebagai The First Cause (sebab pertama). Lihat William L. Craig, Wallace matson
and the Crude Cosmological Argument, (Leadership University, 1997), hal.1;
(3) Argumen Teleologis (telos = tujuan, teleologis berarti serba) mengatakan bahwa alam diatur
menurut suatu tujuan tertentu. Dalam paham teleologi, sesuatu yang dipandang sebagai organisasi
yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerja sama. Tujuan
dari itu semua adalah demi kebaikan alam dunia. Dan tentunya ada yang menggerakan menuju ke
tujuan tersebut dan membuat alam ini berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta:2009, h. 65.
2
bertentangan dengan ajaran Agama Islam, Sanggahan Imam Al-Ghazali itu
dibantah kembali oleh Ibn Rusyd dengan menerbitkan kitab Tahafutut At-tahafut,
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali at-Thusi. Panggilan, Laqob atau gelar al-
Ghazali Zain ad-Diin at-Thusy. Adalah Hujjat al-Islam.3 Secara singkat dipanggil
Khurasan, Iran pada tahun 450 H./1058 M. tiga tahun setelah dinasti Saljuk
mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Dan wafat pada tahun 505 H (1111 M).
Tepatnya pada tanggal 14 Jumadhil ats-Sani, hari senin di Thus, sebuah kota kecil
kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis
Ahmad kepada seorang Sufi. Ia sekaligus menitipkan sedikit harta kepada sufi
tersebut, seraya memberikan sebuah wasiat: “Saya sangat menyesal karna saya
tidak bisa menulis (Buta Huruf). Oleh karena itu saya ingin kedua anak saya ini
tidak kehilangan yang tidak bisa saya peroleh, didiklah mereka (berdua) dengan
3
Yusuf Qordowi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), h. 19.
4
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 13.
3
Di jurjan, al-Ghazali memulai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia
menulis suatu tentang ilmu fiqh. Akan tetapi menurut sebuah cerita, di tempat ini
ia mengalami sebuah musibah. Semua barang yang dibawa oleh al-Ghazali yang
berisi buku-buku catatan dan dan tulisannya di rampas oleh para perampok,
Ghazali untuk menghafal semua pelajaran yang diterimanya. Oleh karena itu,
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harta
titipannya habis, dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya.
Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf meskipun hal itu
perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan
menghanyutkan).
5
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h, 203.
4
Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki al-Ghazali
Imam al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imam Haramain mengakui
al-Mulk yang menjadi seorang perdana mentri Sultan Bani Saljuk. 6 Perjalanan al-
Ghazali dalam mempelajari berbagai ilmu dimulai dari tempat kelahirannya, yaitu
dari ayahnya. Darinya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan.
Setelah ayahnya wafat, beliau melanjutkan belajar pada teman ayahnya (seorang
ahli tasawuf), ketika gurunya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan al-Ghazali
menguasai ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur Ismail Al-Farisi,
setelah belajar dari gurunya tersebut imam al-Ghazali menjadi pembahas paling
pintar pada zamannya. Imam Haramain pun merasa bangga dengan prestasi
6
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa,
2003), h, 159.
7
Ghazali, Pembuka Pintu Hati (Bandung: MQ Publishing, 2004), h, 4.
8
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama MMU,
2004), 16.
5
perdebatan, membaca hikmah, dan falsafah. Dan Imam Haramain pun menyikapi
Mulk, yaitu perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah. Beliau adalah pendiri
dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin
dipilih oleh Nizam al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizamiyyah
Filsafat secara otodidak, baik Filsafat Yunani maupun dari Filsafat Islam,
terutamanya pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhan al-Shafa.
mengalami fase skeptis atau fase di mana beliau belum mendapatkan petunjuk
9
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama MMU,
2004), 15.
10
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama
MMU, 2004), 16.
11
Himawijaya, Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung: Mizan Media Utama
MMU, 2004), 15.
6
tentang hakikat kebenaran.12 Dalam buku tersebut (Tuhafut al-Falasifah), al-
permasalahan tersebut adalah: Alam qadim (tidak bermula), Alam kekal (tidak
berakhir), Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak da at diberi sifat al-Jins
Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (perincian yang ada di alam), planet- planet
mengetahui Juz’iyyat, hukum tidak berubah, jiwa manusia adalah substansial yang
berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan pula ‘arad (accident), Mustahilnya jiwa
hancur, tidak adanya kebangkitan jasmani, adanya tujuan bagi gerak planet.
adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan, Adanya Tuhan,
Mustahilnya ada dua Tuhan, Tuhan bukanlah tubuh, Tuhan mengetahui esensinya,
teologi, ta’limiyyah dan tasawwuf. Karier al-Ghazali tidak berhenti di situ, al-
itu al-Ghazali baru berumur dua puluh delapan tahun, namun kecakapannya
7
beliau ingin melanjutkan perjalanannya menuju Makkah al-Mukarramah guna
menunaikan rukun Islam yang ke lima, ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah
menetap di kota Damsyiq (damaskus), hingga kembali ke kota asal beliau, Thus.
Ghazali menulis kitabnya “Ihya Ulum ad-Din” the revival of the religius
antara ilmu fiqih dan tasawwuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia
Islam dan masih terasa sampai sekarang.14 Al-Ghazali sangatlah produktif dalam
berkarya, ratusan buku telah ia tulis. Menurut para ulama karya-karya al-Ghazali
seorang sufi. Sebagai sufi, al-Ghazali berkeyakinan bahwa tasawwuf adalah jalan
Teheran pada Tahun pada tahun 505 H/ 111 M. sepeti biasanya, Ia bangun pagi
pada suatu hari senin, bersembahyang kemudian minta dibawakan peti matinya, Ia
seolah-seolah mengusap peti mati itu dengan matanya dan berkata “apapun
13
Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung :
Mizan Media Utama MMU, 2004), h. 4.
14
Azyumardi Azra dkk, Ensikopedi Islam 2, h. 27.
15
Abdullah Mustofaal-Muragi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah (terjm)
(Yogyakarta : LKPSM, 2001), h. 177.
16
Al-Ghazali , Ihya Ulum ad-Din, alih bahasa Ismail Ya’kub (Jakarta : Faizan, 1983), h.
25.
8
itu ia meluruskan kakinya, dan ketika orang-orang melihat wajahnya, Imam al-
B. Karya-karya al-Ghazali
Berbagai tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan
oleh pemikiran al-Ghazali. Pasca periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil
Latin, Spanyol, Yahudi, Prancis, Jerman, dan Inggris, dijadikan referensi oleh
buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat,
moral, tafsir, fiqih, ilmu al-Qur’an, tasawwuf, politik, administrasi, dan perilaku
ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini hanya 84 buah. 18 Jumlah kitab
karangan al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati seacara definitif oleh para
yang hasilnya dikumpulkan dalam satu satu buku yang berjudul Muallafat al-
ada hubungannya dengan karya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok.
Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang
17
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2010), h. 218.
18
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2012), h. 316.
9
terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai
karyanya yang asli, terdiri atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat
dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab. Di antara karya-karya al-
Ghazali yang disebutkan dalam kitab Muallafat al-Ghazali sebagai berikut :19
II/238 dan juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324 H/1907 M. Tentang kitab ini,
juga disebutkan oleh Muhammad Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-
Thabaqatul Aliyah
Syafi’iyyah al-Kubra, juz IV, hlm. 116, disebut pula oleh Muhammad Ibnu Hasan
19
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), h, 209. .
10
menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm. 32, serta Abdurrahman Badawi,
hlm. 68.
6. Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di kairo, 1328 H. Tahun 1343
Min Rasaili Hujjatil Islam al-Ghazaly. Di istanbul juga terbit pada tahun 1305 H,
dan di qazan tahun 1905 M, dengan terjemah bahasa Turki , oleh Muhammad
dalam publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul Traite
Disciple.
terbitan Bulaq tahun 1287 H, Kairo, 1277 H dan 1303 H. Dalam terbitan yang
Kairo tahun 1306, 1326 H, terbit di Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul
Latin oleh C. Calonymus, dan pertemuan tahun 527 M, dengan judul Destretio
Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua kali oleh al-Bunduqiya tahun 1527
11
M dan tahun 1562 M, terjemahan tersebut ditranskip dari terjemahan bahasa
diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah
10. Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa tahun, dan
diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279 H, dan di Bombay tahum 1883 M.
Teks Persia diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany. Wafat tahun
1591 M, dan belum sempat dicetak. Ada pula manuskripnya di Aya Sofia, No.
1719, 1720. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris oleh H.A Homes,
sebelah teks Persia berukuran besar, ada teks Arab yang berukuran kecil dalam 4
kuras (bundel). Teks arab ini masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali, yang
diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H. Teks Arab
tahun 1260. Diterjemahkan pula ke bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke
11. Al-Munqidz min ad-Dhalal. Dicetak di Istanbul, tahun 1286 H, dan 1303 H,
kemudian di Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris
12
12. Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan Damaskus
tahun 1934, hlm. 118, serta disebut oleh pengarang At-Thabaqatul Aliyah. As-
Qur’an, terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 62.
14. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di FES tahun 1302, dicetak juga
dalam hamisiny kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya az-Zubaidy, dan menjadi
15. Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Mustasyfa, I/67. Juga
16. Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut olehn as-Subky, IV/116, Haji
Khalifah, IV/54, Abdurrahman Badawi, hlm. 12, dan berupa manuskrip di Darul
Kutub al-Mishriyah, No. (107) 4183 – Ushul Fiqh, dalam 181 makalah, di
17. Lubabun Nadzar. Disebut oleh al-Ghazali dalam Mi’yarul Ilmi. 1927 M. hlm.
18. Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-Subky, IV/116, Ibnu Imad,
di Darul Kutub al-Mishriyyah, No. 206-Fiqh Syar’I dalam 4 jilid. Di Pustaka ad-
13
19. Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky menyebutkan,
dan al-Ghazali sendiri menunjukan pada kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin , juz I/35,
yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyyah, No. 442 dalam 100 makalah.
20. Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam ath-
Thabaqatul Aliyah, disebut pula oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa, I/3 serta
lelah dalam belajar dan sangat serius dalam memperdalam ilmu. Seperti yang
sudah diterangkan di atas dalam perjalanan hidupnya ia kerap kali di sanjung oleh
gurunya dan menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bahr al-Mu’riq” (lautan yang
beralih menjadi tekun dalam ilmu filsafat. Dengan menonjolnya aspek rasional
pertanyaan yang selama ini mengacaukannya, akan tetapi tidak berhenti di situ,
14
Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) yang tertuang dalam
filsuf. Pada posisi ini, al-Ghazali tidak hanya ingin membuktikan bahwa tidak
semua ajaran para fiolosof klasik telah mencapai tingkatan demonstratif seperti
filsafat yang dinilainya telah menyalahi dari ajaran Islam.20 Sayangnya, penjelasan
Atas dasar inilah memunculkan berbagai stigma terhadap al-Ghazali dari berbagai
golongan.
mengatakan paling berperan penting, dalam membuat tradisi ilmiah dan filsafat
hancur di dunia Islam oleh para Orientalis klasik di abad ke-19 hingga para
karya magesterial ini. Ketika Solomon Munk menulis pada tahun 1844 bahwa al-
Ghazali sangat keras dalam mengkritisi Filsafat, yang ia bayangkan tentu saja
adalah kitab Tahafut dan secara khusus Bab Ketujuh Belasnya yang mengkritisi
teori kausalitas. Sementara itu , Ernest Renan yang menulis monografi seminar
20
Edward Omar Moad, ‘Al-ghazali’s Position on the “Second Proof” of the
“Philosophers” for the Eternity of the World, in the First Discussion of the Incoherence of the
philosophers’, Sophia 54, no. 4 (1 December 2015) : 429-41, https://doi.org/10.1007/s11841-014-
0458-5.
21
Mengenai karakter apologetic Munqidz, lihat Josef Van Ess, “Quelques remerques sur
le Munqidz min ad-dalal,” dalam Ghazali : La Raison et le miracle (Paris, Maisonneuve & Larose,
1987), 57-68. Lihat juga Kenneth Garden, “Coming Down from the Mountaintop : Al-Ghazali’s
Auotobigraphical Writtings in Context,” The Muslim World, 101 (2011), 581-596.
15
tentang Averros dan para pengikutnya di Eropa, memotret al-Ghazali sebagai
penentang pemikiran rasional dalam Islam, tokoh yang berada di balik topeng
“perang menentang filsafat” di dunia Islam yang muncul sejak akhir abad ke-12.
Bagi Renan, al-Ghazali hanyalah “seorang pemikir nyeleneh yang hanya memeluk
agama untuk menantang nalar.”22 Hal yang menakjubkan, pada tahun 1989,
bertepatan 145 tahun setelah Munk mengeluarkan kata-kata kerasnya tentang al-
“telah meninggalkan luka yang akut dalam Nalar Arab yang tetap menganga
filsafat Islam sebagai bagian dari konflik inheren antara filfasat dan dogma di
mana dapat diduga, Ibn Sina dan al-Farabi merepresentasikan tradisi filsafat dan
pemikir Islam yang menolak sama sekali rasio, mistikus ortodoks, dan penolak
22
Lihat Frank Griffel. “…And the Killing of Someone Who Upholds These Convictions
is Obligatory’ Religious Law and the Assumed Disappearance of Philoshophy in Islam,” dalam
Adreas Speer dan Guy Guldentops (ed), Das Gesets (Berlin : De Gruyter, 2014), 214-226.
23
Muhammad ‘abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut : Maerkaz Dirasat al-
Wahdatal-‘Arabiyyah, 1989), h. 290.
24
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosofy, 3rd edition (New York : Columbia
University Press, 2004), h. 223-239.
25
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan 1994).
26
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung,
Mizan, 2002).
16
kausalitas. Selain itu, dalam kajian-kajian al-Ghazali di Indonesia dewasa ini, juga
oleh pandangan yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah tokoh Islam yang
membahas tentang relasi al-Ghazali dan filsafat yang terindeks di IPI dan moraref,
atas, didasari pada proses naturalisasi tradisi filsafaat ke dalam teologi Islam, oleh
dokumen hasil karyanya tidak lain adalah sebuah upaya untuk mengintegritaskan
logika Aristotelian ke dalam tradisi kalam, teologi Islam rasional. Tanpa lelah, al-
27
Ghazali Munir, “Kritik al-Ghazali Terhadap Para Folosof” dalam Teologia, Volume
25, Nomor 1, Januari-Juni 2014.
28
Mas’udi, “Menyingkap Hubungan Agama dan Filsafat : Mereda Kesesatan Filsafat al-Ghazali,
Merespon Keterhubungan Filsafat dan Agama Ibnu Rusd” dalam Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2,
Agustus 2013.
29
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran al-Ghazali Tentang Filsafat” dalam Fikrah, Vol. 2,
No. 1, Juni 2014.
30
Jamhari, “Al-Ghazali dan Oposisinya terhadap Filsafat”, dalam Jurnal Ilmu Agama,
Vol. 16, No. , Desember2015.
31
Al-Ghazali, al-Mungkidz, 22-23 : Tahafut, 15.12-164/9.6-10.
17
penafsir al-Ghazali telah menanyakan bagaimana mungkin dia bisa memanfaatkan
tentang elemen-elemen pokok paling mendasar dari dunia dan relasinya satu
sama lain, sehingga logika Aristotelian itu nyaris tidak bisa diadopsi tanpa juga
tersebut , dan ketika ia menyebarkan ajaran logika dari falasifah, ia tahu bahwa ia
akan merubah sikap mereka terhadap pandangan ontologi dan metafisika. Tentang
manusia, dan ilmu nujum adalah dibentuk oleh, terutama, Ibn Sina.34 Lebih jaun,
dalam Tahafut al-Falasifah itu sebenarnya adalah bagian dari proses naturalisasi
menyorot tiga ajaran tersebut, teolog Muslim terkemuka ini kemudian membuka
32
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philopsophical Theology, 7.
33
Al-Ghazali, al-Munqidz, 18-20.
34
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9.
18
jalan bagi diskursus teologi Islam ke posisi-posisi falasifah penting lainnya yang
lebih banyak. Perubahan al-Ghazali dari seorang yang paling sukses dan
merebut imajinasi publik. Realitas ini memantik kemunculan ide bahwa ada atau
merasa bahwa hubungan al-Ghazali dengan filsafat itu lebih ambigu daripada apa
yang dia akui dalam autobiografinya. Ide bahwa ajaran-ajaran al-Ghazali telah
sehingga ia menjadi dari bagian kesarjanaan dan bahkan lebih populer pengaruh
bahwa tidak ada perkembangan teoritis penting dalam teologi al-Ghazali pada
seperti itu, karena hampir tidak ada bukti apapun yang mendukung pandangan
dari Baghdad dan dia berpindah jalur dari seorang mutakallim (ahli teolog)
menjadi seorang sufi. Walaupun realitas ini benar, bahwa beberapa motif yang
yang awal, dan mengatakan bahwa ajaran teologi mengalami perubahan, faktanya
19
Pandangan umum tentang perubahan al-Ghazali dari seorang mutakallim
(seorang teolog muslim rasional) dan penentang falsafah sebelum pergi dari
Baghdad, menjadi seorang sufi, seorang yang menghindari kalam dan berupaya
mendamaikan dengan sufisme dengan ortodoksi Muslim dan bahkan juga dengan
penting. Abd al-Ghafir al-Farisi (w.529/1134), salah satu teman yang sezaman
Ghazali muda berubah menjadi seorang yang jauh lebih tawadhlu’. 37 Tetapi,
Bahkan teman sezamannya ini, mencertikan kepada kita bahwa al-Ghazali telah
dari temuannya dalam literatur sufi. Salah satu muridnya, Abu Bakr ibn al-Arabi
yang tiba-tiba. Sang murid itu mengatakan bahwa dua tahun sebelum
36
AP Alavi Bin Mohamed Bin Ahamed, Internal Dissensions Among The Early Muslims:
Al-Ghazzali The Saviour of True Islamic Philoshopiy’, Journal Of shangha Jiaotong University
16, No. 09 (2020): 151-61.
37
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 52
20
kepergiannya dari Baghdad, al-Ghazali telah “Menerima jalan sufi dan membuat
dirinya bebas dari apa yang dia butuhkan (zuhud).38 Semua laporan tersebut
tentang krisis yang dia alami pada tahun 488/1095, yang hingga kini mendominasi
alam semesta dan bagaimana mereka saling mempengarhi satu sama lain, jika
mengajarkan Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada dan segala kejadian di
menonjol setelah 1904, ketika karyanya The Niche og Lights (Misykat al-Anwar)
pertama kali dicetak. Dalam buku ini, al-Ghazali memilih bahasa yang
oleh para filsuf dan ini tidak muncul dalam karya-karya teologi Sunni yang lebih
38
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 67
39
Al-Ghazali, Ihya’ 71:134. 13-16 / 169.16-19; al-Iqtisad, 215.9-10
21
Miguel Asin Palacios, telah mendokumentasikan perbedaan-perbedaan tersebut,
Selama paruh abad kedua puluh, melalui karya-karya Willian M. Watt, Hava
tidak dikaitkan dengan sang teolog Muslim terbesar, sebagaimana Watt juga
karyanya ini selama masa hidupnya. Ilmuan Muslim klasik sangat menghormati
lain dari karya yang sama.42 Penulis dan pembacanya memiliki ketertarikan dalam
40
Hava Lazarus-Yafeh adalah seorang orientalis kelahiran Wiesbaden, Provinsi Hesse Nassau,
Republik Weimar (sekarang Jerman), dari keluarga Yahudi. Lazarus-Yafeh lulus pada 1950 dari
Gordon College of Education. Dia menyelesaikan gelar BA pada tahun 1953, dan gelar MA pada
tahun 1958 di Universitas Ibrani Yerussalem, gelar Ph.D. selesai pada tahun 1966 di bawah
pengawasan David Hartwig Baneth, gelar Ph.D. disertasinya adalah “Karakter Sastra Karya Al-
Ghazzali: Kajian dalam bahasa Al-Ghazzali”.
41
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9
42
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 10.
22
pada tahun 1966, argumen Hava Lazarus-Yafeh bahwa buku-buku yang
filosofis itu tidak hadir dalam karya-karya yang diterima khalayak umum sebagai
bahasa filsofis itu adalah sesuatu yang tidak penting dan merupakan tambahan
yang tidak otentik pada kor[us Ghazalian. Sejak banyak pengkaji al-Ghazali
Ghazali yang menggunakan bahasa filosofis secara sederhana karna selalu ada
salah satu aliran dalam teologi Islam, aliran yang menjadi tempat asalnya, dan
bahwa ia telah mengadopsi ajaran kosmologi Ibn Sina. Frank mengatakan bahwa
secara langsung dan seketika, sebagaimana yang telah di yakini oleh gologan
Asy’ariyah sebelum dia. Lebih dari itu, ia bahkan menganut penjelasan filosofis
43
Lazarus-Yafeh, Studies in al-Ghazzali, 243-63.
23
serangkaian perantara dan penyebab-penyebab sekunder. Intelek yang terdapat di
kerangka yang dipahami oleh teolog-teolog Muslim. Menurut analisis Frank , al-
dalam teologi Asy’ari klasik, dan ini merupakan, setidaknya menurut teologi
Asy’ari sebelum al-ghazali, sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem teologi
mereka.45 Dalam beberapa tulisan yang diterbitkan sebelum dan sesudah tahun
yang kokoh, Marmura kemudian menolak kesimpulan yang diajukan oleh Frank.
Mungkin orang dapat dapat berdebat bahwa al-Ghazali telah menulis dua tipe
pemikiran, satu yang dukung analisis Frank tentang kosmologis filosofi dan satu
problem ini terus bergerak lebih dalam: Frank dan Marmura menggunakan
beberapa karya al-Ghazali yang sama untuk mempertegas tesis mereka. Agaknya,
44
Frank, Creation and the Cosmis System, 59.
45
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 15.
24
teks-teks yang sama-sama ditulis oleh al-Ghazali dapat ditafsirkan secara berbeda,
Penulis terpantik pada subjek ini lewat karya Frank, pembaca akan mencatat
keduanya, Frank dan Marmura, menurut penulis contoh yang pas adalah apa yang
disebut oleh G. W. Hegel sebagai progres dialektika. Sementara karya Frank dan
Marmura adalah tesis dan anti-tesis (atau sebaliknya), tulisan ini ingin
bertujuan menolak salah satu dari karya mereka menjadi usang. Lebih dari itu,
tujuan tulisan ini adalah mengangkat tesis-tesis yang lebih awal, memperbaikinya,
yang baru.
menciptakan dunia dan bagaimana Dia mengaturnya. Tentu saja, interpretasi ini
kita lihat Marmura dan Frank. Namun, penulis yakin bahwa bacaan-bacaan yang
lain ini tidak memberi perhatian yang tepat pada semua tema yang al-Ghazali
ketika ia menulis bahwa Tuhan adalah agen yang bebas memiliki pilihan bebas
dalam tindakan-Nya. Marmura abai untuk mengambil penuh bagian kecil catatan
46
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 179-182.
25
yang di situ al-Ghazali menulis bahwa tindakan Tuhan itu penting. Tulisan
kontradiktif dan beberapa statemen lain dalam karya al-Ghazali yang pada
sistematis, dan mengingat bahwa di satu sisi sistem Avicena masih jauh lebih
Ibn Sina tanpa menghilangkan corak pemikiran dirinya sebagai seorang teolog
Muslim yang berharap akan mempertahankan pilihan bebas Tuhan atas tindakan-
deterministik bahkan seperti relevan saat ini seperti dulu seperti pergantian abad
ke-6/ke-12. Kosmologi modern telah menjadi bagian dari fisika, tetapi sistem-
diberikan dengan keberadaan hukum alam dan keberadaan susunan energi ketika
permulaan alam semesta ini, sering disebut sebagai Big Bang, semua
kita, adalah, faktanya sebuah efek penting dari saat pertama dan tidak bisa
26
walaupun ditetapkan dengan parameter-parameter kosmos geosentris yang mana
permulaan dunia itu bukan ditandai oleh Big Bang, melainkan oleh primum
mobile (falak al-aflak), yang paling jauh, lingkungan tanpa bintang dan intelek
tindakan Tuhan itu bebas dan Dia adalah satu-satunya “pencipta” atau causa
efisien di seluruh alam semesta. Setiap kejadian, bahkan kepakan sayap seekor
Tuhan pada level ini hanya memiliki esensi yang secara absolut mutlak
selain diri-Nya. Artinya, pada konteks ini meski Tuhan merupakan sebab pertama
pertumbuhan dan kebinasaan, semua itu terjadi lewat (sebab-akibat) selain Tuhan,
okasionalisme ekstrem atau bahwa ia memang tidak percaya pada teori kausalitas.
47
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 253-260.
48
Nazir Ahmad Sheikh, ‘Philosophers Denial of God’s Knowledge of Particulars. A
critical Evaluation Of Al-Ghazali’, Our Haritage Journal 22, no. 3 (2020)
49
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), h. 75, dan 82-83; Baca juga Oliver Leaman, Pengantar
filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Termatis, (Bandung:Mizan, 2001), cet. I, h. 113.
27
Bila engkau mengharap Allah membuatmu kenyang tanpa roti, atau
Bagi al-Ghazali, apabila suatu peristiwa mengikuti yang lain, jal itu
sebab-akibat. Padahal, tegas al-Ghazali , hal itu terjadi bukan karena hubungan
pada dirinya sendiri. Karena Tuhan dapat menciptakan rasa kenyang tanpa
makan, bahkan menciptakan kematian tanpa terlepasnya kepala dari tubuh, dan
dengan api. Dalam hal ini al-Ghazali dapat menerima kemungkinan adanya
tranformasi kapas ke abu tanpa bertemu dengan api. Meski para filosof Muslim
sangat mengingkari kemungkian tersebut. Oleh karna itu, terhadap para sikap
tidak terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api, maka untuk mendiskusikan
kebakaran hanya api saja. Ia menjadi aktor karena karakter dasarnya, dan bukan
melalui usaha yang bebas. Api tidak mungkin bisa menahan apa yang terjadi
50
Al-Ghazali, Ihya’, 4: 249; dikutip oleh Eric Ormsby, Ghazali (Oxford: Oneworld,
2007), h. 80.
51
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah. Sulaiman Dunya (ed.), (Misr: Dar al-Ma’arif, 1996),
cet. IV, h. 239.
28
karena wakat naturalnya ketika bertemu sesuatu yang memiliki sifat untuk
menerima aktivitas watak dasar tersebut. Namun pada konteks ini, al-Ghazali
membakar?” Menurutnya, dalam hal ini argumentasi filosof hanya bersandar pada
terjadinya kebakaran saat adanya kontak antara suatu benda dengan api. Padahal
menunjukkan, bahwa telah terjadi pada sesuatu pada suatu benda secara
bersamaan saat kontak dengan yang lain, bukan disebabkan olehnya (‘indahu la
bihi).52 Kasus yang sama, kata al-Ghazali, seorang ayah bukanlah aktor atas
pada dirinya. Kita tidak bisa mengklaim seperti itu. Karena, semua peristiwa
(qudrah wa iradah). Baik secara langsung atau melalui perantara malaikat (al-
tersebut.
sesuatu, di sisi sesuatu yang lain, tidaklah berarti bahwa yang lain itu merupakan
sebab bagi eksistensi lainnya (al-wujudu ‘inda al-sya’i, la yadullu ‘ala annahu
maujudun bihi).53 Karena bagi al-Ghazali, pada kenyataannya, apa yang tertjadi
tidak hanya melibatkan satu kejadian saja. Misalnya, pancaran cahaya matahari
52
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 240.
53
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241.
29
yang dapat menghitamkan wajah tukan cuci. Namun, pada waktu yang bersamaan,
cahaya itu juga bisa memutihkan baju yang dicucinya. Begitu pula, cahaya yang
menjadikan lumpur mengeras dan dapat juga mencairkan es. Kalau demikian,
menurut ak-Ghazali, mana yang bisa dipastikan sebagai akibat, padahal sebabnya
terhadap keserantakan dan kebersamaan waktu dalam peristiwa. Dalam hal ini
بل نبني هذا مبثال وهو ان االكمه لو كانت ىف عينيه غشاوة ومل يسمع من الناس الفرق بني الليل
والنهار لو انكشفت الغشاوة عن عينيه هنارا وفتح اجفانه فراى االلوان ظن ان االدراك احلاصل ىف عينيه اصور
االلوان فاعله فتح البصر وانه مهما كان بصره سليما مفتوحا واحلجاب مرتفعا والشخص املقابل متلونا فيلزم
اهلواء علم ان نورالشمس هو السبب ىفKالحماله ان يبصروال يعفل ان ال يبصر حىت اذا غربت الشمس واظلم
انطباع االلوان ىف بصره
“Kita perlu mengurai lebih jauh dengan menggunakan ilustrasi. Andaikan ada
seorang buta yang matanya sakit dan tidak mendengar informasi dari siapapun
tentang siang dan malam. Kemudian pada suatu hari, penyakitnya sembuh dan
dia dapat melihat beragam warna. Dia tentu mengira, bahwa pelaku atau sebab
lahirnya persepsi terhadap bentuk-bentuk warna yang kini didapat oleh matanya,
adalah terbukanya mata (sembuh dari kebutaan). Hal tidaklah benar karena
meski penglihatannya telah sehat dan terbuka, tidak ada penghalang lagi atas
obyek berwarna yang berada didepannya, sehingga dia dapat melihat. Namun,
apabila matahari tenggelam dan suasana gelap, dia akan mengetahui bahwa
sinar mataharilah yang menjadi sebab lahirnya persepsi terhadap warna-warna
pada penglihatannya”.
beranggapan bahwa watak atau bakat untuk menerima tindakan dari wahib al-
30
shuwar tersebut haruslah tetap berasal dari sebab dan agen alamiah. Karena itu
bagi filosof, jika kita mengemukakan bahwa api merupakan suatu sifat tertentu
dan kapas juga merupakan sifat tertentu, maka tidaklah mungkin bahwa api
Artinya, sifat sifat api yang membakar, haruslah tetap membakar. Sedangkan sifat
Pemecahan al-Ghazali untuk masalah ini adalah, bahwa hal itu tidaklah
bersifat niscaya. Bagi al-Ghazali, kemampuan bergerak dan berinteraksi dari dua
kejadian fisik dijadikan mungkin hanya karena adanya kekuatan luar yang
benda materil adalah tidak mungkin. Karena materi dalam sendirinya adalah
sesuatu yang mati (pafis). Jika api membakar, maka itu bukanlah karena api itu
sendiri memiliki kemampuan untuk membakar. Pada tataran ini mungkin sekali,
jika Tuhan mengendaki, dia dapat menarik kembali kemampuan tersebut. Seperti
fenomena-fenomena yang terjadi pada mu’jizat para Nabi. Karena itu secara logis,
bagi al-Ghazali Tuhan mungkin sekali menimbulkan sifat membakar pada api
pada satu kejadian, dan dapat pula memperlakukan sebaliknya, seperti kasus tidak
ومن وضع كتابا يف بيته فليجوزان يكون قد انقلب عند رجوعه اىل بيته غالما امرد عاقال متصرفا او
انقلب حيوانا ولو ترك غالما ىف بيته فليجوز انقالبه كلبا وترك الرماد فليجوز انقالبه مسكا وانقالب احلجر
ذهبا والذهب حجرا
54
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241-242.
31
“ Seseorang yang meletakan sebuah buku di rumahnya, maka bisa saja terjadi
begitu dia kembali ke rumah, buku itu berubah menjadi seorang anak yang pintar
dan cerdik, atau menjadi seekor binatang. Atau ketika dia telah meninggalkan
seorang anak kecil di rumahnya, maka bisa saja terjadi, bahwa anaknya berubah
menjadi seekor anjing, pada saat dia kembali ke rumahnya. Atau dia
meninggalkan abu, boleh jadi itu berubah menjadi minyak misk. Atau batu
berubah menjadi emas dan emas menjadi batu”.
Bagi al-Ghazali, atas apa yang telah terjadi, semua itu secara sempurna
dapat dimengerti karena Tuhan Maha kuasa atas segala sesuatu dan semua
perubahan, semacam itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Bisa saja apel yang
kita tinggalkan di aats meja, setelah beberapa jam kemudian, ia akan berubah
dapat memotong jalur evolusi peristiwa tersebut secara singkat. Jika lewat proses
biasa, kita akan memahami, bahwa apel itu berpotensi menjadi anak jika; apel
dimakan, lalu seterusnya ia akan menjadi setetes sperma. Sperma bertemu ovum
ovum dan terjadilah kehamilan. Beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi.
Setelah itu, bayi tersebut dapat duduk di atas meja. Dalam hal ini, proses alamiah
(iradah) dapat saja dengan mudah memotong dan mempersingkat jalur peristiwa
tersebut secara singkat. Karena kekuasaannya tidak dapat dibatasi oleh urutan
pandangan kita tentang keteraturan yang disaksikan lewat alam semesta ini,
32
kita pengetahuan, bahwa Dia tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang.
benda, telah menanamkan kebiasaan kebiasaan di kesan kita bahwa mereka akan
terus mengikuti suatu pola seperti kebiasaan sebelumnya. Pengetahuan ini telah
tercipta berulang-ulang pada diri kita. Sehingga muncul asumsi bahwa segalanya
akan terus berlaku seperti itu. Menurut al-Ghazali, bukan alam atau hukum
kebesaran Tuhan semata yang telah menciptakan kesan regularitas pada saat
kebiasaan itu, sebuah benda yang dicipta merupakan syarat bagi lainnya. Sehingga
pada peristiwa itu mengacu kepada perbedaan sebab. Dan hal ini diketahui
55
Harry Austryn Wolfson, The Philosphy…, h. 245.
33
konsekuensi sebab-sebab (al-asbab). Dalam hal ini, dengan mengganti istilah
‘adah dengan sunnah, dan sabab dengan syarat, al-Ghazali telah menegaskan
memilih jalan tasawwuf. Karna menurut al-Ghazali para sufilah pencari kebenaran
yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan
ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak
olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi melalui karya-karya mereka ternyata
keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar,
tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-
oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap,
diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal
kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa
manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan untuk berbuat baik, dan daya
yang melahirkan dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan
56
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum ad-Din, jilid II, (Cairo, 1358 AH), h. 9-10, 15-18
57
Al-Taftazani, 2003, h. 165.
34
dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan
jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu
calon sufi itu sedang memerlukan sesutau, seperti makanan, namun makanan yang
diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau
syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu
Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya. Keempat,
zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan
Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan
terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga maha
Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada makhluknya. Karena itu, manusia
seharusnya berserah diri kepada Allah S.W.T. seorang sufi merasakan dirinya
tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan
(mahabbah).58 Seorang murid yang mempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali,
harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur
malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia
58
Ensiklopedia Islam, 2002, h. 27-28.
35
dapat menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali
menghambat dalam perjalanan sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain
Allah kecuali tabiat-tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona
duniawi.59
sebagai berikut: Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan
sikap memberi nasihat dan petunjuk (al-mauizah). Kaum pilihan yang daya
akalnya kuat dan analisis yang mendalam harus dihadapi dengan sikap
argumen-argumen (al-mujadalah).
ini membagi manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya
kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang
hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut
59
Al-Taftazani, 2003, h. 170.
60
Maftukhin, 2012, h. 137.
36
daya berpikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum
pilihan al-Ghazali jatuh pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua
dan alira Syi’ah, Ikhwanus Safa, dan lain-lainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya
dari teori-teori ke-Tuhan_an menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi
bercorak Islam.62
dunia Islam disebabkan karena beberapa hal. Pertama, al-Ghazali dapat membawa
61
Maftukhin, 2012, h. 138.
62
Al-taftazani, 2003, h. 156
37
Ketiga, karena ketakutan dan pengaruhnyalah tasawuf memperoleh kedudukan
kuat dan terhormat serta terjamin dalam Islam. Keepat, ia membawa filsafat dan
teologi filosofi yang semula bersifat elitis ke dalam daratan pemikiran orang
awam yang pada mulanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu, mengingat
istilah dan bahasa yang dipakai bukan bahasa awam, sehingga merupakan misteri
bagi mereka.
istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam. Melalui
dengan bahasa yang mudah diterima oleh orang awam . Hal ini sangat
berbahasa Arab baik di Timur dan di Barat. Sekalipun sudah hampir seribu tahun
mengekal abadi. Sampa kini masih sangat bepengaruh karena diperluka dan
ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.64 Tokoh al-Ghazali
63
Syukur & Masharuddin, 2002, h. 214-215.
64
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, ditejemahkan oleh
Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 225.
38
yang menjadi fokus pembahasan menempati kedudukan yang unik dalam sejarah
dan kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Sosok teolog ini selain ahli agama,
ia juga memiliki pemikiran yang luas dalam bidang filsafat, tasawuf, akhlak dan
sukses dalam memimpin mereka, demikian pula di Barat dunia Islam. Sampai
sekarang pengaruhnya masih terus ada di seluruh dunia Islam.65 Di Timur al-
Karyanya Ihya ‘Ulum ad-Din sebagai bukti adanya usaha tersebut. Pada waktu itu
juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh negative
pemujaan akal atas nama agama, menjadi ketaatan kepada Allah SWT, yatu dalam
arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan
dapat dicapai.
sebagai hujjat al-Islam (pembela agama Islam) dan Mujaddid (pembaharu) karena
al-Ghazali telah menyatukan semula syariat, tasawwuf, dan tauhid yang sudah
terpisah-pisah. Gabungan tiga bidang ilmu yang dibuat dalam al-Qur’an dan
Hadis oleh Allah dan Rasul terpecah-pecah dalam beberapa kurun kemudian. Lalu
65
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental (cet. I: Jakarta Rahama, 1994), h. 12-23.
39
semula. Menurut Fazlur Rahman, al-Ghazali telah melakukan pembaharuan dalam
tasawuf dengan syariat yang telah dimulai pada pertengahan kedua abad ketiga
hijriah dengan tokoh-tokoh seperti al-Kharraz dan al-Junaid hingga Gerakan ini
bercorak Sunni mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat Islam,
ketegangan antara fuqaha (para ahli fiqh) dan sufi dapat diredamkan dan sejak
saat itu seorang teolog besar adalah seorang sufi besar pula.
66
Fazlur Rahman, Islam, h. 202.
67
Nourouzzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 55.
40
41