Anda di halaman 1dari 26

PEMIKIRAN SUFISTIK

Mengenal Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali

Syafril, M
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (FIAI-UNISI) Tembilahan
e-mail: syafril982@yahoo.com

Abstrak
Tulisan ini bertujan untuk mengenal lebih dekat sosok al-
Ghazali dan mengetahui pemikiran tasawufnya. Dengan
mengetahui latar sosiologis kehidupan al-Ghazali dan
pemikirannya, mengantarkan kita dapat memahami
pemikiran dan menghargai ide dan usahanya. Tak pelak
lagi, al-Ghazali telah berjasa dalam merumuskan konsep
tasawufnya yang didasari dari perenungannya terhadap
ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Kitab Ihya’ Ulumiddin,
merupakan karya agung dan terbesar al-Ghazali. Dalam
buku ini, al-Ghazali menjelaskan pemikiran-pemikirannya
mengenai tasawuf dan berusaha merekonsiliasi antara
syari’at dan tasawuf dengan mengembalikan
pemahamnnya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ia
menentang keras pemikiran-pemikiran yang dianggapnya
menyimpang dari ajaran Agama. Gagasan yang
diperkenalkan al-Ghazali dalam menyelaraskan syari’at
dan hakikat sedemikian mendalam dan belum pernah
dikemukakan oleh pemikir sebelumnya. Pemikiran al-
Ghazali kemudian memberikan pengaruh yang luar biasa
sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh sufi sesudahnya. Tidak
hanya itu, tasawuf pada akhirnya dapat diterima oleh ahli
syari’at dan dipahami oleh masyarakat umum.

Kata Kunci: Pemikiran, Sufistik, Al-Ghazali


2 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

A. Pendahuluan
Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka yang hidup
di abad ke-5 Hijriyah pada masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuk. Ia
adalah tokoh fenomenal sekaligus kontroversial. Dikatakan fenomenal,
karena pemikiran al-Ghazali selalu menarik untuk dikaji dari berbagai
sudut pandang keilmuan, mulai dari fikih, ushul fiqih, teologi, filsafat
hingga tasawuf. Disebut kontroversial, karena serangannya kepada para
filosof dan pemikiran mereka melalui bukunya Tahafut al-Falasifah,
telah menimbulkan berbagai polemik mengenai stagnasinya pemikiran
Islam khususnya di belahan timur dunia Islam. Banyak yang menduga
bahwa kemunduran pemikiran Islam disebabkan oleh serangan al-
Ghazali kepada filsafat. Beberapa pemikir Islam Indonesia, seperti
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Nurcholis Majid tidak setuju terhadap yang
menyatakan bahwa al-Ghazali yang menyebabkan jumud nya
pemikiran Islam1. Menurut Syafi’i Maarif, kemacetan pemikiran Islam
khususnya di dunia sunni, merupakan fenomena sosiologis yang amat
kompleks. Sementara itu, dalam pandangan Nurcholis Majid, al-
Ghazali sangat berjasa dalam menciptakan suatu iklim keberagamaan,
karena al-Ghazali adalah seorang “penengah” antara literalisme
Hambaliyyah dan liberalisme para filosof.
Di Indonesia, khususnya dikalangan pesantren tradisional, al-
Ghazali lebih dikenal sebagai seorang sufi ketimbang seorang filosof.
Hal ini disebabkan, buku-buku yang dijadikan referensi dalam materi
tasawuf adalah buku-buku karya al-Ghazali, seperti matan Bidayatu al-

1
Lihat pengantar Ahmadie Thaha dalam terjemahan Tahafut al-Falasifah
(Jakarta: Panji Masyarakat, 1986), h. xii
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 3
Syafril. M

Hidayah, - buku ini kemudian disyarah oleh Syaikh Nawawi Banten


dengan judul “Maraqi al-‘Ubudiyah”, - Minhaju al-‘Abidin dan Ihya’
‘Ulumiddin. Bukunya, Ihya ‘Ulumiddin ini kemudian yang
menyebabkan nama al-Ghazali dikenal luwas di dunia Islam. Dalam
buku-buku tasawufnya, al-Ghazali mengemukakan konsep tasawuf,
metode tazkiyatun nafsi dan jalan menuju ma’rifah. Menurut al-
Ghazali, kebenaran tidak bisa diperoleh hanya melalui rasio semata
seperti yang dikemukakan filosof, melainkan dari cahaya (nur) yang
dipancarkan Allah kedalam hati seseorang, sehingga ia memperoleh
ma’rifah. Kebenaran melalui ma’rifah ini adalah kebenaran yang
sesungguhnya. Menurut sebagian pemikir muslim, al-Ghazali berjasa
dalam memurnikan tasawuf dan mengembalikannya kedalam struktur
ajaran Islam dengan jalan rekonsiliasi dengan istilah syari’at, tariqat
dan hakikat2. Menurut al-Ghazali, setiap amalan yang dijalankan oleh
seorang salik memiliki bidayah dan nihayah. Nama lain dari bidayah
adalah syari’at dan thariqat, sementara nihayah disebut dengan
hakikat. Syari’at3 adalah lahiriyah hakikat, sedangkan hakikat adalah
bathin syari’at. Keduanya saling berhubungan seperti dua sisi mata

2
Lihat Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali dikomentari oleh Syaikh
Nawawi Banten dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah (Semarang: al-‘Aidarus, tt), 4-5
3
Ketiga istilah ini didefinisikan oleh al-Shawiy seperti yang dikutip oleh
Syaikh Nawawi Banten yaitu; syari’at adalah hukum-hukum Allah yang diturunkan
kepada Nabi saw untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai taklif (kewajiban
yang mesti dikerjakan), seperti perintah wajib, mandub, haram, makruh dan jaiz.
Thariqat adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum syari’at.
Hakikat adalah memahami hakikat sesuatu dan rahasianya, dengan bahasa lain hakikat
adalah ilmu yang Allah campakkan kedalam hati orang-orang yang mengamalkan
tuntunannya, yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintah-Nya dan meninggalkan
apa yang dilarang-Nya.
4 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

uang yang tak bisa dipisahkan. Syari’at tanpa hakikat hampa, hakikat
tanpa syari’at batil.4
Tulisan ini akan menguraikan pemikiran sufistik al-Ghazali,
mengapa al-Ghazali memilih jalan sufi untuk menemukan kebenaran,
konsep ma’rifah, corak dan pengaruhnya dalam pemikiran tasawuf
sesudahnya serta pengaruh dan komentar ulama terhadap kitab Ihya’
‘Ulumiddin.

B. Sketsa Biografi Imam Al-Ghazali


1. Riwayat hidup dan pendidikannya
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau dilahirkan di kota
kecil Thus yang termasuk wilayah Khurasan Iran pada tahun 450
Hijriah bertepatan dengan tahun 1058 Masehi5. Sedangkan al-
Ghazali diambilkan dari nama Ghuzalah yang merupakan nama
sebuah kampung di Thus. 6 Di kota ini pula ia meninggal dan
dikebumikan pada tahun 505 Hijriah/111 Masehi. Ayahnya bekerja
sebagai pemintal wol yang kemudian dijualnya di tokonya di Thus.
Menjelang wafanya, ayah al-Ghazali menitipkan kedua putranya,
al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, kepada temannya yang juga
seorang sufi dan memberinya sejumlah harta yang ditabungnya
selama ini. al-Ghazali kecil kemudian belajar fiqih di Thus kepada
Ahmad al-Radzakani, selanjutnya setelah beranjak remaja ia pergi

4
Ibid.
5
Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud alih
bahasa Abdul Munip (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 33
6
Maraqi al-‘Ubudiyyah, op cit., h. 3
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 5
Syafril. M

ke kota Jurjan untuk belajar kepada Abu Nashar al-‘Isma’il dan


akhirnya ke Naisabur untuk belajar kepada Abu al-Maali al-Juwaini
yang digelari Imam al-Haramain7. Kepada Imam al-Haramain ini,
al-Ghazali mempelajari kalam al-‘Asy’ari sehingga ia benar-benar
menguasainya. Setelah beberapa waktu belajar dengan Imam al-
Haramain, ia berkunjung ke kota Askar (Mu’askar) untuk menemui
Nidzam al-Mulk, Perdana Menteri Bani Saljuk. Nidzam akhirnya
mengangkat al-Ghazali sebagai guru di Universitas Nidzamiyah di
Baghdad8.
Dalam usia 34 tahun, al-Ghazali tinggal di kota Baghdad dan
mengajar di Universitas Nidzamiyah. Di kota ini nama al-Ghazali
semakin populer dan disambut hangat serta diperlakukan sangat
hormat. Menurut kesaksian ‘Abdu al-Ghafir al-Farisi9 yang hidup
semasa dengan al-Ghazali seperti yang dituturkan oleh al-Subki,
kepopuleran al-Ghazali hanya setingkat di bawah Imam Khurasan
dalam mengalahkan kepopuleran para pejabat dan menteri Bani
Saljuk10.
2. Kondisi sosial-politik pada masa al-Ghazali
Dalam sub pokok bahasan ini, penulis akan mengemukakan
secara singkat realitas sosial-budaya dan politik pada masa al-

7
Op cit., h. 34
8
Ibid., h. 35
9
Abdu al-Ghafir bin Isma’il al-Farisi – wafat tahun 529 H- salah seorang
sahabat al-Ghazali dan sering berhubungan dengannya, ia telah menulis biografi al-
Ghazali. Dalam tulisannya al-Farisi menggambarkan Imam al-Ghazali “ia adalah
imam dari semua imam agama, memiliki kefasihan dan kejelasan dalam ucapan dan
pemikiran, ketajaman akal dan bakat yang luar biasa yang belum pernah dimiliki
orang lain”. Lihat al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud.
10
Ibid.
6 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali hidup. Karena dari sini kita bisa memahami pemikiran-


pemikiran al-Ghazali yang pada hakikatnya adalah respon terhadap
fenomena sosial-politik yang terjadi pada waktu itu. Memahami
latar belakang kehidupan seorang tokoh dan gagasan yang
dikemukakannya, mengantarkan kita untuk tetap hormat kepadanya
dan memahami serta menghargai setiap ide yang dilontarkannya 11.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Ghazali hidup mada masa
pemerintahan Bani Saljuk. Ia lahir dua puluh tahun setelah kerajaan
ini berdiri, sejak berusia muda, ia telah menyaksikan pertumbuhan
awal dinasti ini, sampai akhirnya mengalami masa kemunduran dan
kehancurannya. Karena kecemerlangan intelektual al-Ghazali, ia
diangkat oleh wazir Nizham al-Mulk sebagai pimpinan ulama
hukum yang memberi pengesahan atas keputusan-keputusan
pemerintah dan guru besar pada Universitas Nizhamiyah. 12 Dengan
posisi ini, al-Ghazali memiliki peran yang sangat penting dalam
memajukan Universitas tersebut. Bersamaan dengan kebijakan
pemerintah pada waktu itu, para lulusan madrasah diberi jaminan
menempati posisi tertentu, khususnya dibidang syari’ah. Misalnya,
antaralain, seperti posisi qadhi, dan posisi lainnya. Setiap madrasah
dibekali ilmu pemerintahan, sehingga banyak ulama yang menjadi
birokrat.
Akan tetapi, Universitas Nizhamiyah tidak membekali diri
dengan kemampuan kepemimpinan dibindang pemerintahan,

11
Quraish Shihab, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan
Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1998), h. 9
12
Ahmadie Thaha, dalam pengantar karya al-Ghazali, al-Tibbr al-Masbuk fi
Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh Ahmadie Thaha (Bandung: Mizan, 1994), 11
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 7
Syafril. M

sehingga lulusannya, termasuk al-Ghazali, tidak mampu berbuat


banyak pada tingkat struktural.13 Akibatnya peran ulama dalam
kehidupan politik menjadi pupus. Disisi lain, seorang qadhi dipilih
oleh pemerintah dan merupakan lulusan madrasah yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah.
Setelah terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Mulk dan
wafatnya Sultan Maliksyah, Dinasti Bani Saljuk mengalami masa
yang cukup sulit dengan perpecahan yang timbul dari dalam dan
luar kerajaan. Perebutan kekuasan diantara anak-anak Maliksyah
membawa kerajaan ini menuju keruntuhannya. Hal ini diperparah
dengan perilaku para pejabat istana yang membiarkan korupsi,
nepotisme, ketidakadilan, kezaliman dan kejahatan terjadi dimana-
mana. 14
Kondisi-kondisi seperti ini yang menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan al-Ghazali meninggalkan Baghdad selanjutnya
melakukan ‘uzlah dan ber- khalwat- untuk menghindari hiruk pikuk
dan kegaduhan politik di kota Damaskus selama kurang lebih dua
tahun. Dari tempat khalwat-nya, al-Ghazali tetap memantau
pergulatan politik dinasti Saljuk. Dalam masa pengasingannya, al-
Ghazali sering mengirim surat kepada penguasa dinasti Saljuk dan
memperingatkan perilaku mereka. Sekembali dari
pengasinganannya, al-Ghazali menuju kampung halamannya di
Thus.15 Atas permintaan Raja Muhammad bin Maliksyah, al-

13
Ibid.
14
Ibid., h. 20
15
Ibid., h. 21
8 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali menulis buku Nashihat al-Muluk. Sikap dan posisinya yang


menjaga “jarak” dengan kekuasaan ini membuat al-Ghazali
mengkritik penguasa melalui tulisan-tulisannya dan
mengkampanyekan hidup zuhud dan ‘uzlah dari situasi yang
semakin tidak menentu.
3. Memasuki kehidupan sufistik
Ketika al-Ghazali sudah berada pada puncak kemasyhuran,
kemewahan pun mulai datang menghampirinya, begitu juga
kedudukannya yang sangat tinggi, sehingga banyak orang yang
hendak mendekati penguasa, meminta bantuannya, namun al-
Ghazali sering menolaknya. Hidup dalam limpahan kemewahan
tidak lama dinikmati oleh al-Ghazali, karena tidak berapa lama
sesudah itu, ia mengalami guncangan jiwa yang sangat hebat yang
memaksa ia untuk meninggalkan kemewahan, kedudukan dan
kemuliaan untuk selanjutnya melakukan ‘uzlah (mengasingkan
diri). 16
Dalam bukunya al-Munqidz min al-Dhalal,17 al-Ghazali
menceritakan perjalanan hidup dan merekam perkembangan
pemikirannya mulai dari mempelajari satu ilmu ke ilmu yang
lainnya, keragu-raguan yang menimpa dirinya dan akhirnya
memilih tasawuf sebagai pelabuhan terakhirnya. Dalam buku ini al-
Ghazali menceritakan bahwa “ sejak masa remaja – ketika masih

16
Ibid., h. 36
17
Kitab al-Munqidz min al-Dhalal adalah karya Imam al-Ghazali yang
ditulisnya untuk menceritakan pergumulannya dengan ilmu pengetahuan,
pengembaraanya dari mendalami satu ilmu ke ilmu yang lain, serta keraguan yang
dialaminya. Buku seperti ini merupakan buku yang langka dalam tradisi keilmuan
Islam, karna jarang para ulama merekam perkembangan pemikirannya sendiri.
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 9
Syafril. M

baligh- sampai sekarang di saat saya sudah berusia 50 tahun, saya


mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Saya selidiki ajaran
semua aliran agar saya bisa membedakan mana yang hak dan mana
yang batil, mana yang sesuai sunah dan mana yang bid’ah.18 Saya
dalami ajaran Bathiniyah untuk mengetahui kedalaman
batiniahnya, saya teliti ajaran Zhahiriyyah karena ingin tahu
kezahiriyahannya. Demikian pula saya selami ajaran para filosof
supaya mengetahui hakikat filsafatnya. Saya pelajari ilmu kalam
untuk mengetahui tujuan akhir dari pembicaraan dan perdebatan di
dalamnya.”
Menurut al-Ghazali, keinginannya yang kuat untuk
menyelami lautan ilmu pengetahuan dan memahami hakikat segala
sesuatu adalah dorongan naluri dan fitrah yang Allah tanamkan ke
dalam tabiatnya, bukan ikhtiyar dan usahanya. Dengan naluri ini,
al-Ghazali berhasil membebaskan dirinya dari taqlid dan
meruntuhkan kepercayaan dan dogma-dogma warisan generasi
terdahulu, pada saat ia berusia remaja. 19
Setelah mempelajari berbagai ilmu, al-Ghazali mulai
mendalami tasawuf. Karena menurutnya, sufi tidak bermain-main
dalam mencari kebenaran. Ajarannya tidak dapat dipahami secara
tepat jika tidak diikuti dengan pengalaman langsung.20 Selanjutnya
al-Ghazali menulis:

18
Ibid.
19
Ibid., h. 37
20
Achmad Faizur Rosyad, Menapak Jejak al-Ghazali; Tasawuf, Filsafat dan
Tradisi (Yogyakarta: Kutub, 2004), h. 117
10 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

“setelah itu, aku mulai mempokuskan perhatianku pada jalan


sufi. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan ilmu dan amal
sekaligus. Aku memulai mempelajari ilmu mereka dengan
menelaah tasawuf seperti Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-
Makki, karya-karya Abu Harits al-Muhasibi, karya al-Junaid,
al-Syibli Abu Yazid al-Bustami dan karya sufi lainnya.
Tetapi, jalan sufi bukan hanya ilmu semata, ilmu hanyalah
bagian kecil dalam tasawuf. Yang mengantarkan seseorang
bisa meraih cahaya adalah amalannya, menggantungkan
harapannya hanya kepada Allah, menjauhkan diri dari
kemewahan, kedudukan, popularitas. Semua itu bisa
ditempuh dengan melakukan ‘uzlah dan khalwat
mengasingkan diri serta hidup zuhud (asketisme)”.21

Perhatian al-Ghazali kepada tasawuf ketika ia mulai


mengalami konflik batin dalam dirinya, antara menurutkan
keinginan hawa nafsu kepada kedudukan, kemewahan dan
popularitas dengan kehidupan yang “abadi”. Disisi lain, al-Ghazali
merasa ilmu yang digeluti sebelumnya tidak membawa ia kepada
kebenaran yang hakiki. Selama enam bulan, ia mengalami
kebingungan. Hal ini menyebabkan lidahnya kelu sehingga tidak
dapat mengajar dan tubuhnya pun menjadi lemas dan lemah 22.
Al-Ghazali selanjutnya memohon diri untuk istirahat
mengajar dan meninggalkan Baghdad untuk menuju ke Syam. Di
Syiria, al-Ghazali mengasingkan diri selama dua tahun. Selama
dalam pengasingannya, ia tidak melakukan kegiatan apapun, selain
‘uzlah, khalwat, riyadhah dan mujahadah dengan tujuan untuk
menyucikan jiwa, memperbaiki akhlak dengan senantiasa berzikir

21
Lihat al-Munqidz., op cit., h. 41
22
Ibid., h. 41-42
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 11
Syafril. M

kepada Allah. Sekembalinya dari pengasingan, al-Ghazali menuju


kekampung halamannya di Thus. Setelah berada dikampung
halamannya, al-Ghazali tetap melakukan khalwat, semua itu ia
jalani dalam masa kurang lebih sepuluh tahun. 23
Orientalis A. J.Arberriy menuturkan, sebagaimana yang
dikutip oleh Asmaran dalam buku Pengantar Studi Tasawuf, bahwa
setelah selesai masa pengasingannya, al-Ghazali menjalani
kehidupann sederhana, diiringi dengan belajar dan menulis kitab.
Selama kurun waktu itu, al-Ghazali mengungkapkan berbagai aspek
tatanan sufistik, metafisis dan moral yang ia coba merujukkan
tasawuf kepada ajaran sunni, sambil membuktikan bahwa
kehidupan seorang muslim dalam mengabdikan diri kepada Allah,
tidak akan dapat mencapai hasil yang sempurna, melainkan
mengikuti jalan yang ditempuh para sufi. 24
4. Karya-karyanya dalam bidang tasawuf
Dibawah ini adalah buku-buku yang ditulis al-Ghazali dalam
bidang tasawuf berdasarkan beberapa sumber, namun ada
kemungkinan masih ada buku-buku yang lain yang ditulis oleh al-
Ghazali, tetapi menurut sebagian sumber buku-buku itu dibakar dan
dibuang ke dalam sungai ketika pasukan Mongol menghancurkan
kota Baghdad.
a. Bidayah al-Hidayah
b. Minhaj al-‘Abidin

23
Ibid.
24
Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h. 331
12 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

c. Mizan al-‘Amal
d. Kimiya as-Sa’adah
e. Misykah al-Anwar
f. Ihya’ ‘Ulumiddin
g. Al-Munqidz min al-Dhalal
h. Al-Adab fi al-Din
i. Kitab al-Arba’in
j. Ar-Risalah al-Laduniyah
k. Raudhah al-Thalibin

C. Pemikiran Sufistik al-Ghazali dan Pengaruhnya Terhadap


Pemikiran Tasawuf Sesudahnya
1. Maqam Tasawuf menurut al-Ghazali
Dalam kajian tasawuf, jika seseorang ingin mendekatkan
dirinya kepada Allah, maka ada stasiun-stasiun atau maqam yang
harus dilaluinya. 25 Setiap maqam yang dilalui oleh seorang salik,
maka ia akan mendapatkan ahwal. Menurut al-Ghazali, seperti yang
ia kemukakan dalam buku-buku tasawufnya, maqam yang harus
dilalui itu adalah taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal,
mahabbah dan ridha. Dalam sub pokok bahasan ini, penulis akan
menguraikan secara singkat pengertian masing-masing istilah
tersebut.
a. Taubat. Menurut al-Ghazali, taubat intinya adalah penyesalan.
Tetapi taubat mempunyai beberapa makna, yaitu berkaitan

25
Orang yang “berjalan” secara spiritual untuk mendekatkan dirinya kepada
Allah dalam istilah tasawuf disebut salik.
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 13
Syafril. M

dengan pengetahuan dosa serta akibatnya pada masa sekarang,


keinginan untuk meninggalkan dosa yang telah ia lakukan pada
masa yang akan datang dan bertekad untuk menghentikan
seluruh dosa tersebut agar terjalin kedekatan kembali dengan-
Nya26.
b. Sabar. Menurut al-Ghazali, sabar ada dua bagian, yaitu
sabar yang berkaitan dengan fisik dan sabar secara
psikologi atau non-fisik. Sabar yang pertama berkaitan
dengan beban berat yang dialami oleh tubuh ketika
melakukan perkerjaan atau pun melakukan ibadah.
Sedangkan sabar dalam pengertian yang kedua, berkaitan
dengan jiwa dalam menahan berbagai tuntutan hawa nafsu.
c. Faqir. Kefakiran diartikan oleh al-Ghazali dengan
membutuhkan bantuan Allah untuk melanjutkan wujudnya.
Karena tidak tersedianya apa yang dibutuhkan seseorang.
d. Zuhud. Yaitu menghindari diri dari kemewahan duniawi,
menguasai hawa nafsu dalam segala jenisnya.
e. Tawakkal. Menurut al-Ghazali, adalah kondisi batin yang
erat kaitannya dengan amal dan hati yang ikhlas, yaitu
keikhlasan hati hanya semata-mata karena Allah dan
mempercayakan diri kepada-Nya.
f. Mahabbah. Dalam pandangan al-Ghazali, mahabbah
adalah peringkat tertinggi dari keseluruhan peringkat yang

26
Lihat buku Menyelami Lubuk Tasawuf karya Mulyadi Kartanegara (Jakarta:
Erlangga, 2006), h. 197
14 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

harus dilalui, yakni cinta kepada Allah melebihi cinta


kepada lainnya.
g. Ridha. Ridha maqam terakhir, menurut al-Ghazali, ridha
ialah menerima dengan sepuas-puasnya apa yang
dianugerahkan Allah, bahkan setiap penderitaan pun
dirasakan sebagai anugerah.27
Selain tingkatan maqam yang telah disebutkan di atas, al-
Ghazali mengemukakan masalah-masalah yang berkaitan dengan
batin yang merupakan kondisi hati sanubari, yaitu al-khaufu wa al-
raja’. Al-khauf, yaitu takut kepada Allah dengan merasa pedih
dalam hatinya jika ia terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang. Al-
raja’, mengharap, yaitu dimana seseorang secara sadar
menggantungkan harapannya hanya kepada Allah semata.
2. Konsep Ma’rifah menurut al-Ghazali
Ma’rifat adalah substansi tasawuf al-Ghazali. Walaupun
demikian, konsep ma’rifat bukanlah murni pemikiran al-Ghazali
semata, tetapi adalah pengembangan dari konsep sufi sebelumnya.
Ma’rifat secara bahasa berarti pengetahuan atau pengalaman.
Sedangkan dalam terminologi tasawuf, kata ini diartikan sebagai
pengenalan seorang sufi tentang Tuhan yang didapatnya melalui
hati sanubari yang suci28.
Dalam berbagai literatur tasawuf disebutkan bahwa tokoh
yang memperkenalkan ma’rifat ini, yaitu Zun al-Nun al-Misri dan

27
Ibid,. h. 201
28
Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 112
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 15
Syafril. M

al-Ghazali. Zun al-Nun al-Misri hidup sekitar tahun 860 Masehi. 29


Menurut Hamka, seperti yang dituturkan oleh Abuddin Nata, Zun
al-Nun adalah puncaknya kaum sufi pada abad ketiga Hijriyah. Ia
banyak sekali menambahkan cara-cara menuju Tuhan. Ungkapan
Zun al-Nun al-Misri yang terkenal adalah “aku mengenal Tuhanku
dengan Tuhanku, sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan
mengenal Tuhanku”30. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ma’rifat
tidak dapat diperoleh begitu saja, juga bukan hasil pemikiran tetapi
melalui pemberian Allah.
Sementara itu, ma’rifat dalam pemahaman al-Ghazali-hanya
dapat diperoleh melalui ilham-yaitu Allah memancarkan nur
(cahaya petunjuk) ke dalam hati orang yang dikehendakinya
sehingga ia dapat mengenal Allah31, sehingga dirinya menjadi
lebur, menyatu pikiran dan hatinya dengan kehadiran Allah32.
Dalam bukunya Raudhah al-Thalibin, al-Ghazali mengatakan
bahwa ma’rifat, jika ditinjau dari aspek bahasa mempunyai arti
“ilmu yang tidak menerima keraguan” 33. Orang yang sampai pada
tingkatan ma’rifat dinamai dengan orang arif34. Lebih jauh al-

29
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
h. 225
30
Ibid,. h. 226
31
Al-Muqidz, op cit,. h. 31
32
Lihat juga penjelasan Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati,
2005), h. 182
33
Al-Ghazali, Raudhah al-Thalibin, (Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1967), h.
162
34
Al-‘Arif billah adalah orang yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam
kajian tasawuf, yaitu orang yang jiwa raganya hanya mengarah kepada Allah semata.
Tidak ada satupun keadaan yang dapat mengahalanginya dan tidak ada suatu aktivitas
yang dilakukannya melainkan karena Allah, bukan untuk meraih kenikmatan surge
atau takut azab neraka.
16 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali mengatakan bahwa ma’rifat yang hakiki hanya dapat


diperoleh melalui ilham. Oleh karema itu, ma’rifat adalah
pengetahuan yang diberikan Allah secara langsung kepada manusia
tertentu tanpa proses pengamatan dan penalaran, atau melalui
proses belajar.35
Jalan untuk mencapai ma’rifat, menurut al-Ghazali adalah
qalbu bukan akal. Qalbu yang dimaksud adalah hati yang
mendapatkan pancaran cahaya (nur al-hidayah). Hati yang
mendapatkan cahaya petunjuk ini yang dinamai dengan bashirah.
Qalbu, demikian tulis al-Ghazali, bagaikan cermin, sementara ilmu
adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya.
Tegasnya, jika cermin hati tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Selanjutnya, ia mengatakan,
yang menyebabkan cermin hati tidak bening adalah hawa nafsu,
sementara ketaatan kepada Allah serta berpaling dari tuntutan hawa
nafsu itulah yang membuat hati menjadi bening dan bercahaya 36.
Menurutnya, sudah menjadi sunnatullah sejak dahulu,
orang-orang yang salih telah mengalami dan mengakui bahwa
penyucian jiwa, berserah diri kepada Allah serta mendekatkan diri
kepada-Nya adalah jalan yang akan mengantarkan jiwanya menuju
alam ruhani dan membawanya ke tempat yang tinggi, sehingga ia
mendapatkan limpahan rahmat, ilham dan ma’rifat yang tak
mungkin bisa diperoleh oleh orang-orang yang masih terikat

35
Asmaran, op cit,. h. 333
36
Ibid.
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 17
Syafril. M

hatinya dengan urusan materi dan duniawi. 37 Sebagaimana halnya


para sufi sebelumnya, al-Ghazali pun memandang ma’rifah sebagai
tujuan akhir yang harus dicapai manusia, sekaligus merupakan
kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan
yang hakiki. 38 Dalam bukunya Minhaj al-‘Abidin, al-Ghazali
menjelaskan empat hal yang dapat menjadi penghalang seseorang
untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan menyebabkan hatinya
tidak memiliki cahaya, yaitu dunia dan segala isinya, makhluk,
syaitan dan nafsu.39 Keempat hal ini, menurut al-Ghazali, bisa
diatasi dengan empat hal juga, yaitu zuhud, ‘uzlah, mujahadah dan
melemahkan nafsu.

D. Corak Tasawuf al-Ghazali dan Pengaruhnya Terhadap


Pemikiran Tasawuf Sesudahnya
Kemunculan al-Ghazali pada adab ke-5 Hijriyah, merubah
orientasi tasawuf yang hanya menekan pada aspek esoterik (batin saja).
Tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-4 Hijriyah,
terutama oleh Manshur al-Hallaj dengan doktrin hulul-nya, tidak sesuai
lagi dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnnah. Doktirn hulul ini kemudian
yang membawa al-Hallaj dihukum mati. Tragedi yang dialami oleh al-
Hallaj memberikan gambaran betapa tajam konflik yang terjadi antara
ulama syari’at (baca:fiqih) dengan ajaran yang dibawa para sufi. Maka
dari itu, al-Ghazali berupaya mengembalikan ajaran sufi kepada status

37
Al-Munqidz,. h. 512
38
Op cit,. h. 332
39
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin (Semarang: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), h. 13
18 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

semula seperti yang dikemukakan oleh sufi abad pertama Hijriyah, al-
Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) yang
berorientasi pada sikap zuhud, pendidikan jiwa dan pembentukan
moral40.
Konsep dan pemikiran tasawuf yang diperkenalkan al-Ghazali
sedemikian mendalam dan belum pernah diperkenalkan pada masa
sebelumnya. Dilain pihak, al-Ghazali juga mengajukan kritikan-
kritikan tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran mu’tazilah
dan kepercayaan bathiniyah dengan menancapkan dasar-dasar tasawuf
yang lebih moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam orientasi dan rincian-rincian tasawuf
yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi al-Hallaj dan al-
Bustami. Model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali disebut
dengan tasawuf sunni41.
Menurut Abu al-Wafa’ al-Taftazani, seperti yang dikutip oleh
Asmaran, bahwa dalam tasawuf, pilihan al-Ghazali jatuh pada tasawuf
sunni yang berdasarkan doktrin ASWAJA (ahlu as-sunnah wa al-
jama’ah). Dari paham tasawufnya ini, dia menjauhkan semua
kecenderungan yang mempengaruhi para filososf Islam, sekte
Isma’iliyah dan aliran Syi’ah, Ikhwan al-Safa dan lainnya. al-Ghazali
juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut
Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan. 42

40
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi (Jakarta: Pustaka Iman,
2009), h. 49
41
Ibid,. h. 50
42
Asmaran, As, op cit,. h. 335
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 19
Syafril. M

Dengan tampilnya al-Ghazali, model tasawuf sunni yang


dikembangkannya mulai menyebar dan mempengaruhi di dunia Islam.
Tokoh-tokoh sufi yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf al-
Ghazali sekaligus pendiri tarekat, yaitu Syaikh Ahmad Rifa’i, (pendiri
tarekat rifa’iyyah) dan Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani (pendiri tarekat
Qadiriyah). Demikian pula generasi berikutnya, antara lain dan yang
paling menonjol, Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, Abu al-‘Abbas al-
Mursi dan Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, ketiganya adalah pendiri dan
tokoh tarekat as-syadziliyah.43

E. Pengaruh dan Komentar Ulama Terhadap Ihya’ ‘Ulumiddin


Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin merupakan manifesto pemikiran
tasawuf al-Ghazali sekaligus karya monumentalnya dalam bidang ini,
sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam.
Buku ini telah melahirkan banyak syarah (komentar dan penjelasan)
dan ikhtishar (ringkasan) yang ditulis oleh ulama sesudahnya. Banyak
yang memberikan dukungan, namun sebanyak itu pula yang
memberikan kritikan. Ihya’ sudah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, seperti Inggris, Prancis, Spanyol dan bahasa lain di dunia
termasuk bahasa Indonesia. Bagi dunia Islam, Ihya’ –sampai saat ini-
tetap menjadi insprirasi dan menjadi sumber kajian yang tak pernah
habis dibahas dari berbagai aspek keilmuan44.
Dalam karya besarnya ini, al-Ghazali mengkompromikan dan
menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dan dengan syari’at.

43
Op cit,. h. 51
44
Lihat komentar ‘Abdul Halim Mahmud dalam al-Munqidz, op cit,. h. 76
20 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ia juga menjelaskan hubungan antara syari’at dengan hakikat atau


tasawuf. Menurut al-Ghazali, sebelum seseorang mempelajari dan
mengamalkan tasawuf, ia terlebih dahulu harus mempelajari dan
memperdalam ilmu syari’at dan akidah terlebih dahulu. Tidak berhenti
sampai disitu, ia juga harus mengamalkan syari’at dengan konsekuen
dan secara sempurna45. Seperti melaksanakan shalat, puasa dan ibadah-
ibadah lainnya. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan, apabila seseorang
sudah mendalami dan mengamalkan syari’at dalam pengertian di atas,
maka ia dianjurkan untuk mempelajari tarekat, mengenai cara-cara
berzikir, pengendalian nafsu hingga akhirnya mencapai makrifat 46.
Metode yang ditempuh oleh al-Ghazali untuk menyelaras dan
menghubungakan syari’at dengan hakikat atau tasawuf dinilai oleh para
ulama cukup berhasil dan meyakinkan. Sayyid Huseein Nashr,
misalnya, menyebut al-Ghazali sebagai tokoh rekonsiliator antara
syari’at dan tasawuf. Dampak dari ijtihad yang dilakukan oleh al-
Ghazali, tasawuf diterima oleh ahlu syari’at sebagai bagian dari sistem
keilmuan agama Islam. Bahkan tasawuf menyebar dan merakyat dalam
arti bisa dipahami oleh masyarakat setelah sebelumnya hanya dipahami
oleh segelintir orang47.
Pokok-pokok pikiran tasawuf al-Ghazali tertuang di dalam
karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumiddin. Sebagai sebuah karya, Ihya’
tidak terlepas komentar, baik dari orang yang mengagumi pikiran al-
Ghazali maupun yang mengkritiknya. Secara umum, kritikan terhadap

45
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 168
46
Ibid,.
47
Ibid,. h. 169
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 21
Syafril. M

al-Ghazali dapat disimpulkan melalui ucapan Abu al-Muzhaffar, yaitu


“al-Ghazali menulis buku Ihya’ dengan menampilkan berbagai mazhab
tasawuf. Dalam bukunya itu, al-Ghazali tidak memaparkan aturan-
aturan fiqih dan banyak ulama yang mengingkari kualitas hadis-hadis
yang digunakan al-Ghazali dalam Ihya’”.48
Berbagai komentar ulama yang mengagumi pikiran al-Ghazali.
Al-Hafizh al-Iraqi, misalnya mengatakan bahwa “kitab Ihya merupakan
kitab tentang Islam yang terbesar, yang membahas persoalan hala-
haram, memadukan antra aspek formal hukum dengan rahasia yang
terkandung dibaliknya…” sementara itu, menurut Ibn al-Subki, “Ihya
merupakan salah satu kitab yang perlu dipahami oleh orang-orang
Islam, karena Ihya telah mampu memberikan petunjuk kepada banyak
orang. Siapa pun yang membaca kitab ini, ia pasti akan segera
meperoleh nasihat-nasihat yang baik”. Kekaguman serupa juga dialami
oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir al-“idrus, ia mengatakan “ketahuilah, bahwa
kelebihan-kelebihan Ihya’ itu sangat banyak, bahkan ditinjau dari segi
apapun, Ihya’ pasti yang terbaik”. Menurut pengakuannya, ia hampir
saja menghafalkan seluruh isi kitab Ihya’.
Sebagai penutup, penulis kutipkan komentar Syaikh
Muhammar al-Khadhar Husain, mantan rektor al-Azhar, seperti yang
diceritakan oleh Abdul Halim Mahmud, bahwa “jika dalam Ihya’
ditemukan kekurangan atau keterbatasan, maka itu karena Ihya’
merupakan karangan manusia biasa yang tidak bisa luput dari
kesalahan. Ihya’ cukup banyak memiliki kelebihan. Butir-butir

48
Al-Munqidz,. h. 77
22 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

mutiaranya bisa menjadi penyejuk bagi para pencari ilmu dan penawar
kerinduan bagi merka yang tidak menemukan buku lain” 49

F. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi al-Ghazali untuk mengasingkan diri dan selanjutnya
menjalani kehidupan sufistik. Fenomena sosial-politik pasca
terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Mulk, secara tidak langsung
memberikan pengaruh psikologis terhadap al-Ghazali yang notabene
adalah “sahabat” nya dipemerintahan Dinasti Saljuk sekaligus pendiri
Universitas Nizhamiyah. Peristiwa ini sedikit banyak “melukai”
perasaan al-Ghazali, dan menyebabkan ia tidak begitu “betah” untuk
mengajar lagi. Dilain pihak, hidup dalam limpahan materi ternyata tidak
membuat al-Ghazali merasa bahagia. Terjadi tarik-menarik didalam
hatinya, antara ingin hidup dalam kemewahan dan meninggalkannya.
Al-Ghazali pun mengalami kegoncangan jiwa sehingga menyebabkan
ia tidak mampu berbicara dan mengajar. Dalam kondisi yang tidak
menentu, al-Ghazali akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri
dan berkomtemplasi dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Semenjak mulai mengasingkan diri, al-Ghazali menjalani hidup sebagai
seorang sufi sampai akhirnya ia dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Kitab Ihya’ Ulumiddin, merupakan karya agung dan terbesar al-
Ghazali. Dalam buku ini, al-Ghazali menjelaskan pemikiran-
pemikirannya mengenai tasawuf dan berusaha merekonsiliasi antara

49
Ibid,. h. 80
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 23
Syafril. M

syari’at dan tasawuf dengan mengembalikan pemahamnnya kepada al-


Qur’an dan Sunnah. Ia menentang keras pemikiran-pemikiran yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran Agama. Gagasan yang
diperkenalkan al-Ghazali dalam menyelaraskan syari’at dan hakikat
sedemikian mendalam dan belum pernah dikemukakan oleh pemikir
sebelumnya. Pemikiran al-Ghazali kemudian memberikan pengaruh
yang luar biasa sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh sufi sesudahnya.
Tidak hanya itu, tasawuf pada akhirnya dapat diterima oleh ahli syari’at
dan dipahami oleh masyarakat umum.
Makrifat adalah substansi tasawuf al-Ghazali. Menurutnya,
makrifat cahaya petunjuk (nur) yang Allah campakkan ke dalam hati
orang yang suci, sehingga ia dapat mengenal Allah dan rahasia sesuatu,
baik yang terlihat dialam nyata maupun alam metafisika. Jalan untuk
mencapai makrifat, menurut al-Ghazali adalah melalui hati yang suci
atau bashirah. Makrifat adalah pemberian, bukan hasil pemikiran dan
perenungan, tetapi diperoleh melalui ilham rahmani. Yang dapat
dilakukan seseorang adalah mujahadah dan riyadhah untuk
mensucikan jiwa dari kotoran-kotoran hawa nafsu.
Di atas segalanya, apa yang penulis kemukakan dalam makalah
ini adalah untuk mengenal lebih dekat sosok al-Ghazali dan mengetahui
pemikiran tasawufnya. Dengan mengetahui latar sosiologis kehidupan
al-Ghazali dan pemikirannya, mengantarkan kita dapat memahami
pemikirannya dan menghargai ide dan usahanya. Tak pelak lagi, al-
Ghazali telah berjasa dalam merumuskan konsep tasawufnya yang
didasari dari perenungannya terhadap ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Walaupun demikian, apa yang penulis hidangkan dalam tulisan ini tidak
24 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

menghadirkan konsep pemikiran tasawuf al-Ghazali secara utuh, hanya


bagian-bagian yang penting untuk diketahui.
Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 25
Syafril. M

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali dikomentari oleh


Syaikh Nawawi Banten dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah
Semarang: al-‘Aidarus,tt

_______, al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud


alih bahasa Abdul Munip Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005

_______, al-Tibbr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh


Ahmadie Thaha Bandung: Mizan, 1994

_______, Raudhah al-Thalibin, Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1967

_______,Minhaj al-‘Abidin Semarang: Dar Ihya’ al-Kutub al-


‘Arabiyyah, tt

_______,Tahafut al-Falasifah alih bahasa oleh Ahmadie Thaha Jakarta:


Panji Masyarakat, 1986

Shihab, Quraish, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan


Kelemahannya Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1998

______, Logika Agama Jakarta: Lentera Hati, 2005

Rosyad, Faizur, Achmad, Menapak Jejak al-Ghazali; Tasawuf, Filsafat


dan Tradisi Yogyakarta: Kutub, 2004

Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1994

Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta: Erlangga,


2006

Siregar, Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada, 2002
26 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2000

Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi Jakarta: Pustaka


Iman, 2009

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 1996

Anda mungkin juga menyukai