Anda di halaman 1dari 9

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-GHAZALI

I.              PENDAHULUAN
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran
para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal
filsafat Islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan
filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah
pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam. Dalam makalah ini,
pemakalah hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya
sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai
dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas
tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap
filosof Muslim lainnya.

II.           RUMUSAN MASALAH


1. Siapakah Al Ghazali itu?
2. Apa saja karya-karya yang telah dibuatnya ?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Al Ghazali?
4. Bagaimana kritik Al Ghazali terhadap pemikiran tokoh filsafat Islam?

III.        PEMBAHASAN
A.      Biografi Al-Ghazali
Nama asli Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Syafi, lahir di Tus
pada tahun 450 H / 150 M. Ayahnya pembuat tenunan wool (itu sebabnya ia diberi nama “ghazzal”) dan
menjualnya di sebuah toko di Tus. Ketika ajalnya tiba, ia mempercayakan Al-Ghazali dan kakaknya
Ahmad kepada seorang temannya yang menjadi sufi, seorang yang selalu berbuat kebajikan, sambil
berkata kepadanya “saya sangat menyesal bahwa saya tidak belajar menulis. Saya ingin agar kedua anak
saya tidak kehilangan hal-hal yang tidak saya peroleh. Didiklah mereka dan jangan hiraukan apakah untuk
tujuan ini engkau pakai seluruh harta peninggalan ku”.
Ketika ayah mereka mangkat, teman sufi itu mengusahakan untuk mendidik kedua anak tersebut.
Tetapi ketika uang yang tidak seberapa jumlahnya itu sebagai peninggalan ayah mereka kemudian habis
terpakai, tidaklah mungkin lagi bagi sang sufi untuk memberi nafkah kepada kedua anak tersebut lalu ia
berkata kepada mereka “Ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian seluruh harta
peninggalan ayahmu. Saya orang miskin dah bersahaja dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang
dapat kalian lakukan adalah masuk ke dalam sebuah madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian
akan mendapat makan untuk kelangsungan hidupmu.” Kedua anak tersebut berlaku demikian dan ini
menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainya cita-cita luhur mereka.
Al-Ghazali memperoleh pendidikan dasar di Tus. Kemudian ia pergi ke Naysabur untuk belajar
kepada Al-Juwayni (478 H / 1085 M), Imam dari Haramayn, lalu tinggal disitu sampai imam tersebut
meninggal dunia. Dari Naysabur ia pergi ke Mahkamah Nizham Al-Malk yang menjadi bagian dari
pendidikan hukum dan agamanya (484 H / 1091 M), ketika ia diangkat menjadi guru madrasah
Nizhamiyah di Baghdad. Selama masa ini Al-Ghazali mengajar dan menulis fiqh dan juga menulis buku
mengenai ta’limiyah yang menimbulkan banyak pertentangan pendapat.1
Selama waktu itu Al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga
akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah atau fisioterapi.
Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 484 H untuk menuju Damsyik, dan di kota ini ia
merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disini pun ia merenung, membaca dan menulis dengan
mengambil tempat di Masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah
haji, dan setelah selesai itu ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota Tus dan disana ia tepat
seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung selama sepuluh tahun lamanya,
sejak kepindahannya ke Damsyik dan dalam masa ini ia menulis bukunya yang terkenal yaitu Ihya
Ulumuddin.
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad saudara Berkijaruk, Al-Ghazali mau
mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah di Naysabur pada tahun 499 H. Akan tetapi pekerjaan ini hanya
berlangsung dua tahun, akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia mendirikan sebuah sekolah untuk
para fuqaha dan sebuah biara (khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia
pada tahun 505 H / 1111 M, dalam usia 54 tahun.2

B.    Karya-Karya Al-Ghazali

Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak
228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab
tersebut diantaranya :
Di Bidang Filsafat
1. Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai
ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
2. Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi
pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga
ketidaksesuaiannya dengan akal.
3. Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-
ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
 
Di bidang Agama
1. Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
2. Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
3. Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).

1 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB),
1981, hlm. 11-12
2 Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), 2010, hlm. 63-64
4. Di bidang akhlak tasawuf
5. Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
6. Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
7. Kimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut
pandang kepraktisannya dan hukum.
8. Kitabul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan dengan
akhlak tasawuf.
9. At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para
penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
10. Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).
11. Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu aqidah dan
teologi.
12. Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal
perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
13. Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya dengan etika
hidup manusia.
14. Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan masalah-
masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.

                        Di bidang kenegaraan


1. Mustazh hiri.
2. Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
3. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu  pimpinan bagaimana
seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
4. Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).

Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh


1. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
2. Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
3. Al-Wajiz fi al-Furu’.

B.       Hasil Pemikiran Filsafat Al-Ghazali


1.         Pemikiran Al-Ghazali tentang Epistemologi
Epistemologi adalah suatu teori atau studi tentang asal-usul pengetahuan manusia, yang meliputi
kemampuan-kemampuan manusia dibidang pengetahuan dan seluk-beluk aturan berpikirnya.3 Sebagai
kritikus, Al-Ghazali adalah seorang peragu yang besar. Ia menggunakan otoritas panca indera dan akal,
seperti Rene Descartes, berpendapat bahwa pengetahuan yang dijamin oleh panca indera tidak bebas dari
ilusi dan halusinasi. Juga ada kemungkinan penipuan melalui perbuatan-perbuatan iblis. Siapa yang tidak
tahu bahwa mimpi seseorang melihat hal-hal yang hanya terdapat dalam pikiran orang yang bermimpi itu,

3 Opcit, Ali Issa Othman, hlm. 19


dan siapa yang tidak tahu bahwa  pohon-pohon dari kejauhan tampaknya jauh lebih kecil dari pada
sebenarnya, dan siapa tidak tahu bahwa tongkat da;am air tampak bengkok padahal sebenarnya tidak.4
Persoalan tentang hakikat pengetahuan yang sekaligus juga merupakan atau berkaitan dengan
persoalan tentang kemungkinan pengetahuan yang pertanyaan pokoknya adalah: “Apakah ada dunia yang
benar-benar dilura pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?, dalam sejarah filsafat
telah muncul pada masa Yunani kuno. Kaum Sophis pada abad ke-5 SM telah mempersoalkan: seberapa
jauh pengetahuan kita mengenai realitas benar-benar menrupakan kenyataan objektif dan seberapa jauh
merupakan sumbangan subjektif budi manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai realitas
bagaimana adanya berkaitan dengan pesoalan tersebut, Gorgias salah seorang tokoh Sophis terkemuka
menyatakan seandainya ada, kita tidak dapat mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan
pengetahuan itu. Pandangan seperti dalam filsafat dikenal dengan Skeptisisme.
Al-Ghazali merupakan seorang yang memiliki sikap skeptis bahkan sejak ketika ia masih sangat
muda. Skeptisisme Al-Ghazali lebih berupa skeptisisme metodis. Dalam skeptisisme metodis ini keraguan
melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas, pengetahuan tentang
segala sesuatu sebagaimana adanya yang disebut sebagai al-‘alim al-yaqini, suatu pengetahuan yang
didalamnya hal yang diketahui menjadi sedemikian nyata sehingga tidak ada keraguan yang melekat
padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuan, dan bahkan pikiranpun tak dapat
menduga adanya kemungkinan seperti itu.5
2.         Pandangan tentang metafisika
Pandangan yang memperhatikan persatuan dari segala sesuatu yang ada di dalam persatuan yang
mutlak dengan Allah (tauhid).6
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat bertentangan dengan Islam, dan
oleh karenanya para filosof harus dikatakan harus dikatakan sebagai orang atheis ialah:
a.    Paham Qadim-nya Alam
Bagi Al-Ghazali, alam dikatakan qadim (tidak bermula: tidak pernah ada) maka mustahil dan sangat
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an karena dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan segenap alam ini. Bagi Al-Ghazali alam haruslah tidak qadim karena Tuhan menciptakan
alam maka alam ada disamping adanya Tuhan.
Sebaliknya menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakan
sejak azali. Bagi mereka mustahil Tuhan ada sendiri tanpa menciptakan awalnya, kemudian baru
menciptakan alam.
Landasan berfikir filosofis Al-Ghazali yang ia tawarkan ialah titik tolak yang bera dan ortodoks
harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara
aktual. “Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Mahaperkasa dan Maha Berkehendak. Ia bertindak
sekehendak-Nya dan menetukan sesuatu yang Ia kehendaki; Ia menciptakan semua mahluk dan alam
sebagaimana Ia kehendaki dan dalam bentuk yang Ia kehendaki”7
b.   Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara Juz’iyyat

4 C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
1991, hlm. 103
5 Sholihan, Pernak-Pernik Pemikiran Filsafat Islam Dari Al-Farabi Sampai Al-Faruqi, (Semarang:
Walisongo Press), 2010, hlm. 58
6 Opcit, Ali Issa Othman, hlm. 19
7, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2009, hlm. 162
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara Juz’iyyat (hal-hal yang juz’i atau individual atau
partikular) bukanlah paham yang dianut oleh para filsuf muslim. Paham demikian dianut oleh Aristoteles.
Kendati demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina dengan menyatakan bahwa
Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, dengan pengetahuan kulli atau umum,
tidak masuk dalam kategori zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya karena (berbedanya sesuatu itu pada
zam Dedi Supriyadi an yang lalu, yang akan datang dan yang sekarang).
Meski pun demikian, ia berpendapat bahwa tidaklah gaib dari pengetahuan-Nya apa saja yang ada
di langit dan bumi kendati sekecil atum. Hanya saja, dia mengetahui hal-hal yang juz’i dengan
pengetahuan semacam pengetahuan kulli. Setelah panjang lebar menjelaskan maksud Ibnu Sina, Al
Ghozali mempunyai kesimpulan bahwa maksud pendapat demikian adalah bahwa Tuhan sebenarnya tidak
mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah Muhammad Bin Abdullah, Abu Bakar
As-Shiddiq, Umar bin Khatab, dan sebagainya. Benarkah demikian pendapat Ibnu Sina, atau benarkah
demikian maksud pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang juz’i? Sebenarnya,
pada pembicaraan tentang Ibnu Sina sudah jelas bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan
berkenaan dengan hal-hal yang Juz’i tidak seperti yang disimpulkan oleh Al-Ghazali. Bagi Ibnu Sina,
Tuhan mengetahui hal-hal yang Kulli, menurut Kullinya, dan mengetahui hal-hal yang juz’i menurut
Juz’inya, tetapi pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia muncul setelah memperhatikan hal-hal yang juz’i terjadi sehingga
pengetahuan manusia merupakan akibat sedangkan hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab bagi
munculnya pengetahuan manusia. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan Maha Suci dari cara
mendapatkan seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuan yang tidak berubah. Hal
ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang bersifat umum, atau
dapat dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’i itu dengan
pengetahuan yang Azali dan tidak berubah. Kendati hal-hal yang juz’i itu terus menerus berubah, Tuhan
mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukanlah setelah hal-hal yang juz’i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi,
tidak benar bahwa para filsuf muslim berpaham bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal juz’i yang muncul
pada alam ciptaan-Nya, atau dengan kata lain tidak benar bahwa pemahaman para filsuf muslim tentang
pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat
Juz’i.8

c.    Paham kebangkitan jasmani


Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW tentang kehidupan di akhirat
bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan yang bersifat rohani dan
jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup didunia untuk
merasakn untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan di
neraka yang bersifat rohani jasmani itu menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena
itu, ganbaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW itu haurslah dipahami secara hakiki saja.
Pemahaman bahwa di surga dan di neraka bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian,
menurutnya bertentangan dengan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan karena itu
Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan adalah jasmani.
8 Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 170-171
Sebenarnya, bukan hanya para filsuf muslim yang sulit memahami kehidupan alam kubur atau
akhirat secara rohani-jasmani, melainkan mereka juga yang bukan filsuf. Bagaimana bisa dipahami
nikmat atau azab kubur secara jasmani-rohani bagi mereka yang mati dengan jasad yang habis dimakan
oleh binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar. Bagaimana bisa dipahami jasad yang diletakkan
diliang lahat dapat merasakan nikmat dan azab, seperti azab malaikat berupa pukulan besi. Bagaimana
bisa dipahami bahwa semua manusia dibangkitkan di alam Mahsyar dengan badan telanjang padahal
matinya memakai pakaian.9
3.         Pandangan Etika Al-Ghazali
Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran tasawufnya. Menurut Al-
Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak yang baik, dan berpengetahuan
yang benar. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal,
al-takhluq bitakhalluq bi akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-
isyafu bi-shifatirrahman ‘ala thaqatil basyariyyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan yaitu sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, beragama dan sebagainya. Dalam Ihya’
Ulumuddin Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia beribadah dari tasawuf dengan mendalam sekali.
Misalnya dalam mengupas at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga
kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang shalat, puasa, haji, kita dapat
menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala
jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohanimya dan rasa
akrabnya (taqarrub) kepada Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan adalah
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Dalam hal ini sama sekali tidak cocok dengan psinsip filsafat Yunani yang menggap Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendektan diri dari manusia, dan
menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana, juga
dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub dengan Allah, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung
mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah al-muqarrabah, yakni mereka diawasi terus oleh
Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan
sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui
kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan kebahagiaan. Akhirnya kebahagiaan yang
tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang
dinamakannya ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah keraguan sedikit juga, dengan penyaksian hati,
yang sangat yakin (musyahadatul galbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan
sesuatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan. Al-Ghazali menyatakan
menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.10

9 Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 171-173


10 Opcit, Drs. Sudarsono, SH, M.Si, hlm. 71-72
C.      Kritik Al-Ghazali Terhadap Pemikiran Tokoh Filsafat Islam
1.         Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat ketuhanan Ibnu Rusyd
Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis ajaran Aristoteles yang mengatakan bahwa dunia ini kekal
dan diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan secara terus menerus
mengambil bentuk yang berbeda. Dia menerima pendapat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dar benar-
benar tiada pada waktu yang terbatas.
Sebaliknya menurut pemahaman filosofis Aristoteles yang dianut Ibnu Rusyd, setiap perubahan
yang terjadi harus disertakan sebab akibatnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada objek fisik saja namun
juga berlaku untuk keadaan pikiran. Dengan demikian kemungkinan besar jika Tuhan menginginkan
suatu perubahan yang terjadi maka beberapa sebab dari luar ikut mempengaruhi dirinya untuk mengatur
dan menuntun kearah keputusan tersebut.
Al-Ghazali memberi ulasan bahwa Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar dunia
tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang, jika dia menginginkan begitu berdasarkan petunjuk
Al-Qur’an, seperti yang Tuhan katakan “Jadilah, maka jadilah ia”.11
2.         Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat ketuhanan Ibnu Sina dan Al-Farabi
Pada kenyataannya teori ketuhanan Al-Farabi dan Ibnu Sina lebih men-Mahasuci-kan dan men-
Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan kaum Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan
secara total dari ciri inderawi. Tuhan digambarkan secara rasional murni yang lebih mendektai teori
transenden. Akan tetapi perlu dicatat bahwa jika konsepsi ini bisa sesuai untuk kalangan khusus namun
gagal untuk kalangan awam. Dalam kitab Tahafut al-Falasifah ini ia membicarakan 20 masalah yang 8
diantaranya membahas tentang problem ketuhanan, yaitu:
a.    Hubungan Allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah, yaitu:
-       Kadimnya alam.
-       Keabadian alam dan zaman.
-       Allah pencipta dan pembuat alam.
-       Ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam.
b.   Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya (masalah kelima).
c.    Sifat-sifat Illahi (masalah ke enam sampai ke duabelas).
-            Meniadakan sifat-sifat Tuhan.
-            Substansi al-awwal atau Tuhan bukanlah jenis atau genus dan bukan pula diferensia.
-            Tuhan adalah wujud yang simpel tanpa esensi.
-            Tuhan itu bukan tubuh.
-            Adanya masa dan ketiadaan pencipta alam.
-            Tuhan mengetahui selain diri-Nya.
-            Tuhan mengetahui substansi-Nya12
d.   Mengetahui hal-hal yang kecil “Juz’iyyat” (masalah ke tigabelas).
e.    Masalah falak dan alam (masalah ke empatbelas sampai ke enambelas).
f.    Sebab akibat (masalah ke tujuhbelas).
g.   Jiwa manusia (masalah ke delapanbelas dan  ke sembilanbelas)

11 Ibid., Dedi Supriyadi, hlm. 164-165


12 Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 160
h.   Kebangkitan jasad pada hari akhirat (masalah ke duapuluh).13
Ia membuktikan bahwa para filosof tidak mampu mendatangkan bukti  tentang adanya penciptaan
ataupun membuktikan tentang kemustahilan adanya Tuhan. Ia berpendapat bahwa Zat Yang Pertama
tidak bisa dibagi-bagi secara genus maupun species, Ia adalah wujud sederhana tanpa substansi. Al-
Ghazali juga mengkritik agak keras penafsiran mereka tentang ilmu Tuhan. Ia menganggap bahwa
penafsiran itu memberikan kesan bahwa Ia lebih dekat kepada tidak tahu dibandingkan tahu.14

IV.        KESIMPULAN
Nama asli Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Syafi, lahir di Tus
pada tahun 450 H / 150 M dan wafat tahun 505 H / 1111 M.
Al-Ghazali merupakan seorang yang memiliki sikap skeptis bahkan sejak ketika ia masih sangat
muda. Skeptisisme Al-Ghazali lebih berupa skeptisisme metodis. Dalam skeptisisme metodis ini keraguan
melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas, pengetahuan tentang
segala sesuatu sebagaimana adanya yang disebut sebagai al-‘alim al-yaqini, suatu pengetahuan yang
didalamnya hal yang diketahui menjadi sedemikian nyata sehingga tidak ada keraguan yang melekat
padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuan, dan bahkan pikiranpun tak dapat
menduga adanya kemungkinan seperti itu.
Tiga pemikiran filsafat metafisika Al-Ghazali yang sangat berlawanan dengan Islam ialah: (1)
qadimnya alam; (2) tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal kecil atau perkara juz’iyyat; (3)
pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.

V.           PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, kami yakin makalah kami jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah kami
selanjutnya.

13 Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), 1984,
hlm. 66
14 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 2004, hlm. 125-126
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang). 1984
Madkour, Ibrahim.  Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta: Bumi Aksara). 2004
Othman, Ali Issa. Manusia Menurut Al-Ghazali. (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB).
1981
Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). 1991
Sholihan. Pernak-Pernik Pemikiran Filsafat Islam Dari Al-Farabi Sampai Al-Faruqi, (Semarang:
Walisongo Press). 2010
Sudarsono.  Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta). 2010
Supriyadi, Dedi . Pengantar Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka Setia). 2009

Anda mungkin juga menyukai