Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

ILMU DALAM ISLAM : PANDANGAN FILSOF-SILSOF


MUSLIM KLASIK

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah“Filsafat Ilmu”


Dosen Pengampu : Dr. Abdul Mu’is, S.Ag., M.Si.,

Disusun oleh: Kelompok 11

Mochammad Rizal Agus Hibatullah NIM 223206010026

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER


PASCASARJANA PROGRAM MEGISTER (S2)
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
NOVEMBER 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan
spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak
peradaban umat manusia yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk peradaban yang telah
dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Sejak Revolusi Industri di Inggrisabad ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun
1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban
bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau
menjadikan dunia Islam tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus
sejarah global. Menurut Dr.H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangancorak dan
laju perkembangan antara Barat dan Timur Islami itu timbul dari sebab-sebab
yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara
“agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.1
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan
Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja padaabad pertengahan , mereka akhirnya
melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan
melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral dan
iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara
Machiavelli (1467–1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih dahulu
memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.2
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah
seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran
para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang
terkenalTahafut al-Falasifat(The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan
Pemikir Para Filosof).3Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam
(Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu)
1
Saepul Anwar, Filsafat Ilmu: Al-Ghazali Dimensi Ontologi Dan Aksiologi, (Bandung, Pustaka
Setia 2007),cet. I, 14
2
A. Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam Indonesia, (Bandung, Mizan, 1994), cet II, 20
3
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 159

2
Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam
sepanjang sejarah hidupnya.4 Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi
kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah yang
berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara lahiriah
ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunyaTahafut al-Tahafut.
Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof dan
pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada
proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn
Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam
berpikirnya.5
B. Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang di atas, maka dalam makalah ini akan membahas
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat Al-Ghazali ?
2. Bagaiman Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof, Epistimologi dan
Moral ?
3. Bagaimana Riwayat Ibnu Rusyd ?
4. Bagaimana Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali, Metafisika dan
Metode Pembuktian Kebenaran ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk Mendeskripsikan Riwayat Al-Ghazali
2. Untuk Mendeskripsikan Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof,
Epistimologi dan Moral
3. Untuk Mendeskripsikan Riwayat Ibnu Rusyd
4. Untuk Mendeskripsikan Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali,
Metafisika dan Metode Pembuktian Kebenaran
BAB II

4
Saepul Anwar, Filsafat Ilmu,.... 16
5
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd Dan Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama,
(Jakarta, Gaya Media Pertama, 2004), cet. I, 46

3
PEMBAHASAN

A. Riwayat hidup Al-Ghazali.


Al-Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masykad, Khurasan,
tahun 450 H/1058 M.6 Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf,
karenanya ia hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari
menenun wol.7 Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan
meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya kecil. Akan tetapi
sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedu anaknya tersebut kepada seorang
tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.8
Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan
untuk bekal hidup kedua anaknya itu habis, sufi yang juga hidup sederhana ini
tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, al-Ghazali dan adiknya
dserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya.
Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru
sufi kenamaan pada masa itu, dan disini pula sebagai titik awal bagi
perkembangan intelektual dan spiritualnya kelak akan membawanya menjadi
seorang ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran islam.9
Sepeninggal gurunya, al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama yang
bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al-Razakanya Al-Thusi.10 Kemudian di
jurjan, dalam bidang hukum (fiqih) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili
(1015-1085 M). Pada usia 20 Al-Juwaini (1028-1085 M) yang kemudian
menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat. Al-Juwaini inilah yang
mengenalkan al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam lewat
disiplin teologi, al-Ghazali juga belajar melakukan praktik tawasuf dibimbing
Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084 M).11

6
A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, (jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2013), 133
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014), 159
8
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), 135
9
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... 160
10
Ibid, 160
11
A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... . 134

4
Pada 1091 M, al-Ghazali di undang oleh Nidham Al-Mulk (1063-1092 M),
wasir dari Sultan Malik syah I (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di
Nidhamiyah, Bagdad.12 Selama waktu itu ia tertimpa keragu-raguan tentang
kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak
bisa diobati dengan obat lahiriyah13, akibat krisis ini, ia menderita sakit selama
enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian ia
meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar
di Baghdad.14 Ia mulai mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan
selama 10 tahun, dimulai ke Damaskus, Yerusalem, Makkah, kembali ke
Damaskus, dan terakhir di Baghdad.15 Sejak kepindahannya ke damasyik dan
dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal, antara lain ihya’
‘ulumuddin.16
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, Al-Ghazali kembali
memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Baghdad atas desakan perdana
menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizam Al-Mulk. Setelah Perdana Mentri ini mati
terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, disini ia membangun
Madrasah khan-kah (semacam praktik suluk) untul mengajar tasawuf. Usaha
ini ia lakukan sampai wafat pada tanggal 14 jumadil Akhir 505 H, bertepatan
pada tanggal 18 Desember 1111 M. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur
benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal
Al-Firdausy.17
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis. Menurut penelitian saiful
anwar, setidaknya ada 72 karya tulis yang diwariskan Al-Ghzali, yang secara
umum dapat dibagi dalam beberapa tema. Karya Al-Ghazali yang dianggap
monumental adalah ihya’ ‘ulumuddin, sebuah kitab yang ditulis untuk
memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan
esoterik islam.18
B. Kritik Al-Ghazali terhadap filosof, Epistimologi, dan Moral
12
Ibid, 134
13
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... 135
14
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... 161
15
A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... . 135
16
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... 135
17
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... 162
18
A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... 136

5
1) Kritik Al-Ghazali terhadap filosof
Al-Ghazali adalah orang yang pertama-tama mendalami dan yang
sanggup mengeritiknya pula, hasil peninjauan terhadap filsafat dibukukannya
dalam bukunya Maqasid al-Falasifah dan Tahafut Al-Falasifah.19Al-Ghazali
melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosoof.
Adapun yang dimaksud para filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan
ialah Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof
Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawabdalam menerima
dan menyebarluaskan pemikiran filosof dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan
Plato) di dunia Islam.20
Menurut Imam Al Gazali, mereka ini kurang teliti dalam masalah logika,
sehingga mereka keliru dalam banyak persoalan. Kesalahan para filosof
tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:21
1. Membatalkan pendapat bahwa alam ini azali
2. Membatalkan pendapat mereka alam ini kekal
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah pencipta alam
semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha
Pencipta
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil
adanya dua tuhan
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada ke
dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith
(simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat)
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjism
10. Menjeleskan kelemahan pendapat mereka tentang al-dahr (kekal dalam
arti tidak berawal dan tidak berakhir)

19
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... 143
20
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... 163
21
Ibid, 162-163

6
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui selain
mereka
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa
Allah hanya mengetahui dzat-Nya
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juziyyat
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang
bergerak dengan kemauanNya
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua
juziyyat
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil
terjadinya sesuatu di luar hukum alam
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar
(substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya
fana’(lenyap) sifat manusia
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam syurga dan
kepedihan dalam neraka hanyalah roh
Dalam 17 persoalan mereka dianggap sebagai ahlu al bid’ah, sementara
dalam 3 soal lainnya mereka dinilai kafir. Tiga persoalan tersebut adalah
anggapan bahwa
1. Alam bersifat qadim
2. Tuhan tidak mengetahui rincian sesuatu dan peristiwa
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Alasan-alasan tiga soal tersebut, beserta bantahan-bantahannya dari Al-
Ghazali, kami sebutkan dibawah ini:
1. Qadimnya Alam.
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas
alam sama dengan qadim-nya ilat atas ma’lul (sebab atas akibat), yaitu dari
segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan

7
alasan-alasan mereka, dan untuk tiap-tiap alasan, kami sebutkan pula bsntahan
Al-Ghazali.
a. Alasan pertama dan jawaban Al-Ghazali
Mustahil timbul yang baharu dari yang qodim, proposisi ini berlaku
bagi sebab akibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam
merupakan keniscayaan (pasti) dan hal ini akan menjadi kadim kedua-
duanya (Allah dan Alam). Jika diandaikan Allah yang Qadim sudah ada,
sedangkan alam belum lagi ada, karena merupakan kemungkinan semata,
dan setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasannya bahwa alam
diadakan sekarang.22
Atau kalau dikatakan, bahwa Tuhan mula-mula, tidak menghendaki
adanya, maka timbul pertanyaan, mengapa kehendak tersebut timbul dan
dimana pula timbulnya. Apakah pada zat-Nya ataukah pada selain zat-Nya
juga tidak mungkin, karena zat tuhan tidak menjadi tempat perkara yang
baru. Timbul kehendak Tuhan pada selain zat-Nya juga tidak mungkin,
karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang mempunyai kehendak,
melainkan zat lain.23
Jawaban Al-Ghazali: tidak ada apapun bagi Allah menciptakan alam
sejak azali dengan irada-Nya yang kadim, pada waktu diadakan-Nya.
Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendaki-Nya. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan ciptaan-Nya
dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya yang baru dari zat yang qadim. Alasanya, iradah Allah bersifat
mutlak dan tidak dihalangi oleh waktu atau tempat.24
b. Alasan kedua dan jawaban Al-Ghazali.
Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi, bukan
dari segi zaman. Hal ini sama seperti keterdahuluan bilangan satu dari dua
atau keterdahuluan gerak dari pada cincin. Kedua jenis ini serupa tinkatanya
dalam zaman. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya
kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya qadim dan yang lainnya

22
Ibid, 168
23
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... 145
24
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... 169

8
baharu. Andaikankan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari
segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Oleh sebab itu,
Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi
awal. Ini berarti sebelum ada zaman yang tidak terbatas akhirnya.25
Atau, yang dikehendaki dengan perkataan Tuhan lebih dari pada alam
dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum alam
dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman, dimana ‘Adam (tidak ada)
murni terdapat didalamnya, sebagai hal yang mendahuluinya.
Dengan perkataan lain, sebelum terdapat dimana alam ini wujud,
sudah ada zaman yang tidak terbatas. Dan ini adalah suatu perlawanan, jika
ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada
ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya.
Jawaban Al-Ghazali: menurutnya, memang wujud Allah lebih dahulu
dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman
diciptakan tidak ada zaman, kemudian alam diciptakan Allah. Jadi dalam
keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan
yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam, dan tidak
perlu kita membayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni zaman.26
c. Alasan ketiga dan jawaban Al-Ghazali.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya, untuk dapat dikatakan
bahwa benda itu baru. Jadi yang baru tidak bisa terlepas dari benda, dan
benda itu sendiri tidak baru. Yang baru hanyalah shurah (form), aradl (sifat-
sifat) dan cara-cara/peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.
Pikiran ini masih perlu dijelaskan. Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya,
tidak lepas dari tiga sifat: (1) mungkin wujud; (2) tidak mungkin bisa
wujud; (3) wajib wujudnya.27
Sifat yang kedua tidak mungkin terjadi, sebab alam ini telah menjadi
wujud yang nyata. Sedangkan sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan,
sebab yang wajib wujudnya, tidak akan lenyap, sedangalam ini peristiwa-
peristiwa yang terjadi di dalamnya, asalnya ada, kemudian tidak ada, dan

25
Ibid, 169
26
Ibid, 170
27
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... 147

9
sebaliknya. Akan tetapi mungkin wujud, merupakan sifat yang tidak dapat
berdiri sendiri, artinya membutuhkan perkara yang lain.
Jawaban Al-Ghazali:sifat mungkin yang disebut diatas, merupakan
pekerjaan pikiran. Sesuatu yang dikirakan oleh akal dapat wujud, dan
perkiraan ini tidak mustahil, maka sesuatu tersebut disebut perkara yang
mungkin. Kalau perkiraan itu mustahil, maka perkara tersebut dinamai
perkakara yang mustahil. Kalau tidak dapat diperkirakan tidak adanya,
maka disebut perkara yang wajib (yang mesti dan selamanya ada). Ketiga-
tiga perkara tersebut adalah pekerjaan pikiran, yang tidak memerlukan
sesuatu wujud tersendiri diluar pikiran, untuk dapat disifati denga sifat-sifat
tersebut.28
2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Perkara Kecil)
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah
hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengakui yang selain-Nya (juz’iyyat).
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu denga ilmu-
Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang
juz’iyyat, bahwa dialam ini mengalami perubahan-perubahan, jika Allah
mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu membawa perubhan kepada
zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan yang punya
ilmu (bertambah atau kurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Jawaban Al-Ghazali: menurutnya pedapat para filosof itu merupakan
kesalahan fatal. Lebih lanjut Al-ghazali menjelaskan bahwa, perubahan
yang terjadi pada objek ilmu tidak merubah ilmu. Karena ilmu merupakan
sesuatu yang berangkaian dengan zat. Kemudian Al-Ghazali
mengumpamakan dengan, bila seseorang berada disebelah kanan anda, lalu
berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah kedepan atau kebelakang,
maka yang berubah adalah dia bukan Anda. Demikian ilmu Allah.29 Ia
mengetahui dengan ilmu-Nya yang satu semenjak azali dan tidak berubah
sedikit pun, meskipun alam mengalami banyak perubahan.
Al-Ghazali menguatkan argumennya dengan ayat-ayat Al-Qur’ab,
diantaranya:
28
Ibib, 147
29
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... 173

10
a) QS Yunus; 61“....Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih
kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
b) QS Al-Hujurat; 16 “.... Allah mengetahui apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Perbedaan Al-Ghazali dengan Filosof Muslim, disebabkan perbedaan
mereka dalam menetapkan sifat denga zat Tuhan. Para Filosof Muslim
mengidentikkan anatara sifat dengan zat, dengan demikian Tuhan
mengetahui sesuatu yang (kulliyat dan juz’iyyat), dan meraka tidak pernah
mengatakan, Allah tidak mengetahui. Sedangkan Al-Ghazali memisahkan
antara sifat dengan zat Tuhan, Allah memiliki zat beserta sifatnya, bukan zat
tanpa sifat. Sifat-sifat itu Qadim dan mempunyai wujud di luar zat (qaimat
bi zatihi). Dengan pendapat Al-Ghazali diatas, para filosof Muslim tidak
membenarkan karena akan membawa berbilang yang qadim, dengan kata
lain Allah tidak lagi esa.
3. Kebangkitan Jazmani di Akhirat
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di Akhirat nanti
adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan
merasakan kebahagian atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada
gambaran dari agama berupa materi Akhirat, seperti surga dan neraka,
semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman
orang awam.30 Padahal. Di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan
oleh orang awam
Jawaban Al-Ghazali: menurut Al-ghazali, gambaran Al-Qur’an dan
hadis Nabi SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan jasmani dan rohani.
Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah
hidup di dunia untuk menikmati nikmat surgawi yang bersifat rohani
jasmani, dan juga merasakan adzab neraka yang bersifat rohani dan jasmani.
Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat jasmani dan rohani itu,

30
Ibid, 175

11
menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu
gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Itu harus dipahami secara
hakiki. Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani
saja, menurut Al-Ghazali, adalah pemahaman yang mengingkari adanya
kebangkitan jasad di hari akhir. Pemahaman demikian menurutnya,
bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi
SAW.dan karena itu dikufurkannya.31
2) Epistimologi
Secara historis, epistimologi permasalahan pertama yang muncul dari
pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika.
Apa itu dunia? Apa itu jiwa? Dan sebagai mana pertanyaan-pertanyaan
pertama yang mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba
untuk menemukan jawaban. Akan, tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban
tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta
ini mereka sampai kepada pertanyaan yang tidak lagi mengarah pada dunia
luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intlek
manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik
inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi, secara
epistimologis, adalah ilmu tentang pengetahuan. Seperti yang telah disinggung
diatas, secara epistimologi merupakan refleksi kritis tentang metafisika. Ia
merupakan ikhtiar untuk menjawab mengapa dan bagaimana jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan metafisika tersebut saling bertentangan. Disini terlihat
jelas bahwa filsafat epistimologi berorientasi pada subjek yang memikirkan
dan mengetahui. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh epistimologi adalah
bagaimana diri manusia dapat mengetahui? Pertanyaan filsafat demikian adalah
pertanyaan yang berangkat dari rasa curiga dan ragu terhadap kebenaran
pengetahuan yang ada pada manusia.32

31
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf, Dan Ajaranya, (Bandung, Pustaka
Setia, 2009), 171-172
32
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta, LKiS, 2004), 129-130

12
Al-Ghazali, merupaka sosok orang yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan, kehausan itu pada akhirnya mengantarkannya pada keinginan
yang semakin jauh, yaitu keinginan untuk mengetahui hakikat segala sesuatu.
Untuk ini semua yang pertama harus dirumuskan arti tahu.
Akhirnya, nyatalah kepadaku bahwa arti ilmu atau tahu yang
sesungguhnya ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sampai tidak ada lagi
keraguan untuk ragu-ragu; tidak mungkin salah atau keliru; tidak ada di hati
tempat untuk perasaan itu. Rasa aman dari bahaya salah atau keliru tersebut
harus diperkuat dengan suatu keyakinan sedemikian rupa sehingga andaikata
disangkal oleh seorang yang sakti, yaitu misalnya mampu mengubah tongkat
menjadi ular; hal itu tidak akan dapat menimbulkan keraguan sedikit pun
terhadap keyakinan tadi.33
Inilah yang dinamakan dengan pengetahuan yang sesungguhnya,
yaitu pengetahuan tentang sesuatu dengan sangat yakin sehingga tidak
ada keraguan dalam memeganginya. Pengetahuan seperti itu disimbolkan
Al-Ghazali dengan tingkat kepastian matematis yang tidak tergoyahkan
oleh intimidasi apa pun.34
Setelah mendefinikan makna tahu, ia kemudian memeriksa pengetahuan
yang dimilikinya selama ini yang bersumber dari indera dan akal. Ia menguji
kredibilitas pengetahuan dari kedua sumber tersebut. Yang pertama kali
diselidikinya ialah indera.
Akhirnya, tentang ini aku ragu-ragu karena hatiku berkata,
“bagaimana mungkin indera dapat dipercaya. Penglihatan mata sebagai
indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau, misalnya, melihat
bayang-bayang diam, padahal setelah lewat sesaat, ternyata ia bergerak
sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bulan nampak
kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa
bintang lebih besar dari pada bumi.” Hal-hal semacam ini disertai
dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indra menunjukkan bahwa

33
Ibid, 146
34
Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996).
75

13
hukum-hukum indrawi dapat ditumbangkan oleh akal dengan bukti-bukti
yang tidak dapat disangkal.35
Sampai sini, gugurlah keyakinan Al-Ghazali terhadap indera sebagai
instrumen yang dapat mengantarkan pada pengetahuan yang sesungguhnya
tentang hakikat segala sesuatu. Dia pun menyelidiki akal.36
Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya pengertian-pengertian
Awwali (pengertian yang bersifat aksiomatris dan asasiah), seperti
pengeertian bahwa sepuluh lebih banyak dari pada tiga.37
Akan tetapi, terhadap pengetahuan awwali ini pun ia didera keraguan
yang luar biasa. Terjadi perang batin antara keyakinan dan keraguan, ini
berdasarkan refleksi tumbangnya pengetahuan inderawi atang pengetahuan
akal, apakah pada suatu saat nanti pengetahuan akal dapat didustakan,
sebagaimana pengetahuan inderawi didustakan oleh pengetahuan akal?
Krisis ini berlangsung hampir selama dua bulan. Setelah ia sembuh danm
menemukan keseimbangannya kembali, dengan rasa aman dan yakin, ia
akhirnya dapat menerima pengertian awwali dari akal. Penerimaan ini
dikarenakan, dalam pendangannya, hal itu merupakan pengertian yang
memang telah ada.Dengan modal pengetahuan awwali ini, Al-Ghazali
meneruskan pengembaraan intlektuannya untuk mendapatkan pengetahuan
yang terang benderang tentang hakikat segala sesuatu. Ditelitinya empat
golongan pencari kebenaran yang ada saat itu: ahli ilmu kalam, golongnan
batiniah, kaum filsuf, dan golongan sufi. Ia berharap dapat menemukan apa
yang dicarinya, minimal dari salah satu keempat golongan tersebut.38
Dari ilmu kalam, filsafat, sampai pada Batiniah, ia mendapat pengetahuan-
pengetahuan yang bernilai. Akan tetapi, dari ketiganya ia belum menemukan
apa yang dicarinya, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu,
“tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak lagi ruang untuk ragu”.
Akhirnya tinggal satu jalan yang belum ia masuki, yaitu jalan sufiah. Jalan ini
tidak dapat ditempuh tetapi denga ilmu dan amal. Yang diutamakan dengan

35
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, .... 148
36
Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali, .... 126-127
37
Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, .... 149
38
Ibid, 150

14
jalan ini adalah pengalaman, bukan perkataan. Karena itulah jalan ini harus
ditempuh dengan suluk dan dzauq (perjalan batin).39
Selama kurang lebih sepuluh tahun, Al-Ghazali menempuh jalan sufisme
secara intensif. Selama itu, ia menemukan banyak pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini.
Dibukakan rahasia yang tak terhitung jumlahnya.
... apa yang selama ini dikatakan orang tentang suatu jalan yang
dimulai dengan membersihkan hati-sebagai syarat pertama,
mengosongkan sama sekali sesuatu selain Allah, dan kunci pintu laksana
takbiratul al-ihram bagi sembahyang ialah tenggelamnya hati dalam
dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali kepada Allah... Di awal
perjalanan ini, dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya
rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian secara langsung),... Dari
tingkat ini, seseorang naik ke beberapa tingkat yang meninggi jauh diatas
ukuran kata-kata... Akhirnya, sampailah kederajat yang begitu dekat
(kepada-Nya) sampai ada yang mengira hulul atau ittihad atau wusul.40
Disinilah Al-Ghazali apa yang dicarinya. Jalan sufiahlah yang dapat
mengantarkannya sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat
segala sesuatu sampai ketingkat keyakinan matematis. Betapa jauh perbedaan
orang yang mengalami mabuk, sekalipun ia belum pernah mendengarkan
penjelasan tentang mabuk.41
Semakin jelas di sini bahwa teori dzauq Al-Ghazali tidak dimaksudkan
untuk menegasikan alat-alat pengenal yang lain. Ia hanya menekankan bahwa
setiap instrumen pengenal memiliki batas kemampuan sendiri-sendiri yang
hanya cocok dalam batas-batas wilayah. Barang kali sumbangan terbesar dalam
kajian epistimologi adalah usahanya dalam memperluas wilayah pengetahuan
manusia melampaui pengetahuan inderawi dan atau logika semata-mata. 42
3) Pandangan tentang etika
Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran
tasawufnya. Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada diatas jalan
39
Ibid, 151-152
40
Ibid, 152
41
Ibid, 153
42
Ibid, 159

15
yang benar, berakhlaq yang baik dan berpengetahuan yang benar. Mengenahi
tujuan pokok etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang
terkenal, al-takhaluq bitakhaluq, bi-akhlaqillah ‘ala thaqatil basyariyah, atau
pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi-shifatirrahman ala thaqalil-
basyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang pengampunan
(pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama, dan sebagainya. Dalam ihya’ ‘ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas
rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam
mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir
saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasan yang panjang lebar
tentang salat, puasa dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali
semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan
pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan
rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip
Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa,
yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian
alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif
menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap
materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengaku bahwa kebaikan
tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan berlebihan. Bagaimana cara ber-
taqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang
langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-
muraqabah, yaknimereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni
senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan
kebahagian (lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui

16
kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah
banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan
kebahagiaan.
Akhirnya kebahagian tertinggi itu ialah mengetahui sumber dari segala
kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakannya ma’rifatullah, yaitu
mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dengan penyaksian hati, yang
sangat yakin (musyahadatul ghaib). Apabila sampai kepada penyaksian itu,
manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga
sukar dilukiskan.43

C. Riwayat Ibn Rusyd


Ibnu Rusyd, averroes, nama lengkap adalah Abu Al-Walid muhammad ibn
Ahmad ibn rusyd, lahir di kota kordoba, andalus (spayol sekarang), tahun 1126
M, dari keluarga bangsawan dan terpelajar 44, atau sekitar lima belas setelah
kematian Abu Hamid Al-Ghazali.45 Selain disebut Ibn Rusyd, ia juga sering
dipanggil dengan kun’yah Abu al-Walid. Ia berasal dari keluarga terpandang
serta mempunyai akses cukup penting kepada dunia hukum dan politik. Karena
ada kesamaan nama dengan kakeknya, yakni Muhammad ibn Ahmad, yang
juga dipanggil dengan kun’yah Abu al-Walid, maka yang dibahas ini disebut
dengan julukan al-Hafid atau Ibn Rusyd “sang cucu”, sementara kakeknya
dijuluki sebagai Ibn Rusyd al-Jadd atau “sang kakek”.46
Mengenai latar belakang pendidikannya, dapat disebut secara ringkas
bahwa sebagaimana keluarganya yang terkenal keahlian dan kedalaman ilmu
mereka dalam bidang agama, maka Ibn Rusyd pun mendapat pengajaran ilmu-
ilmu keagamaan, maka Ibn Rusyd pun mendapat pengajaran ilmu-ilmu bahasa
(Arab), fiqih, dan teologi klasik. Dari ayahnya ia belajar dengan cara
menghafal kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik. Di samping kepada ayahnya, ia
juga belajar kepada beberapa ulama seperti Abu Muhammad ibn Rizq, Abu al-
Qosim ibn Basykuwal, Abu Marwan ibn Masarrah, dan Abu Bakr ibn Sahnun.
Sementara dalam bidang kalam, madzhab Asy’ariyyah adalah yang dominan,
43
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 2010), 71-72
44
Khudori Soleh, Filsafat Islam, (jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013), . 154.
45
Aminnulla el-Hadi, Ibn Rusyd Membela Tuhan (Surabaya, LPAM, 2004 ), . 27.
46
Ibid, . 27.

17
termasuk ajaran yang dibawa melalui pengaruh Al-Ghazali. Sedangkan dalam
ilmu kedokteran ia belajar kepada Abu Marwan ibn Juraiwil al-Balansi dan
Abu Ja’far ibn Harun Tarrajjali. Sementara dalam bidang bidang filsafat tidak
diperoleh informasi kepada siapa ia belajar. Jika ada dugaan bahwa ia
mempelajari filsafat dari Ibn Bajjah atau Ibn Thufail, maka dugaan itu sangat
sulit dipastikan.47
Sebagaimana dijelaskan bahwa Ibnu Rusyd berasal dari keluarga faqih
maka jabatan pertama yang ia raih adalah hakim. Hal itu terbukti pada 565
H/1169 M, ia diangkat sebagai qadhi Seville, yang menjadi ibu kota andalusia.
Ia kembali ke cordova sepeluh tahun kemudian sebagai qadhi, seraya tetap
sering mengunjungi Seville dan Marakesh. Setelah diangkat untuk masa
jabatan kedua sebagai qaddi seville pada tahun 575 H/1179 M, ia menjadi
qadhi kepala kota cordova tiga tahun kemudian. Beberapa bulan sebelumnya,
ia menggantikan ibnu thufail sebagai dokter sang sultan dan setelah Abu Yusuf
naik tahta, saudara dari pengusaha sebelumnya, pada 580 H/1184 M, ia hidup
di dekatnya dan menjadi teman akrab. Dalam upacara-upacara kekhalifahan,
Ibnu Rusyd secara simbolis ditempatkan pada tingkat tertinggi dalam hierarki
Al-Muwahhidun.48
Dengan realistis yang dialami sebagai qadhi, dokter dan didukung oleh
berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran,
logika dan filsafat Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi.
Kehebatan dapat dilihat dari berbagai karya yang telah ditulis., meskipun
diakhir hidupnya, mendapat tuduhan besar sehingga ia dibuang dari tanah
kelahirannya.49
Tuduhan yang dilontarkan kepadanya berkenaan tentang penulisannya
dalam beberapa bukunya mengenai pengakuan bahwa dia telah melihat jerapah
didalam taman raja orang-orang barat. Dalam pembelaannya, ibnu rusyd
mengatakan bahwa ia telah menulis “raja dua negeri”. Kisah kedua
mengemukakan, dia telah menulis bahwa venus itu suci. Kisah ketiga
mengemukakan, dia menyangkal kebenaran historis mengenai orang-orang ‘Ad

47
Ibid, . 28-29.
48
Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), 226
49
Ibid, 227

18
yang disebut-sebut di dalam Al-Qur’an. Hal itu mengakibatkan Ibnu Rusyd
bukan saja dihukum buang, tetapi juga tulisannya dibakar di muka umum.
Sebuah manifesto yang menentang filsafat dan para filsuf dikeluarkan dan
disebarkan di setiap tempat di Andalusia dan Marrakusy, yang melarang studi-
studi yang dianggap membahayakan serta memerintahkan pembakaran semua
buku yang berhubungan dengan ilmu-ilmu semacam itu, tetapi aib yang
diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan Al-Mansyur,
sekembalinya dari Marakussy, mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu
Rusyd pergi ke Marrakusy, dan meninggal pada tahun 595 H/1198 M.50

D. Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-ghazali, Metafisika, dan Metode


Pembuktian Kebenaran.
1) Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-ghazali.
Sehubung dengan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap
para filosof Muslim, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib
menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan
tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Untuk
jelasnya dibawah ini kita kedepankan jawaban Ibnu Rusyd dalam tiga butir
masalah tersebut sebagai berikut:
1. Qadimnya Alam.
Menurut Al-Ghazali, - sesuai dengan keyakinan kaum teolog- alam
diciptakan Allah dari tiada (al-ijad min al’adam, creatio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak
butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini diciptakan dari ada
menjadi tiada. Sementara itu, menurut filosof muslim, alam ini qadim,
dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada. 51
Selain itu ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-Nya alam tidak harus
membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak
dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filosof muslim, alam itu dikatakan qadim,
justru karena alam itu diciptakan tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali.
Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula.
50
Ibid, 227-228
51
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... 232

19
Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim
yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.52
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa
tidak ada seseorang filosof muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya
alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah
yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari
tiada (al-adam), menurut filosof Muslim adalahh suatu yang mustahil dan
tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil kosong) tidak bisa terjadi
sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.53
Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah
menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatu
pun selain-Nya. Sementara itu, menurut pemikiran para filosof Muslim, di
kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain allah dari sesuatu
yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.54
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan
sejumlah ayat Al-Qur’an: QS Al-Anbiya’: 30, Hud: 7, Fushshilat: 11 dan
Al-Mu’minun: 12-14. Dari keterangan ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma’
(air) dan dukhan (uap).

2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Perkara Kecil)


Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah
tidak mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu
Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah faham sebab tidak ada para
filosof Muslim yang mengatakan demikian.Yang dimaksudkan para filosof
Muslim adalah pengetahuan Allah yang parsial tidak sama dengan
pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim sejak azali. Allah
mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan
manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab,

52
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, .... 232
53
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... 233
54
Ibid.

20
sedangkan manusia berbentuk akibat. Demikian juga menurut Ibnu Rusyd,
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan Juz’i (parsial) dan kully (umum).
Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi
hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kully, mencakup berbagai jenis.
Kully bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra
untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibnu Rusyd, tidak
ada para filosof Muslim yang mengatakan Ilmu Allah juz’i dan kully.55
Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
yang kecil tersebut, sebagai berikut: 56
Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan ialah
mengetahui bahwa keadaan ilmu qadim terhadap wujud,
berbedadengan keadaan ilmu qadim terhadap wujud, berbeda
dengan ilmu baru terhadap wujud, sebab adanya wujud tersebut
menjadi sebab dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu qadim
menjadi illat ada sebab bagi wujud. Jadi keragu-raguan telah dapat
dihilangkan, dan kita tidak perlu memegangipendirian bahwa
apabila pada ilmu yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya
Tuhan tidak mengetahui perkara tersebut dengan ilmu yang baru,
tetapi dengan ilmu yang qadim.
Ringkasan, dalam tulisan Harun, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa
Al-Ghazali salah paham karena kaum filsuf tidak pernah mengatakan yang
demikian. Yang dikatakan kaum filsuf, menurut Ibnu Rusyd, ialah bahwa
pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama
dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia
dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan
merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut.
Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan
bersifat qadim, yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui segala hal-hal yang
terjadi di alam. Betapa pun kecilnya.57

55
Ibid, 235-236
56
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, .... 238
57
Ibid, 239

21
3. Kebangkitan Jazmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof
Muslim, tentang kebangkitan jasmani di Akhirat tidak ada, adalah tidak
benar. Mereka tidak mengantakan demikian. Sanggahan Al-Ghazali tetang
kebangkitan rohani ketika manusia dibangkitkan nanti. Al-Ghazali
berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani, Al-
Ghazali berkata:
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim,
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia
tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan
pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spiritual dan bukan
hanya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam
menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual
karenahal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah mereka
menolak adanya pahala dan hukuman bersifat jasmani dan mereka
dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang
mereka nyatakan itu.”58
Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di
Akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenaihi bentuknya. Diantara
mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan di bangkitkan hanya rohani
dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas,
kehidupan akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai
dengan hadis: “di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata,
tidak pernah didengar telinga dan tak pernah melintas dalam fikiran”, dan
ucapan Ibnu Abbas: “tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat
keduniaan kecuali nama saja.” Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari
pada hidup di dunia.59
Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten,
saling bertentangan dangan ucapan sendiri. Dalam buku tahafut al-falasifah,
Al-Ghazali mengatakan tidak ada seorang muslim pun yang berpendapat
58
Ibid, 234
59
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... 236-237

22
bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya
mengenai tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada
nanti hanya kebangkitan rohani.60
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Al-
Ghazali dan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran
dasar Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar
tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dan filosof
Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim
dengan otak seorang Muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang
kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama islam.
Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut
Ibnu Rusyd menekankan hadis Rasulullah Saw: “siapa yang benar berijtihad
di bidangnya ia mendapat dua pahaladan siapa yang salah dalam ijtihadnya
ia mendapat satu pahala,”61
2) Metafisika62
Ibnu Rusyd telah membahas tantang wujud, sifat sifatnya dan hubungan
Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika
Ibnu Rusyd. Di samping itu Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam
dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mu’tazilah,
Batiniah, dan Hasywiah: masing-masing golongan tersebut memiliki
pandangan tersendiri tentang Tuhan. Di samping itu Ibnu Rusyd juga meninjau
pemikiran Al-Ghazali.
Tentang Ghazali, maka menurut Ibnu Rusyd, ia telah mengisi bukunya
Tahafut al-Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak
sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya
terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pemahamannya
pikiran-pikiran filosof-filosof dengan cara demikian, tidak pantas baginya,
sebab tidak terlepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami
pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar dan
ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami

60
Ibid, 237
61
Ibid
62
Sudarsono, Filsafat Islam, .... 102-104

23
benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak
dikuasainya, dan ini merupakan perbuatan orang-orang bodoh. Golongan
Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan tidak lain
adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd, untuk ini mereka tidak menempuh
jalan yang ditunjukkan oleh syara’ karena berdasarkan baharunya alam atas
tersusunnyadari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi itu adalah baru. Kalau
kita memperhatikan alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru,
dan pembuat ini membutuhkan kepada pembuat yang lain, dan begitu
seterusnya sampai tidak berkesudahan. Kalau kita memperhatikan alam ini
qadim (azali), maka pembuat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang
dibuatnya adalah qadim pula, dan dengan demikian maka perkara-perkara yang
dibuatnya adalah qadim juga.
Golongan Mutakalimin Asy’ariyah mengatakan bahwa perbuatan yang
baru adalah karena iradah (kehendak) yang qadim. Maka Ibnu Rusyd
menjawab bahwa perkataan tersebut tidak dapat diterima, karena iradah itu
bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkaya yang dibuat. Jika perkara
yang tersebut baru, karena perbuatan itu dari zat yang membuat, lain dari
perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah tersebut
menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.
Dengan demikian, maka jalan yang ditempuh oleh golongan Asy’ariyah
tentang barunya alam tidak dapat dipahami orang-orang awam, tetapi juga
tidak memuaskan bagi golongan filosof, karena jalan tersebut bersifat jadali
bukan burhani. Atau tentang dengan perkataan lain, jalan tersebut tidak teoritis
burhani, bukan pula jalan dari syara yang menyakinkan. Jalan-jalan dari syara
apabila diteliti, maka mengandung dua syarat, yaitu menyakinkan dan
bersahaja tidak tersusun, yakni tidak banyak dasar-dasar pikirannya yang
dengan sendirinya juga kesimpulannya berhaja juga.
Golongan hasywiyah berpendirian bahwa jalan mengetahui Tuhan ialah
sama’ (pendengaran, riwayat), bukan akal (pikiran). Iman bagi mereka ialah
mendengarkan apa yang dikatakan oleh syara’ tanpa mengusahakan syara’.
Mereka jelas tidak memenuhi maksud syara’ yang mengajak untuk
mempercayai wujud tuhan melalui dalil-dalil pikiran.

24
Mengenai golongan tasawuf, maka menurut Ibnu Rusyd cara penelitian
mereka bukan bersifat pikiran, yakni yang terdiri dari dasar-dasar pikiran atau
premise-premise dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan
tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah
terlepasdari hampatan-hampatan kebendaan dan ketika pikirannya tertentu
kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah
cara kebanyakan orang sebagai orang, yakni sebagai makhluk yang mempunyai
pikiran dan diserukan memakai pemikirannya. Selain itu, jalan tersebut
menyalai syara’ yang menyerukan pemakaian pikiran.
Mengenai adanya tuhan, Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa ada dua cara
untuk membuktikannya, yaitu: kedua cara ini dimulai dari manusia dan tidak
dari alam, karena manusia itu yang berfikiran. Dengan penelitian dan
penyingkapan rahasia-rahasia alam oleh akal, maka dalil al-inayah dan (quran)
memperkuat adanya Tuhan.
3) Metode Pembuktian Kebenaran.
Metode burhani ini bisa digunakan dan dijumpai dalam filsafat
paripatetikyang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan
menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode
ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.63
Teori  pengetahuan dalam perspektif burhani dikemukakan oleh Ibn
Rusyd. Sementara perspektif bayani dipresentasikan oleh para fuqaha, yang
terlembaga dalam diri Al-Ghazali. Epistemologi irfani dihadirkan oleh para
pemikir tasawuf falsafi semacam Al-Shuhrawardi. Banyak yang berkesimpulan
bahwa pemikiran Islam dan rasional pasca Ibn Rusyd terasa mati, disebabkan
pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang dan terus mengalami
kemunduran.

Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas.


Dalam istilah logika, alburhan adalah aktifitas intelektual untuk
membuktikan kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan
cara menghubungkan proposisi yang satu yang telah terbukti secara
aksiomatik. Dengan demikian, burhan merupakan aktifitas intelektual

63
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta, Gre Publising, 2011), 77

25
untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.64Menurut ulama ushul, al-burhan
adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan
yang benar dari yang salah melalui penjelasan.65Epistemologi burhan
menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah,
inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi. Jadi epistemologi burhani
adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun
akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran
berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.66
Nalar burhani berpegang pada kekuatan natural manusia yang
berupa indera dan otoritas akal dalam memperoleh pengetahuan. Dari
pengertian tersebut nalar burhani identik dengan filsafat, yang masuk
kedunia Islam dan Yunani. Namun demikian dalam konteks keilmuan
klasik, penyebutan nalar burhani hanya ditujukan pada pemikiran Aristoteles.
Dalam filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang
seringkali digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa
akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan,
walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene
Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz
(1646 –1716).67
Dalam metode burhani atau demonstratif merupakan bentuk inferensi
rasional, yaitu pengalihan premis-premis yang menghasilkan konklusi yang
bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini berasal dari filosof terkenal
yunani yakni Ariestoteles. Apa yang dimaksud Ariestoteles dengan metode
demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila
seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan.
64
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi,1991), . 46
65
Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif (Cet. I ; Bairut: Dar al-
Fikr al-Mu’asir, 1410 H.), . 123
66
Hujair AH Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam,www.sanaky.staff.uii.ac.id, (05 Pebruari
2009).
67
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), . 136.

26
Menurut Ariestoteles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang
dengan silogisme tersebut, dapat menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan
sebelumnya. dengan kata lain, pengetahuan ini diperoleh sebagai bentuk
kesimpulan dari berbagai premis, terlepas apakah pengetahuan tersebut benar
atau salah, ataukah pengetahuan tersebut sesuai dengan realitas atau tidak.68
Dengan demikian, dalam silogisme harus terpenuhi tiga hal, yaitu
pertama, silogisme harus memiliki dua premis, dan premis kedua
merupakan bagian dan tidak mungkin keluar dari cakupan premis pertama,
serta konklusinya tidak mungkin melebihi cakupan yang ada pada premis
pertama tersebut. Kedua, silogisme terbentuk dari dua premis yang
mengandung tiga term, yaitu term tengah yang ada kedua premis, term
mayor yang ada pada premis mayor, dan term minor yang ada pada
premis minor. Ketiga, silogisme pasti mengandung term tengah yang ada
pada kedua premis, yang fungsinya menjadi sebab yang melegitimasi
predikat dapat bersandar pada subyeknya dalam konklusi. Dari sini
Aristoteles berkata bahwa ilmu adalah upaya menemukan sebab.69
Tidak semua silogisme dapat dengan burhani atau demonstratif.
Sebuah silogisme baru baru dikatakan dikatakan demonstratif apabila premis-
premisnya didasar bukan dari opini, melaikan berdasarkan pada kebenaran
yang telah dijuji atau didasarkan kepada kebenaran utama, karena hanya
premis-premisnya benar, kesimpulanya pasti benar. Namun sebaliknya, jika
premis-premisnya tidak didasarkan kepada kebenaran yang telah teruji, maka
kesimpulannya pun akan meragukan, bahkan sangat mungkin salah.70
Silogisme dapat menjadi ilmu burhani apabila berupa silogisme
atau analogi ilmiah, yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama,
mengetahui term tengah yang menjadi ‘illah atau sebab adanya konklusi.
Kedua, hubungan yang konsisten antara sebab dan akibat (antara term
tengah dan konklusi), dan ketiga, konklusi harus bersifat pasti, sehingga
sesuatu yang lain tidak tercakup dalam konklusi tersebut. Untuk

68
Muhammad Abid Al-Jabiri, Tragedi Intlektual, Terj, Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka
Alief, 2003), 247
69
Muhammad Agus Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal),
Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003), 225
70
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, .... 76

27
memenuhi syarat ketiga ini menurut Aristoteles premis-premis yang
dikemukakan dalam silogisme tersebut harus merupakan aksioma-aksioma
yang kebenarannya tidak bisa dibantah dan tidak memerlukan pembuktian
lagi. Aksioma-aksioma ini biasanya mengandung prinsip-prinsip antara
lain “sesuatu yang bertentangan tidak mungkin untuk disatukan”, tidak
ada jalan tengah bagi dua hal yang bertentangan, dan tidak ada suatu
peristiwa kecuali mempunyai sebab.71

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Riwayat Al-Ghazali
Al-Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masykad,
Khurasan, tahun 450 H/1058 M. Kemudian wafat pada tanggal 14
jumadil Akhir 505 H, bertepatan pada tanggal 18 Desember 1111 M.
Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran
berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-Firdausy.
71
Ibid.

28
2. Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof, Epistimologi dan Moral
a. Kritik Al-Ghazali
a. Dalam hal qadimnya alam Al-Ghazali menyanggah dengan tiga
alasan, yaitu: “tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan
alam sejak azali dengan iradah-Nya yang kadim pada waktu
diadaka-Nya”, “sementara ketidak adaan sebelumnya memang
belum di kehendaki”, “wujud Allah mendahului alam dan zaman,
menurut Al-ghazali tentang kemungkinan, alam ini senantiasa
mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat terjadi”.
b. Kritik Al-Ghazali menyinggung pengetahuan tuhan terhadap hal
juz’iyyat, bahwa: perubahan yang terjadi pada objek ilmu tidak
merubah ilmu. Karena ilmu merupakan sesuatu yang berangkaian
dengan zat. Dengan kata lain antara zat dengan sifatnya terpisah.
c. Sedangkan tanggapan Al-Ghazali terhadap kebangkitan jazmani,
bahwa: kebangkitan di akhirat nanti adalah jasmani.
b. Epistimologi Al-Ghazali.
Pengetahuan yang diperoleh Al-Ghazali dalam mencetuskan
berbagai ide dan gafasanya kedalam berbagai karyanya melalui
beberapa ijtihad dengan beberapa pendekatan, diantaranya adalah
pengetahuan yang terindra, pengetahuan secara rasional (awwali), dan
dzauq.
c. Pandangan Al-Ghazali terhadap Moral.
Secara masyhur Al-ghazali merupakan tokoh monumental
yang dikenal dengan sebutan hujjatul islam ditandai oleh terbitnya
ihya’ ulumudin. Mengenahi tujuan pokok etika Al-Ghazali, agar
manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, penyayang pengampunan (pemaaf), dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama, dan sebagainya.
3. Riwayat Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd, averroes, nama lengkap adalah Abu Al-Walid muhammad
ibn Ahmad ibn rusyd, lahir di kota kordoba, andalus (spayol sekarang),

29
tahun 1126 M. Kemudian, Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan
meninggal pada tahun 595 H/1198 M.
4. Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali, Metafisika dan Metode
Pembuktian Kebenaran.
 Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali
a. Qadimya Alam
Alam diciptakan Tuhan bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang
telah ada, hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an (QS. 11:7, 41:11,
21:30). Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya
alam tidaklah harus membawa pengertian bahwa alam itu ada
dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh Tuhan.
b. Pengetahuan Tuhan
Pengetahuan tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz’i itu tidaklah
seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena
pengetahuan manusia mengambil bentuk efek, sedangkan
pengetahuan Tuhan merupakan sebab, sebab bagi munculnya
berbagai hal-hal yang bersifat juz’i.
c. Kebangkitan jasmani
Menurut Ibnu Rusyd, tidaklah ada ijma’ ulama tentang kebangkitan
jasmani pada hari kiamant, dan karena itu, paham yang menyatakan
kebangkitan di akhirat hanya rohani saja, tidak dapat dikafirkan
dengan alasan ada ijma’
 Tinjauan Metafisika
Ibnu Rusyd telah membahas tentang wujud, sifat-sifatnya dan
hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok
pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu Ibnu Rusyd
meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan. Golongan
tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mu’tazilah, Batiniah, dan Hasywiah:
masing-masing golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri
tentang Tuhan. Di samping itu Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran
Al-Ghazali.
 Metode Pembuktian Kebenaran

30
Metode yang diterapkan oleh Ibnu Rusyd dalam
mempertimbangkan teori dan merumuskan masalah, yakni dengan
metode burhani atau demonstratif. metode demonstratif ini adalah
silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila seseorang memilikinya,
maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan. Menurut
Ariestoteles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang
dengan silogisme tersebut, dapat menyimpulkan pengetahuan-
pengetahuan sebelumnya. dengan kata lain, pengetahuan ini diperoleh
sebagai bentuk kesimpulan dari berbagai premis, terlepas apakah
pengetahuan tersebut benar atau salah, ataukah pengetahuan tersebut
sesuai dengan realitas atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhammad Abed. Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-


Tsaqafi al- Arabi,1991).
Al-Jabiri, Muhammad Abid. Tragedi Intlektual, Terj, Afandi Abdillah
(Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003).
Al-Manawi, Muhammad ‘Abd Rauf, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif (Cet. I ;
Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H.).
Anwar, Saepul. Filsafat Ilmu: Al-Ghazali Dimensi Ontologi Dan Aksiologi,
(Bandung, Pustaka Setia, 2007)
el-Hadi, Aminnulla, Ibn Rusyd Membela Tuhan, (Surabaya: LPAM, 2004 ).

31
Hamdi, Ahmad Zainal. Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2004).
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
Iqbal, Muhammad. Ibnu Rusyd Dan Averoisme: Sebuah Pemberontakan
Terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2004),
Jahja, Zurkani. Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996).
Maarif, A. Syafi’i. Peta Bumi Intlektualisme Islam Indonesia, (Bandung: Mizan,
1994)
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Gre Publising, 2011).
Najib, Muhammad Agus. Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah
Penelusuran Awal), Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,
Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003).
Saifullah, Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1989).
Sanaky, Hujair AH, Dinamika Pemikiran dalam Islam,www.sanaky.staff.uii.ac.id,
(05 Pebruari 2009).
Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari klasik hingga kontemporer, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013).
Soleh, Khudori. Filsafat Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013).
Sudarsono. Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf, Dan Ajaranya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014).

32

Anda mungkin juga menyukai