Anda di halaman 1dari 12

1

TAHAFUT AL-TAHAFUT KARYA IBNU RUSYD SEBUAH ANTI THESIS


DARI TAHAFUT AL-FALASIFAH KARYA AL-GHAZALI
(Analisa Pemikiran Ibnu Rusyd dan al-Ghazali terhadap Filosof)
Muhammad Azmi Muchtar
11200340000058
Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir
Fakultas Ushluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: azmi.muchtar20@mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak
Dalam jurnal ini penulis membahas mengenai perdebatan dan perdebatan dua pemikir
besar dalam sejajar filsafat Islam, yakni al-Ghazali dengan gelarnya Hujjatul Islam dan
Ibnu Rusyd yang dijuluki The Great Comentator. Perdebatan kompleks ini berawal dari
ketidak relevanan pemahaman dan pemikiran para filosof muslim terutama Ibnu Sina dan
al-Farabi dengan pemikiran al-Ghazali. Al-Ghazali pun menuangkan pemikirannya
mengenai kerancuan pemikiran para filosof dalam Tahafut al-Falasifah, bahkan ia
menganggap para filosof kafir atas pemikiran mereka. Kritik al-Ghazali ini didasari pada
tiga hal, yakni mengenai qadim-nya alam semesta, ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal
yang partikular, dan kebangkitan manusia setelah kematian. Ibnu Rusyd yang berada
dipihak para filosof, mencoba untuk meluruskan pemikiran al-Ghazali dan membela para
filosof dan menuangkan pemikirannya dalam Tahafut al-Tahafut. Ibnu Rusyd menjawab
al-Ghazali dengan argumen-argumen di antaranya; mengenai ke-qadim-an alam semesta,
bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari materi yang sudah ada disampingnya; lalu
mengenai ketidaktahuan Tuhan terhadap hal yang partikular, bahwa pengetahuan Tuhan
tidak bersifat universal ataupun partikular sebagaimana pengetahuan manusia; dan
mengenai kebangkitan ruhani manusia tanpa jasmani, Ibnu Rusyd menjawab pernyataan
tersebut dengan analogi tidur.
Kata Kunci
Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Tahafut al-Falasifah, Tahafut al-Tahafut

I. Pendahuluan
Perdebatan mengenai filsafat Islam selalu menjadi pembahasan yang menarik
hingga sekarang. Filsafat Islam sendiri tentu tak dapat dipisahkan dengan filsafat Yunani,
yang mana menjadi tempat kelahiran keilmuan Filsafat itu sendiri. Secara etimologis,
kata filsafat berakar dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang terdiri dari philo dan
sophia. Philo sendiri berarti cinta. Dalam arti yang lebih luas, kata tersebut memiliki arti
ingin dan berusaha mencapai apa yang diinginkannya. Sedangkan sophia sendiri berarti
kebijaksanaan. Maka dapat diartikan bahwa filsafat adalah sebuah keinginan yang
2

mendalam untuk menjadi bijak. Filsafat merupakan sebuah keilmuan yang selalu mencari
sebab dari segala sesuatu yang didasari atas akal pikiran manusia itu sendiri. Dalam
pengertian lain, filsafat adalah sebuah pengetahuan yang berusaha menyelidiki secara
mendalam hakikat mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta. Berdasarkan pengertian
tersebut, filsafat dapat menghasilkan sebuah pengetahuan mengenai hakikat segala
sesuatu sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia setelah
mengetahui hakikat pengetahuan tersebut.1
Para filosof muslim seperti al-Kindi (806-873 M), al-Farabi (870-950 M) Ibnu
Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1058-1111 M), Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dan filosof-
filosof muslim lainnya tentunya tak bisa dipisahkan dari pemikiran para filosof Yunani
seperti Aristoteles, Alexander Agung, Plato dan banyak filosof Yunani lainnya. Tentunya
para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah pemikiran dari Yunani, tapi juga
memodifikasi pemikiran tersebut dan menarik benang merah yang dapat diambil dengan
dasar-dasar ajara agama Islam.
Diantara banyaknya perdebatan menganai filsafat yang rumit dan radikal, terdapat
suatu hal yang sangat menarik dan menjadi perhatian dari kalangan akademisi dan
pemikir filsafat islam. Tak lain adalah perdebatan argumentasi antara al-Ghazali dan Ibnu
Rusyd yang sampai sekarang masih menjadi topik yang menrik untuk dikaji mendalam.
Perdebatan argumen yang paling mencolok adalah mengenai problem ketuhanan dan
alam semesta. Keduanya baik al-Ghazali maupun Ibnu Rusyd berbeda pandangan dalam
interpretasi al-Qur’an secara filosofis. Menariknya, meskipun keduanya merupakan
seorang muslim, tetapi perbedaan argumentasi di antara keduanya mengundang
kontroversi yang sangat mendasar, baik bagi kalangan muslim maupun bagi kalangan
non-muslim.2
Meskipun Islam sudah eksis dan dikenal oleh dunia sejak awal abad ke VII
masehi, namun filsafat di kalangan kaum muslimin baru mulai dikenal pada awal abad ke
VIII masehi. Hal ini dikarenakan di masa-masa awal perkembangan islam tidak dikenal
paham-paham selain dari al-Qur’an maupun Sunnah. Perkembangan filsafat mulai
berkembang dengan baik di kalangan kaum muslimin pada abad ke IX hingga abad ke

1
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung, Penerbit Yrama Widya, 2016), hal 1
2
Armin Tedy, “Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali” El-Afkar Vol. 5 Nomor 1 Januari-
Juni (2016), hal 11
3

XII. Eksistensi filsafat ini sendiri di kalangan kaum muslimin menjadi titik kegemilangan
dunia Islam, yaitu pada masa Daulah Abasiyyah di Baghdad (750-1258 M) dan Daulah
Amawiyah di Spanyol (755-1492 M).3
Pada masa dinasti Abasiyyah didirikan ”Bayt al-Hikmah” sebuah rumah
kebjaksanaan yang digunakan sebagai pusat pengkajian dan penerjemahan buku-buku
berbahasa asing. “Bayt al-Hikmah” menjadi bukti keterbukaan Islam dalam merespon
berbagai ilmu pengetahuan dari luar dunia Islam termasuk karya-karya filosof seperti,
ilmu kedokteran bahkan pengetahuan-pengetahuan dari peradaban India, Persia dan
Yunani.4
Nizam al-Mulk adalah seorang wazir yang dari dinasti Abasiyyah yang terkenal
akan kepeduliannya terhadap pendidikan, dibuktikan dengan pendirian Madrasah
Nizamiyah untuk mendidik calon intelektual islam. Madrasah Nizamiyah menjadi tempat
pencetak cendekiawan muslim seperti al-Ghazali yang merupakan tokoh terkemuka
dalam dunia Islam. Al-Ghazali semakin dikenal dalam dunia Islam setelah menulis
sebuah karya yang kontroversi berjudul “Tahafut al-Falasifah” yang berarti kerancuan
para filosof yang isinya meliputi tigal hal mendasar yakni mengenai qadimnya alam
semesta, pengetahuan Tuhan yang hanya meliputi hal yang universal dan tidak partikular
serta perkara mengenai pembangkitan jasad di hari kemudian.5
Kritik terhadap pemikiran al-Ghazali dalam karyanya “Tahafut al-Falasifah”
baru muncul pasca meninggalnya al-Ghazali. Hal ini membuktikan betapa lambat dan
kurang produktif kalangan pemikir muslim dalam mengkritik sebuah pemikiran. Kritik
yang paling terkenal dalam merespon “Tahafut al-Falasifah” muncul dari kalangan
muslim di Barat, yaitu seorang intelektual Islam bernama Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd
terlahir dan tumbuh berkembang di Andalusia (Spanyol) yang sejak dini sudah tidak
asing dengan perbedaan-perbedaan, sehinggan tumbuh dalam menghargai berbagai
perbedaan. Ibnu Rusyd menulis sebuah karya bernama “Tahafut al-Tahafut” yang berarti
kerancuan dari kitab “Tahafut al-Falasifah”. Namun, kritik Ibnu Rusyd tidak sejalan
dengan penerimaan umat Islam terhadap karya Ibnu Rusyd tersebut. Bahkan pemikiran
al-Ghazali semakin melekat pengaruhnya di kalangan umat Islam. Seakan umat Islam
3
Moh. Hasan, “Filsafat Islam dalam tinjauan historis” (2019), hal 3
4
Akilah Mahmud, “Jejak pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam perkembangan Teologi Islam” Sulesana
Volume 13 Nomor 2 (2019), hal 184
5
Ibid, hal 184
4

semakin larut dalam pengaruh “Tahafut al-Falasifah” tanpa melirik atau


membandingkannya dengan ”Tahafut al-Tahafut” yang diciptakan sebagai sanggahan
terhadap pemikiran al-Ghazali tersebut.6
II. Al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam dan Ibnu Rusyd sebagai The Great
Comentator
1. Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal
dengan al-Ghazali lahir di sebuah desa pinggiran kota Thus yaitu desa Ghazalah pada
tahun 450 H/1058 M. Pendidikan pertama yang diperoleh oleh al-Ghazali adalah dari
lingkungan keluarganya sendiri. Sang ayah selalu menanamkan nilai-nilai keagamaan
kepada al-Ghazali. Setelah memperoleh pendidikan dari keluarganya, pada umur 7 tahun
al-Ghazali melanjutkan pendidikan ke madrasah Thus untuk mempelajari fiqh, riwayat
para ulama dan kehidupan spritual mereka, mempelajari syair-syair mahabbah kepada
Allah, tafsir al-Qur’an dan Sunnah. Guru fiqhnya di madrasah tersebut adalah Ahmad al-
Razikani seorang sufi besar.
Pada usia al-Ghazali yang ke 15, ia pergi ke Mazardaran, Jurjan untuk
meneruskan pembelajarannya dalam bidang fiqh di bawah pengajaran Abu Nasr al-
Isma’ily selama tahun. Lalu setelah menamatkan pembelajarannya di Jurjan pada usia 20
tahun, al-Ghazali meneruskan pendidikannya ke madrasah Nizamiyah Nizabur, ia
berguru kepada seorang ulama Syafi’iyyah beraliran Asy’ariyyah bernama Yusuf al-
Nassaj yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain atau al-Juwayni al-Haramain
hingga berusia 28 tahun. Al-Ghazali mempelajari Teologi, hukum dan filsafat selama di
madrasah Nizamiyah Nizabur.
Ia dikenalkan kepada Nizam al-Mulk, seorang Perdana Menteri di kerajaan
Abasiyyah oleh gurunya al-Juwayni. Nizam adalah pendiri Madarasah Nizamiyah. Al-
Ghazali dalam beberapa kesempatan diberi kehormatan untuk berdiskusi dan berdebat
dengan para ulama dalam berbagai bidang keilmuan. Berkat kecerdasan dan bakat al-
Ghazali dalam bidang keilmuan, nama al-Ghazali cepat dikenal luas oleh kalangan ulama
dan cedekiawan saat itu. Maka dengan bekal kecerdasan dan kedalaman ilmu yang
dimiliki al-Ghazali, ia diangkat sebagai Guru Besar di Universitas Nizamiyah.
6
Ibid, hal 186
5

Pengangkatannya sebagai Guru Besar di Universitas Nizamiyah itu menjadi awal al-
Ghazali menjadi cedekiawan muslim yang terkenal di Irak.
Selama mengajar di madrasah tersebut, al-Ghazali secara otodidak mendalami
filsafat, baik filsafat Yunani maupun filsafat Islam. Al-Ghazali mendalami pemikiran
para filosof muslim terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, bahkan mengkritik beberapa
pemikiran mereka terkait qadimnya alam semesta, pengetahuan Tuhan yang dianggap
hanya bersifat universal tidak partikular dan mengenai pembangkitan jasad manusia di
hari kebangkitan kelak. Secara khusus bahkan al-Ghazali menuliskan sebuah karya untuk
mengkritisi pemikiran mereka dengan karya berjudul “Tahafut al-Falasifah”.
Al-Ghazali di dunia Islam dikenal dengan sebutan “Hujjatul Islam” (The Proof of
Islam) yang memadukan tiga pemikiran yang kompleks yaitu rasionalitas dalam Islam,
konsep pemikiran filsafat dan fiqih serta praktek mistik atau tasawuf.7
2. Ibnu Rusyd
Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd atau yang
lebih dikenal dengan Ibnu Rusyd atau lebih dikenal sebagai Averrous di dunia Barat lahir
pada tahun 520 H di Cordova, Spanyol.8 Dia ada seorang filsuf dan pemikir islam dari al-
Andalus yang banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu di antaranya, filsafat, akidah
atau teologi islam, kedokteran, fisika, astronomi, fiqh, linguistik dan hukum islam.9
Sejak kecil, ia telah mempelajari al-Qur’an serta ilmu-ilmu keislaman di
antaranya, tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Ibnu Rusyd sejak kecil sudah haus akan
ilmu pengetahuan, bahkan ia sudah mempelajari, menghafalkan bahkan merevisi buku
Malikiyyah “al-Muwatta” bersama ayahnya, Abu al-Qasim. Ia juga melahap berbagai
bidang keilmuan umum seperti, ilmu matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan
kedokteran.
Pada tahun 548 M, atas arahan dan permintaan gurunya, Ibnu Thufail (w. 581 H),
Ibnu Rusyd pergi ke Marrakesh, Maroko untuk bertemu dengan khalifah Abu Ya’qub
Yusuf. Pada pertemuan pertamanya dengan khalifah tersebut, Ibnu Rusyd banyak
berdialog mengenai latar belakangnya. Mereka juga berdialog tanya-jawab terkait
berbagai persolana filsafat. Pertemuan pertamanya dengan sang khalifah pun membawa

7
Ibid, hal 189-190
8
Sulaiman, op cit, hal 105
9
Hasan, op cit, hal 8
6

berkah bagi Ibnu Rusyd, Ia diperintahkan untuk menerjemahkan dan menafsirkan karya-
karya Aristoteles oleh khalifah. Ibnu Rusyd juga diangkat menjadi qadhi di Sevilla.
Setelah pengabdiannya selama dua tahun, Ibnu Rusyd diangkat menjadi hakim agung di
Cordova. Kemudian pada tahun tahun 1182 M, ia diangkat menjadi dokter pribadi
khalifah menggantikan gurunya, Ibnu Thufail.10
Ibnu Rusyd juga sangat tertarik kepada para filosof Yunani, terutama Aristoteles.
Ia adalah pendukung ajaran filsafat Aristoteles (Aristotelianisme). Ibnu Rusyd tidak
sependapat dengan beberapa filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina
dalam memahami pemikiran Aristoteles. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah
tercampur aduk dengan pemikiran platonisme yang dibawa oleh pengikut komentator-
komentator Alexandria. Ibnu Rusyd berusaha mengembalikan dan memurnikan filsafat
islam ke ajaran Aristoteles yang murni atas saran dan arahan gurunya, Ibnu Thufail yang
memintanya menerjemahkan pemikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun di
bawah pimpinan khalifah Abu Ya’qub Yusuf pada tahun 557-559 H.11
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa berfilsafat dalam ajaran agama Islam hukumnya
mubah atau boleh, bahkan bagi kalangan tertentu dan kondisi tertentu dapat menjadi
wajib. Ia juga berpendapat bahwa teks al-Qur’an dan Hadis dapat diinterpretasikan secara
tersirat atau kiasan jika teks tersebut terlihat bertentangan dengan kesimpulan yang
ditemukan melalui akan dan filsafat.
Ibnu Rusyd merupakan sosok pemikir muslim yang secara kompleks memaparkan
pemikiran Aristoteles sehingga di kalangan pemikir Barat Ibnu Rusyd digelari sebagai
”The Great Comentator”.12
III. Tahafut al-Tahafut sebuah karya untuk meng-counter Tahafut al-
Falasifah
Al-Ghazali adalah seorang filosof muslim, namun dalam menulis karyanya
“Tahafut al-Falasifah”, ia memposisikan diri bukan sebagai filsosof, tapi sebagai
seorang tokoh Islam yang inging mengkritisi pemikiran-pemikiran filsafat serta

10
Sulaiman, op cit, hal 106
11
Hasan, op cit, hal 8
12
Mahmud, op cit, hal 192
7

menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kejanggalan-kejanggalannya yang dianggap


bertentangan dengan agama.13
Al-Ghazali, setelah melakukan pengembaraan keilmuan yang begitu panjang,
membagi para filosof ke dalam tiga kelompok yang masing-masing corak pemikiran
berbeda. Tetapi, ketiganya tidak terlepas dari tanda-tanda kekufuran yang dinisbatkan
oleh al-Ghazali.
Pertama, filosof Materialis (al-Dhariyyun), mereka adalah Atheis yang
menyangkal adanya Allah serta merumuskan kekekalan alam semesta dan terciptanya
alam ini dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Kedua, filosof Naturalis atau
Deitis (Thabi’iyyun), mereka adalah yang melakukan riset terhadapa alam semesta,
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dengan bukti-bukti dari riset yang mereka lakukan,
mereka mendapati begitu banyak keajaiban-keajaiban yang menjadikan mereka mengakui
adanya satu pencipta yang maha bijaksana. Namun, mereka tetap menyangkal adanya
hari kebangkitan kembali serta kehidupan setelah kematian dan mengingkari adanya
surga dan neraka. Ketiga, filosof Teis (al-Ilahiyyun), mereka adalah filosof Yunani
seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles. Mereka secara efektif membuktikan kesalahan-
kesalahan oleh para kaum filosof Meterialis dan Naturalis, sehingga pihak –pihak lain
tidak berkesempatan untuk melakukan yang serupa. Aristoteles secara gamblang
menyanggah filosof-filosof sebelumnya. Meskipun demikian, Aristoteles tidak dapat
membebaskan diri dari klaim kekufuran oleh al-Ghazali. Termasuk dalam kelompok ini
al-Farabi dan Ibnu Sina.14
Itulah sebabnya dalam Tahafut al-Falasifah-nya dengan penuh kesungguhan
melakukan sanggahan-sanggahan terhadap teori-teori mereka untuk mempertahankan
sendi-sendi pokok agama. Khususnya mengenai wujud dan keesaan Allah dan
kebangkitan ukhrawi, yang menurutnya dipahami secara salah. Sanggahan-sanggahan
tersebut dikemas dalam dua puluh masalah. Tiga diantaranya, oleh al-Ghazali
dikategorikan sebagai “kufur” dan tidak satu pun aliran pemikiran kaum muslimin
meyakininya, yaitu : 1) Tentang keqadiman alam, 2) Tuhan tidak mengetahui juz’iyah
dan 3) tidak adanya kebangkitan jasmani.15

13
Sulaiman, op cit, hal 73
14
Muliati, “Al-Ghazali dan kritiknya terhadap filosof” Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2 (2016), hal 80-81
15
Ibid, hal 81
8

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela


para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia
menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-
Ghazali dan Ibn Rusyd 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat
yaitu:16
Pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan
atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat
dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masanya.
Namun menurut al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti
tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari
tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah
diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang
memunculkan bentuk kekafiran.
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak
ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan
qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi
ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim
adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa
terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.17
Kedua, tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui
tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu,
tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat universal, tidak dapat dibenarkan. Menurut al-
Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang
terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan,
sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan
tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat
16
Tedy, op cit, hal 15
17
Ibid, hal 16
9

apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil
tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh al-
Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf
tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan
manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara al-Ghazali
dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan
panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan
tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan
rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.18
Ketiga, yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang
terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka
menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang
telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup
kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain.
Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula,
maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak
sempurna.
Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan
bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia
merupakan substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan: “…adalah
bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan
bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman
itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka
itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah

18
Ibid, hal 17
10

dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”
Dalam membantah gugatan al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk
menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa
tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup
bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya, yaitu “… perbandingan
antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu
hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara
membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan
jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama
dengan keadaannya ketika tidur. Dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh
orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup
daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun diterangkan secara gamblang di
firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali
kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.”
Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan al-
Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang
dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd
terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali
terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi.19
IV. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan di atas, dapat disimpulkan mengenai
kritik Ibnu Rusyd terhadap pemikiran al-Ghazali mengenai filosof, secara garis besar
yaitu:

Pertama, Pemikiran dan kritik al-Ghazali terhadap para filosof terutama Ibnu
Sina dan al-Farabi dalam Tahafut al-Falasifah dan bahkan berakhir pada kekafiran para
filosof didasari pada tiga hal, yaitu; pertama, adanya keyakinan para filosof bahwa alam
semesta bersifat qadim dan tanpa permulaan; kedua, keyakinan bahwa Allah hanya

19
Ibid, 18-19
11

mengetahui hal-hal yang bersifat universal dan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat
partikular; ketiga, dan pemahaman para filosof mengenai kebangkitan serta kehidupan
manusia setelah kematian yang dianggap menyesatkan umat oleh al-Ghazali.

Kedua, Bentuk respon dan kritik Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Falasifah terhadap
al-Ghazali, yaitu; pertama, mengenai ke-qadim-an alam semesta adalah bahwa Tuhan
menciptakan alam semesta dari suatu zat atau materi yang sudah ada disamping
keberadaan Tuhan. Dari sesuatu yang sudah ada itulah Tuhan menciptakan alam semesta;
kedua, bahwa Allah tidak mengetahui hal-hal yang partikular. Ibnu Rusyd menjawab
bahwa pengetahuan Tuhan tidak bersifat universal ataupun partikular sebagaimana
pengetahuan manusia, karena pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan
pengetahuan manusia; ketiga, mengenai kebangkitan dan kehidupan manusia setelah
kematian bahwa yang akan dibangkitkan hanyalah rohani saja tanpa jasmani yang
dianggap oleh al-Ghazali menyesatkan umat. Ibnu Rusyd menganalogikan hal tersebut
dengan analogi tidur, bahwa ketika tidur rohani seseorang akan tetap bekerja sedangkan
jasmaninya, baik organ organ tubuhnya tidak bekerja.

Dalam rangka membela para filosof inilah, Ibnu Rusyd menuangkan


pemikirannya ke dalam Tahafut al-Tahafut untuk meluruskan pemahaman al-Ghazali
terhadap para filosof dengan tujuan agar filsafat dapat tetap diterima dan digunakan oleh
umat muslim dalam memecahkan berbagai permasalahan agama.

Referensi

Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung, Penerbit Yrama Widya, 2016), hal 1,
73, 105, 106.
Armin Tedy, “Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali” El-Afkar
Vol. 5 Nomor 1 Januari-Juni (2016), hal 11, 15, 16, 17, 18-19.
Moh. Hasan, “Filsafat Islam dalam tinjauan historis” (2019), hal 3, 8.
Akilah Mahmud, “Jejak pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam perkembangan
Teologi Islam” Sulesana Volume 13 Nomor 2 (2019), hal 184, 186, 189-190, 192.
Muliati, “Al-Ghazali dan kritiknya terhadap filosof” Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2
(2016), hal 80-81.
12

Jamhari, “Al-Ghazali dan Oposisinya terhadap filsafat” Dosen tetap Fakultas


Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang.
Wildan Jauhari, Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (Jakarta, Rumah Fiqih Publishing,
2018) Cet. 1.
Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Achmad Maimun, Kerancuan Filsafat
(Yogyakarta, Forum, 2015) Cet. 1.
Ibnu Ruysd, Tahafut al-Tahafut, terj. Khalifurahman Fath, Sanggahan terhadap Tahafut
al-Falasifah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2004) Cet. 1.
Achmad Gholib, Filsafat Islam (Jakarta, Faza Media, 2009) Cet. 1.

Anda mungkin juga menyukai