8
Al-Ghazali , Ihya Ulum ad-Din, alih bahasa Ismail Ya’kub (Jakarta : Faizan, 1983), h. 25.
9
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 218.
10
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2012), h. 316.
4. Asasul Qiyas. al-Ghazali menyebutnya dalam al-musthashfa, juz I/38, juz II/238 dan juz
III/325, terbitan Mesir tahun 1324 H/1907 M. Tentang kitab ini, juga disebutkan oleh
Muhammad Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-Thabaqatul Aliyah
5. Asraru Mu’amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra,
juz IV, hlm. 116, disebut pula oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam At-Thabaqatul Aliyah Fi
Manaqibi as-Syafi’iyyah, lalu al-Ghazali juga menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm.
32, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 68.
6. Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di kairo, 1328 H. Tahun 1343 tercantum dalam
risalah-risalah al-Ghazali yang berjudul al-Jawahirul Ghawali Min Rasaili Hujjatil Islam al-
Ghazaly. Di istanbul juga terbit pada tahun 1305 H, dan di qazan tahun 1905 M, dengan terjemah
bahasa Turki , oleh Muhammad Rosyid. Diterjemahkan pula ke bahasa Jerman oleh Hammer Y,
di Wina tahun 1837 M. Lantas Taufiq Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis
dalam publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul Traite Disciple.
7. Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya, termasuk diantaranya terbitan Bulaq
tahun 1287 H, Kairo, 1277 H dan 1303 H. Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan
Muhammad an-Nawawi al-Jawy al-Bantany, terbit di Kairo tahun 1306, 1326 H, terbit di
Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul Qur’an menerbitkannya tahun 1985 M, editor
Muhammad Usma al-Khasyat. Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.
8. Tafsirul Qur’anil Adzim. Disebut oleh Az-Zubaidy dalam Ithafu Saadatil Muttaqin, I/34, dan
Abdurrahman Badawi, hlm. 53.
9. Tahafutul al- Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302 H, 1320 H, 1321 H dan tahun 1955
M, di Boombay diterbitkan tahun 1304 H. diterjemahkan ke bahsa Latin oleh C. Calonymus, dan
pertemuan tahun 527 M, dengan judul Destretio Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua
kali oleh al-Bunduqiya tahun 1527 M dan tahun 1562 M, terjemahan tersebut ditranskip dari
terjemahan bahasa Yahudi. Sementara terjemahan ke bahasa Latin oleh Augustinonivo, dan ia
memberikan penjelasan atas naskah tersebut, pada tahun 1497. Kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Prancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah “Muzion” yang terbit di Loupan
tahun 1899.
10. Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa tahun, dan diterbitkan oleh
Hijr di Lucknow tahun 1279 H, dan di Bombay tahum 1883 M. Teks Persia diterjemahkan ke
bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany. Wafat tahun 1591 M, dan belum sempat dicetak. Ada pula
manuskripnya di Aya Sofia, No. 1719, 1720. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris
oleh H.A Homes, Dengan judul The Alchemy Of Happiness, oleh Muhammed al-Chazalli, sang
mohammaden Philoshope-Albany, New York, 1873. Sedangkan teks Arab, disebutkan oleh az-
Zubaidy dalam al-Ithaf, 1/42, di mana ia menemukan di sebelah teks Persia berukuran besar, ada
teks Arab yang berukuran kecil dalam 4 kuras (bundel). Teks arab ini masuk dalam kumpulan
Risalah al-Ghazali, yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H. Teks
Arab diterjemhkan pula ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istanbul tahun
1260. Diterjemahkan pula ke bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke dalam bahasa
Inggris serta Jerman.
11. Al-Munqidz min ad-Dhalal. Dicetak di Istanbul, tahun 1286 H, dan 1303 H, kemudian di
Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Prancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke bahasa Turki dan Belanda
12. Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan Damaskus tahun 1934, hlm.
118, serta disebut oleh pengarang At-Thabaqatul Aliyah. As-Subky juga menyebut dalam
Thabaqatnya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul Qur’an, terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21,
serta Abdurrahman Badawi, hlm. 62.
13. Ar-Risalatul wa’dziyah. Dinamakan pula dengan “al-Wa’dziyyah”, Kairo, 1343 H, hlm. 153.
Dipublikasikan oleh Muhyiddin Sabir al-Khurdi.
14. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di FES tahun 1302, dicetak juga dalam hamisiny
kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya az-Zubaidy, dan menjadi Hamisy dari jumlah terbitan al-
Ihya’.
15. Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Mustasyfa, I/67. Juga Abdurrahman
Badawi, hlm. 62.
16. Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut olehn as-Subky, IV/116, Haji Khalifah, IV/54,
Abdurrahman Badawi, hlm. 12, dan berupa manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah, No. (107)
4183 – Ushul Fiqh, dalam 181 makalah, di Ambruziyana, No. 78 (119 VII).
17. Lubabun Nadzar. Disebut oleh al-Ghazali dalam Mi’yarul Ilmi. 1927 M. hlm. 27, dan disebut
pula dalam karya Abdurrahman Badawi, hlm. 9.
18. Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-Subky, IV/116, Ibnu Imad, IV/12. Ada
manuskrip di Pustaka Dimyath, Nomor (Umumiyah : 43-124/31), dan di Darul Kutub al-
Mishriyyah, No. 206-Fiqh Syar’I dalam 4 jilid. Di Pustaka ad-Dzihariyyah, No. 127 : 129, 124 :
126-Fiqh Syar’i.
19. Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky menyebutkan, thabaqat, IV/116,
sebuah kitab yang merupakah ikhitisar (ringkasan) al-Muzammi dan al-Ghazali sendiri
menunjukan pada kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin , juz I/35, juga dalam “Jawahirul Al-Qur’an” :
hlm. 22. Ia berkomentar bahwa kitab Khulasoh tersebut adalah kitab paling kecil di antara karya-
karyanya di bidang Fiqh. Adapun naskah ilustratif di akademi manuskrip, No. 174-Fiqh. As-
Syafi’I, yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyyah, No. 442 dalam 100 makalah.
20. Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam ath-Thabaqatul Aliyah,
disebut pula oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa, I/3 serta Abdurrahman Badawi, hlm. 59.
C. Perjalanan Intelektual al-Ghazali
Dalam menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, al-Ghazali tidak kenal lelah dalam
belajar dan sangat serius dalam memperdalam ilmu. Seperti yang sudah diterangkan di atas
dalam perjalanan hidupnya ia kerap kali di sanjung oleh gurunya dan menjuluki al-Ghazali
dengan sebutan “Bahr al-Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan), al-Ghazali adalah sosok yang
tekun dalam mempelajari ilmu-ilmu demi mendapatkan kebenaran-kebenaran yang sejati. Dari
seorang teolog ia beralih menjadi tekun dalam ilmu filsafat. Dengan menonjoonya aspek rasional
dalam ilmu filsafat, ia mendapatkan sedikit titik pencerahan dari pertanyaan-pertanyaan yang
selama ini mengacaukannya, akan tetapi tidak berhenti disitu, selain ia mempelajari filsafat ia
juga mengkritik beberapa pemikiran filsafat.
Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) yang tertuang dalam Tahafutul al-Falasifah.
Dikatakan sebagai legitimasi klaim superioritas yang didaku oleh para filsuf. Pada posisi ini, al-
Ghazali tidak hanya ingin membuktikan bahwa tidak semua ajaran para fiolosof klasik telah
mencapai tingkatan demonstratif seperti yang diklaim pengikut mereka, tetapi ia juga hendak
membongkar bangunan filsafat yang dinilainya telah menyalahi dari ajaran Islam. 11 Sayangnya,
penjelasan al-Ghazali bahwa ia mempelajari filsafat untuk membantahnya di masa depan bersifat
apologetic.12 Karena Al-Munqidz min ad-Dhalal ditulis tidak lama setelah al-Ghazali mengajar
di Madrasah Nidzamiyyah Nishapur pada tahun 1106. Atas dasar inilah memunculkan berbagai
stigma terhadap al-Ghazali dari berbagai golongan.
Pandangan bahwa al-Ghazali turut bertanggung jawab untuk tidak mengatakan paling
berperan penting, dalam membuat tradisi ilmiah dan filsafat hancur di dunia Islam oleh para
Orientalis klasik fi abad ke-19 hingga para nahdhah di Timur Tengah kontemporer timbul dari
pembacaan (parsial) terhadap karya magesterial ini. Ketika Solomon Munk menulis pada tahun
1844 bahwa al-Ghazali “menikam filsafat yang tidak membuatnya pulih lagi di Timur ,” yang ia
bayangkan tentu saja adalah kitab Tahafut dan secara khusus Bab Ketujuh Belasnya yang
mengkritisi teori kausalitas. Sementara itu , Ernest Renan yang menulis monografi seminar
tentang Averros dan para pengikutnya di Eropa, memotret al-Ghazali sebagai penentang
pemikiran rasional dalam Islam, tokoh yang berada di balik topeng “perang menentang filsafat”
di Dunia Islam yang muncul sejak akhir abad ke-12. Bagi Renan, al-Ghazali hanyalah “seorang
pemikir nyeleneh yang hanya memeluk agama untuk menantang nalar.” 13 Hal yang
menakjubkan, pada tahun 1989, bertepatan 145 tahun setelah Munk mengeluarkan kata-kata
kerasnya tentang al-Ghazali, Muhammad ‘abid al-Jabiri masih menulis bahwa pemikiran al-
Ghazali “telah meninggalkan luka yang akut dalam Nalar Arab yang tetap menganga bahkan
hingga sekarang.”14 Dalam karyanya yang banyak dijadikan rujukan, A History of Islamic
Philosofy, Majid Fakhry memandang kritik al-Ghazali dalam filsafat Islam sebagai bagian dari
konflik inheren antara filfasat dan dogma di mana dapat diduga, Ibn Sina dan al-Farabi
11
Edward Omar Moad, ‘Al-ghazali’s Position on the “Second Proof” of the “Philosophers” for the Eternity
of the World, in the First Discussion of the Incoherence of the philosophers’, Sophia 54, no. 4 (1 December 2015) :
429-41, https://doi.org/10.1007/s11841-014-0458-5.
12
Mengenai karakter apologetic Munqidz, lihat Josef Van Ess, “Quelques remerques sur le Munqidz min
ad-dalal,” dalam Ghazali : La Raison et le miracle (Paris, Maisonneuve & Larose, 1987), 57-68. Lihat juga Kenneth
Garden, “Coming Down from the Mountaintop : Al-Ghazali’s Auotobigraphical Writtings in Context,” The Muslim
World, 101 (2011), 581-596.
13
Lihat Frank Griffel. “…And the Killing of Someone Who Upholds These Convictions is Obligatory’
Religious Law and the Assumed Disappearance of Philoshophy in Islam,” dalam Adreas Speer dan Guy Guldentops
(ed), Das Gesets (Berlin : De Gruyter, 2014), 214-226.
14
Muhammad ‘abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut : Maerkaz Dirasat al-Wahdatal-‘Arabiyyah,
1989), h. 290.
merepresentasikan tradisi filsafat dan rasionalisme, sementara al-Ghazali menjadi representasi
dari dogma.15
Pandangan yang negatif terhadap hubungan al-Ghazali dan filsafat tersebut tampaknya
berkembang pesat, dalam studi al-Ghazali di Indonesia. Beberapa pemikir yang berpengaruh
dalam studi Islam di Indonesia seperti Harun Nasution16 dan Amin Abdullah17, menganggap
bahwa al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang menolak sama sekali rasio, mistikus
ortodoks, dan penolak kausalitas. Selain itu, dalam kajian-kajian al-Ghazali di Indonesia dewasa
ini, juga masih didominasi (untuk mengatakan tidak ada yang berpandangan sebaliknya) oleh
pandangan yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah tokoh Islam yang menolak cara berpikir
rasional/filsafat. Hampir semua artikel jurnal yang membahas tentang relasi al-Ghazali dan
filsafat yang terindeks di IPI dan moraref, menyatakan bahwa al-Ghazali adalah “musuh”
filsafat. Beberapa diantaranya seperti, Ghazali Munir,18 Mas’udi,19 Ahmad Atabik,20 dan
Jamhari.21
Perihal pandangan negatif terhadap relasi al-Ghazali dengan filsafat di atas, di dasari
pada proses naturalisasi tradisi filsafaat ke dalam teologi Islam, oleh karenanya al-Ghazali lebih
layak disebut sebagai teolog Muslim. Dokumen-dokumen hasil karyanya tidak lain adalah
sebuah upaya untuk mengintegritaskan logika Aristotelian ke dalam tradisi kalam, teologi Islam
rasional. Tanpa lelah, al-Ghazali senantiasa menekankan tentang keutamaan-keutamaan logika
silogistik dan senantiasa mendorong teman-teman semasanya di lingkungan teologi Islam untuk
mengadopsi teknik rasional ini. Ia benar-benar terang-terangan dalam memproyeksikan dan
menyebarluaskan logika ini, sebagai contoh dalam autobiografinya, al-Munqidz min ad-dhalal
maupun dalam tahafut, aspek relasi al-Ghazali dengan filsafat di sini sangatlah masyhur. 22
Beberapa kritikus dan penafsir al-Ghazali telah menanyakan bagaimana mungkin dia bisa
memanfaatkan logika Aristotelian tanpa juga mengadopsi ontologi Aristotelian. 23 Dalam tradisi
Aristotelian, logika itu sangat dekat hubungannya dengan penjelasan spesifik tentang elemen-
elemen pokok paling mendasar dari dunia dan relasinya satu sama lain, sehingga logika
Aristotelian itu nyaris tidak bisa diadopsi tanpa juga mengadopsi ontologi Aristotelian. Al-
Ghazali sangat paham tentang hubungan tersebut , dan ketika ia menyebarkan ajaran logika daari
falasifah, ia tahu bahwa ia juga meminta teman-temannya untuk menganut asumsi-asumsi
fundamental yang akan merubah sikap mereka terhadap pandangan ontologi dan metafisika.
Tentang hal ini, bagaimanapun, al-Ghazali kurang terbuka. Ketika dia meringkas pandangannya
15
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosofy, 3rd edition (New York : Columbia University Press, 2004),
h. 223-239.
16
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan 1994).
17
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung, Mizan, 2002).
18
Ghazali Munir, “Kritik al-Ghazali Terhadap Para Folosof” dalam Teologia, Volume 25, Nomor 1,
Januari-Juni 2014.
19
Mas’udi, “Menyingkap Hubungan Agama dan Filsafat : Mereda Kesesatan Filsafat al-Ghazali, Merespon
Keterhubungan Filsafat dan Agama Ibnu Rusd” dalam Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.
20
Ahmad Atabik, “Telaah Pemikiran al-Ghazali Tentang Filsafat” dalam Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014.
21
Jamhari, “Al-Ghazali dan Oposisinya terhadap Filsafat”, dalam Jurnal Ilmu Agama, Vol. 16, No. ,
Desember2015.
22
Al-Ghazali, al-Mungkidz, 22-23 : Tahafut, 15.12-164/9.6-10.
23
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philopsophical Theology, 7.
terhadap falsafah metafisika dalam beberapa karya populernya seperti autobiografinya, dia
mengubah kritiknya terhadap metafisika secara sepintas.24 Namun, kajian cermat terhadap
karya-karya al-Ghazali di bidang teologi tidak menyisakan keraguan bahwa pandangannya
tentang ontologi, jiwa manusia, dan ilmu nujum adalahdibentuk oleh, terutama, Ibn Sina.25 Lebih
jaun, bahkan penolakan terhadap tiga ajaran filosofis sebagaimana telah disebutkan dalam
Tahafutul al-Falasifah itu sebenarnya adalah bagian dari proses naturalisasi filsafat Aristotelian
terhadap teologi Islam.
Melalui penolakan ini, buku tersebut mengidentifikasukan elemen-elemen Aristotelian,
yang menurut al-Ghazali, tidak layak untuk diintegrasikan. Dengan menyorot tiga ajaran
tersebut, teolog Muslim terkemuka ini kemudian membuka jalan bagi diskursus teologi Islam ke
posisi-posisi falasifah penting lainnya yang lebih banyak. Perubahan al-Ghazali dari seorang
yang paling sukses dan intelektual terpandang di Baghdad menjadi seorang yang menghindari
kemasyhuran dan memilih hidup menyendiri di tanah kelahirannya, Iran, selalu merebut
imajinasi publik. Realitas ini memantik kemunculan ide bahwa ada atau lebih ucapan-ucapan al-
Ghazali tentang pekerjaannya. Banyak pengkaji yang juga merasa bahwa hubungan al-Ghazali
dengan filsafat itu lebih ambigu daripada apa yang dia akui dalam autobiografinya. Ide bahwa
ajaran-ajaran al-Ghazali telah melalui perubahan penting selama hidupnya itu begitu sering
dikemukakan sehingga ia menjadi dari bagian kesarjanaan dan bahkan lebih populer pengaruh
dari perubahannya. Pada tahun 1994, bagaimanapun, Richad M. Frank mengamati bahwa tidak
ada perkembangan teoritis penting dalam teologi al-Ghazali pada karya-karyanya yang paling
awal, yang diterbitkan sebelum kepergiannya dari Baghdad pada 488/1095, dan karya-karyanya
yang terakhir.26 Frank benar tentang hal ini; hampir tidak ada bukti apapun yang mendukung
pandangan banyak orang bahwa al-Ghazali merubah beberapa posisinya setelah kepergiannya
dari Baghdad dan dia berpindah jalur dari seorang mutakallim (ahli teolog) menjadi seorang sufi.
Walaupun realitas ini benar, bahwa beberapa motif yang kelihatan lebih menyolok dalam kinerja
al-Ghazali setelah kepergiannya dari Baghdad, pemusatan perhatian tentang memperoleh
kesselamatan di akhirat, tidak satupun dari kinerja al-Ghazali tersebut tidak dijumpai pada
proyek-proyeknya yang awal, dan mengatakan bahwa ajaran teologi mengalami perubahan,
faktanya tidak bisa dipertahankan.
Pandangan umum tentang perubahan al-Ghazali dari seorang mutakallim (seorang teolog
muslim rasional) dan penentang falsafah sebelum pergi dari Baghdad, menjadi seorang sufi,
seorang yang menghindari kalam dan berupaya mendamaikan dengan sufisme dengan ortodoksi
Muslim dan bahkan juga dengan falsafah dapat didukung oleh berbagai sumber paling otoritatif
tentang kehidupannya sehingga tidak stagnan.27 Walaupun sumber-sumber ini berbicara tentang
perubahan dalam al-Ghazali, tidak ada satupun dari sumber-sumber tersebut yang
menginformasikan bahwa ajarannya telah mengalami perubahan penting. Abd al-Ghafir al-Farisi
(w.529/1134), salah satu teman yang sezaman dengannya, menceritakan dengan fasih bagaimana
24
Al-Ghazali, al-Munqidz, 18-20.
25
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9.
26
Frank, Al-Ghazali and the Asharite School, 4, 29, 87, 91.
27
AP Alavi Bin Mohamed Bin Ahamed, Internal Dissensions Among The Early Muslims: Al-Ghazzali The
Saviour of True Islamic Philoshopiy’, Journal Of shangha Jiaotong University 16, No. 09 (2020): 151-61.
keangkuhan intelektual al-Ghazali muda berubah menjadi seorang yang jauh lebih tawadhlu’. 28
Tetapi, perubahan tersebut bukanlah perubahan dari seorang ortodok dogmatis menjadi seorang
mistikus yang banyak dibicarakan oleh penelitian-penelitian modern. Bahkan teman sezamannya
ini, mencertikan kepada kita bahwa al-Ghazali telah mendapatkan pengenalan terperinci tentang
sufisme dari gurunya, al-Faramadhi (w.477/1084), sebelum ia berusia sekitar tiga puluh tahun,
sebelum krisis dramatisnya yang diceritakan di autobiografinya. Dalam karya tersebut, al-
Ghazali menceritakan kepergiannya dari Baghdad itu sebagai pengaruh tiba-tiba dari temuannya
dalam literatur sufi. Salah satu muridnya, Abu Bakr ibn al-Arabi (w.543/1148),
menginformasikan bahwa proses tersebut sama sekali bukanlah hal yang tiba-tiba. Sang murid
itu mengatakan bahwa dua tahun sebelum kepergiannya dari Baghdad, al-Ghazali telah
“Menerima jalan sufi dan membuat dirinya bebas dari apa yang dia butuhkan (zuhud). 29 Semua
laporan tersebut mestinya membimbing kita mengevaluasi ulang narasi-narasi al-Ghazali sendiri
tentang krisis yang dia alami pada tahun 488/1095, yang hingga kini mendominasi biografi-
biografi Barat tentangnya.
Ajaran kosmologi al-Ghazali saat ini merupakan halangan yang terbesar untuk
pemahaman yang koheren tentang teologinya. Kata “kosmologi” berhubungan dengan
pandangan-pandangan tentang unsur-unsur paling dasar dari alam semesta dan bagaimana
mereka saling mempengarhi satu sama lain, jika faktanya, mereka diasumsikan melakukan itu.
Dalam kasus al-Ghazali, yang mengajarkan Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada dan
segala kejadian di alam semesta, kosmologi pun berhubungan dengan bagaimana Tuhan
menciptakan dunia dan bagaimana ia berhubungan dengan ciptaannya. Dalam kesarjanaan Barat,
problem mendasar dari ajaran kosmologi al-Ghazali menjadi menonjol setelah 1904, ketika
karyanya The Niche og Lights (Misykat al-Anwar) pertama kali dicetak. Dalam buku ini, al-
Ghazali memilih bahasa yang merefleksikan dan menyiratkan prinsip-prinsip kosmologi yang
dikembangkan oleh para filsuf dan ini tidak muncul dalam karya-karya teologi Sunni yang lebih
awal. Ajaran-ajaran dalam Misykat al-Anwar tampaknya juga bertentangan dengan karya-
karyanya yang lain, terutama dengan bukunya yang berjudul Balanced Book on What-to-Believe
(al-Iqtishad fil-I’tiqad).30 Dalam tiga puluh tahun kemudian, ilmuan-ilmuan seperti W. H. T.
Gairdner, Arent J. Wensick, dan Miguel Asin Palacios, telah mendokumentasikan perbedaan-
perbedaan tersebut, tetapi mereka tidak dapat banyaak menyajikan rekonsiliasi atau penjelasan.
Selama paruh abad kedua puluh, melalui karya-karya Willian M. Watt, Hava Lazarus-Yafeh, dll.
Ilmuan-ilmuan Barat mencoba untuk memecahkan teka-teki ini dengan mengecualikan teks-teks
yang paling problematik, yang kebanyakan bertentangan dengan ajaran mapan dari korpus al-
Ghazali yang diterima oleh umum. Lazarus-Yafeh membuktikan bahwa karya-karya tersebut,
secara terang-terangan menggunakan bahasa filsafat itu palsu dan seharusnya tidak dikaitkan
dengan sang teolog Muslim terbesar, sebagaimana Watt juga berpendapat tentang bab tertentu di
dalam Misykat al-Anwar.31
28
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 52
29
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 67
30
Al-Ghazali, Ihya’ 71:134. 13-16 / 169.16-19; al-Iqtisad, 215.9-10
31
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 9
Jika ditinjau kembali, argumen-argumen mereka itu tidak meyakinkan; sepertinya agak
mustahil bahwa bab-bab tersendiri bisa ditambahkan ke dalam karya seorang ilmuan terkemuka
seperti al-Ghazali jika ia telah mempublikasikan karyanya ini selama masa hidupnya. Ilmuan
Muslim klasik sangat menghormati tradisi tekstual dari seorang penulis; manuskrip-manuskrip
dengan salinan-salinan lain dari karya yang sama.32 Penulis dan pembacanya memiliki
ketertarikan dalam menjaga integritas karya-karyanya yang telah dipublikasikan. Secara kolektif,
mereka akan mampu mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam tradisi manuskrip bahkan
berabad-abad setelah buku ini dipasarkan. Publikasi pertama pada tahun 1966, argumen Hava
Lazarus-Yafeh bahwa buku-buku yang menggunakan terminologi-terminolgi filsafat tidak ditulis
oleh al-Ghazali secara metodelogis tampak problematis.33 Lazarus-Yafeh melihat bahwa tema-
tema filosofis itu tidak hadir dalam karya-karya yang diterima khalayak umum sebagai tulisan al-
Ghazali, ini mengarah pada asumsinya bahwa segala penggunaan bahasa filsofis itu adalah
sesuatu yang tidak penting dan merupakan tambahan yang tidak otentik pada kor[us Ghazalian.
Sejak banyak pengkaji al-Ghazali enggan untuk mengakui bahwa ia adakalanya bisa
menggunakan bahasa filosofis, setiap penggunaan bahasa tersebut, menurut Yazarus-Yafeh, bisa
digunakan untuk meragukan otentisitas tulisannya. Lazarus-Yafeh menolak buku-buku karangan
al-Ghazali yang menggunakan bahasa filosofis secara sederhana karna selalu ada ilmuan yang
menolak aspek-aspek ini dari pemikirannya, bukan karena problematis sebagian buku berbahasa
filosofis itu sendiri.
Sebuah kontroversi baru mulai memasuki kajian tentang al-Ghazali pada tahun 1992,
ketika Richard M. Frank membisikan bahwa al-Ghazali telah meninggalkan system kosmologis
yang telah dikembangkan oleh Asy’ariyah, salah satu aliran dalam teologi Islam, aliran yang
menjadi tempat asalnya, dan bahwa ia telah mengadopsi ajaran kosmologi Ibn Sina. Frank
mengatakan bahwa al-Ghazali berhenti percaya bahwa Tuhan menciptakan segala kejadian di
dunia secara langsung dan seketika, sebagaimana yang telah di yakini oleh gologan Asy’ariyah
sebelum dia. Lebih dari itu, ia bahkan menganut penjelasan filosofis bahwa kekuatan Daya cipta
Tuhan menjangkau objek-objek ciptaan melalui serangkaian perantara dan penyebab-penyebab
sekunder. Intelek yang terdapat di ruang kesembilan yang memediasi aktivitas penciptaan ke
ruang sublunar, yang di situ rangkaian-rangkaian penyebab kedua dan efek-efeknya terhampar.
Peyebab-penyebab ciptaan ini berubah sesuai dengan kodratnya dan membuat perbuatan Tuhan
dalam mu’zijat kenabian itu mustahil, setidaknya dalam kerangka yang dipahami oleh teolog-
teolog Muslim. Menurut analisis Frank , al-Ghazali tidak meyakini bahwa Tuhan membuat
mu’jizat untuk membuktikan pernyataan-pernyataan para nabi-Nya.34 Bagaimapun, keberadaan
mu’jizat-mu’jizat kenabian merupakan salah satu elemen fundamental yang terpenting dalam
teologi Asy’ari klasik, dan ini merupakan, setidaknya menurut teologi Asy’ari sebelum al-
ghazali, sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem teologi mereka.35 Dalam beberapa tulisan
yang diterbitkan sebelum dan sesudah tahun 1992, Michael E. Marmura mengemukakan bahwa
posisi al-Ghazali tidak pernah besebrangan dengan prinsip-prinsip mendasar dari teologi Asy’ari,
tetap setia pada prinsip kosmologinya. Dengan menggunakan dokumentasi-dokumentasi yang
32
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 10.
33
Lazarus-Yafeh, Studies in al-Ghazzali, 243-63.
34
Frank, Creation and the Cosmis System, 59.
35
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 15.
kokoh, Marmura kemudian menolak kesimpulan yang diajukan oleh Frank. Mungkin orang
dapat dapat berdebat bahwa al-Ghazali telah menulis dua tipe pemikiran, satu yang dukung
analisis Frank tentang kosmologis filosofi dan satu lagi sebagaimana dibuktikan oleh interpretasi
Marmura yang mengatakan bahwa dia masih menggunakan kosmologi tradisional Asy’ariyyah.
Tetapi memang, problem ini terus bergerak lebih dalam: Frank dan Marmura menggunakan
beberapa karya al-Ghazali yang sama untuk mempertegas tesis mereka. Agaknya, teks-teks yang
sama-sama ditulis oleh al-Ghazali dapat ditafsirkan secara berbeda, entah seperti tafsiran Frank
atau Marmura.36
Penulis terpantik pada subjek ini lewat karya Frank, pembaca akan mencatat bahwa kesimpulan
penulis sekarang tentang kosmologis al-Ghazali adalah sangat berbeda dengan kesimpulan
Frank. Jalan kesimpulan penulis diambil dari keduanya, Frank dan Marmura, menurut penulis
contoh yang pas adalah apa yang disebut oleh G. W. Hegel sebagai progres dialektika.
Sementara karya Frank dan Marmura adalah tesis dan anti-tesis (atau sebaliknya), tulisan ini
ingin dipertimbangkan serbagai sintesis. Betul-betul seperti Hegel, tulisan ini tidak bertujuan
menolak salah satu dari karya mereka menjadi usang. Lebih dari itu, tujuan tulisan ini adalah
mengangkat tesis-tesis yang lebih awal, memperbaikinya, memecahkan konflik mereka, dan
melangkah menuju resolusi dan perkembangan yang baru.
Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah interpretasi yang konsisten dari tema-tema yang
berbeda dalam pemikiran al-Ghazali tentang bagaimana Tuhan menciptakan dunia dan
bagaimana Dia mengaturnya. Tentu saja, interpretasi ini bukan satu-satunya jalan yang mungkin
untuk membaca al-Ghazali, sebagaimana kita lihat Marmura dan Frank. Namun, penulis yakin
bahwa bacaan-bacaan yang lain ini tidak memberi perhatian yang tepat pada semua tema yang
al-Ghazali anggap penting. Frank, misalnya, menuduh al-Ghhazali telah menjadi pembohong
ketika ia menulis bahwa Tuhan adalah agen yang bebas memiliki pilihan bebas dalam tindakan-
Nya. Marmura abai untuk mengambil penuh bagian kecil catatan yang di situ al-Ghazali menulis
bahwa tindakan Tuhan itu penting. Tulisan mencoba menyajikan sebuah bacaan untuk
merekonsiliasi dua pernyataan yang kontradiktif dan beberapa statemen lain dalam karya al-
Ghazali yang pada awalnya tampak sama-sama tidak dapat didamaikan.
Berdiri di antara kutub Asy’ariyah dan Avicena, al-Ghazali kemudian mengembangkan
kosmologinya sendiri. Al-Ghazali adalah pemikir yang sistematis, dan mengingat bahwa di satu
sisi sistem Avicena masih jauh lebih sistematis dibandingkan Asy’ariyah. Melalui analisisnya,
dia menemukan sebuah lorong kecil yang sangat menarik ke arah pengadopsian determinisme
kosmologi Ibn Sina tanpa menghilangkan corak pemikiran dirinya sebagai seorang teolog
Muslim yang berharap akan mempertahankan pilihan bebas Tuhan atas tindakan-Nya. Solusi al-
Ghazali tentang bagaimana seorang teolog mengadopsi kosmologi deterministik bahkan seperti
relevan saat ini seperti dulu seperti pergantian abad ke-6/ke-12. Kosmologi modern telah
menjadi bagian dari fisika, tetapi sistem-sistem kosmologi kontemporer masih menyisakan ruang
bagi kepercayaan yang diberikan dengan keberadaan hukum alam dan keberadaan susunan
energi ketika permulaan alam semesta ini, sering disebut sebagai Big Bang, semua
36
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 179-182.
perkembangan dari partikel subatomik, atom-atom, galaksi-galaksi, bintang-bintang, planet-
planet, kehidupan di beberapa planet, umat manusia, termasuk kita, adalah, faktanya sebuah efek
penting dari saat pertama dan tidak bisa berubah sekaligus, prosesnya dimulai 14 juta tahun yang
lalu.
Sebagai seorang teolog, al-Ghazali hendak menerima pernyataan determinis ini.
Faktanya, pandangannya tentang alam semesta sungguh mirip, walaupun ditetapkan dengan
parameter-parameter kosmos geosentris yang mana permulaan dunia itu bukan ditandai oleh Big
Bang, melainkan oleh primum mobile (falak al-aflak), yang paling jauh, lingkungan tanpa
bintang dan intelek yang memerintah itu.37 Namun, meskipun ia memiliki pandangan determinis
tentang alam semesta, al-Ghazali tanpa letih memelihara pandangan bahwa tindakan Tuhan itu
bebas dan Dia adalah satu-satunya “pencipta” atau causa efisien di seluruh alam semesta. Setiap
kejadian, bahkan kepakan sayap seekor nyamuk pun dikehendaki dan diciptakan oleh-Nya.38
Tuhan pada level ini hanya memiliki esensi yang secara absolut mutlak ada, sedangkan
kemaujudan yang salin-Nya akan diakibatkan oleh sebab-sebab selain diri-Nya. Artinya, pada
konteks ini meski Tuhan merupakan sebab pertama (al-Muharrik al-Awwal) dari serangkaian
sebab akibat (causality) yang membentuk struktur realitas, namun terhadap perihal sebab-akibat
alam pertumbuhan dan kebinasaan, semua itu terjadi lewat (sebab-akibat) selain Tuhan, sesuai
dengan hukum normal alam semesta.39
Lebih jauh, penolakan al-Ghazali terhadap teori kausalitas yang dikemukakan oleh para
filsuf pun tidak menyiratkan bahwa ia menyakini okasionalisme ekstrem atau bahwa ia memang
tidak percaya pada teori kausalitas. Di dalam Ihya’, al-Gahazali mengingatkan kaum Muslim :
Bila engkau mengharap Allah membuatmu kenyang tanpa roti, atau membuat roti
bergerak kepadamu, atau memerintahkan malaikat untuk mengunyahkannya buatmu dan
menyaksikannya pindah ke perutmu, itu hanya akan memperlihatkan kebodohanmu tentang
tindakan-Nya!.40
Bagi al-Ghazali, apabila suatu peristiwa mengikuti yang lain, jal itu disebabkan karena
Tuhan telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan. Sehingga keseluruhan pasangan
kejadian tersebut tampak terkait sebagai peristiwa sebab-akibat. Padahal, tegas al-Ghazali , hal
itu terjadi bukan karena hubungan pada dirinya sendiri. Karena Tuhan dapat menciptakan rasa
kenyang tanpa makan, bahkan menciptakan kematian tanpa terlepasnya kepala dari tubuh, dan
demikian seterusnya.41 Begitu pula tentang terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api.
Dalam hal ini al-Ghazali dapat menerima kemungkinan adanya kontak antara keduanya tanpa
terjadinya kebakaran. Dia menerima kemungkinan tranformasi kapas ke abu tanpa bertemu
dengan api. Meski para filosof Muslim sangat mengingkari kemungkian tersebut. Oleh karna itu,
37
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology. 253-260.
38
Nazir Ahmad Sheikh, ‘Philosophers Denial of God’s Knowledge of Particulars. A critical Evaluation Of
Al-Ghazali’, Our Haritage Journal 22, no. 3 (2020)
39
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1985), h. 75, dan 82-83; Baca juga Oliver Leaman, Pengantar filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Termatis,
(Bandung:Mizan, 2001), cet. I, h. 113.
40
Al-Ghazali, Ihya’, 4: 249; dikutip oleh Eric Ormsby, Ghazali (Oxford: Oneworld, 2007), h. 80.
41
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah. Sulaiman Dunya (ed.), (Misr: Dar al-Ma’arif, 1996), cet. IV, h. 239.
terhadap para sikap filosof Muslim yang menyangkal kemungkinan seta menyatakan
kemustahilan tidak terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api, maka untuk mendiskusikan
masalah ini al-Ghazali mengajukan analisis penting, yaitu :
Pertama, para filosof dapat saja mengklaim bahwa aktor penyebab kebakaran hanya api
saja. Ia menjadi aktor karena karakter dasarnya, dan bukan melalui usaha yang bebas. Api tidak
mungkin bisa menahan apa yang terjadi karena wakat naturalnya ketika bertemu sesuatu yang
memiliki sifat untuk menerima aktivitas watak dasar tersebut. Namun pada konteks ini, al-
Ghazali mempertanyakan “Apa buktinya bahwa api adalah aktor (al-fail) yang membakar?”
Menurutnya, dalam hal ini argumentasi filosof hanya bersandar pada kesimpulamdari hasil
observasi melalui pengamatan empiris terhadap fakta terjadinya kebakaran saat adanya kontak
antara suatu benda dengan api. Padahal bagi al-Ghazali, observasi dengan pengamatan empiris
tersebut hanya menunjukkan, bahwa telah terjadi pada sesuatu pada suatu benda secara
bersamaan saat kontak dengan yang lain, bukan disebabkan olehnya (‘indahu la bihi).42 Kasus
yang sama, kata al-Ghazali, seorang ayah bukanlah aktor atas keberadaan anak dengan
memasukkan sperma ke dalam rahim ibu sehingga terciptanya kehidupan anaknya,
pandangannya pendengarannya, dan seluruh hal pada dirinya. Kita tidak bisa mengklaim seperti
itu. Karena, semua peristiwa seperti yang telah dicontohkan di atas, memperoleh eksistensinya
dari Tuhan (qudrah wa iradah). Baik secara langsung atau melalui perantara malaikat (al-
mala’ikah) yang dipercaya mengatur peristiwa-peristiwa temporal (al-haditsah) tersebut.
Pada konteks ini, al-Ghazali sangat mempercayai, bahwa eksistensi sesuatu, di sisi
sesuatu yang lain, tidaklah berarti bahwa yang lain itu merupakan sebab bagi eksistensi lainnya
(al-wujudu ‘inda al-sya’i, la yadullu ‘ala annahu maujudun bihi).43 Karena bagi al-Ghazali, pada
kenyataannya, apa yang tertjadi tidak hanya melibatkan satu kejadian saja. Misalnya, pancaran
cahaya matahari yang dapat menghitamkan wajah tukan cuci. Namun, pada waktu yang
bersamaan, cahaya itu juga bisa memutihkan baju yang dicucinya. Begitu pula, cahaya yang
menjadikan lumpur mengeras dan dapat juga mencairkan es. Kalau demikian, menurut ak-
Ghazali, mana yang bisa dipastikan sebagai akibat, padahal sebabnya satu. Alghazali
berpendapat bahwa faktor penguat satu-satunya untuk mempercayai pertalian sebab-akibat
adalah pengalaman. Yaitu pengamatan terhadap keserantakan dan kebersamaan waktu dalam
peristiwa. Dalam hal ini untuk lebih menegaskan keyakinannya. Al-Ghazali berkata :
و+ار ل+ل والنه+رق بين اللي+اس الف+مع من الن+اوة ولم يس+ه غش+انت فى عيني+و ك+ه ل+و ان االكم+بل نبين هذا بمثال وه
ه فتح++وان فاعل++ور االل++ه اص++ل فى عيني++وان ظن ان االدراك الحاص++راى االل++ه ف++ارا وفتح اجفان++انكشفت الغشاوة عن عينيه نه
ل ان ال++روال يعف++ه ان يبص++البصر وانه مهما كان بصره سليما مفتوحا والحجاب مرتفعا والشخص المقابل متلونا فيلزم المحال
يبصر حتى اذا غربت الشمس واظلم الهواء علم ان نورالشمس هو السبب فى انطباع االلوان فى بصره
“Kita perlu mengurai lebih jauh dengan menggunakan ilustrasi. Andaikan ada seorang buta
yang matanya sakit dan tidak mendengar informasi dari siapapun tentang siang dan malam.
Kemudian pada suatu hari, penyakitnya sembuh dan dia dapat melihat beragam warna. Dia
tentu mengira, bahwa pelaku atau sebab lahirnya persepsi terhadap bentuk-bentuk warna yang
kini didapat oleh matanya, adalah terbukanya mata (sembuh dari kebutaan). Hal tidaklah benar
42
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 240.
43
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241.
karena meski penglihatannya telah sehat dan terbuka, tidak ada penghalang lagi atas obyek
berwarna yang berada didepannya, sehingga dia dapat melihat. Namun, apabila matahari
tenggelam dan suasana gelap, dia akan mengetahui bahwa sinar mataharilah yang menjadi
sebab lahirnya persepsi terhadap warna-warna pada penglihatannya”.
Kedua, al-Ghazali mengungkapkan, para filosof memang mengakui bahwa aksiden-
aksiden yang timbul dari hubungan kausalitas hakikatnya merupakan berkat adanya “bentuk-
bentuk” (wahib al-shuwar). Namun, filosof tetap beranggapan bahwa watak atau bakat untuk
menerima tindakan dari wahib al-shuwar tersebut haruslah tetap berasal dari sebab dan agen
alamiah. Karena itu bagi filosof, jika kita mengemukakan bahwa api merupakan suatu sifat
tertentu dan kapas juga merupakan sifat tertentu, maka tidaklah mungkin bahwa api “kadang-
kadang membakar kapas” dan “kadang-kadang tidak membakar”. Artinya, sifat sifat api yang
membakar, haruslah tetap membakar. Sedangkan sifat kapas yang terbakar, haruslah juga tetap
seperti itu.44
Pemecahan al-Ghazali untuk masalah ini adalah, bahwa hal itu tidaklah bersifat niscaya.
Bagi al-Ghazali, kemampuan bergerak dan berinteraksi dari dua kejadian fisik dijadikan
mungkin hanya karena adanya kekuatan luar yang diterapkan Tuhan padanya. Adapun
pensebaban alamiah yang melibatkan benda-benda materil adalah tidak mungkin. Karena materi
dalam sendirinya adalah sesuatu yang mati (pafis). Jika api membakar, maka itu bukanlah karena
api itu sendiri memiliki kemampuan untuk membakar. Pada tataran ini mungkin sekali, jika
Tuhan mengendaki, dia dapat menarik kembali kemampuan tersebut. Seperti fenomena-
fenomena yang terjadi pada mu’jizat para Nabi. Karena itu secara logis, bagi al-Ghazali Tuhan
mungkin sekali menimbulkan sifat membakar pada api pada satu kejadian, dan dapat pula
memperlakukan sebaliknya, seperti kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim di tengah kobaran api.
Bahkan, al-Ghazali dengan ekstrem dalam contoh lain menegaskan :
ا++رفا او انقلب حيوان++ومن وضع كتابا في بيته فليجوزان يكون قد انقلب عند رجوعه الى بيته غالما امرد عاقال متص
ولو ترك غالما فى بيته فليجوز انقالبه كلبا وترك الرماد فليجوز انقالبه مسكا وانقالب الحجر ذهبا والذهب حجرا
“ Seseorang yang meletakan sebuah buku di rumahnya, maka bisa saja terjadi begitu dia
kembali ke rumah, buku itu berubah menjadi seorang anak yang pintar dan cerdik, atau menjadi
seekor binatang. Atau ketika dia telah meninggalkan seorang anak kecil di rumahnya, maka bisa
saja terjadi, bahwa anaknya berubah menjadi seekor anjing, pada saat dia kembali ke
rumahnya. Atau dia meninggalkan abu, boleh jadi itu berubah menjadi minyak misk. Atau batu
berubah menjadi emas dan emas menjadi batu”.
Bagi al-Ghazali, atas apa yang telah terjadi, semua itu secara sempurna dapat dimengerti
karena Tuhan Maha kuasa atas segala sesuatu dan semua perubahan, semacam itu adalah sesuatu
yang mungkin terjadi. Bisa saja apel yang kita tinggalkan di aats meja, setelah beberapa jam
kemudian, ia akan berubah menjadi seorang anak. Karena,, Tuhan dengan kekuasaan dan
kehendak-Nya, dapat memotong jalur evolusi peristiwa tersebut secara singkat. Jika lewat proses
biasa, kita akan memahami, bahwa apel itu berpotensi menjadi anak jika; apel dimakan, lalu
44
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, h. 241-242.
seterusnya ia akan menjadi setetes sperma. Sperma bertemu ovum ovum dan terjadilah
kehamilan. Beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi. Setelah itu, bayi tersebut dapat
duduk di atas meja. Dalam hal ini, proses alamiah tersebut membutuhkan waktu yang panjang.
Maka Tuhan dengan kehendak-Nya (iradah) dapat saja dengan mudah memotong dan
mempersingkat jalur peristiwa tersebut secara singkat. Karena kekuasaannya tidak dapat dibatasi
oleh urutan apapun, baik logika kausal atau yang lainnya.
Penolakan atas keniscayaan kausalitas, membuat al-Ghazali mempresentasikan akan
adanya teori tentang kebiasaan. Menurut al-Ghazali, pandangan kita tentang keteraturan yang
disaksikan lewat alam semesta ini, sesungguhnya membuktikan bahwa: Pertama, Tuhan telah
menciptakan dalam diri kita pengetahuan, bahwa Dia tidak akan melakukan sesuatu yang
menyimpang. Meski hal tersebut haruslah sangat mungkin dilakukan-Nya.
Kedua, regularitas dari kebiasaan, yang terus berlangsung pada benda-benda, telah
menanamkan kebiasaan kebiasaan di kesan kita bahwa mereka akan terus mengikuti suatu pola
seperti kebiasaan sebelumnya. Pengetahuan ini telah tercipta berulang-ulang pada diri kita.
Sehingga muncul asumsi bahwa segalanya akan terus berlaku seperti itu. Menurut al-Ghazali,
bukan alam atau hukum kausalitas yang ditanamkan Tuhan pada benda, namun fenomena
kebiasaanlah yang sudah terkonstruksi dalam basis kesadaran manusia. Misalnya, mengenai
peristiwa gerhana yang dapat diramalkan, bagi al-Ghazali itu merupakan kebesaran Tuhan
semata yang telah menciptakan kesan regularitas pada saat tertentu dalam kondisi yang sama. 45
Pandangan al-Ghazali bahwa peristiwa sebab-akibat (kausalitas) adalah peristiwa
kebiasaan semata sangat ia pegang tegus. Dalam persepektif mistikalnya, al-Ghazali meyakini
bahwa benda dicipta dalam urutan tertentu menurut prosedur tertentu kebiasaan (sunnah).
Kemudian, sesuai dengan kebiasaan itu, sebuah benda yang dicipta merupakan syarat bagi
lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penciptaan kehidupan merupakan syarat bagi
penciptaan pengetahuan. Tetapi, tidak dalam arti, bahwa pengetahuan dilahirkan (yatawalladu)
oleh kehidupan. Menurut al-Ghazali, setiap perbedaan yang ada pada peristiwa itu mengacu
kepada perbedaan sebab. Dan hal ini diketahui melalui prosedur kebiasaan (sunnah),
dalammembuat sebuah akibat, sebagai konsekuensi sebab-sebab (al-asbab). Dalam hal ini,
dengan mengganti istilah ‘adah dengan sunnah, dan sabab dengan syarat, al-Ghazali telah
menegaskan penolakannya terhadap logika sebab-akibat.46
Al-ghazali, setelah melalui pengembaraanya mencari kebenaran akhirnya memilih jalan
tasawwuf. Karna menurut al-Ghazali para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih
jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai
buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi melalui
karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula
bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi
harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Dengan
demikian, menurutnya, tasawwuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.47
45
Harry Austryn Wolfson, The Philosphy…, h. 245.
46
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum ad-Din, jilid II, (Cairo, 1358 AH), h. 9-10, 15-18
47
Al-Taftazani, 2003, h. 165.
Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang
calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah
pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan
sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan
dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu
daya nalar, daya yang melahirkan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan
berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya
yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga,
kefakiran. Yaitu berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya,
meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesutau, seperti makanan, namun makanan yang
diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan
halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya, kendatipun
makanan itu sangat diperlukannya,
Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya. Keempat, zuhud. Dalam
keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya
mengharapkan kesenangan ukhrawi. Kelima, tawakal. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir
dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa
melakukan apapun terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga
maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada makhluknya. Karena itu, manusia
seharusnya berserah diri kepada Allah S.W.T. seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat
tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat. Keenam, ma’rifat. Yaitu
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yaang ada.
Pengetahuan yang diperoleh akal. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mencintai Tuhan
(mahabbah).48 Seorang murid yang mempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali, harus konsisten
menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua
dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat
hidup menyendiri menurut al-Ghazali adalah untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona
duniawi yang menghambat dalam perjalanan sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain
adalah penaklukan hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju Allah kecuali
tabiat-tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi.49
Al-Ghazali membagi tingkatan manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan (khawas;
elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). 50
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat.
Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap
memberi nasihat dan petunjuk (al-mauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan analisis
yang mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedang kaum ahli
debat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).
48
Ensiklopedia Islam, 2002, h. 27-28.
49
Al-Taftazani, 2003, h. 170.
50
Maftukhin, 2012, h. 137.
Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi
manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya kepada
golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya,
pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi
acapkali berbeda, berbeda menurut daya berpikir masing-masing. Kaum awam membaca apa
yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.51
54
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, ditejemahkan oleh Amrouni (Jakarta:
Riora Cipta, 2000), h. 225.
55
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (cet.
I: Jakarta Rahama, 1994), h. 12-23.
56
Fazlur Rahman, Islam, h. 202.
57
Nourouzzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 55.
VII. Daftar pustaka
Al-Ghazali. 1996. Ihya Ulumuddin, Pendahuluan Juz I. Kairo : Maktabah al-Iman Li an-Nasyr
wa al-Tauszi’.
Al-Ghazali. 1972. Tahafut al-Falasifah. Kairo : Dar al-Ma’arif.
Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Abdurrazak, Abu Bakar. 2003. Inilah Kebenaran; Puncak Hujjah al-Ghazali untuk Para
Pencari Kebenaran. Jakarta : Penerbit Liman.
Abduh, Muhammad. 1958. Hasyiyah ‘ala al-‘Aqaid al-Adudiah, Sulaman Dunya (ed.), dalam
Al-Syakh Muhammad ‘Abduh bayna al-Falasifah wa al-Kalamiyin. Kairo : ‘Isa al-Babi al-
Halabi.
Nasution, Harun. 2002. Islam (Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya), Jilid II, Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-Press)
Hanafi, Hasan. 2000. Oksidentalisme (Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat). Jakarta : Paramadina.
Mustofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedi.2009. Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya. Bandung :
Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
aL-Tafzani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman (Suatu Pengantar
tentang Tasawuf). Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tasawuf al-
Islam. Bandung : Pustaka.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta : Teras.