Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KEGHOZALIAN

PEMIKIRAN IMAM-AL GHAZALI TERHADAP FILSAFAT

Dosen Pengampu :

Mokhamad Ali Ridho, S.ag., D.E.S.A

Disusun Oleh Kelompok 10:

1. Fahimatul Fuadiyah (22AC10009)


2. Fahris Salam (22AA10018)
3. Fariz Ahmad (22AA10003)

FAKULTAS KEAGAMAAN ISLAM

UNIVERSITAS NADHLATUL ULAMA AL GHAZALI CILACAP

TAHUN 2022
A. LATAR BELAKANG

Al-Ghazali merupakan pemikir muslim yang memberikan kontribusi besar dalam


keilmuan Islam. Ia selalu hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari
suasana baru, untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Beliau mencoba
menselaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai
penopang, karena ia biasa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain.
Argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al Asy’ari mengenai konsep ketuhanan
(ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang bersifat filosofis daripada argumentasi
agamis. Oleh karenanya, Al-Ghazali kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya
lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf1.
Sebagai salah seorang yang sangat vokal dalam mengkritisi para filsuf, Imam Al
Ghazali memberikan determinasi terhadap mereka sebagai filsuf yang memiliki kerancuan
berpikir dalam beberapa masalah2. Imam al-Ghazali mengungkapkan ketidaksenadaan
terhadap para filsuf dalam tiga persoalan pokok, yaitu perihal kekadiman alam, keilmuan
Tuhan dan kebangkitan jasmani. Sebagai seorang pemikir Sunni, Imam Al Ghazali tertantang
untuk mengkritisi bangunan argumen para filsuf lainnya. Beliau juga mengelompokan para
filsuf menjadi tiga kelompok; Filsof Materialis, Filsof Naturalis, Filsof KeTuhanan.
Al Ghazali tergolong ulama dan pemikir Islam yang sangat produktif dalam menuliskan
buah pemikirannya. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati
secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Karya-karya Al Ghazali meliputi bidang ilmu
yang populer pada zamannya, yaitu ilmu kalam, tafsir al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq,
fiqih, falsafat, dan lainnya. Di antara karyanya yang paling monumental adalah kitab Ihya
‘Ulumuddin.

B. PEMBAHASAN

I. Karakterisktik Filsafat Imam Ghazali

Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan karakteristik
filsafat dari Imam Ghazali maka kita membahas perbedaan antara filsafat Imam Ghazali

1
Ahmad Atabik, Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 201438
2
Imām al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1966), h. 75
dengan filsuf lainnya. Imam al-Ghazali memiliki karakteristik tersendiri yang khas, yang tidak
sama dengan para filsuf pada umumnya. Jika mereka membebankan kerja rasionalnya hanya
pada logika, Imam al-Ghazali lebih membebankan kerja rasionalnya secara berimbang pada
dua hal, yaitu aspek tasawuf dan logika transenden3.

Dalam memandang para filsuf, Al Ghazali membagi mereka dalam tiga golongan besar:
Pertama, pengikut ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan filosof yang
mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang keberadaan-Nya. Mereka
mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan.
Mereka berkeyakinan bahwa bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma berasal dari hewan,
dari zaman dahulu dan selamanya tetap seperti itu. Menurut al-Ghazali mereka itu orang-orang
yang tidak mengenal Tuhan.

Kedua, Pengikut faham naturalisme (al-Thabi’iyyun); mereka merupakan golongan filosof


yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-tumbuhan (alam atau thabi’ah)
dan menyaksikan tanta-tanda kekuasaan Tuhan,akhirnya mereka mengakui keberadaan-Nya.
Namun karena terlalu banyak meneliti alam, mereka terkesan dengan dengan watak biologis
hewan yang memiliki pengaruh terhadap dayadaya inderawi mereka. Akibatnya, mereka pun
berpendapat bahwa daya pikir manusia tergantung pada watak biologisnya, dan ketika watak
biologisnya hilang, maka hilang pulalah daya pikirnya. Pada akhirnya, mereka berpandangan
bahwa tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang telah tiada. Mereka berkeyakinan orang
yang telah tiada ruhnya tidak akan kembali. Selain itu mereka juga menentang eksistensi
akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan hisab.

Ketiga, penganut filsafat Ketuhanan (ilahiyyun); mereka adalah golongan filosof yang percaya
kepada Tuhan, mereka para filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, serta
orangorang yang mengekor pada pemikiran mereka. Kelompok ilahiyyun ini pada garis
besarnya membantah dua kelompok pertama yaitu dahriyyun dan thabi’iyyun. Al-Ghazali lebih
lanjut menyatakan bahwa Aristoteles pada fase berikutnya menolak dan menyanggah dengan
tegas pandangan Plato dan Socrates beserta pendahulunya yang mengikuti filsafat ketuhanan
sehingga ia keluar dari ruang lingkup mereka. Hanya sayangnya, dalam filsafatnya, ia masih
menyisakan beberapa hal kecil yang setidaknya masih mengandung indikasi kekufuran yang

3
Transenden merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang dapat
ditemukan di alam semesta. Contohnya, pemikiran yang mempelajari sifat Tuhan yang dianggap begitu jauh,
berjarak dan mustahil dipahami manusia (Wikipedia12;22)
belum dapat ia lepaskan. Dari pandangan itu al-Ghazali menvonis kafir, termasuk para filosof
Islam yang terinspirasi pandangan-pandangan Aristoteles seperti Ibnu Sina dan al-Farabi4.

Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof telah melakukan


kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof ini menjadi ahli ahl al-
bid’at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir
karena tiga masalah; 1) Tentang keqadiman alam, 2) Tuhan tidak mengetahui juz’iyah dan 3)
Tidak adanya kebangkitan jasmani.

Tentang Keqadiman Alam

Para filosof yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), ini
merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para filosof muslim sebelum al Ghazali
mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan
qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi
zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan
bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.30 Menurut A lGhazali yang
qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah
baru (hadits). Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka dapat
memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran ini tentu
menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau
masuk golongan Ateisme yang menyatakan bahwa alam yang qadim tidak perlu adanya
pencipta

Tuhan tidak mengetahui juz’iyah

Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles kemudian dianut oleh para filosof Muslim.
Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-
perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa
perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada obyek ilmu akan membawa perubahan pada yang
punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah 5. Namun menurut Al
Ghazali sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu

4
Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2 Thn. 2016
5
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 174
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai
ilmu tidak berubah. Kemudian alGhazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya
kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka
yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang
satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuiNya itu mengalami
perubahan6

Tidak adanya kebangkitan jasmani

Para filosof Muslim sebelum Al Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari
alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur.
Menurut mereka, akan merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali
dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-
Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau
kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Maha Kuasa menciptakan
segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan
rohani pada jasmani di akhirat nanti7

II. Tasawuf
Sufisme atau tasawuf adalah gerakan Islam yang mengajarkan ilmu cara menyucikan
jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian
yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud dalam Islam, dan dalam
perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam8. Filsafat adalah ilmu yang digunakan
untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakan adalah untuk memperoleh
kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menualangkan
(mengemberakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh
ikatan tangannya yang bernama logika.
Berkaitan dengan tasawuf, Al Ghazali mengatakan bahwa sebelum mempelajari
tasawuf, seseorang harus mempelajari dan mendalami ilmu syariat dan aqidah terlebih dahulu.
Selain itu, orang tersebut juga harus bersikap konsisten dalam menjalankan syari‟at secara

6
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;……, hlm.162
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam….., hlm. 17
8
https://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme (12/22)
tekun dan sempurna. Hal ini dijelaskan dengan rinci dan jelas dalam kitab Ihya Ulumiddin.
Dalam kitab tersebut diterangkan tingkatan dalam syari‟at, seperti cara menjalankan shalat,
puasa dan ibadah lainnya. Bahkan, i dalamnya juga terdapat perbedaan tingkatan orang yang
beribadah, antara orang awam, orang khawas, dan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Sesudah
menjalankan syari‟at dengan tertib dan penuh pengertian, baru kemudian orang yang
bersangkutan dapat mempelajari tarekat, untuk kemudian mencapai ilmu kasyf (mengungkap
rahasia Ilahi) dan penghayatan ma’rifat (mengenal Allah) 9
Selain itu, Al Ghazali berpendapat bahwa untuk menjadi seorang sufi yang sejati,
seseorang harus menempuh dan melalui beberapa maqamat atau mujahadat (jenjang), yaitu:10
1. Taubat.
Taubat yang dimaksud mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah
pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Jika seseorang sudah
mengetahui tentang bahaya dosa besar, maka pengetahuan tersebut akan melahirkan sikap
sedih dan menyesal atas perbutan dosa yang telah dilakukan. Taubat harus dilakukan dengan
sepenuh hati dan disertai janji untuk tidak mengulanginya kembali.
2. Sabar.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa terdapat tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya
nalar, daya yang mendorong kepada kebaikan, dan daya yang mendorong kepada kejahatan.
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat sabar jika daya yang mendorong kepada hal-hal
baik dapat mengungguli dan menekan daya yang mendorong kepada kejahatan.
3. Kefakiran.
Kefakiran yang dimaksud adalah usaha untuk hanya memenuhi hal-hal yang menjadi
kebutuhan wajib dan menghindari dari hal-hal yang haram dan syubhat, sekalipun jika hal-hal
tersebut sangat dibutuhkan.
4. Zuhud.
Bersikap zuhud berarti bersikap menjauhi kesenangan duniawi dan memusatkan diri
untuk kebahagiaan di akhirat.
5. Tawakkal.
Tawakkal berarti menyerahkan keputusan atas segala sesuatu kepada Allah. Seorang
hamba yang baik akan memahami bahwa rencana yang diatur oleh Allah merupakan yang

9
Syofrianisda dan Arrafie Abduh, “Pengaruh Tasawuf Al Ghazali dalam Islam dan Kristen”, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No. 1 (2017),
77, doi: 10.24014/jush.v25i1.2559
10
Tim Penyusun, Ensiklopedia Islam Jilid 2 (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 27 - 2
terbaik bagi dirinya. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat.
6. Ma‟rifat.
Jika seorang sufi sudah mencapai tingkatan ma‟rifat, maka orang tersebut mampu
mengungkap rahasia yang terkandung dalam segala perbuatan-Nya. Menurut Al Ghazali,
pengetahuan yang berasal dari ma‟rifat jauh lebih bermakna daripada pengetahuan yang
berasal dari akal dan pemikiran.
Al Ghazali menambahkan, jika seorang salik merasa tidak mampu untuk menapak
maqamat di atas, maka dianjurkan baginya untuk melakukan ‘uzlah, atau menyendiri di
tempat sepi untuk mengisolasi diri dari kehidupan sosial11

III. Karya Monumental Imam Ghazali; Ihya 'Ulumuddin

Kitab Ihya 'Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali merupakan khazanah tasawuf yang
dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Selain karena pribadinya yang menonjol dan
disebut-sebut sebagai mujaddid (pembaharu dalam agama), juga karena uraian dalam Ihya
dekat dengan alam dan kehidupan Muslim, seperti persoalan ritual, akhlak, maupun
sosial.Sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali, bahwa pembahasan dalam Ihya memang
ditekankan dalam wilayah muamalah. Adapun yang dimaksud "muamalah" disini adalah: ilmu
amal-perbuatan yang "selain harus diketahui, juga dituntut untuk diamalkan", baik secara lahir
maupun batin.Inilah posisi Ihya 'Ulumuddin yang membuatnya menjadi rujukan-awal yang
penting dalam mengenal khazanah tasawuf, yakni sebagai jembatan yang menghubungkan
aspek syariat lahir dengan aspek esoteris (tasawuf) dalam Islam.

Ihya 'Ulumuddin terbagi dalam empat bagian besar kitab, atau dikenal sebagai rubu',
dimana di dalam setiap rubu' terdiri atas 10 bab. Dan Kajian Ihya di bawah dikelompokan
berdasarkan rubu'-rubu' yang terdapat dalam Ihya 'Ulumuddin. Adapun format kajiannya bisa
berupa ringkasan suatu bab tertentu, Di dalam Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membagi
pembahasan dalam empat bagian besar, atau rubu’, yang masing-masing terdapat 10 kitab
didalamnya. Keempat rubu’ itu adalah:

1. Rubu’ Ibadah, terdiri atas: (01) Kitab Ilmu, (02) Kitab Akidah, (03) Kitab Taharah,
(04) Kitab Ibadah, (05) Kitab Zakat, (06) Kitab Puasa, (07) Kitab Haji, (08) Kitab Tilawah
Quran, (09) Kitab Zikir dan Doa, dan (10) Kitab Tartib Wirid.

11
Syofrianisda dan Arrafie Abduh, op. cit., 75
2. Rubu’ Adat Kebiasaan, terdiri atas: (11) Kitab Adab Makan, (12) Kitab Adab
Pernikahan, (13) Kitab Hukum Berusaha, (14) Kitab Halal dan Haram, (15) Kitab Adab
Berteman dan Bergaul, (16) Kitab ‘Uzlah, (17) Kitab Bermusafir, (18) Kitab Mendengar dan
Merasa, (19) Kitab Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, dan (20) Kitab Akhlaq.
3. Rubu’ Al-Muhlikat (Perbuatan yang Membinasakan), terdiri atas: (21) Kitab
Keajaiban Hati, (22) Kitab Bahaya Nafsu, (23) Kitab Bahaya Syahwat, (24) Kitab Bahaya
Lidah, (25) Kitab Bahaya Marah, Dendam, dan Dengki, (26) Kitab Bahaya Dunia, (27) Kitab
Bahaya Harta dan Kikir, (28) Kitab Bahaya Pangkat dan Riya, (29) Kitab Bahaya Takabbur
dan ‘Ujub, dan (30) Kitab Bahaya Terpedaya.
4. Rubu’ Al-Munjiyat (Perbuatan yang Menyelamatkan), terdiri atas: (31) Kitab
Taubat, (32) Kitab Sabar dan Syukur, (33) Kitab Takut dan Berharap, (34) Kitab Fakir dan
Zuhud, (35) Kitab Tauhid dan Tawakal, (36) Kitab Cinta, Rindu, Senang, dan Ridha, (37)
Kitab Niat, Jujur, dan Ikhlas, (38) Kitab Muraqabah dan Muhasabah, (39) Kitab Tafakur, dan
(40) Kitab Mengingat Mati.12

C. KESIMPULAN
Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa kritik utama Al Ghazali terhadap filsafat
Barat terletak pada dua puluh hal mengenai pemahaman kaum filsuf yang tidak sesuai dengan
Islam. Tiga di antaranya bahkan disebut sebagai penyebab kekafiran oleh beliau, yaitu
kepercayaan tentang qadim-nya alam, ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’iyyat, serta
pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di hari akhir.
Metodologi yang mengusung keberimbangan porsi tasawuf dan akal transenden ala
Imam al-Ghazali ini sejatinya merupakan sesuatu yang dapat dikatakan ideal. Sebab, terlalu

condongnya filsuf terhadap akal akan membawa pada pengagungan terhadap akal itu sendiri .

Maka dari itu, Al Ghazali juga mengedepankan tasawuf untuk mencari kebenaram dari realita
yang ada, dan percaya bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan, maka jalan yang terbaik
untuk ditempuh seorang hamba yaitu dengan meningkatkan kema’rifatan atau mengenal sang
Pencipta.

12
https://www.qudusiyah.org/id/kajian/ihya/

Anda mungkin juga menyukai