Anda di halaman 1dari 17

KONTROVERSI DALAM FILSAFAT ISLAM

(Diana Aristika Putri)

PENDAHULUAN
Perdebatan masalah filsafat Islam ternyata bukan hanya pada objek
kajianya saja, seperti Tuhan, Manusia dan Alam. Banyak dari kalangan para
penulis barat yang berpendapat bahwa Islam itu tidak mempunyai filsafat, karena
hampir semua paradigma filsafat di dalam Islam berasal dari yunani, terutama
tokoh-tokoh yang mendominasi pemikiran para filosof Muslim, yaitu Plato dan
Aristoteles.
Akan tetapi tidak semua pemikiran-pemikiran filsafat Islam hasil
pengadopsian dari yunani belaka, memang sebagian hasilnya dari Yunani, tetapi
jika dilihat dari fakta sejarah, islam sebelum masa helenisme sudah mempunyai
pemikiran teologi atau ada yang menyebutnya kalam awal, yang kerap sekali
diperdebatkan, dan sistem ini tidak luput dari rasionalisme, dan silogisme. Jadi,
sistem teologi inilah yang disebut filsafatnya orang Islam, ditambah lagi dengan
para Sufi teosofi yang mensintesiskan antara rasional dengan intuisi, dan hal
seperti itu menghasilkan teori baru yang khas dari Islam dan tidak ada di dalam
pemikiran barat. Lantas apakah faktor penyebab terjadinya kontroversi filsafat
Islam? Lalu apakah dampak dari kontroversi tersebut dalam perkembangan
filsafat islam?

PEMBAHASAN
A. FAKTOR MUNCULNYA KONTROVERSI FILSAFAT ISLAM
Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap kelompok masyarakat tersebut
memiliki filsafat tersendiri, tanpa memandang keaslian dan keterpengaruhannya
dengan filsafat kelompok masyarakat lain. Karena proses akulturasi peradaban
antar kelompok masyarakat, tidak dapat dipungkiri, pasti terjadi bagaimana pun
bentuk dari akulturasi tersebut; apakah peradaban asli akan kalah oleh peradaban
pendatang, atau peradaban pendatang yang akan tunduk terhadap peradaban asli,
atau mungkin keduanya saling berkomunikasi dan melahirkan sebuah perad aban
baru yang merupakan campuran dari keduanya.
Islam, sebagai sebuah kelompok masyarakat, juga memiliki pemikiran
filsafati yang kemudian dinamai dengan filsafat Islam. Penamaan “filsafat Islam”
muncul belakangan. Artinya, frasa ini tidak terdapat dalam masyarakat Islam
terdahulu atau masyarakat Islam awal. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
penamaan tersebut kemudian mengundang kontroversi. Filsafat Islam seolah-olah
adalah sebuah frasa yang saling bertolak belakang.
Dalam hal ketuhanan, dia terpengaruh dengan keyakinan rakyat Yunani
yang ada kala itu. Melepaskan diri dari segala pengaruh adalah hal yang mustahil,
tidak mungkin sama-sekali. Dengan begitu, frasa filsafat Islam tidaklah
merupakan frasa yang saling bertolak belakang.
Orang Islam, tatkala berfilsafat, tidak meninggalkan pengaruh lingkungan
dan Islam yang telah ada di dalam jiwa mereka. Akan tetapi mereka berusaha
mengokohkan kaidah-kaidah agama dengan logika Islam serta berusaha
menjadikan filsafat sejalan dengan agama. Mereka berusaha membuktikan
kebenaran agama sekaligus filsafat. Oleh karenanya, Islam bukanlah penghalang
bagi mereka untuk berpikir. Justru Islam membantu mereka untuk senantiasa
berpikir.
Selain perdebatan masalah kontradiksi makna frasa “filsafat Islam”,
penamaan filsafat yang lahir di dalam masyarakat Islam dengan sebutan filsafat
Islam pun juga menjadi poin perbedaan di antara kalangan sejarawan.
Argumen mereka terangkum dalam dua hal, pertama, jika filsafat tersebut
dinamai dengan filsafat Islam, akan mengesampingkan pemikiran filsuf non-
muslim yang punya andil di dalam filsafat ini. Kedua, penamaan filsafat Arab
merupakan penamaan yang pas dan sesuai dengan realita karena karya-karya para
filsuf ini tertulis dengan bahasa Arab.
Pendapat kedua, filsafat ini layak dan pas jika dinamai dengan filsafat
Islam. Di antara yang menyatakan demikian adalah tokoh orientalis.
Di zaman modern ini perdebatan sengit tentang masalah penamaan kata
filsafat islam sangat intens sekali. Banyak sekali buku-buku filsafat islam di
namai dengan judul buku Filsafat Islam, akan tetapi kebanyakan sang penulis
jarang sekali memikirkan ketepatan penempatan filsafat Islam itu sendiri.
Misalnya, ada sebagian ahli filsafat yang mengasumsikan bahwa filsafat dengan
Islam itu adalah dua entitas yang berbeda bahkan susah untuk disatukan, karna
memang ajaran filsafat yang datang dari yunani sangat bertolak belakang sekali
dengan ajaran islam. Oleh karnanya golongan ini menamainya dengan filsafat
muslim, karna yang mempelajari filsafat itu sendiri orang muslim. Dan ada juga
sebagian yang memprobelmkan dari segi bahasa, bahwa ketepatan untuk judul
filsafat islam ini bukan filasafat islam, tapi filsafat arab, karna awal mula yang
mempelajari filsafat dalam islam adalah orang arab dan semua filsafat dalam
islam identik dengan bahasa arab. bahkan madjid fkhri yang menyebut karya
monumentalnya dengan filsafat islam (islamic philosophy) juga malah
menganggap nama filsafat arab lebih tepat ketimbang filsafat islam dan filsafat
muslim.

Selain kedua nama tersebut ada juga yang mengusulkan nama lain, yaitu
“filsafat dalam islam”, karna inilah filsafat yang dikembangkan oleh para pemikir
muslim dalam masyarakat islam.

Namun saya sendiri lebih cenderung dan sepakat dengan apa yang di
katakan Dr.Mulyadi Kartanegara bahwa yang paling tepat untuk judul filsafat
islam adalah Filsafat islam dengan beberapa alasan.

Pertama. sebelum filsafat yunani masuk ke dunia islam, islam sudah


mempunyai sistim teologi atau ilmu kalam yang menekankan ketauhidan dan
syari’ah yang menjadi pedoman bagi siapapun. Pandangan syari’ah ini begitu
dominan, sehingga tidak ada sistem apa pun, termasuk filsafat, dapat diterima
kecuali sesuai dengan ajaran pokok islam, yaitu tauhid dan pandangan hidup
syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid tersebut.

Kedua. Sebagai seorang filosof muslim adalah pemerhati filsafat asing


(yunani) yang kritis, dan apabila dirasakan adanya kekurang yang diderita filsafat
yunani, maka tanpa ragu-ragu lagi, mereka akan mengkritik secara fundamental,
dan apabila ada sebagian dari filsafat yuanani yang bertentangan dengan islam,
maka para filosof muslim akan mempertimbangkan kembali, megkritik atau
bahkan tidak diterimanya.
Ketiga. Setelah sitem filsafat masuk dalam islam, para filosof muslim
membedakan fisafatnya dengan filsafat-filsafat lain dengan mengambil objek
kajian tentang nubuwah kenabian oleh hampir semua filosof besar dari Al-Farabi
hingga Mulla Shadra, yang tentunya membuat filsafat Islam semakin unik.

B. EPISTIMOLOGI FILSAFAT ISLAM


Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun.1 Ketiga dasar filosofis inilah yang merupakan sumber derivasi
paradigma keilmuan, sehingga setiap pengetahuan memiliki ciri-ciri paradigmatik
masing-masing yang konsekuensinya memilki body of knowledge masing-
masing.2

Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan dalam wilayah


filsafat yang memperbincangkan seluk beluk pengetahuan. 3 Yang bermanfaat
mengetahui ilmu pengetahuan itu sendiri atau yang akan menjadi pokok
permasalahan yang akan di bahas dalam suatu bidang keilmuan. Persoalan sentral
epistemologi adalah mengenai apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana cara
mengetahuinya.4 Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan
ciri-ciri umum dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu
diperoleh dan diuji kebenarannya. Singkatnya, epistemologi adalah pengetahuan
mengenai pengetahuan yang juga sering disebut “teori pengetahuan (theory of
knowledge)”.

Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan logis tentang objek yang abstrak


logis, dalam arti rasional dan dapat juga dalam arti supra-rasional. Logis adalah
yang masuk akal, terdiri dari logis rasional yakni suatu pemikiran yang masuk

1 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar

Harapan, 1983), 105.


2 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008), 7.
3 Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
42.
4 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2008),
117.
akal, tetapi menggunakan ukuran hukum alam, dan logis supra-rasional yaitu
pemikiran akal yang kebenarannya berdasarkan logika yang ada di dalam susunan
argumentasinya, benar-benar bersifat abstrak meskipun melawan hukum alam.
Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Bahkan dalam al-Qur’an Surat al-Mujadilah ayat 4 disebutkan bahwa Allah
memuliakan manusia yang memiliki ilmu pengetahuan.

Secara historis, para filosof Muslim telah membahas epistemologi yang


diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan yang berupa realitas.
Realitas dalam epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada realitas fisik, tetapi
juga mengakui adanya realitas yang bersifat nonfisik, baik berupa realitas imajinal
(mental) maupun realitas metafisika murni. 5

Mengenai alat pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara umum


sepakat ada tiga alat epistemologi yang dimiliki manusia untuk mencapai
pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat tersebut, maka
terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu: a) metode observasi
sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat, atau juga disebut metode
bayāni yang menggunakan indera sebagai pirantinya, b) metode deduksi logis atau
demonstratif (burhāni) dengan menggunakan akal, dan c) metode intuitif atau
„irfāni dengan menggunakan hati.

Epistemologi Islam membahas masalah-masalah epistemologi pada


umumnya dan juga secara khusus membicarakan wahyu dan ilham, sebagai
sumber pengetahuan dalam Islam.6 Wahyu hanya diberikan Allah kepada para
nabi dan rasul melalui Malaikat Jibril, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw.,
penutup para nabi dan rasul.

Ilham adalah inspirasi atau pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke
dalam hati nabi atau wali. Inspirasi atau intuisi pada prinsipnya dapat diterima
setiap orang. Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi Islam berpusat pada Allah,
dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, tetapi di sisi lain,

5 Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.


6 Miska M. Amien, Epistemologi Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), 10-1.
epistemologi Islam berpusat pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku
pencari pengetahuan (kebenaran).

Epistemologi Para Filosof Yunani dan Romawi

Diskursus epistemologi dapat dilacak dari sejarah pemikiran para filosof


Yunani kuno, yaitu Heraklitos (535-484 SM) yang berpendapat bahwa alam
semesta ini selalu dalam keadaan berubah, sesuatu yang dingin berubah menjadi
panas, dan begitu sebaliknya. Dunia ini selalu bergerak, tidak ada yang tetap,
panta rhei, semuanya mengalir. Implikasi pernyataan ini mengandung pengertian
bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Hari ini 2+2=4, besok dapat saja
bukan empat. Sebaliknya Parmenides (304-475 SM) berpendapat bahwa segala
yang berasal dari penangkapan indera tidak ada yang layak disebut pengetahuan,
dan bahwa satu-satunya pengetahuan sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-
konsep, seperti; 2+2=4. Sedang pernyataan “salju berwarna putih” dianggap
penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian. 7

Plato (427-347 SM) lebih cenderung pada rasionalisme Parmenides. Ia


berpendapat bahwa pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya selalu berubah-ubah. Plato tidak mempercayai kebenaran
pengamatan inderawi dalam proses pencarian pengetahuan. Ia mengemukakan
bahwa di luar wilayah pengamatan inderawi ada “ide”. Dunia “ide” bersifat tetap,
tidak berubah-ubah dan kekal.

Aristoteles (384-322 SM) menyanggah teori Plato dengan mengatakan


bahwa ide-ide bawaan tidak ada. Kalau Plato menekankan adanya dunia “ide‟
yang berada di luar benda-benda empirik, maka Aristoteles tidak mengakui
adanya dunia seperti itu. Hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal
bukan hasil bawaan dari sejak lahir, melainkan dari pemahaman yang dicapai
lewat proses panjang pengamatan empirik manusia. Aristoteles mengakui bahwa
pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap atau kekal. Tetapi dengan
pengamatan dan penyelidikan yang terus menerus terhadap hal-hal dan benda-
benda konkret, maka akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya
7 Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi (Yogyakarta: LIMA dan Faisal Fondation,
2007), 87.
dari benda konkret tersebut.8 Menurut Aristoteles pengetahuan harus selalu berisi
kenyataan yang dapat diindera, yang merangsang budi kita kemudian diolah oleh
akal pikir.

Pada era hellenisme Romawi, muncul Plotinus (205-270 M) yang


berupaya memadukan atau melakukan sintesis antara ajaran Plato dan Aristoteles,
tetapi pada prakteknya ia condong kepada Plato. 9 Plotinus berpendapat bahwa
Yang Satu adalah pangkal dari segala-galanya. Yang Satu adalah Yang Asal,
Yang Sempurna, Yang Menjadi Sebab Pertama dari segala yang ada, dari Yang
Satu mengalir menjadi wujud yang beragam melalui proses “emanasi”. Proses
pelimpahan dari Yang Satu ini dapat dianalogkan dengan proses pancaran cahaya.
Jadi, pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pancaran langsung dari Yang
Satu atau Tuhan. Pemikiran ketiga tokoh filosof di atas (Plato, Aristoteles, dan
Plotinus) merupakan representasi pola pemikiran filsafat yang berkembang secara
menyeluruh di dunia Islam dalam bingkai ajaran Islam.

Paradigma Pemikiran Epistemologi Filosof Muslim Paripetetik

Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim Paripatetik memiliki


perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi. Filsafat Paripatetik
adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak pertama filsafat Islam
yang mencapai kematangannya di tangan Ibn Sina. Dalam tradisi pemikiran Islam
dikenal dengan “massya‟i”, yang berarti berjalan, karena Aristoteles dalam
menyampaikan ajarannya berjalan-jalan di sekitar gedung olah raga di kota
Athena yang bernama paripatos.10

Al-Kindi (801-860 M) menyebutkan ada tiga macam pengetahuan


manusia, yaitu; pengetahuan inderawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan
intuisi. Pertama, pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara
langsung ketika orang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses
tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang
8 Musa Asy‟arie, Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, dan
Perspektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), 23-4.
9 Fu‟ad Al-Ahwani, Dirāsat al-Falsafah al-Islāmiyyah (Mesir: D?r al-Fikr, tt), 85.
10 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta : Rajawali Press, 1986), 79.
diperoleh dengan jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak
setiap waktu. Kedua, pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh
dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan bersifat
immaterial.

Pengetahuan ini menyelidiki sampai pada hakikatnya. Sebagai contoh


adalah orang yang mengamati manusia, menyelidikinya sampai pada hakikatnya
dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir.
Ketiga, pengetahuan ishrāqi yang merupakan pengetahuan yang datang dan
diperoleh langsung dari pancaran nur-Ilahi. Puncak pengetahuan ini adalah
pengetahuan yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal
dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar.
Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan
Allah.

Al-Farabi (870-950 M), mengemukakan bahwa manusia memperoleh


pengetahuan melalui daya mengindera, menghayal, dan berfikir, di mana ketiga
daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu: jism, nafs, dan „aql. Pertama,
daya mengindera yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan
seperti panas dan dingin, yang dengan daya ini manusia dapat mengecap,
membau, mendengar suara, meraba, dan melihat. Kedua, daya menghayal yang
memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan
setelah obyek tersebut lenyap dari jangkauan indera. Daya ini adalah
menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga
menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi-kombinasi yang beragam, dan
hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Ketiga, daya berfikir yang memungkinkan
manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia
dari yang hina serta menguasai seni dan ilmu.

Ibn Sina (980-1037 M) mengemukakan teori al-Rūh alMuqaddas (ruh


yang disucikan), yakni jiwa insani yang merupakan fakultas rasional yang
dipersiapkan dari keterjagaan dan berhubungan dengan akal universal, dan
kebutuhannya dicukupi dengan ilhām dan wahyu.11 Sesuai dengan tradisi filsafat
Yunani yang universal, Ibn Sina menyatakan bahwa seluruh pengetahuan adalah
sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui. Ia berpendapat
bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-
satunya sarana yang melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan
membangun kepribadian.

Ibn Rushd (1126-1198 M) yang populer sebagai “Komentator Aristoteles”


berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu
indera dan rasio. Ibn Rushd berpendapat, bahwa hanya pengetahuan yang
dihasilkan rasio yang bisa dianggap sebagai pengetahuan sejati, sedang
pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat tersebut, sebab masih bisa tertipu
oleh bayangannya sendiri.12 Menurut Ibn Rushd, untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar tentang Pencipta alam ini hanya dengan penalaran yang benar
berdasarkan logika. Logika merupakan sarana untuk mendapatkan hakikat
kebenaran meyakinkan, yang disebut dengan “metode burhāni” (demonstratif).
Akan tetapi Ibn Rushd juga berpendapat bahwa jalan untuk menuju kebenaran
tidak hanya melalui refleksi filsafat (burhāni), namun ada jalan lain, yakni melalui
analisa mendalam terhadap kitab suci.

Berdasarkan uraian ringkas tentang pemikiran epistemologi d ari para


filosof Muslim Paripatetik menunjukkan bahwa akal atau rasiolah yang paling
dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan
menggunakan metode demonstratif (burhāni). Posisi al-Qur‟an dan al-hadis bagi
mereka adalah hanya sebagai alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan cara
memberikan ta’wīl yang rasional.

Epistimologi barat

Seperti halnya pengetahuan dalam sebuah peradaban memiliki corak


tertentu sesuai dengan paradigma dan Worldview yang berkembang di dalamnya,

11 Ibn Sina, Ahwāl al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 167-
8.
12 Suparman Syukur, Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 1996), 145.
demikian pula halnya dengan corak pengetahuan yang berkembang di dunia
Barat. Pengetahuan yang berkembang disana memiliki karakteristik seperti
rasional, sekuler, pragmatis dan cenderung mengarah pada bentuk-bentuk
eksploitasi alam sekitarnya.13

Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai
belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu
menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga
memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.
Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan
disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya
berpakaian dan sebagainya.

Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya


mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan
dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan
dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing Negara,
sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berfikirnya,
metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun, dan sebagainya,
mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak disadari.

Sebagai sebuah peradaban yang bersumber dan dipengaruhi oleh


peradaban rasional Yunani Romawi, ilmu pengetahuan di Barat memiliki corak
epistemologi tersendiri yang berbeda dari pengetahuan yang berkembang di
peradaban lainnya. Epistemologi pengetahuan barat lebih bercorak rasional
empirik dan memisahkan diri dari hal-hal yang irrasional dan non rasional. Aliran-
aliran filsafat Yunani Kuno sangat berpengaruh pada pembentukan corak
epistemology ini. Hampir-hampir bisa dikatakan bahwa pembentukan
epistemologi Barat sepenuhnya berakar pada ide-ide filsafat yang berkembang
tanpa ada sentuhan corak keagamaan sama sekali. Hal ini bisa dimaklumi karena
Barat pernah mengalami trauma psikologis dan kepercayaan diri dalam

13 Mahbub Setiawan; Epistimologi Barat; 2


berhadapan dengan agama (Kristen) yang pernah memenjarakan kebebasan rasio
dan fikiran masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan agama dan kehidupan spiritual rohaniah,


epistemologi Barat menampakkan diri sebagai epistemologi yang tidak seimbang.
Tidak seimbang antara aspek jasmaniah dengan rohaniah, antara material dengan
immaterial, antara dunia dengan akhirat, antara rasio dengan jiwa. Demikian juga
dalam masalah-masalah agama, epistemologi Barat berusaha menjauhkan diri dari
pengaruh dan keterlibatan agama dalam upaya mengembangkan dan
menghasilkan pengetahuan.

Ilmu pengetahuan Barat ini diletakkan dalam posisi yang berbeda dengan
kebudayaan timur, bukan karena menafikan keterpengaruhan dan kontribusi
peradaban Timur terhadap ilmu pengetahuan Barat, namun karena ilmu
pengetahuan Barat sejak renaissance (aufklarung) telah menciptakan bentuk dan
paradigma baru yang diderivasikan dari corak pemikiran rasionalistis dan
antropomorpis serta sekularisasi kosmos. Bentuk baru ini melahirkan ilmu
pengetahuan yang monolitik dan unilateral.

Kecenderungan epistemology Barat pada umumnya mengarah kepada


aliran positivisme. Pemikiran ini hanya mendasarkan dan membatasi pengetahuan
manusia pada data oleh panca indera dan akal. Sehingga dalam kajiannya, metode
yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah empirisme dan
rasionalisme.

Empirisme berarti pengelaman indrawi. Aliran ini mempercayai bahwa


indrawi manusia sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah
yang berhubungan dengan dunia dan pengalaman batiniah yang berhubungan
dengan pribadi manusia.

Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa indera manusia adalah sumber


pengetahuan manusia, baik jasmani maupun rohani. Dengan demikian manusia
mempunyai kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan indera yang
dipunyainya, tidak harus dengan wahyu, keyakinan seperti ini akan mungkin
terjadi ketika seseorang mengikuti pola pemikiran aliran empirisme. Karena
mereka beranggapan pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mendapatkan
pengetahuan dan kebenaran.

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.


Menurut aliran rasionalisme kebenaran dapat dikatakan benar jika sesuai dengan
kenyataan, jadi sesuatu yang dianggap benar harus sesuai dengan kenyataan atau
dapat dibuktikan, kalau sesuatu itu tidak dapat lihat secara nyata maka hal tersebut
tidak dianggap benar karena tidak sesuai dengan kenyataan. Aliran ini juga
berpendapat bahwa pengalaman dan pengamatan bukan jaminan untuk
mendapatkan kebenaran. Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan
adalah akal budi. Akal budi akan mampu menemukan kebenaran dan pengetahuan
yang akan secara terus menerus mencari kebenaran hingga ke akar permasalahan.
Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan inderawi sebagai alat untuk
mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih mengunggulkan akal untuk mencapai
kebenaran dan pengetahuan.

Pemikiran Epistemologi Menurut Para Filosof Yunani

Sejak awal, para filosof pra-Sokratik tidak memberikan perhatian pada


cabang filsafat epistemologi, sebab mereka memusatkan perhatian pada alam dan
kemungkinan perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka
mengandaikan begitu saja, bahwa pengetahuan mengenai itu mungkin, meski
beberapa di antara mereka menyarankan bahwa pengetahuan tentang struktur
kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu, ketimbang
sumber-sumber lain.

Pengetahuan tentang “realitas” atau kebenaran obyektif mendapat


momentum-nya pada filsafat Socrates (469–399 SM). Menurutnya, ada kebenaran
obyektif yang tidak tergantung pada saya atau pada kita. Untuk membuktikannya,
Socrates menggunakan metode dialektika (berasal dari kata kerja Yunani
dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap atau berdialog), yang terdiri dari induksi
dan definisi.14 Yang disebut pertama adalah pemikiran yang bertolak dari
pengetahuan yang khusus, kemu-dian menyimpulkan pengetahuan yang umum,

14 M. A. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 25-28
sedangkan yang disebut belakangan tiada lain adalah pengertian umum. Di sini
Socrates memunculkan pengetahuan yang bersifat umum sebagai pengetahuan
yang benar, dan pengetahuan yang khusus sebagai pengeta-huan yang
kebenarannya relatif.15

Perkembangan selanjutnya, epistemologi mendapat bentuknya dalam


sistem pemikiran Plato (427-347 SM). Dalam menguraikan pemikiran tentang
epistemologi, Plato mengawalinya dengan menegaskan bahwa realitas itu tidak
berubah. Menurutnya, pengetahuan sejati adalah apa yang disebut epistem, yakni
pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan idea-idea abadi. Apa yang
nampak di dunia ini hanyalah “bayangan” dari yang baka. Bayangan yang
bermacam-macam dan selalu berubah, sehingga kebenaran menurut Plato bersifat
apriori (Pengetahuan yang diperoleh manusia tanpa adanya usaha aktif yang
mendahului untuk mendapatkan pengetahuan tersebut).

Kemudian datang Aristoteles (384 SM), murid Plato, meneruskan


pendapat gurunya, tetapi dengan mengubah segi-segi mendasar. Aristoteles
menetapkan abstraksi sebagai ganti dari ingatan dan intuisi. Dalam proses
abstraksi, pengertian semakin meluas sejauh isi yang dapat disentuh dengan panca
indera semakin menipis.

Aristoteles berangkat dari pengamatan dan penelitian aposteriori, karena


segala ungkapan-ungkapan ilmu terjadi sesudah pengamatan dan pengalaman.
Jadi, pengetahuan terjadi jika subyek diubah di bawah pengaruh obyek. Artinya,
bentuk-bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas di dalam ruang bathin, seperti
halnya stempel meninggalkan bekas pada kertas. 16

C. PERBEDAAN FILSAFAT ISLAM DAN FILSAFAT BARAT


Banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat lahir dari Yunani,
namun ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dimulai dari Islam. Ada lagi
yang berpendapat asal mula filsafat dari gabungan keduanya.

15
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1991),
16P. Hardono Hadi, Epistemologi, saduran dari Kenneth T. Gallagher, “The Philosophy
of Knowledge”, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 28-29
Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filosof Barat sejak
abad pertengahan sampai abad modern. Sedangkan Filsafat Islam adalah berpikir
bebas, radikal dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan
karakter yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
Perjalanan filsafat Barat dimulai dari masa Yunani Kuno, yang terfokus
pada pemikiran asal kejadian alam secara rasional. Segala sesuatu harus atas dasar
logika. Kemudian masa abad pertengahan filsafat berubah arah menjadi bersifat
teosentrik, segala kebenaran ukurannya adalah ketaatan pada Gereja. Maka
mereka banyak yang berasal dari kalangan pendeta (agamawan). Pada perjalanan
berikutnya para pendeta dogmatis itu ditinggal para ilmuwan yang kemudian
beralih pada pemikiran yang bercorak bebas, radikal, dan rasional yang realis.
Filsafat Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan Muslim yang mendalam
secara teoritis maupun empiris, bersifat universal yang berlandaskan Wahyu.
Filsafat Islam merupakan pengembangan filsafat Plato dan Aristoteles yang telah
dilandasi dengan ajaran Islam dan memadukan antara filsafat dan Agama, filsafat
yang berciri religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan
akal.
Tujuan Filsafat barat dan filsafat Islam sebenarnya hampir sama. Namun
karena terjadinya perbedaan agama maka pada filsafat Islam ada yang
membatasinya, yaitu menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam
dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya, jadi dalam filsafat
objeknya tidak membatasi diri. Dalam filsafat membahas tentang objeknya sampai
kedalamannya, sampai ke radikal dan totalitas.
Filsafat Islam bertujuan sebagai berikut:
Pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan
nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah
kehidupan yang lebih baik. Pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari
dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan orang yang berbeda, serta
kemandirian intelektual.
Kebebasan intektual dan sikap-sikap lainnya yang berkaitan, akan kita
peroleh dengan mengkaji persoalan-persoalan filsafat secara mendalam. Filsafat
adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan sekedar meninjau berbagai
macam teori, tetapi juga menilainya secara kritis. Sehingga, sikap kritis akan
senantiasa kita peroleh.17
Perbedaan antara Filsafat umum dan Islam.
1. Theosentris (berpusat pada Tuhan) sebuah pemikiran dimana semua proses
dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Contoh: Guru
harus berorientasi kepada Allah yang artinya bahwa segala sesuatu harus diniati
karena Allah.(Islam). Anthroposentris (berpusat pada manusia) adalah teori etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Contoh: Belajar tapi dengan niat yang salah (Umum/barat)

2. Berdasarkan wahyuAl-Qur’an & Hadis (Islam). Hasil pikir manusia dari


generasi ke generasi (Umum/barat). Perenialisme: sebuah paham/pemikiran pada
zaman klasik sehingga pendidikan harus diarahkan ke zaman klasik Esensialisme:
Suatu paham bahwa pendidikan yang menyakini suatu abad pertengahan berarti
pendidikan sesuai dengan abad tersebut. Progresifisme: paham bahwa pendidikan
yang meyakini suatu abad modern berarti pendidikan harus sesuai dengan abad
modern. Rekonstruksifisme: yang menyatakan semua aliran diatas salah dan
pemikiran tidak benar.
3. Dalam meyakini hal gaib (Islam) : mengajarkan kepada peserta didik bahwa
hal-hal yang gaib itu ada dan kita harus menyakininya. (Barat) : positivistik yang
ada ialah yang dapat diterima oleh indra (tidak percaya dengan gaib)
4. Belajar mengajar sama dengan ibadah dan selalu dikaitkan dengan pengabdian
kepada Allah (Islam). Belajar mengajar itu tdk ada hubungannya d engan Tuhan
dan agama untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kewajiban sosial (Barat/umum).
5. Meyakini adanya kehidupan sebelum dan sesudah mati (Islam). Tidak
membahas kehidupan sesudah kematian, pendidikan hanya kepentingan hidup
sekarang (Barat).
6. Dalam pendidikan ada dosa dan pahala (Islam), pendidikan tidak dikaitkan
dengan dosa dan pahla (Barat).
7. Akal dan ilmu manusia yang tidak terbatas adalah ilmu Tuhan (Islam). Dengan
akal manusia dapat mencapai/tidak terbatas (Barat)

17 http://makalahqw.blogspot.com/2014/05/filsafat-islam-definisi-obyek-kajian.html.
8. Apa yang di dapat dari akal dan ilmu terikat oleh Norma dan nilai (Islam).
Akal dan ilmu bebas nilai (barat).
9. Terdapat hak-hak Tuhan dan manusia lainnya terhadap ilmu yang dimiliki oleh
seseorang (Islam). Tidak membahas hak-hak Tuhan , paling tinggi pendidikan di
dasrkan pada kemanusiaan (humaniora) (Barat).
10. Tujuan pendidikan adalah terbentuknya insan kamil (Islam). Tujuan
pendidikan adalah agar manusia dapat hidup lebih baik sejahtera dan bahagia
dalam hidupnya (Barat). 18

KESIMPULAN
Epistimologi menurut Islam, akal atau rasiolah yang paling dominan
sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan
metode demonstratif (burhāni). Posisi al-Qur‟an dan al-hadis bagi mereka adalah
hanya sebagai alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan cara memberikan
ta’wīl yang rasional.
Epistimologi menurut Barat berusaha menjauhkan diri dari pengaruh dan
keterlibatan agama dalam upaya mengembangkan dan menghasilkan pengetahuan.

REFERENSI
Al-Ahwani, Fu’ad. Dirāsat al-Falsafah al-Islāmiyyah (Mesir: Dar al-Fikr, tt), 85.
Asy’arie, Musa. Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, dan
Perspektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), 23-24.
Brouwer, M. A. Sejarah Filsafat Barat Modern, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.
25-28
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1986), 79.
Hadi, P. Hardono. Epistemologi, saduran dari Kenneth T. Gallagher, “The
Philosophy of Knowledge”, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 28-29
http://makalahqw.blogspot.com/2014/05/filsafat-islam-definisi-obyek-kajian.html.
https://www.scribd.com/doc/39309031/Perbedaan-Antara-Filsafat-Umum-Dan-
Islam-Tugas-UTS-FPI

18https://www.scribd.com/doc/39309031/Perbedaan-Antara -Filsafat-Umum-Dan-Islam-
Tugas-UTS-FPI
Kartanegara, Mulyadi. Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.
M. Amien, Miska. Epistemologi Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), 10-
1.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008), 7.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), 105.
Setiawan, Mahbub. Epistimologi Barat; 2
Sina, Ibn. Ahwāl al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009),
167-8.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: al-Ruzz Media,
2008), 117.
Syukur, Suparman. Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), 42.
Syukur, Suparman. Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1996), 145.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991)
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi (Yogyakarta: LIMA dan Faisal
Fondation, 2007), 87.

Anda mungkin juga menyukai