Anda di halaman 1dari 13

EPISTIMOLOGI PERIPATETIK (KONSEP DAN KRITIK)

Wisnu Fadhli
Abstrak: Perkembangan Islam pada zaman keemasan, selain ditandai dengan
kemajuan politik dan ekonomi, juga ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam semua bidang, termasuk dalam bidang filsafat Islam.
Kemajuan filsafat Islam ini ditandai dengan bermunculan berbagai corak
pemikiran yang juga disebut dengan mazhab filsafat Islam salah satunya
Peripatesisme. Ciri khas mazhab peripatesis ialah semangatnya yang
rasional argumentatif, menggunakan logika Aristoteles dengan pembuktian
yang teruji dan rasional. Cara kerja yang lebih aplikatif ini membuat
mazhab peripatesis lebih mendapat dukungan yang lebih banyak secara
kuantitas dan kualitas dibanding mazhab lainnya. Tapi banyak juga kritik
terhadap konsep dalam madzhab peripatesisme seperti al-Ghaza>li> dan
Suhrawardi.

Kata kunci: peripatetik, al-Ghaza>li>, Suhrawardi

Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat menghargai akal. Hal ini terbukti banyak
ayat al-Qur’an yang mengedepankan pentingnya akal, rasio, atau pikir dengan
berbagai derivasinya, seperti kata: afala ta’qilu>n, afala tatafakkaru>n, afala yanz{uru>n,
dan lain sebaginya. Di samping itu, Islam juga menjunjung tinggi ilmu pengetahuan
dari manapun datangnya, seperti kata pepatah: “Tuntutlah kalian ilmu pengetahuan
walaupun sampai ke Negeri Cina”. Atas dasar dua aspek ajaran Islam tersebut,
ditambah adanya kesadaran umat Islam untuk merasionalkan ajaran-ajaran pokok
agama Islam, maka sejak awal perkembangannya, umat Islam sudah mengadopsi
berbagai ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, kimia, fisika, optika, dan sebagainya
dari berbagai belahan dunia, terutama dari Yunani dan Romawi.
Akhirnya pada abad IX Masehi atau abad ke-3 Hijriyah, umat Islam juga
mempelajari filsafat, terutama filsafat Yunani dan Romawi. Selanjutnya umat Islam
melakukan inovasi, seleksi, dan pemaduan dengan ajaran Islam yang fundamental,
sehingga melahirkan sebuah struktur pemikiran Islam yang bersifat filosofis logis di
satu sisi, tetapi bersifat relegius-Islami di sisi lain. Pemikiran tersebut menjadi
disiplin baru dalam Islam yang dikenal dengan filsafat Islam atau ada yang menyebut
filsafat Muslim. Filsafat yang berkembang di dunia Islam pada abad ke-9 Masehi ini
dikenal sebagai filsafat Islam Paripatetik karena banyak dipengaruhi oleh pola pikir
Aristoteles dan sekaligus sebagai madzhab pertama dalam sejarah pemikiran filsafat
Islam.1
A. Sejarah Lahirnya Madzhab Peripatetik
Awal mula dikenalnya istilah filsafat peripatetik, adalah setelah meninggalnya
salah satu tokoh besar filsafat yunani kuno, yaitu Aristoteles. Yang di mana setelah
meninggalnya Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajarannya adalah para
muridnya, kemudian dinamakan kelompok peripatetik. Istilah peripatetik diambil
dari tradisi mengajar Aristoteles, sebagai figur utama para filosof klasik yang
memutar mengelilingi murid-muridnya.2
Dalam bahasa arab peripatetik disebut dengan istilah Istilah masha’iyah
berasal dari bahasa Arab yang berarti berjalan.3 Dalam bahasa Inggris disebut dengan
“peripatetic“ yang berarti mengembara, atau pengembaraan. Sebutan mengembara
atau berjalan diberikan kepada mazhab (aliran) ini, karena tiga kemungkinan.
Pertama, karena ajarannya disampaikan Aristoteles, sebagai founder (pembangun),
sambil berjalan-jalan. Kedua, dikaitkan dengan sudut sebuah gedung olah raga di kota
Athena yang bernama Peripatos. Adapun kemungkinan ketiga ialah karena metode
berpikir ini menggunakan istidlāl (perumusan dalil) setiap kali mengambil
kesimpulan. Proses istidlāl mengalir (seolah) berjalan sehingga sampai pada
kesimpulan. Ketiga kemungkinan ini, sedikit atau banyak, berkaitan dengan ciri dan
cara kerja mazhab filsafat Islam ini. Murid-murid utama Aristoteles ialah
Theopharastos dan Andronikos. Kedua murid ini berperan tidak hanya mendengar

1
Hasan Bakti Nasution, “Mazhab Peripatesis Dalam Filsafat Islam”, Analytica Islamica, Vol. 1,
No. 2, 2012, 181.
2
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi Di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung:
PenerbitPustaka,1994),133–135.
3
Haidar Baqir, Buku saku filsafat islam (Bandung: Mizan, 2005), 92.
dan menulis, tapi juga menyebarluaskan pemikiran-pemikiran gurunya yaitu
Aristoteles.4
Perkembangan peripatetik, secara sederhana dapat dikatakan relatif sejajar
dengan perkembangan akademia. Artinya, bahawa pada awalnya peripatetik hanya
meneruskan dari prinsip-prinsip filsafat Aristoteles, sebagaimana akedemia
meneruskan karya-karya warisan Plato dengan terutama mementingkan ajaran
tentang idea-idea dan matematika. Demikian juga para murid Aristoteles meneruskan
usaha-usaha gurunya, khususnya melakukan penyelidikan ilmiah yang sangat
empiristik dan logis. Akan tetapi berbeda dengan Plato di dalam mempengaruhi masa
kuno yang akan mendatang. Karena Plato tetap dikenal masa kuno Yunani dan
Romawi dikemudian hari. Sedangkan pengaruh filsafat Aristoteles sempat mengalami
masa jeda, baru pada abad pertengahan, pengaruh Aristoteles atas pemikiran filsafat
islam dan pada giliran selanjutnya atas modern barat mulai menampakkan pengaruh
yang besar, bahkan melebihi pengaruh Plato sendiri. Adapun beberapa beberapa
filosof muslim yang dikategorikan kepada aliran peripatetik lainnya, diantaranya
adalah al-Kindi (w. 866), al-Farabi (w. 950), Ibn Sina (w. 1030), Ibn Rusyd (w.
1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274). 5
B. Karakteristik Aliran Peripatetik
Yang membedakan aliran paripatetik dengan aliran lainnya yaitu dari sudut
metodologis, dan ontologis. Berikut diantaran beberapa ciri dari segi metodologisnya;
1. Modus penjelasan para filosof paripatetik yang bersifat diskursif yang
menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Metode yang
mereka gunakan adalah metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang
telah diketahui dengan baik dan mereka biasa menyebutnya dengan premis
mayor dan minor, dan jika telah ditemukan term dari kedua premis tersebut biasa

4
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 79.
5
Robby Habiba Abror, “The History and Contribution of Philosophy in Islamic Thought”, Al-
Turas Vol. 26 No. 2 July 2020, 322.
disebut dengan “middle term”. Dalam filsafat istilah seprti itu biasa disebut
dengan “silogisme”.
2. Dikarenakan sifat aliran ini yang diskursif, maka filsafat yang mereka
kembangkan bersifat tidak langsung karena dalam menangkap objeknya mereka
biasanya menggunakan symbol, baik yang berupa kata-kata atau konsep maupun
representative. Modus perolehan ini biasa disebut dengan istilah hushuli
(perolehan) yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui perantara yang
biasa disebut dengan “inferensial” dan biasanya dikontraskan dengan modus
pengenalan lain yang disebut debngan istilah hudhuri yang menangkap objeknya
secara langasung.
3. Penekanan yang sangat kuat pada pengenalan rasio sehingga kurang
memprioritaskan pengenalan intuitif yang biasa dilakukan pada aliran filsafat
lain. Karena terlalu mengggunakan penekanan yang kuat terhadap penalaran
daya akliah, maka aliran ini sering dikatakan sebagai aliran yang tidak
mendapatkan pengetahuan yang otentik namun hanya bergantung kepada
pendahulu mereka saja, namun dengan demikian tidak berarti bahwa mereka
tidak mengakui adanya intuisi suci, tetapi bagi mereka itu hanya dapat dimiliki
oleh para Nabi atau Wali. Dengan demikian mereka sendiri lebih
menggantungkan pada daya-daya atau kekuatan semata.6
Ciri lain dari aliran ini dari segi ontologis bisa dilihat dari ajaran mereka yang
biasa disebut dengan istilah hylomorfysme yang mengatakan bahwa apa pun yang ada
di dunia ini terdiri dari dua bentuk utama yang materi dan bentuk. Dalam sejarahnya,
ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles dari ajaran gurunya Plato yang
mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain hanya bayang-bayang dari
ide-ide yang ada di dunuia atas yang kemudian biasa disebut dengan Platonic Ideas.
Yang dimaksud bentuk disini bukanlah bentuk fisiknya melainkan semacam esensi

6
Duski Ibrahim, Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing Untuk Para Tamu (Palembang, Noer
Fikri, 2017), 142.
(hakikat) dari sesuatu sedangkan yang disebut materi adalah bahan yang tidak akan
mewujud kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi. Dalam dunia Islam, hampir
seluruh filosof yang beraliran paripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn
Rusyd memiliki pandangan hylomorfysme yang dengan demikian para filosof tersebut
dapat disebut filosof paripatetik.
Ciri yang kuat dari hylomorfysme ini dapat kita lihat dari ajaran para filosof
paripatetik seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang menyebut bahwa akal aktif sebagai
pemberi bentuk. Ajaran ini mengatakan bahwa alam fisik ini terdiri atas materi dan
bentuk dan materi yang disebut disini harus dipahami sebagai bahan yang memiliki
potensial dalam menerima bentuk apa pun, namun tidak dapat atau belum berbentuk
fisik dan Ibn Sina menyebut meteri ini sebagai mumkin al-wujud, yaitu suatu
kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud namun belum mewujud. Agar
potensi ini dapat mewujud maka pelu ditambahkan kepadanya bentuk. Seperti yang
kita ketahui bahwa semua benda yang dapat kita lihat di alam semesta ini tentunya
telah mendapat bentuk masing-masing, dan menurut keyakinan mereka akal aktiflah
yang telah memberikan mereka bentuk- bentuk tertentu kepada benda-benda tersebut.

C. Kritik Terhadap Paripatetik


1. Al-Ghaza>li>
Pada dasarnya kritik yang dilakukan oleh Al-Ghaza>li> yang terdapat dalam
buku tahafut al-falasifah terdapat 20 permasalahan yang di soroti, namun Al-
Ghaza>li> mengatakan bahwa 17 diantara permasalahan tersebut hanyalah
menambahkan, dan 3 hal penting yang sangat dan paling disoroti adalah yang
pertama, sanggahan Al- Ghaza>li> tentang Keabadian Alam, kedua sanggahan
terhadap hal yang particular ataupun juz’i, dan ketiga adalah mengenai
kemunculan kembali adanya kebangkitan jasmani. Berikut ini penjelasan masing-
masing:7

7
https://taufikrahmatullah.wordpress.com/2013/01/08/aliran-paripatetik (diakses pada tanggal 14
September 2021, jam 15.05)
a. Untuk menjelaskan keabadian
Untuk menjelaskan ini, Al-Ghazali terlebih dahulu menjelaskan
perbedaannya dengan paripatetik, mengenai maslah waktu dan gerak. Dimana
menurut para pilusuf paripatetik, alam ini azali tanpa adanya permulaan waktu
bagi wujudnya dan tanpa ada batas akhirnya. Berarti dari pernyataan tersebut
adanya kehancuran alam semesta adalah suatu hal ketidak mungkinan. Serta
alam ini akan tetap begini adanya.
Selain itu juga, jikalau kita lihat dari pendapat paripatetik ini, menurut
akal kita secara rasional sendiripun, jikalau tidak ada penghancuran, atau tidak
adanya fana atau kemusnahan, mana mungkin kita bisa menyaksikan
bagaimana pohon-pohon roboh dan mati, daun-daun berjatuhan atau
berguguran, serta ketika api melalap atau membakar hutan-hutan kayu-kayu
kering, maka itupun merupakan sebuah tanda kemusnahan atau ke fana’an alam
semesta.
Tapi dari kalangan paripatetik ini tetap mengatakan bahwasanya alam
sebagai akibat, dan sebabnya adalah azali dan abadi. Oleh karena itu jikalau
sebab abadi atau azali, maka akibatpun akan azali. Pendapat tersebut
dipengaruhi oleh hal yang priora dan pasteriora. Alasan lain adalah bahwa
apabila alam fana, maka ketiadaan akan terjadi sesudah wujudnya. Dengan
demikian, kata sesudah akan melekat pada alam. Ini berarti mengafirmasi
waktu. Alasan selanjutnya, masalah wujud tidak akan pernah berhenti, karena
wujud yang mungkin harus.
Menurut Al- Ghaza>li>, alasan ketiga bisa dijawab dengan setiap yang
baru (hadith) dan perbuatan (fi’il) meski tercipta dan berpermulaan waktunya,
dan semua masa mendatang tidak termasuk wujud bagi kita meskipun
datangnya berturut ataupun secara bersamaan, namun masa lalu adalah wujud
yang nyata dan datangnya berturut-turut meskipun tidak scara bersama-sama.
Pada proses penciptaan, dari ketiadaan, dimana dari ketiadaan itu sendiri
tidak dapat diandaikan “akan tiada”, “sedang tiada”, dan “telah tiada”, karena
pengandaian tersebut sekaligus bersamaan dan sekaligus penciptaan dengan
waktu. Apabila hal ini dilihat dari sudut pandang rasional semata, maka tidak
memustahilkan mengandaikan pada keabadian alam, namun brikutnya bisa
diterima tentang kebakaannya, beserta dengan ketiadaannya. Karena menurut
mereka, apabila alam lenyap, kemungkinan wujud harus tetap ada, dan yang
mungkin tidak pernah berubah menjadi mustahil. Akan tetapi harus di ingat,
bahwa kemungkinan itu adalah sangat relative. Mereka sangat dipengaruhi
bahwa segala Sesutu yang ada di pengaruhi oleh materi, demikian juga Sesutu
yang lenyap juga memerlukan suatu materi. Dan yang karena materi itu,iya
akan lenyap.argumen ini muncul dan adanya karena muncul prinsip bentuk dan
materi. Dimana suatu bentuk materi-materi dan mnyatakan bahwa setiap yang
berbentuk fisik tidak akan lenyap. Tapi yang lenyap adalah bentuk-bentuk dan
aksiden-aksiden (arra’dah). Jadi bentuk silogis dari argument tersebut adalah:
a. Apabila materi rusak, maka kerusakan harus terjadi
b. Tapi konsekwensi itu mustahil.
c. Oleh sebab itu, kata yang pertama (1) itu mustahil.
Menurut Al-Ghaza>li>, disinilah adanya kesimpulan yang tidak lazim,
karena kata-kata yang pertama menjadi tidak benar, kecuali apabila disusul
dengan kata “apabila materi rusak”, maka kerusakan tak dapat dihindarkan.
Alasan ini disebabkan oleh adanya kemustahilan, bahwa kerusakan itu adalah
satu-satunya cara yang mana sesuatu merusak. Sebaliknya kerusakan adalah
sutu keadaan dimana kehancuran terjadi. Dan tidak diragukan bahwa sesuatu
bisa rusak ketika Sesuatu tersebut dalam keadaan sempurna.
Sebenarnya argument tentang keabadian alam hanyalah kekhawatiran
yang ada dalam madzhab paripatetik akan adanya sebuah kekosongan waktu.
Yang mana ketika alam sebelum dicipta dan sesudah dicipta maka ada sebuah
kekosongan waktu, namun hal ini tidak mungkin, mengingat tuhan adalah sang
pencipta. Dan bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Tuhan pula lah yang
menciptakan waktu. Jadi kesimpulannya adalah alam ini azali sebagaiman
wujud Tuhan yang tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan serta begitu
seterusnya.
b. Sanggahan Al-Ghaza>li> Mengenai Tuhan tidak Memiliki Pengetahuan yang
Juz’i
Mengenai hal ini Al-Ghaza>li> masih menganggap bahwa pemikiran dari
madzhab paripatetik ini masih dipengaruhi oleh tentang berjalannya waktu dari
‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Pengetahuan juz’iah didapat dan harus diketahui
dari waktu yang lampau atau telah, sekarang atau masa akan datang secara
masing-masing. Sementara menurut penganut faham paripatetik, bahwa tuhan
tidak pernah berubah dengan keadaannya. Sedangkan seperti kita ketahui
bahwa pengetahuan kita berubah jika objek yang kita ketahui berubah.
Jadi menurut pendapat madzhab ini, kesimpulannya adalah, tuhan tidak
pernah berubah, sehingga Dia tidak mengetahui hal yang terperinci dan hanya
mengetahui yang general saja. Urutan-urutan analogi dan logika mereka sangat
bersifat empiris, karena mereka tidak bisa membedakan yang diciptakan dan
yang menciptakan.8
c. Sanggahan Al-Ghazali Terhadap Kebangkitan Kembali Jasad Tubuh
Banyak argument-argument rasional yang telah membuktikan tentang
kemustahilan adanya kebangkitan kembali tubuh-tubuh, bahkan mereka telah
berhasil membuktikannya dengan adanya sifat antromorfis yang dimiliki oleh
tuhan. Mereka telah menguraikan dari berbagai segi tentang teori mereka.

8
Imam Al-Ghazali. Tahafut al-falasifah Cet. IV (Mesir : Dat al-Ma’rif, 1966), 86.
Pertama, kebangkitan kembali, berarti adanya perbaikan tubuh yang dilakukan
oleh tuhan terhadap suatu hal yang sudah lenyap eksistensinya, dan bahkan
kebangkitan kembali terhadap kehidupan yang telah tiada. Dengan kata lain
menurut mereka, bahwa material tubuh tetap sebagai tanah, dan jika adanya
konsep dibangkitkan kembali, maka manusia diciptakan kembali dan disusun
seperti manusia pertama kembali diciptakan. Kedua, jiwa adalah maujud yang
tetap hidup, meskipun tubuh telah mati, sedangkan yang ketiga adalah manusia
hidup bukan karena tubuh manusia itu sendiri, melainkan karena jiwa yang
bersemayam dalam tubuh. Namun menurut paripatetik ketiga kemungkinan
diatas tidak dapat diterima, karena itu bertentangan dengan prinsip-prinsip
umum teori penciptaan, yaitu terdiri dari bentuk dan wujud.
Al-Ghaza>li> menyatakan bahwa jika ada suatu kemungkinan kembali
bangkitnya tubuh yang telah hidup di dunia, maka bagaimana dengan manusia
yang dilahirkan atau dengan manusia yang cacat, jika ketika mereka dimasukan
ke surga, apakah mereka akan ditampilkan dengan keadaan seperti semula.
Bukan hal yang mustahil menurut al-Ghaza>li> bahwa tuhan menciptakan materi-
materi yang lain yang lebih sempurna.9
2. Suhrawardi
Suhrawardi melancarkan kritiknya terhadap sejumlah pemikiran
peripatetik. Sejalan dengan proses pemikiran suhrawardi menuju puncak
kematangan, ia mulanya menulis karya-karyanya yang masih bercorak
peripatetis yang bertumpu pada metode diskursif. Suhrawardi menegaskan
bahwa karya yang bercorak peripatetis harus dikuasai sebelum mempelajari
teosofinya.10 Menurutnya pengetahuan diperoleh melalui dua jalan yaitu
hushuli dan hudhuri. Hushuli adalah pengetahuan perolehan yang di capai
melalui karsa manusia, baik melalui olah bahasa(definisi), olah pikir(logika),

9
Muliati, “Al-Gazali dan Kritiknya Terhadap Filosof”, Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2 (2016),
83.
10
Amroeni Drajat, Suhawardi: kritik falsafah peripatetik (Yogyakarta: Lkis, 2005), 133.
maupun hasil pencerapan inderawi. Sedangkan hudhuri adalah pengetahuan
dengan kehadiran dalam diri setiap individu. Hudhuri bersifat mandiri dan
muncul pada diri sendiri dan tidak akan lenyap dan cenderung mistis.
Sedangkan hushuli bersifat relatif dan memilii ketergantungan dengan situasi
dan kondisi pemiliknya.11 Jadi dengan caranya sendiri suhrawardi
menunjukkkan sisi kelemahan metode parepatetik sebagai berikut:
a. kelemahan definisi
Salah satu untuk memperoleh pengetahuan adalah definisi. Kaum
peripatetik melakukan kesalahan besar dalam membedakan antara ensesi
umum dan diferensia khusus. Sebab menurutnya esensi umum dan
diferensia khusus harus menyatu secara menyeluruh. Dia menegaskan tidak
selayaknya untuk mencapai pengetahuan mengandalkan defenisi.
b. Kelemahan logika
Logika sebagai mata rantai sah tidaknya suatu defenisi. Suhrawardi
membagi pengetahuan dalam 2 kategori yaitu konsepsi pencerapan bentuk
sesuatu kedalam pikiran, konfirmassi pengakuan atau penyangkalan suatu
hukum dari suatu konsep.juga membagi pengetahuan manusia menjadi 2
yaitu; bawaan dan perolehan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat sarana
lain untuk memperoleh pengetahuan selain menggunakan aktivitas
pemikiran. Sedangkan aktifitas bawaan dianggap sebagai pengetahuan
yang independen dari kata inderawi atau lainnya
c. kelemahan persepsi indera.
Kemampuan manusia dalam menangkap pengetahuan tergantung
pada data-data yang tersedia dan terkumpul. Jadi pengetahuan terhadap
sesuatu yang sama tidak dapat dimengerti oleh setiap orang. Oleh karena
itu persepsi tidak mampu mengetahui kebenran sejati.12

11
Ibid, 137
12
Ibid, 150.
d. Ilmu dengan kehadiran
Setelah mengupas kelemahan pengetahuan semantis dan empiris,
Suhawardi menawarkan metode lain untuk mencapai pengetahuan sejati
yaitu ilmu dengan kehadiran. Tiap individu mengetahui diriya dengan
dirirnya sendiri sebab di dalamnya terdapat cahaya murni. Jadi
pengetahuan yang sebenarnya adalah yang datang dari dalam, bukan dari
luar dirinya yaitu pengetahuan mandiri tanpa campur tangan apapun selain
dirinya sendiri.13

Kesimpulan
Rangkaian uraian di atas dapat disederhanakan pada beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
Pertama, mazhab Masha’iyah sebagai mazhab awal filsafat Islam dapat
ditinjau dari dua sisi, yaitu ontologis dan metodologis. Secara ontologis, mazhab
Mashsha’iyah merupakan sintesa ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Aristotelianisme
yang dilakukan oleh para filosof Muslim sebelum Suhrawardi, yaitu al-Kindi, al-
Farabi, al-Farab, Ibn Sina, sebagai penyempurna sehingga mazhab Masha’iyah
sebagai mazhab awal filsafat Islam menampilkan wujud yang utuh, Ibn Rusyd, dan
lain-lain. Sedangkan secara metodologis/sebagai suatu aliran, mazhab Mashsha’iyah
adalah sebuah metode perumusan kebenaran dengan pendekatan argumen rasional
secara demonstratif (burhanī).
Kedua, metode mazhab Mashsha’iyah ialah istidlāl, yaitu berupaya
merumuskan dalil (argument) pada setiap pernyataan, yang dilakukan dengan tiga
cara, yaitu (a) Sillogisme (qiyās) yang menarik kesimpulan secara tidak langsung, (b)
bukti retoris (khuṭābiyah), sebagai metode penyimpulan langsung, atau pembuktian
sillogis dengan mengurangi salah satu premisnya, (c) induksi (taṣaffuh), yaitu
pengujian setiap contoh khusus yang tergolong dalam suatu subjek universal, untuk

13
Ibid, 152.
menentukan apakah suatu predikat atau penilaian yang dilakukan tentang hal itu
berlaku secara universal atau tidak. Melalui metode ini dapat ditarik sebuah
kesimpulan yang bersifat universal atau kasuistik, sehingga setiap pernyataan benar
adanya (valid).
Ketiga, karakter mazhab Masha’iyah ialah rasional demonstratif dan rasional
objektif. Rasional-demonstratif, yaitu suatu pernyataan diterima adanya jika sesuai
dengan pemikiran (rasional), dan pemikiran tersebut dapat dibuktikan secara
nyata/riil (demonstratif). Sedangkan rasional-objektif, yaitu suatu pernyataan diterima
adanya jika sesuai dengan pemikiran (rasional). Dengan demikian kebenaran dalam
pripatetik bersifat rasional, demonstratif dan objektif.
Kritikan al-Ghaza>li> terhadap filosof sebagaimana yang dirumuskan dalam
Tahafut al Falasifah ada dua puluh masalah yang disajikan baik kritikan oleh al-
Ghaza>li>. Tujuh belas masalah yang dikategorikannya sebagai bid’ah dan tiga lainnya
dicap kafir. Ketiga masalah tersebut itu adalah keqadiman alam, ketidaktahuan Tuhan
terhadap hal yang kecil (juz’iyat) dan tidak adanya kebangkitan jasmani.

Daftar Pustaka
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2005.
Drajat, Amroeni, Suhawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LkiS, 2005.
al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah Cet. IV. Mesir : Dat al-Ma’rif, 1966.
Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1986.
Ibrahim, Duski, Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing Untuk Para Tamu. Palembang,
Noer Fikri, 2017.
Nasr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi Di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung:
Penerbit Pustaka,1994.
Hasan Bakti Nasution, “Mazhab Peripatesis Dalam Filsafat Islam”, Analytica
Islamica, Vol. 1, No. 2, 2012.
Robby Habiba Abror, “The History and Contribution of Philosophy in Islamic
Thought”, Al-Turas Vol. 26 No. 2 July 2020.
Muliati, “Al-Gazali dan Kritiknya Terhadap Filosof”, Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2
(2016)
https://taufikrahmatullah.wordpress.com/2013/01/08/aliran-paripatetik__/

Anda mungkin juga menyukai